TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS"

Transkripsi

1 TESIS TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS NI LUH KADEK ALIT ARSANI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

2 TESIS TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS NI LUH KADEK ALIT ARSANI NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

3 TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana NI LUH KADEK ALIT ARSANI NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

4 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 8 AGUSTUS 2011 Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And. NIP Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP

5 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 8 Agustus 2011 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 1334/UN 14.4/HK/2011, Tanggal 1 Agustus 2011 Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS Anggota : 1. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And. 2. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK 3. Prof. Dr. dr. A.A. Gede Budhiarta, Sp.PD-KEMD 4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

6 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas asung wara nugraha-nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Berkat petunjuk, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, segala hambatan dan rintangan dalam penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Rektor Universitas Udayana yang telah menerima kami sebagai mahasiswa pada Program Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Udayana Denpasar. 2. Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengikuti Program Pasca Sarjana Ilmu Biomedik Universitas Udayana Denpasar. 3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp. And., FAACS, selaku pembimbing I dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 4. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And., selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini. 5. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, Prof. Dr. dr. A.A. Gede Budhiarta, Sp.PD-KEMD, dan Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dan koreksi dalam penyusunan tesis ini.

7 6. Drh. I.B. Oka Winaya, M.Kes., yang telah banyak memberikan bantuan dalam pembuatan dan pembacaan preparat penelitian. 7. I Gede Wiranatha, S.Si., selaku staf Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian. 8. Staf administrasi serta teman mahasiswa Program Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Kedokteran Reproduksi yang telah banyak membantu serta memberikan dorongan dan semangat kepada penulis. Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayah, ibu, suami, anak tercinta, dan kedua adik penulis yang dengan tulus memberikan doa dan dukungan, baik moral, materiil, maupun spiritual, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih pula kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu perkenankanlah penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang ada, serta kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif sangat diharapkan. Denpasar, 8 Agustus 2011 Penulis

8 ABSTRAK TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus (DM) dibandingkan dengan populasi yang bukan diabetes melitus. Terjadinya hipogonadisme, autonomic neuropathy, dan arterial insuficiency dihubungkan dengan tingginya kejadian disfungsi ereksi pada diabetes melitus. Sebagai akibat diabetes melitus akan terjadi kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum diganti dengan jaringan fibrotik sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi sulih testosteron terhadap peningkatan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Pretest-posttest Control Group Design. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran dan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana selama 9 minggu dengan menggunakan 28 ekor tikus wistar jantan diabetes melitus. Tikus dibagi menjadi 2 kelompok dan setelah 6 minggu, masing-masing 7 ekor tikus pada tiap kelompok dieutanasi dan dilakukan pemeriksaaan histologis penis untuk melihat kerusakan korpus kavernosum. Sisa 7 ekor tikus pada kelompok kontrol (P0) diberikan plasebo (aqua pro injeksi) dan pada kelompok perlakuan (P1) diberikan hormon testosteron dengan dosis 4,5 mg/200 gram berat badan tikus secara intramuskular. Setelah 3 minggu seluruh tikus dieutanasi dan dilakukan pemeriksaaan histologis penis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji normalitas (uji Shapiro Wilk) dan homogenitas (Levene test) untuk kelompok pre test dan post test masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p>0,05). Uji perbandingan dengan t-test terhadap ketebalan otot polos korpus kavernosum penis tikus post-test kelompok kontrol (46,31±11,12 μm) dan kelompok perlakuan (92,16±14,69 μm) menunjukkan perbedaan yang bermakna (p < 0,05). Simpulan penelitian ini bahwa terapi sulih testosteron meningkatkan ketebalan otot polos korpus kavernosum penis tikus diabetes melitus. Saran yang dapat disampaikan adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap peranan testosteron dalam memperbaiki disfungsi ereksi yang disebabkan oleh karena kerusakan yang terjadi pada korpus kavernosum penis. Kata Kunci: sulih testosteron, diabetes melitus, korpus kavernosum

9 ABSTRACT TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY INCREASES THE THICKNESS OF SMOOTH MUSCLE OF PENILE CORPUS CAVERNOSUM IN DIABETIC RATS Erectile dysfunction mostly occurs to those who suffers from diabetic compared to non-diabetic population. Hypogonadism, autonomic neuropathy, and arterial insufficiency are correlated to the levels of erectile dysfunction on diabetic. As results of diabetic, progressive lost of smooth muscle and normal endotel of corpus cavernosum are replaced by fibrotic tissue and it causes erectile dysfunction. This study was aimed at investigating the effect of testosterone replacement therapy on smooth muscle of penile corpus cavernosum of diabetic rats. The study based on an experimental design using a randomized pretestposttest control group design. The t-test was used to compare the pre and post groups and between the two groups. This study was conducted at the Laboratory of Pharmacology of Medical Faculty and the Laboratory of Anatomy Pathology of Faculty of Veterinary Medicine at Udayana University for nine weeks by using 28 male diabetic wistar rats. The rats were devided into two groups and after week-6, seven rats in each group were euthanatized and then penile histologist examination was conducted to find the destruction of corpus cavernosum. The other seven rats in control group (P0) were given placebo and the treatment group (P1) were given substitute testosterone injection intramuscularly 4,5 mg/200 gram rats body weight. After three weeks all rats were euthanized for histological examination of corpus cavernosum. The result showed that the normality test (Shapiro Wilk) and homogeneity (Levene test) for pre test and post test groups for each group shows normal and homogenous distribution (p>0,05). The test comparisson of the thickness of smooth muscle penile corpus cavernosum between post-test of control group (46,31±11,12 μm) and P1 (92,16±14,69 μm) with t-test showed significant differences (p < 0,05). The conclusion of this study was that testosterone replacement therapy increasing the thickness of smooth muscle of penile corpus cavernosum in diabetic rats. From this study, it is recommended that further research of the roles of testosterone on erectile dysfunction need to be developed. Keywords: testosterone replacement therapy, diabetic, corpus cavernosum

10 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PERSETUJUAN... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv UCAPAN TERIMA KASIH... v ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA Fungsi Seksual Pria Ereksi Mekanisme Ereksi Disfungsi Ereksi Diabetes Melitus Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus Diabetes Melitus, Sindrom Metabolik, dan Testosteron Patofisiologi Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus Hormon Testosteron... 18

11 2.4.1 Sintesis, Sekresi, dan Regulasi Testosteron pada Sirkulasi Metabolisme Testosteron Efek Biologis Testosteron dan Metabolitnya Terapi Sulih Testosteron Penis Manusia Anatomi Penis Organ Erektil Struktur Mikroanatomi Penis Vaskularisasi dan Persarafan Tikus (Rattus norvegicus galur Wistar) Karakteristik Tikus Anatomi Penis Gambaran Mikroskopis Hormon Testosteron pada Mamalia Aloksan BAB III KERANGKA BERFIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berfikir Konsep Hipotesis BAB IV METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan Sumber Data Besar Sampel Kriteria Sampel Variabel Penelitian Klasifikasi Variabel... 42

12 4.4.2 Definisi Operasional Variabel Bahan dan Alat Penelitian Prosedur Penelitian Pemilihan dan Pemeliharaan Hewan Uji Pelaksanaan Penelitian Alur Penelitian Teknik Operasi Penis Teknik Pemrosesan Sediaan Histologis Penis Analisis Data BAB V HASIL PENELITIAN Analisis Deskriptif Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Uji Normalitas Data Uji Homogenitas Uji Komparabilitas Analisis Efek Perlakuan BAB VI PEMBAHASAN Subyek Penelitian Diabetes Melitus, Testosteron, dan Korpus Kavernosum Penis Terapi Sulih Testosteron dan Fungsi Ereksi BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 69

13 DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Kriteria Diagnosis DM Data Biologis Tikus Rerata Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Sebelum dan Setelah Perlakuan Hasil Uji Normalitas Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Penis Tikus Sebelum dan Setelah Perlakuan Hasil Uji Homogenitas Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Penis Tikus Sebelum dan Setelah Perlakuan Hasil Uji Perbedaan Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Penis Tikus Kelompok Kontrol dan Kelompok P1 Sebelum Perlakuan Hasil Uji Perbedaan Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Penis Tikus Kelompok Kontrol dan Kelompok P1 Setelah Perlakuan Hasil Uji Perbedaan Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Penis Tikus Sebelum dan Setelah Perlakuan Perlakuan... 56

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Mekanisme Ereksi Regulasi Sekresi dan Sintesis Testosteron Efek Testosteron Terhadap Fungsi Ereksi Penis Manusia Potongan Melintang Penis Manusia Jaringan Erektil Penis Kerangka Konsep Penelitian Rancangan Penelitian Alur Penelitian Grafik Rerata Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Sebelum dan Setelah Perlakuan... 57

15 DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ABP ADA AGEs camp DE DHT DM enos FSH GnRH inos LH μm MMAS NANC nnos NO NOS : Androgen Binding Protein : American Diabetes Association : Advanced glication end products, : cyclic Adenosine Monophosphate : Disfungsi Ereksi : Dihydrotestosterone : Diabetes Melitus : endothelial NOS : Follicle-Stimulating Hormone : Gonadotrophin-Releasing Hormone : inducible NOS : Luteinizing Hormone : mikrometer : Massachusetts Male Aging Studi : Nonadrenergic Non Cholinergic : neuronal NOS : Nitric Oxide : Nitric Oxide sinthase PDE-5 : Phosphodiesterase type 5 SHBG TTGO : Sex Hormone Binding Globulin : Tes Toleransi Glukosa Oral

16 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Tabel Konversi Perhitungan untuk Berbagai Jenis (Species) Halaman Hewan Uji dan Manusia Lampiran 2 Kadar Gula Darah Lampiran 3 Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Penis Tikus Lampiran 4 Pengolahan data Penelitian Lampiran 5 Foto Pelaksanaan Penelitian Lampiran 6 Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Histologis Penis Tikus Lampiran 7 Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance)... 85

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan seksual yang harmonis adalah dambaan bagi setiap pasangan, namun demikian ternyata tidak semua pasangan dapat mengalami. Hubungan seksual yang harmonis dapat berlangsung apabila fungsi seksual berkembang secara normal baik dari segi fisik maupun dari segi perilaku seksualnya. Perubahan persepsi dan perilaku seksual yang terjadi sejak lebih dari dua dekade yang lalu menyebabkan masyarakat lebih terbuka menyampaikan keluhan seksual yang dialaminya. Disfungsi seksual banyak terjadi di masyarakat, baik pada pria maupun wanita, walaupun belum ada data yang pasti tentang insidennya. Salah satu disfungsi seksual pada pria yang sering dijumpai adalah disfungsi ereksi. Diduga tidak kurang dari 10% pria menikah di Indonesia mengalami disfungsi ereksi (Pangkahila, 2005). Di Amerika Serikat, the Massachusetts Male Aging Studi (MMAS) melakukan survei pada pria berumur tahun dari tahun mendapatkan prevalensi disfungsi ereksi (DE) sebesar 52%. Prevalensi DE meningkat sesuai dengan umur. Pada umur 40 tahun prevalensinya sebesar 40% dan pada umur 70 tahun mencapai hampir 70%. Pada tahun 2005 diduga terdapat 322 juta pria yang mengalami disfungsi ereksi di seluruh dunia. Di Indonesia, belum ada data yang pasti berapa banyak pria mengalami DE (Pangkahila, 2005; Agarwal et al., 2006). 1

18 Disfungsi ereksi bisa disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Faktor fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor endokrin, neurogenik, vaskulogenik dan iatrogenik (Pangkahila, 2005). Faktor risiko utama yang berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi ereksi adalah diabetes melitus (DM), hiperkolesterolemia, merokok, dan penyakit kronis. Faktor-faktor ini meningkatkan risiko untuk terjadinya aterosklerosis yang merupakan faktor predominan untuk terjadinya disfungsi ereksi vaskulogenik (Agarwal et al., 2006). Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus dibandingkan dengan populasi umum. Sekitar 30%-90% pria dengan diabetes melitus akan menderita disfungsi ereksi (Cho et al., 2005; Kapoor et al., 2007). Studi-studi sebelumnya melaporkan prevalensi berkisar antara 20-70% (Penson et al., 2004). Terjadinya hipogonadisme, autonomic neuropathy, dan arterial insuficiency dihubungkan dengan tingginya kejadian disfungsi ereksi pada diabetes melitus. Relaksasi jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan nitrit oksida (Nitric Oxide/NO) dari neuron nonadrenergik-nonkolinergik dan endotel. Jaringan penis penderita diabetes melitus menunjukkan gangguan relaksasi dari otot polos yang dimediasi oleh faktor neurogenik dan endotel, peningkatan advanced glication end products (AGEs), dan upregulation arginase yang merupakan kompetitor dari nitrat oksida sintase (NOS) dengan substratnya yaitu L-arginin, sehingga terjadi penurunan sintesis, pelepasan, dan aktivitas nitrit oksida. Sebagai akibat dari diabetes melitus maka akan terjadi kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum diganti

19 dengan jaringan fibrotik sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi yang komplit (Penson et al., 2004; Brown et al., 2005; Sakka dan Yassin, 2010). Studi-studi epidemiologis selama 2 dekade terakhir menunjukkan pria dengan DM tipe 2 mempunyai kadar hormon testosteron yang rendah. Dhindsa et al. (2004) melakukan penelitian pada pria dengan DM tipe 2 yang berumur antara tahun, sepertiga diantaranya mempunyai kadar free testosterone yang rendah. Hal ini berhubungan dengan tidak cukupnya kadar luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH), menyebabkan terjadinya hypogonadotrophic hypogonadism. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di United Kingdom, Italia, Australia, dan Brazil. Chandel et al. (2007) juga melaporkan tingginya prevalensi hypogonadotrophic hypogonadism pada pria muda (18-35 tahun) dengan DM tipe 2 yaitu sebesar 58%. Testosteron yang rendah dihubungkan dengan penurunan libido, disfungsi ereksi, peningkatan masa lemak, penurunan masa otot dan tulang, serta penurunan energi, depresi, dan anemia (Dandona et al., 2009). Investigasi yang dilakukan pada binatang menunjukkan bahwa kekurangan hormon testoteron menyebabkan atropi jaringan penis, perubahan struktur nervus dorsalis, perubahan morfologi endotel, penurunan otot polos trabekular, dan akumulasi jaringan lemak pada daerah subtunika korpus kavernosum (Sakka dan Yassin, 2010). Mekanisme terjadinya hipogonadotropik hipogonadisme pada pria dengan DM tipe 2 belum jelas. Berdasarkan studi yang dilakukan pada binatang menyatakan bahwa insulin diperlukan oleh otak untuk fungsi yang normal dari

20 hypothalamo-hypophyseal-testis axis. Insensitivitas insulin pada level hipotalamus menyebabkan terjadinya hipogonadotropik hipogonadisme sehingga terjadi penurunan fungsi testis dan menyebabkan terjadi penurunan produksi hormon testosteron (Dandona et al., 2009). Pada pria dengan gejala-gejala hipogonad, maka pemberian hormon sulih testosteron (testosterone replacement therapy) dapat meningkatkan fungsi seksual dan memelihara karakteristik seks sekunder (Dandona et al., 2009). Synder et al. (2000) menyatakan bahwa terapi dengan testosteron pada pria hipogonad dapat meningkatkan fungsi seksual, libido, masa otot, kekuatan fisik, densitas tulang, dan perasaan senang. Lazarou dan Morgentaler (2005) menyatakan bahwa pemberian hormon testosteron merupakan terapi terbaik pada pria hipogonad dengan disfungsi ereksi. Sejak ditemukannya PDE-5 (Phosphodiesterase type 5) inhibitors untuk terapi disfungsi ereksi testosteron telah dikesampingkan sebagai terapi pilihan pada disfungsi ereksi. Tetapi sebesar 50% pria yang diterapi dengan PDE-5 inhibitors menunjukkan kegagalan (Park et al., 2005). Hal ini menimbulkan ketertarikan pada terapi disfungsi ereksi dengan hormon testosteron (Hesle et al., 2005). Pada penderita diabetes melitus dengan disfungsi ereksi, maka pemberian testosteron akan dapat mengembalikan fungsi ereksinya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yassin et al. (2006); Yassin & Saad (2006; 2007 b) terhadap peran hormon testosteron pada disfungsi ereksi dengan penyakit penyerta seperti diabetes melitus, sindrom metabolik, dislipidemia, obesitas, dan

21 kombinasi dari penyakit ini, dimana dengan terapi PDE-5 inhibitor telah gagal untuk mengembalikan fungsi ereksinya. Dilaporkan bahwa terjadi peningkatan dalam fungsi ereksi setelah minggu diterapi dengan testosteron. Greenstein et al. (2003) juga melaporkan bahwa 63% dari pria hipogonad dengan disfungsi ereksi yang diberikan terapi dengan testosteron saja mendapatkan kembali fungsi ereksi yang normal dan peningkatan sexual desire. Melihat hal tersebut di atas, dimana disfungsi ereksi sering terjadi pada penderita diabetes melitus karena terjadi penurunan hormon testosteron sehingga mengakibatkan kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum penis, maka peneliti ingin melihat perubahan yang terjadi pada korpus kavernosum penis tikus jantan diabetes melitus dengan induksi aloksan apabila diberikan terapi dengan hormon testosteron. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah terapi sulih testosteron (testosterone replacement therapy) dapat meningkatkan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pemberian terapi sulih testosteron dapat meningkatan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus.

22 1.4 Manfaat Penelilitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dapat menambah wawasan pengetahuan tentang pengaruh terapi sulih testosteron terhadap peningkatan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus untuk kesehatan reproduksi. 2. Hasil penelitian terapi sulih testosteron dapat dijadikan salah satu alternatif untuk memperbaiki disfungsi ereksi pada diabetes melitus yang dicurigai salah satu penyebabnya karena kerusakan struktur korpus kavernosum penis.

23 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Fungsi Seksual Pria Fungsi seksual pria terdiri dari 4 komponen, yaitu: dorongan seksual, bangkitan seksual, orgasme, dan ejakulasi. Bangkitan seksual terutama berupa ereksi penis. Setiap gangguan pada salah satu komponen itu dapat menimbulkan disfungsi seksual. Disfungsi seksual pria dikelompokkan menjadi: 1) Gangguan dorongan seksual yang meliputi dorongan seksual hipoaktif dan gangguan aversi seksual; 2) Disfungsi ereksi; 3) Gangguan ejakulasi yang meliputi ejakulasi dini (rapid ejaculation) dan ejakulasi terhambat (retarded ejaculation); 4) Gangguan orgasme. Ejakulasi sebenarnya lebih banyak berfungsi reproduksi. Tetapi karena pada pria normal ejakulasi terjadi pada saat orgasme, maka gangguan ejakulasi seringkali juga mengganggu sensasi orgasme (Pangkahila, 2005). 2.2 Ereksi Ereksi penis adalah suatu fenomena neurovaskular, yang tergantung dari integritas saraf, fungsi dari sistem vaskular, dan jaringan kavernosal yang sehat. Fungsi ereksi yang normal meliputi tiga proses sinergis dan simultan yaitu: 1) peningkatan arterial inflow yang dimediasi secara neurologis, 2) relaksasi dari otot polos kavernosal, dan 3) restriksi aliran keluar vena penis (Bivalacqua et al., 2003). 7

24 Telah lama diketahui bahwa NO memegang peranan yang penting dalam regulasi ereksi penis dalam keadaan fisiologis dan patologis (Bivalacqua et al., 2003). NO merupakan mediator yang sangat penting dalam proses relaksasi otot polos kavernosa yang menyebabkan ereksi. Relaksasi ini disebabkan oleh adanya guanetidin dan atropin pada lapisan otot dan diduga merupakan mediator saraf nonadrenergik-nonkolinergik. Relaksasi otot polos yang disebabkan oleh NO terjadi melalui peningkatan siklus GMP (guanosin monophosphate) (Tendean, 2004) Mekanisme Ereksi Ereksi penis adalah manifestasi bangkitan seksual yang terjadi bila pria normal menerima rangsangan seksual yang cukup. Ereksi penis tergantung pada interaksi yang kompleks antara faktor psikis, neurogenik, vaskuler, dan hormon. Hormon testosteron mempunyai peran penting baik di tingkat pusat maupun perifer pada proses ereksi. Proses ereksi juga tergantung pada keseimbangan antara aliran darah yang masuk dan keluar dari korpus kavernosum. Bila terjadi keseimbangan antara aliran darah masuk dan keluar, maka penis menjadi flaccid (fleksid=lemas). Bila aliran masuk ke arteri korpus kavernosum meningkat, sedangkan aliran keluar vena terhambat, maka penis mengalami tumescence (tumesensi= membesar dan memanjang) (Pangkahila, 2006). Faktor saraf yang mempengaruhi mekanisme ereksi adalah stimulasi saraf parasimpatetik S2-S4 yang menimbulkan dilatasi arteriol dan relaksasi otot polos trabekula penis. Di pihak lain, stimulasi saraf simpatetik Th12-L2 mengakibatkan

25 konstriksi arteriol dan otot polos korpus kavernosum yang menimbulkan detumesensi dan fleksid penis. Ketika mengalami rangsangan seksual, impuls saraf menyebabkan pelepasan NO dari neuron parasymphatetic nonadrenergic non cholinergic (NANC) dan sel endotel korpus kavernosum. NO merupakan mediator kimia yang terpenting untuk menimbulkan relaksasi otot polos korpus kavernosum. Gambar: 2.1 Mekanisme Ereksi

26 Peristiwa ereksi berlangsung melalui rangkaian delapan fase sebagai berikut: a. Fase 0: fase fleksid Dalam keadaan fleksid, penis berada di bawah pengaruh saraf simpatetik. Aliran masuk arteri lambat, hanya kurang dari 15 cm per detik, dan otot polos trabekula mengalami kontraksi. b. Fase 1: fase pengisian (filling phase) Rangsangan parasimpatetik menyebabkan dilatasi arteriol yang menyebabkan aliran arteri meningkat sampai 30 cm per detik. Relaksasi trabekula menyebabkan terjadi pengisian sinusoid tanpa peningkatan yang bermakna pada tekanan intrakavernosa. c. Fase 2: fase tumesensi Pada fase ini, tekanan intrakavernosa mulai meningkat, yang menyebabkan penurunan relatif pada aliran masuk arteri. Karena tekanan meningkat di atas tekanan diastolik, maka aliran hanya terjadi pada saat tekanan sistolik. Selanjutnya, karena sinusoid melebar, terjadilah kompresi pada pleksus vena subtunika. Akibatnya penis memanjang dan membesar ke kapasitas maksimalnya. d. Fase 3: fase ereksi sempura (full erection phase) Pada fase ini tekanan intrakavernosa meningkat sampai 90% dari tekanan darah sistolik. Aliran darah arteri ke dalam penis terus menurun, tetapi masih lebih besar daripada selama fase fleksid. Sinusoid yang melebar menekan pleksus vena subtunika, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke

27 dalam vena emissaria. Pada saat ini, tekanan gas darah sama dengan di darah arteri. e. Fase 4: fase ereksi rigid Karena pengaruh nervus pudendus, muskulus ishiokavernosus berkontraksi sehingga menekan crura dan meningkatkan tekanan darah intrakavernosa di atas tekanan darah sistolik. Maka penis mengalami ereksi atau rigiditas yang sempurna. Muskulus ishiokavernosus dapat dibuat berkontraksi atau di bawah pengaruh refleks bulbokavernosus, yang mampu mempertahankan rigiditas selama penetrasi. Aliran masuk arteri berhenti dan vena emissaria tertutup rapat sehingga penis menjadi sebuah ruangan tertutup. Mekanisme yang menyebabkan aliran keluar vena dari penis tertutup, disebut veno-occlusive mechanism. f. Fase 5: fase detumesensi awal Pada fase ini terjadi sedikit peningkatan tekanan intrakavernosa, yang bersifat sesaat. Peningkatan ini mungkin dipengaruhi oleh rangsangan simpatetik terhadap aliran keluar vena yang tertutup. g. Fase 6: fase detumesensi lambat Pada saat ini terjadi kontraksi otot polos trabekula, konstriksi arteriola helicinae, dan menurunnya tekanan darah intrakavernosa. Reaksi ini menyebabkan kompresi vena subtunika berkurang dan aliran keluar vena meningkat.

28 h. Fase 7: fase detumesensi cepat Pada fase ini terjadi rangsangan simpatetik yang menyebabkan aliran masuk arteri dan tekanan darah intrakavernosa menurun cepat. Perubahan ini diikuti peningkatan aliran keluar vena dan detumesensi yang cepat Disfungsi Ereksi Disfungsi ereksi berarti ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk melakukan hubungan seksual dengan baik. Pada dasarnya disfungsi ereksi disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Penyebab fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal, faktor vaskulogenik, faktor neurogenik, dan faktor iatrogenik (Pangkahila, 2005). Beberapa gangguan hormonal yang berkaitan dengan disfungsi ereksi adalah hipogonadisme, hiperprolaktinemia, hipertiroidisme, dan hipotiroidisme. Penyebab neurogenik disfungsi ereksi meliputi setiap penyakit atau trauma yang mempengaruhi susunan saraf pusat, korda spinalis, dan susunan saraf perifer. Disfungsi ereksi vaskulogenik adalah faktor penyebab tersering disfungsi ereksi pada pria tua. Faktor resiko terhadap disfungsi ereksi vaskulogenik adalah: overweight, hipertensi, diabetes melitus, dan merokok. Faktor arterial berupa penyakit atau gangguan yang menghambat aliran darah ke dalam korpus kavernosum. Penyebab tersering faktor arteri adalah aterosklerosis. Aliran darah yang terhambat ke penis mengakibatkan iskemia dan oksigenasi korpus kavernosum terganggu. Keadaan ini mengakibatkan disfungsi otot polos yang menimbulkan disfungsi veno-oklusif. Beberapa cara operasi, obat-obatan, dan

29 radioterapi dapat mengakibatkan disfungsi ereksi. Kerusakan saraf atau arteri yang berkaitan dengan fungsi ereksi yang terjadi selama operasi dapat mengakibatkan disfungsi ereksi. Beberapa obat yang mengakibatkan disfungsi ereksi misalnya obat psikotropik, antidepresan, antihipertensi, obat hormon, antikolinergik (Pangkahila, 2005; Hargreave, 2006). Faktor psikis meliputi semua faktor yang dapat menghambat mekanisme ereksi, meliputi semua faktor dalam semua periode kehidupan yaitu periode anakanak, remaja, dan dewasa. Faktor psikis dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, dan faktor pembinaan. Faktor predisposisi misalnya pandangan yang negatif tentang seks, trauma seksual, pendidikan seks kurang, percaya mitos, hubungan keluarga terganggu. Faktor presipitasi misalnya hambatan psikis karena penyakit atau gangguan fisik, proses penuaan, ketidaksetiaan terhadap pasangan, harapan yang berlebihan, depresi, dan kecemasan. Faktor pembinaan misalnya karena pengalaman sebelumnya, hilangnya daya tarik pasangan, komunikasi tidak baik, takut yang berkaitan dengan keintiman, dan pendidikan seks kurang. Faktor psikis tersebut pada akhirnya mengakibatkan peningkatan kadar norepinefrin, baik di sirkulasi maupun penis mengakibatkan ereksi terhambat (Pangkahila, 2005). 2.3 Diabetes Melitus Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus dibandingkan dengan populasi umum. Diabetes melitus dapat menyebabkan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular berupa

30 aterosklerosis pembuluh besar, penebalan dan kerusakan membran basalis pembuluh-pembuluh kapiler sehingga terjadi gangguan mikroangiopati. Terhadap organ reproduksi laki-laki menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah dan jaringan testis mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi organ testis dan penebalan jaringan ikat penunjang pembuluh darah penis sehingga akan menghalangi aliran darah, sehingga terjadi gangguan ereksi (Guyton and Hall, 2002). Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2008). DM disebabkan karena interaksi yang kompleks dari faktor genetik, faktor lingkungan, dan gaya hidup (life-style). Berdasarkan etiologi dari DM, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya hiperglikemia adalah penurunan sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa. Terjadinya disregulasi metabolik pada DM menyebabkan secara sekunder perubahan patofisiologi pada multipel sistem organ yang menyebabkan masalah dan beban yang besar pada penderita dan sistem pelayanan kesehatan (Powers, 2005). Klasifikasi DM menurut Perkeni, 2008 adalah: 1) DM tipe 1, terjadi oleh karena kerusakan sel beta pankreas, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut karena autoimun dan idiopatik; 2) DM tipe 2: penyebabnya bervariasi, mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin; 3) DM tipe lain:

31 oleh karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM; 4) DM gestasional Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini (Perkeni, 2008): 1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. 2. Keluhan lain berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara seperti terangkum pada tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Atau Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO (tes toleransi glukosa oral) 200 mg/dl (11,1 mmol/l). TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75gram glukosa anhidros yang dilarutkan ke dalam air Diabetes Melitus, Sindrom Metabolik, dan Hormon Testosteron

32 Resistensi insulin yang terutama disebabkan oleh adipositas abdominal, terbukti sebagai abnormalitas patologis utama dalam terjadinya sindrom metabolik dan diabetes. Jaringan adiposa sangat aktif secara metabolik dan menghasilkan berbagai zat yang memperantarai hubungan antara obesitas, resistensi insulin, diabetes, dan penyakit vaskuler serta kondisi lainnya. Hormonhormon yang berasal dari sel adiposit secara kolektif dikenal sebagai adipositokin dan telah mengubah paradigma dari sel lemak sebagai tempat penyimpanan energi menjadi jaringan adiposa sebagai komponen penting dari sistem endokrin. Adipositokin yang paling banyak pada manusia adalah leptin yang meningkat pada obesitas dan adiponektin yang menurun pada obesitas. Bukti dari beberapa populasi studi longitudinal menunjukkan bahwa testosteron rendah adalah faktor risiko independen untuk terjadinya obesitas, sindrom metabolik, dan diabetes tipe 2. Data penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kadar testosteron rendah dengan akumulasi lemak sentral, dimana kadar testosteron berkorelasi negatif dengan akumulasi lemak sentral (Tsai and Boyko, 2000). Obesitas berhubungan dengan kadar sex hormon binding globulin (SHBG) yang rendah yang mengakibatkan penurunan kadar total kolesterol dan kadar testosteron bebas pada pria obesitas. Dari penelitian HERITAGE family, dalam sekelompok 217 pria sehat yang dilakukan pemeriksaan kadar testosteron dan juga dilakukan CT scan, bahwa penurunan total testosteron dan SHBG merupakan prediktor untuk terjadinya peningkatan timbulnya obesitas dan kadar lemak sentral (Couillard, et al., 2000).

33 Penurunan kadar testosteron juga terkait dengan abnormalitas dalam metabolisme glukosa. Dalam studi terhadap orang non-diabetes, didapatkan adanya korelasi terbalik antara kadar total kolesterol dengan kadar insulin yang tetap signifikan setelah pengendalian faktor umur dan obesitas (Hardiman, 2010) Patofisiologi Disfungsi Ereksi Pada Diabetes Melitus Hipogonadisme, autonomic neuropathy, dan arterial insuficiency dihubungkan dengan tingginya kejadian disfungsi ereksi pada pria dengan diabetes melitus, pada penelitian cross-sectional dan longitudinal. Observasi ini telah dilakukan baik pada binatang maupun jaringan manusia secara in-vitro dan in-vivo (Penson et al., 2004). Kadar hormon testosteron yang rendah, baik bioavailable testosterone dan free testosterone secara bermakna lebih rendah pada pria diabetes melitus dengan disfungsi ereksi (Stellato et al., 2000; Kapoor et al., 2007). Sensitivitas insulin, obesitas, dan testosteron saling terkait satu sama lain, dimana testosteron dapat menurunkan obesitas dan resistensi insulin. Mekanisme kerja dari testosteron terhadap fungsi ereksi pada studi yang dilakukan pada tikus adalah melalui stimulasi sintesis NO dan sebagai vasodilator pada penis (Yassin and Saad, 2008). Relaksasi dari jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan NO dari neuron nonadrenergik-nonkolinergik dan endotel. Jaringan penis penderita diabetes melitus menunjukkan gangguan relaksasi dari otot polos yang dimediasi oleh faktor neurogenik dan endotel, peningkatan advanced glication end products (AGEs) dan upregulation arginase yang merupakan kompetitor dari nitrat oksida

34 sintase (NOS) dengan substratnya yaitu L-arginin, sehingga terjadi penurunan sintesis, pelepasan, dan aktivitas nitrit oksida (Yassin and Saad, 2008). Terjadinya neuropati sentral dan perifer, gangguan neurotransmisi, dan disfungsi endotel juga ditemukan pada pria diabetes melitus dengan disfungsi ereksi. Gangguan pada refleks penis dan tingkah laku kopulasi juga terjadi pada tikus dengan diabetes melitus setelah 4-12 bulan, karena terjadi neuropati perifer dan gangguan yang berat pada refleks seksual spinal (Yassin and Saad, 2008). Tahap akhir kerusakan jaringan penis adalah terjadi kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum diganti dengan jaringan fibrotik sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi yang komplit pada penderita diabetes melitus (Penson et al., 2004; Brown et al., 2005). 2.4 Hormon Testosteron Testosteron adalah hormon seks pria yang tergolong hormon androgen. Istilah androgen berarti hormon steroid yang mempunyai efek maskulinisasi, terdiri atas testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenedion. Testosteron merupakan hormon utama dan terpenting di antara ketiganya, sedangkan dihidrotestosteron dan androstenedion adalah bentuk androgen yang lemah. Semua androgen merupakan senyawa steroid. Baik dalam testis maupun dalam adrenal, androgen dapat dibentuk dari kolesterol atau langsung dari asetil koensim A (Guyton and Hall, 2002) Sintesis, Sekresi, dan Regulasi

35 Testosteron terutama disintesis dan disekresikan oleh testis. Testis memproduksi antara 5-7 mg/hari atau sekitar 95% dari total produksi pada pria dewasa, sisanya diproduksi oleh zona retikularis korteks adrenal. Pelepasan testosteron mempunyai ritme sirkadian (circadian rhythm) dengan levelnya pada sirkulasi mencapai puncaknya antara pukul dan level terendah antara pukul Testosteron disintesis dari kolesterol pada sel Leydig testis. Sumber kolesterol ini bisa berasal dari sintesis pada sel Leydig dan sirkulasi (Jones, 2008). Gambar 2.2 Regulasi Sekresi dan Sintesis Testosteron: Aksis HipothalamusHipofisis-Testis

36 Untuk mempertahankan testosteron pada tingkat yang tepat maka kecepatan produksi harus seimbang dengan metabolisme dan ekskresi. Pengaturan sintesis dan sekresi testosteron adalah melalui Hypothalamic-Pituitary-Testicular Axis. Hipothalamus mensekresi Gonadotrophin-Releasing Hormone (GnRH) yang mengatur sekresi LH dan FSH (Follicle-Stimulating Hormone) dari hipofisis (pituitary) anterior. LH menstimulasi sekresi testosteron dari sel Leydig dengan meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (camp) dan level kalsium intraseluler. Bila level testosteron sudah mencukupi, maka testosteron akan menimbulkan negative-feed back ke hipofisis dan hipothalamus. Sedangkan FSH utamanya berpengaruh terhadap sel Sertoli untuk menginisiasi dan pemeliharaan proses spermatogenesis. FSH juga menstimulasi sintesis dan pelepasan hormon inhibin dan activin dari sel Sertoli. Inhibin menyebabkan negative-feed back ke hipofisis sehingga menekan pelepasan FSH (Jones, 2008) Testosteron pada Sirkulasi Terdapat tiga fraksi testosteron pada serum. Proporsi yang paling besar (50-80%) adalah testosteron yang terikat dengan sex hormone binding globulin (SHBG), 20-50% berikatan dengan albumin, dan 2-3% yang bebas atau tidak berikatan (free testosteron). Free testosteron dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan mempunyai half-life yang pendek, kira-kira 10 menit. Testosteron berikatan sangat kuat dengan SHBG, tidak mempunyai efek biologis aktif dan mungkin berfungsi sebagai simpanan hormon pada sirkulasi. Testosteron berikatan secara lemah dengan albumin dan bisa lepas untuk menimbulkan efek

37 biologis. Free testosteron dan testosteron yang berikatan dengan albumin disebut bioavailable testosteron (Klingmuller et al., 2006; Jones, 2008) Metabolisme Testosteron Testosteron dimetabolisme menjadi metabolit aktif dan inaktif. Metabolit aktif testosteron adalah 17β-estradiol dan 5α-dihydrotestosterone (DHT). Testosteron dikonversi menjadi 17β-estradiol oleh enzim aromatase. Enzim aromatase mempunyai aktivitas yang tinggi pada jaringan lemak, khususnya pada lemak visceral. Makin besar jumlah lemak maka produksi 17β-estradiol akan semakin besar. Tempat lain aktivitas aromatase adalah pada testis, prostat, dan tulang. Konversi testosteron menjadi DHT adalah oleh enzim 5α-reduktase. Proporsi testosteron yang dikonversi menjadi 17β-estradiol dan DHT tergantung dari individu dan jenis jaringan, misalnya produksi DHT lebih tinggi pada prostat dan estradiol lebih tinggi pada tulang (Jones, 2008). Testosteron dan androgen yang lain, termasuk DHT diinaktivasi melalui reduksi, oksidasi, dan hidroksilasi oleh liver, yang kemudian berikatan dengan asam glukoronat. Metabolit ini kemudian akan diekskresikan oleh ginjal (Jones, 2008) Efek Biologis Testosteron dan Metabolitnya Hormon testosteron secara langsung dapat menimbulkan efek biologis dan dapat melalui metabolitnya yaitu DHT dan 17β-estradiol. Diferensiasi seksual pada embrio, selama pubertas, dan memelihara virilisasi, utamanya tergantung

38 dari kombinasi efek dari testosteron dan DHT. DHT, mempunyai peran yang lebih besar terhadap kedalaman suara, peningkatan produksi sebum, dan pembesaran dari genetalia eksterna, termasuk panjang penis. Pentingnya DHT pada kasus ini, dapat dibuktikan pada keadaan gangguan fungsi enzim 5α-reduktase, akan menyebabkan terjadinya mikropenis (Jones, 2008). Efek tostosteron dan DHT sangat tergantung dari topografi tubuh. Pertumbuhan jenggot tergantung dari testosterone, sedangkan pertumbuhan rambut aksila dan pubis tergantung dari DHT. DHT menghambat pertumbuhan rambut kepala sehingga bisa menyebabkan kebotakan pada beberapa pria. Pertumbuhan dan kekuatan otot tergantung dari testosteron dan tidak tergantung pada DHT. Testosteron merangsang haematopoiesis melalui dua mekanisme, yaitu: menstimulasi produksi erythropoietin renal dan ekstra-renal dan efek langsung pada sumsum tulang. Estrogen (17β-estradiol) pada pria berguna untuk memelihara kekuatan tulang dan penutupan epifisis. Pria dengan defisiensi enzim aromatase akan menjadi osteoporosis. Terdapat banyak bukti bahwa testosteron mempunyai efek terhadap metabolisme, meningkatkan sensitivitas insulin dan toleransi glukosa, pada metabolisme lemak dapat menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan HDL (high-density lipoprotein). Testosteron juga berefek sebagai vasodilator melalui efek langsung terhadap otot polos. Estradiol juga berefek sebagai vasodilator melalui pengaruhnya terhadap nitrit oksida. Testosteron mempunyai efek psikotropik yang penting terhadap otak, yaitu dapat meningkatkan motivasi,

39 meningkatkan mood dan libido, meningkatkan fungsi kognitif seperti visualspatial skill, memori jangka pendek, dan kemampuan matematika. Disfungsi ereksi dihubungkan dengan terjadinya defisiensi testosteron. Penelitian yang dilakukan pada binatang, menunjukkan bahwa kekurangan testosteron menyebabkan kehilangan elastic fibers, digantikan dengan jaringan kolagen pada tunika albuginea, selubung saraf, dan otot polos pembuluh darah. Lebih jauh, ditemukan adanya jaringan lemak pada tunika albuginea dan korpus kavernosum. Bukti-bukti ini menggambarkan bahwa testosteron penting di dalam mempertahankan struktur penis yang normal dan untuk terjadinya aktivitas yang normal dari NO, yang merupakan zat utama dalam proses terjadinya ereksi, sangat tergantung dari testosteron. Gambar 2.3 Efek testosteron terhadap fungsi ereksi (dikutip dari Sakka and Yassin, 2010)

40 Setelah umur 40 tahun level testosteron akan turun 1-2% per tahun. Beberapa studi melaporkan terjadi penurunan level testosteron mencapai kurang dari 12 nmol/l pada pria umur tahun sebesar 7%, tahun sebesar 21%, dan umur lebih dari 80 tahun sebesar 35%. Penurunan produksi testosteron ini terjadi karena kegagalan pada hipothalamus, hipofisis, dan testis. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan kejadian osteoporosis, anemia, penurunan kognitif, depresi, metabolik sindrom, dan disfungsi ereksi pada usia tua (Guyton and Hall, 2002; Jones, 2008). 2.5 Terapi Sulih Testosteron (Testosterone Replacement Therapy) Indikasi terapi sulih testosteron pada pria adalah keadaan hipogonadisme yang menunjukkan sindrom klinis yang kompleks yaitu adanya gejala-gejala hipogonadisme dan level testosteron yang rendah. Beberapa pilihan baru dalam terapi sulih testosteron telah tersedia sejak pertengahan tahun Ambang batas level testosteron yang menimbulkan gejala-gejala hipogonad bervariasi tergantung jenis gejala dan individu (Arver and Lehtihet, 2008). Formulasi optimal dari testosteron adalah formula yang mampu menormalisasi level testosteron yang beredar dan juga menimbulkan level yang fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu: estradiol dan DHT. Bentuk-bentuk sediaan testosteron adalah: testosteron oral, testosteron bukal, testosteron gel, dihydrotestosteron gel, trasdermal testosterone patches, testosteron injeksi intramuskular, testosteron implan. Testosteron mempunyai half-life yang pendek tetapi dengan esterifikasi half-lifenya dapat diperpanjang setelah injeksi

41 intramuskuler. Jenis-jenis ester yang telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isocaproat, enanthate, decanoate, undecanoate (Arver and Lehtihet, 2008). Salah satu jenis preparat sulih testosteron yang ada adalah Sustanon 250 yang merupakan oil-based injectable esterized testosterone yang terdiri dari testosteron propionat 30 mg, testosteron fenilpropionat 60 mg, testosteron isokaproat 60 mg, dan testosteron dekanoat 100 mg. Ada dua keuntungan menggabungkan beberapa ester dalam formula yang sama seperti pada Sustanon 250. Di sini, dengan menggunakan beberapa ester memungkinkan konsentrasi total cukup tinggi 250 mg/ml tanpa memerlukan persentase besar dari zat yang mempertinggi kelarutan dalam vehicle. Secara umum, kelarutan dari ester yang berbeda dari steroid hampir independen satu sama lain, jadi misalnya jika vehicle (minyak ditambah zat yang dapat mempertinggi kelarutan) dapat melarutkan 100 mg/ml satu ester steroid saja atau 100 mg/ml ester steroid yang lain, hal ini mungkin bisa melarutkan total 200 mg/ml sebagai kombinasi keduanya. Hal ini dapat menambah kenyamanan. Keuntungan kedua dari pencampuran ini adalah bahwa lama kerja obat dapat diperpanjang dengan menggunakan ester long-acting dalam campuran tanpa menyebabkan onset yang lambat bila ester seperti itu diberikan secara terpisah. Dengan demikian kerja sustanon 250 dimulai segera setelah penyuntikan dan dipertahankan selama kurang lebih 3 minggu (Roberts, 2010).

42 2.6 Penis Manusia Anatomi penis Penis adalah alat kelamin eksternal dan merupakan organ kopulasi pria yang juga berfungsi sebagai saluran keluar bersama urin dan semen. Penis terdiri atas: 1) radix penis yang melekat pada regio (trigonum) urogenitale perineum; 2) korpus yang tertutup sempurna oleh kulit; dan 3) glans penis yang berbentuk kerucut bulat. Radix penis terdiri atas tiga masa jaringan erektil pada trigonum urogenitale, yakni dua buah crus dan satu bulbus penis. Masing-masing crus penis melekat erat pada tepi ramus ischiopubis pelvis dan tertutup oleh muskulus ischiocavernosus. Dekat tepi inferior simpisis pubis, kedua crus tersebut membelok ke arah bawah dan depan menjadi korpus kavernosum. Sewaktu melintas ke arah anterior, crus penis bersatu dengan pasangannya (Gunardi, 2007). Bulbus penis berada di antara crura penis dan melekat pada aspek inferior membran perinealis. Ke arah anterior bulbus penis menyempit menjadi korpus spongiosum, membelok ke arah bawah dan depan. Bulbus penis diliputi oleh m. bulbospongiosus; ditembus oleh uretra pars kavernosa yang melintas sampai glans penis. Bagian uretra yang berada dalam bulbus penis ini memiliki pelebaran, sebagai fossa intrabulbar. Kulit penis orang dewasa sangat tipis dan berwarna agak gelap dan longgar (Johnston et al., 2000; Pangkahila, 2006; Gunardi, 2007).

43 Gambar 2.4 Penis Manusia (dikutip dari Moore and Agur, 2007) Organ Erektil Korpus penis terdiri atas tiga masa erektil panjang, yang mampu membesar bila terisi darah sewaktu ereksi. Korpus memiliki permukaan yang penamaannya didasarkan sewaktu ereksi; permukaan sebelah posterosuperior penis disebut dorsum penis dan aspek lawannya disebut permukaan uretral. Masamasa erektil tersebut adalah korpora kavernosa kanan dan kiri serta korpus spongiosum penis yang letaknya di garis tengah permukaan uretral korpora kavernosa penis. Masa-masa erektil ini saling melekat erat pada seluruh panjangnya. Tunika albuginia lapis luar menutupi ketiga masa jaringan erektil ini. Tunika albuginia lapis dalam menutupi korpora kavernosa penis dan terpisah dengan tunika albuginea lapis dalam yang menutupi korpus spongiosum. Ujung korpora kavernosa berada dalam cekungan pada aspek proksimal glans penis. Permukaan dorsal korpus penis berisi vena dorsalis penis profunda. Dari sini, ke

BAB I PENDAHULUAN. namun demikian ternyata tidak semua pasangan dapat mengalami. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. namun demikian ternyata tidak semua pasangan dapat mengalami. Hubungan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan seksual yang harmonis adalah dambaan bagi setiap pasangan, namun demikian ternyata tidak semua pasangan dapat mengalami. Hubungan seksual yang harmonis dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus kehidupan khususnya manusia pasti akan mengalami penuaan baik pada wanita maupun pria. Semakin bertambahnya usia, berbanding terbalik dengan kadar hormon seseorang.

Lebih terperinci

TESTOSTERON REPLACEMENT THERAPY PADA DISFUNGSI EREKSI OLEH KARENA DIABETES MELITUS. Ni Luh Kadek Alit Arsani

TESTOSTERON REPLACEMENT THERAPY PADA DISFUNGSI EREKSI OLEH KARENA DIABETES MELITUS. Ni Luh Kadek Alit Arsani TESTOSTERON REPLACEMENT THERAPY PADA DISFUNGSI EREKSI OLEH KARENA DIABETES MELITUS Ni Luh Kadek Alit Arsani Jurusan Ilmu Keolahragaan, Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Ganesha e-mail

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan, penyakit degeneratif dan menurunnya kualitas hidup.

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan, penyakit degeneratif dan menurunnya kualitas hidup. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup memiliki kesempatan yang sama untuk menjalani siklus kehidupan. Lingkaran kehidupan dimulai dari pembuahan, perkembangan janin, kelahiran, tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami

BAB I PENDAHULUAN. Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami setelah manusia mencapai usia dewasa di mana seluruh komponen tubuh berhenti berkembang dan mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV, yang disebut Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD) adalah (1) Berkurangnya fantasi seksual atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas seksual merupakan kebutuhan biologis manusia untuk mendapatkan keturunan. Seseorang memilih suatu gaya hidup umumnya dengan harapan ingin meningkatkan aktivitas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. DM merupakan penyakit kelainan sistem endokrin utama yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah sindroma disfungsi ovarium dengan karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan rumah tangga, hubungan seksual merupakan unsur penting yang dapat meningkatkan hubungan dan kualitas hidup. Pada laki-laki, fungsi seksual normal terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

PEMBERIAN L ARGININ DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT ORAL MENINGKATKAN NITRIC OXIDE PADA TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN ORCHIDECTOMY

PEMBERIAN L ARGININ DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT ORAL MENINGKATKAN NITRIC OXIDE PADA TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN ORCHIDECTOMY TESIS PEMBERIAN L ARGININ DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT ORAL MENINGKATKAN NITRIC OXIDE PADA TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN ORCHIDECTOMY IVONNE KURNIAWAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten terhadap kerja insulin

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan. hasil tercapainya kemampuan reproduksi. Tanda pertama pubertas

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan. hasil tercapainya kemampuan reproduksi. Tanda pertama pubertas BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan Pubertas merupakan suatu periode perkembangan transisi dari anak menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan hasil tercapainya kemampuan reproduksi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang muncul ketika tubuh tidak mampu memproduksi cukup

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang muncul ketika tubuh tidak mampu memproduksi cukup 1 BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang muncul ketika tubuh tidak mampu memproduksi cukup insulin atau tidak dapat mempergunakan insulin secara baik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia dan prevalensinya akan terus bertambah hingga mencapai 21,3 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup dan sosial ekonomi akibat urbanisasi dan modernisasi terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab meningkatnya prevalensi

Lebih terperinci

Testosteron Deficiency Syndrome ( TDS ) & Metabolic Syndrome ( METS )

Testosteron Deficiency Syndrome ( TDS ) & Metabolic Syndrome ( METS ) Testosteron Deficiency Syndrome ( TDS ) & Metabolic Syndrome ( METS ) Asman Manaf Subbagian Endokrin Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RSUP Dr M Jamil Padang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 patofisiologi dasar : sekresi insulin yang terganggu, resistensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

BAB I PENDAHULUAN. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi industri. Salah satu karakteristik dari

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1.5 Manfaat Penelitian 1. Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan dengan memberikan informasi bahwa ada hubungan antara kadar serum ferritin terhadap gangguan pertumbuhan pada talasemia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat modern cenderung hidup dengan tingkat stres tinggi karena kesibukan dan tuntutan menciptakan kinerja prima agar dapat bersaing di era globalisasi, sehingga

Lebih terperinci

Diabetes Mellitus Type II

Diabetes Mellitus Type II Diabetes Mellitus Type II Etiologi Diabetes tipe 2 terjadi ketika tubuh menjadi resisten terhadap insulin atau ketika pankreas berhenti memproduksi insulin yang cukup. Persis mengapa hal ini terjadi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diabetes melitus ditandai oleh adanya hiperglikemia kronik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami perubahan, yaitu dari deposisi lemak subkutan menjadi lemak abdominal dan viseral yang menyebabkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan produksi insulin atau gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kelainan sindrom metabolik dengan karakteristik dimana seseorang mengalami hiperglikemik kronis akibat kelainan sekresi insulin,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di mana terjadi produksi urin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging Medicine (AAM) atau disebut

Lebih terperinci

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING. Tesis Ini Telah Disetujui. Pada Tanggal 27 Desember 2016

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING. Tesis Ini Telah Disetujui. Pada Tanggal 27 Desember 2016 LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING Tesis Ini Telah Disetujui Pada Tanggal 27 Desember 2016 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP. 194612131971071001 Dr. dr. A.A.G.P.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik kronik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes melitus, dan jantung koroner merupakan beberapa penyakit berbahaya yang menjadi suatu permasalahan yang cukup besar

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KADAR GLUKOSA DARAH DAN FAKTOR RISIKO DIABETES MELITUS TIPE 2 PADA WANITA MENOPAUSE

ABSTRAK GAMBARAN KADAR GLUKOSA DARAH DAN FAKTOR RISIKO DIABETES MELITUS TIPE 2 PADA WANITA MENOPAUSE ABSTRAK GAMBARAN KADAR GLUKOSA DARAH DAN FAKTOR RISIKO DIABETES MELITUS TIPE 2 PADA WANITA MENOPAUSE Paulin Yuliana, 2011 Pembimbing I Pembimbing II : Winny Suwindere, drg., MS. : Adrian Suhendra, dr.,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katarak Asal kata katarak dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata yang biasanya bening

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan insulin yang tidak efektif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan seksual sangat memengaruhi kualitas hidup seseorang dalam kaitannya untuk memperoleh keturunan. Bila kehidupan seksual terganggu, kualitas hidup juga terganggu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fruktosa merupakan gula yang umumnya terdapat dalam sayur dan buah sehingga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa fruktosa sepenuhnya aman untuk dikonsumsi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL... AGUSTUS 2017

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL... AGUSTUS 2017 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL... AGUSTUS 2017 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes. Mengetahui, Ketua Program Ilmu

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL HDL PADA TIKUS WISTAR JANTAN

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL HDL PADA TIKUS WISTAR JANTAN ABSTRAK EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL HDL PADA TIKUS WISTAR JANTAN Steffanny H H Katuuk, 1310114, Pembimbing I : Lusiana Darsono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diseluruh dunia (Park & Kim,2012). Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal

BAB I PENDAHULUAN. diseluruh dunia (Park & Kim,2012). Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya prevalensi obesitas merupakan masalah kesehatan utama diseluruh dunia (Park & Kim,2012). Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal setiap tahun terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini gaya hidup modern dengan menu makanan dan cara hidup yang kurang sehat semakin menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga meyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMON REPRODUKSI JANTAN HORMON REPRODUKSI JANTAN TIU : 1 Memahami hormon reproduksi ternak jantan TIK : 1 Mengenal beberapa hormon yang terlibat langsung dalam proses reproduksi, mekanisme umpan baliknya dan efek kerjanya dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat berkurangnya sekresi insulin, berkurangnya penggunaan glukosa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang jumlahnya akan mengalami peningkatan di masa datang (Suyono, 2014). Diabetes melitus adalah penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit secara epidemiologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1,5 juta kasus kematian disebabkan langsung oleh diabetes pada tahun 2012.

BAB I PENDAHULUAN. 1,5 juta kasus kematian disebabkan langsung oleh diabetes pada tahun 2012. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, banyak penyakit yang diakibatkan oleh gaya hidup yang buruk dan tidak teratur. Salah satunya adalah diabetes melitus. Menurut data WHO tahun 2014, 347 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan sel tubuh yang memiliki reseptor insulin untuk mengoksidasi

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan sel tubuh yang memiliki reseptor insulin untuk mengoksidasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian DM (Diabetes mellitus) merupakan kelainan metabolik terjadi ketidakmampuan sel tubuh yang memiliki reseptor insulin untuk mengoksidasi karbohidrat akibat

Lebih terperinci

OBAT YANG MEMPENGARUHI REPRODUKSI PRIA KELOMPOK 23

OBAT YANG MEMPENGARUHI REPRODUKSI PRIA KELOMPOK 23 OBAT YANG MEMPENGARUHI REPRODUKSI PRIA KELOMPOK 23 Etiologi Sebagian besar kelainan reproduksi pria adalah oligospermia yaitu jumlah spermatozoa kurang dari 20 juta per mililiter semen dalam satu kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biologis atau fisiologis yang disengaja. Menopause dialami oleh wanita-wanita

BAB I PENDAHULUAN. biologis atau fisiologis yang disengaja. Menopause dialami oleh wanita-wanita 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Menopause merupakan salah satu proses dalam siklus reproduksi alamiah yang akan dialami setiap perempuan selain pubertas, kehamilan, dan menstruasi. Seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan seksual merupakan suatu bentuk komunikasi yang paling dalam bagi pasangan suami istri. Banyak masalah suami istri seperti ketegangan perkawinan bahkan perceraian,

Lebih terperinci

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I EPIDEMIOLOGI WHO DEGENERATIF Puluhan juta ORANG DEATH DEFINISI Penyakit degeneratif penyakit yg timbul akibat kemunduran fungsi sel Penyakit

Lebih terperinci

Lembar Pengesahan. TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 22 Desember 2016

Lembar Pengesahan. TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 22 Desember 2016 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 22 Desember 2016 Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, MSc. SpAnd NIP. 194402011964091001 Prof. DR. dr. Wimpie I. Pangkahila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kematian akibat hipertensi di Indonesia. Hipertensi disebut sebagai. (menimbulkan stroke) (Harmilah dkk., 2014).

BAB I PENDAHULUAN kematian akibat hipertensi di Indonesia. Hipertensi disebut sebagai. (menimbulkan stroke) (Harmilah dkk., 2014). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang menjadi salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia (Soenarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan penurunan relatif insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009). Sedangkan menurut Chang, Daly,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran libido dalam aktivitas seksual adalah sangat vital. Naik turunnya libido diduga berhubungan erat dengan kondisi tubuh seseorang. Banyak hal yang dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes melitus (DM) atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kencing manis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi

Lebih terperinci

Pembimbing I : Dr. Diana K Jasaputra, dr,m Kes Pembimbing II: Adrian Suhendra, dr, SpPK, M Kes

Pembimbing I : Dr. Diana K Jasaputra, dr,m Kes Pembimbing II: Adrian Suhendra, dr, SpPK, M Kes ABSTRAK EFEK INFUSA BIJI ALPUKAT (Persea americana Mill), KUMIS KUCING (Orhtosiphon spicatus Backer), SERTA KOMBINASINYA TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PADA MENCIT YANG DIINDUKSI ALOKSAN Gede Mahatma,2010;

Lebih terperinci

PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia) SECARA ORAL DAPAT MENURUNKAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS DIABETES MELLITUS

PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia) SECARA ORAL DAPAT MENURUNKAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS DIABETES MELLITUS PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia) SECARA ORAL DAPAT MENURUNKAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS DIABETES MELLITUS Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Ilmu Biomedik Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. retrospektif ditetapkan sebagai saat menopause (Kuncara, 2008).

I. PENDAHULUAN. retrospektif ditetapkan sebagai saat menopause (Kuncara, 2008). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menoupase didefinisikan oleh WHO sebagai penghentian menstruasi secara permanen akibat hilangnya aktivitas folikular ovarium. Setelah 12 bulan amenorea berturut-turut,

Lebih terperinci

UJI ANTIDIABETES SECARA IN VIVO. Dwi Handayani Ni Luh Sukeningsih

UJI ANTIDIABETES SECARA IN VIVO. Dwi Handayani Ni Luh Sukeningsih UJI ANTIDIABETES SECARA IN VIVO Dwi Handayani Ni Luh Sukeningsih PENGERTIAN DIABETES Diabetes melitus keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan

Lebih terperinci

CLINICAL SCIENCE SESSION DIABETES MELITUS

CLINICAL SCIENCE SESSION DIABETES MELITUS CLINICAL SCIENCE SESSION DIABETES MELITUS Lhara raffany 12100114097 Lina yuliana 12100114098 Lisa Valentin Sihombing 12100113001 Maretta Prihardini Hendriawati 12100113025 Preseptor : dr Dartyaman, Sp.PD

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh orang di seluruh dunia. DM didefinisikan sebagai kumpulan penyakit metabolik kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akibatnya terjadi peningkatan penyakit metabolik. Penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. akibatnya terjadi peningkatan penyakit metabolik. Penyakit metabolik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan jaman yang makin modern menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat, termasuk pola makan yang tinggi lemak dan rendah serat, akibatnya terjadi peningkatan

Lebih terperinci

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita 12 Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita hiperkolesterolemia yang menderita penyakit jantung koroner, tetapi

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI DAN IDK DM, TIROID,PARATIROID

PATOFISIOLOGI DAN IDK DM, TIROID,PARATIROID PATOFISIOLOGI DAN IDK DM, TIROID,PARATIROID Glukosa Ada dalam makanan, sbg energi dalam sel tubuh. Dicerna dalam usus, diserap sel usus ke pembuluh darah, diedarkan ke sel tubuh. Untuk masuk ke sel dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka kematian, membaiknya status gizi, dan Usia Harapan Hidup. (1) Penyakit degeneratif adalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di seluruh negara-negara industri stroke merupakan. problem kesehatan besar. Penyakit ini masih merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di seluruh negara-negara industri stroke merupakan. problem kesehatan besar. Penyakit ini masih merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di seluruh negara-negara industri stroke merupakan problem kesehatan besar. Penyakit ini masih merupakan penyabab ketiga terbesar kematian di dunia setelah penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik progresif, dengan manifestasi gangguan metabolisme glukosa dan lipid, disertai oleh komplikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang disebabkan karena terjadinya gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak selalu diidentikkan semata-mata untuk menghasilkan keturunan (prokreasi),

BAB I PENDAHULUAN. tidak selalu diidentikkan semata-mata untuk menghasilkan keturunan (prokreasi), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fungsi seksual merupakan bagian dari fungsi yang mempengaruhi kualitas hidup manusia. Fungsi seksual dalam hubungan seksual suami istri, pada dasarnya tidak selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hormon testosteron merupakan bagian penting dalam. kesehatan pria. Testosteron memiliki fungsi utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Hormon testosteron merupakan bagian penting dalam. kesehatan pria. Testosteron memiliki fungsi utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hormon testosteron merupakan bagian penting dalam kesehatan pria. Testosteron memiliki fungsi utama dalam proses spermatogenesis dan pembentukan karakteristik seksual

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, diabetes melitus merupakan permasalahan yang harus diperhatikan karena jumlahnya yang terus bertambah. Di Indonesia, jumlah penduduk dengan diabetes melitus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIGH DENSITY LIPOPROTEIN DENGAN PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF PADA WANITA POST MENOPAUSE

HUBUNGAN HIGH DENSITY LIPOPROTEIN DENGAN PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF PADA WANITA POST MENOPAUSE HUBUNGAN HIGH DENSITY LIPOPROTEIN DENGAN PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF PADA WANITA POST MENOPAUSE SKRIPSI Diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan program Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom Metabolik adalah sekumpulan gangguan metabolik dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK PROPOLIS TERHADAP PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL HDL PADA TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR JANTAN

ABSTRAK. EFEK PROPOLIS TERHADAP PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL HDL PADA TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR JANTAN ABSTRAK EFEK PROPOLIS TERHADAP PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL HDL PADA TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR JANTAN Richard Ezra Putra, 2010. Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr., M.Kes. Pembimbing II: Fen Tih,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 200 SM sindrom metabolik yang berkaitan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein, diberi nama diabetes oleh Aretaeus, yang kemudian dikenal

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis yang terjadi baik ketika

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis yang terjadi baik ketika 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin ataupun tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan

Lebih terperinci