Sekilas Implementasi Basel II

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sekilas Implementasi Basel II"

Transkripsi

1 1

2 Daftar Isi Pengantar 1 Sekilas Implementasi Basel II 2 Permodalan Bank Rasio Kecukupan Modal (CAR) 8 Definisi dari regulatory capital 8 Rasio Modal Minimum 9 Bobot risiko 9 Evolusi Basel II Basel Capital Accord 11 Pilar 1 - Definisi Modal, Mitigasi Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Operasional 11 Pilar 2 - Proses Review Dalam Rangka Pengawasan 16 Pilar 3 - Pengungkapan Kepada Pasar 17 Frequently Answer & Question 18 Penjelasan Beberapa Terminologi 21 2

3 Pengantar Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memudahkan pembaca memahami pentingnya permodalan bagi suatu bank tidak hanya secara individu tetapi dalam kerangka menjaga kestabilan sistem keuangan. Karena perannya yang penting itu maka pengaturan mengenai permodalan mengacu kepada suatu standar internasional yang dikeluarkan oleh Basel Committe on Banking Supervision. Standar yang dikenal dengan Basel I pertama kali ditetapkan pada tahun 1988 yang dalam perjalanan waktu banyak mengalami penyesuaian sebagai konsekuensi berkembang pesatnya instrumen di pasar keuangan. Sampai dengan akhirnya disepakati untuk menetapkan suatu standar perhitungan permodalan bank yang lebih sensitif yang dikenal dengan Basel II. Melalui buku yang berusaha ditulis dengan bahasa yang sederhana ini, diharapkan pembaca dapat mengetahui standar perhitungan modal yang sedemikian rupa telah mengalami penyesuaian dan latar belakang dikeluarkannya Basel II dalam keterkaitan perhitungan kecukupan permodalan bank dikaitkan dengan profil risiko suatu bank. Buku ini tidak akan membahas teknis pengertian dari setiap aspek dalam Basel II tetapi lebih sekedar menyajikan suatu benang merah Basel II yaitu upaya peningkatan manajemen risiko bank sehingga melalui implementasi Basel II ini bank dapat memperoleh insentif dan sejalan dengan itu dapat menjamin kestabilan sistem keuangan yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan perekonomian. Jakarta, September

4 Sekilas Implementasi Basel II Peningkatan Standardisasi Perhitungan Kecukupan Modal Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara domestik maupun pasar internasional. Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. Mengingat pentingnya modal pada bank, pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana, mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah. Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional 4

5 Basel II 3 Pillar Minimum Capital Requirements Supervisory Review Process Market Discipline Providing a flexible, risk-sensitive capital management framework Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko. Jika dilihat, Basel II memiliki berbagai kompleksitas dan prakondisi yang cukup berat bagi perbankan. Tetapi wajar jika melihat manfaat yang akan didapat perbankan nanti, berupa penghematan modal dalam menutup risiko yang diambilnya. Manfaat lain, karena Basel II merupakan standar yang diakui secara internasional, akan mudah bagi suatu bank yang akan beroperasi secara global untuk dapat diterima oleh pasar internasional, kalau mengikuti standar ini. Memaksimalkan manfaat implementasi Basel II Basel II menghitung kebutuhan modal yang sesuai dengan profil risiko bank, serta memberikan insentif bagi peningkatan kualitas dalam praktek manajemen risiko di perbankan. Menggunakan berbagai alternatif pendekatan (approaches) dalam mengukur risiko kredit (credit risk), risiko pasar (market risk) dan risiko operasional (operational risk), maka hasilnya adalah perhitungan modal bank yang lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive capital allocation). Dalam Basel II, perhitungan modal bank ini dimuat dalam Pilar-1 Minimum Capital Requirement. Dalam berbagai alternatif pendekatan di atas pada dasarnya dapat 5

6 dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu pendekatan standar berlaku untuk seluruh bank (standardised model) dan model yang dikembangkan secara internal sesuai dengan karakteristik kegiatan usaha dan profil risiko individual bank (internal model) sehingga lebih sophisticated. Komparasi di antara 2 pendekatan di atas, maka internal model secara umum diharapkan dapat menghasilkan perhitungan kebutuhan modal yang lebih tepat sesuai dengan risiko yang dihadapi oleh bank. Ini akan menjadi insentif bagi bank tersebut. Kondisi ini diharapkan menjadi pemicu bagi upaya berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas manajemen risiko sehingga pada saatnya dapat mengoptimalkan insentif yang dapat diperoleh dalam menghitung kebutuhan modal. Minimum Capital Ratio = 8% = Modal Aktiva Tertimbang Menurut Risiko Market Risk Risiko kerugian dari posisi dalam on dan off balance sheet yang timbul karena perubahan faktor psar (suku bunga dan nilai tukar) Credit Risk Risiko kerugian karena debitur/counterparty gagal memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian yang disepakati Operational Risk Risiko kerugian langsung maupun tidak langsung yang disebabkan faktor kelemahan atau kegagalan proses internal, SDM, sistem, dan kejadian eksternal Penyesuaian Specific Risk Perubahan Signifikan Tambahan Risiko Dalam menilai kelayakan modal bank, maka selain alokasi modal berdasarkan Pilar 1 harus turut pula dihitung alokasi modal untuk antisipasi kerugian karena risiko-risiko lain seperti risiko likuiditas (liquidity risk), risiko strategik (strategic risk), risiko suku bunga di banking book (interest rate risk in the banking book) dan risiko-risiko lainnya. Pendekatan di atas dirangkum dalam Pillar 2 - Supervisory Review Process dan disebut sebagai Individual Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) yang akan menjadi tantangan bagi bank dan pengawas. Diperlukan peningkatan kompetensi dan kapasitas pengawas yang didukung oleh perangkat ketentuan pengawasan sehingga pada waktunya dapat melakukan penilaian secara efektif atas risiko lain selain di Pilar 1 bahkan dapat 6

7 meminta kesediaan bank untuk menambah modal apabila perhitungan modal bank tersebut dipandang belum memadai. Selanjutnya, peran aktif masyarakat dalam mengawasi bank dipandang menentukan juga sehingga dari awal masyarakat diharapkan mampu pula menilai risiko yang dihadapi serta mengetahui tingkat kecukupan modal yang dimiliki oleh bank seperti terangkum dalam Pillar 3 - Market Discipline. Sinergi penerapan dari ketiga Pilar yang terdapat dalam Basel II di atas tidak dapat dipisahkan dalam mencapai industri perbankan dan sistem keuangan yang sehat dan stabil. Dampak implementasi Basel II terhadap ketahanan sistem perbankan 1. Apakah bank mengalami penurunan CAR sampai dibawah minimum 8%? Bank Indonesia bersama sejumlah bank terus melakukan secara periodik studi dampak kuantitatif untuk melihat konsekuensi penerapan Basel II terhadap modal bank. Oleh karena itu, dampak Basel II terhadap modal bank semestinya dilihat secara individual dan menjadi kewajiban untuk sejak dini melakukan penilaian serta meningkatkan efektifitas penerapan manajemen risiko agar dapat secara optimal memanfaatkan insentif yang ada. Penurunan CAR bisa sampai terjadi bagi bank yang risikonya memang lebih besar, namun bagi bank yang kreditnya didominasi oleh retail dan KPR akan menyebabkan perhitungan kebutuhan modal yang lebih rendah, karena ATMR retail dan KPR lebih rendah dari yang sekarang diterapkan. 2. Apakah Basel II akan diterapkan untuk seluruh bank umum? Fokus implementasi Basel II di Indonesia adalah pengembangan dan peningkatan kualitas manajemen risiko oleh perbankan nasional sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Upaya ini tentu tidak memilah antara bank besar dan bank kecil karena budaya manajemen risiko tentu berlaku sebagai patron yang umum. Sementara itu, berdasarkan hasil survei perbankan juga menghendaki agar Basel II dapat diterapkan kepada seluruh bank untuk mengurangi dampak negatif terhadap tingkat persaingan antar bank akibat perbedaan kemampuan dan kesiapan bank menerapkan dan mengembangkan manajemen risiko beserta infrastrukturnya. Pendekatan yang standar pada Basel II akan dapat diterapkan bagi seluruh bank di Indonesia. 7

8 3. Mungkinkah implementasi Basel II menghambat proses intermediasi Penerapan Basel II tidak dimaksudkan untuk menghambat proses intermediasi yang telah dilakukan perbankan selama ini. Ataupun, dalam lingkup makro, mengurangi dominasi perbankan dalam pembiayaan roda perekonomian. Pendekatan-pendekatan yang ditawarkan dalam Basel II secara keseluruhan lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk mereposisi dan meredefinisi apa yang telah dilakukan perbankan dengan fokus pada pengelolaan risiko. Dalam kaitannya dengan fungsi intermediasi, Basel II bukanlah suatu framework yang mekanistis dimana tidak terdapat ruang untuk toleransi. Beberapa klausul diskresi nasional (national discretion) memberikan keleluasaan untuk itu. Jika implementasi Basel II diperkirakan akan menyebabkan penurunan eksposur untuk sektor tertentu (misalnya disebabkan penggunaan peringkat dalam pemberian kredit kepada korporasi dalam pendekatan standar untuk risiko kredit), maka pada bagian lain, implementasi Basel II juga mendorong peningkatan eksposur untuk sektor lainnya seperti kredit untuk sektor retail (misalnya kredit usaha kecil, perorangan, dan lain-lain) dan perumahan melalui penurunan bobot risiko kredit untuk masing-masing sektor tersebut. Proses perpindahan tersebut disadari akan menimbulkan efek kejutan bagi bank, debitur dan perekonomian pada umumnya. Namun demikian, efek tersebut diharapkan tidak berlangsung lama dan hanya bersifat fine tuning yang lazim dalam suatu perekonomian. 4. Apakah dampak bagi bank yang saat ini sedang berupaya meningkatkan permodalan dalam kerangka implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia Peningkatan permodalan bank dalam kerangka implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia secara tidak langsung merupakan sarana bagi bank untuk mengimplementasikan Basel II dengan baik. Dukungan permodalan yang memadai akan memungkinkan bank untuk mengembangkan sumber daya manusia dan teknologi informasi yang diperlukan dalam mengimplementasikan Basel II. Dengan demikian, kewajiban pemenuhan modal inti minimum bank umum sebesar Rp80 miliar pada akhir tahun 2007 dan Rp100 miliar pada akhir tahun 2010 selain dapat meningkatkan skala ekonomis dalam pelaksanaan kegiatan operasional juga memberikan kesempatan bagi bank untuk meningkatkan kemampuan manajemen risiko dalam kerangka implementasi Basel II. 8

9 5. Apakah prasyarat agar Basel II dapat diterapkan dengan baik Prasyarat utama agar Basel II dapat diterapkan dengan baik meliputi: - Penerapan manajemen risiko di bank sebagaimana telah diatur dalam PBI No. 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum - Penyesuaian standar akuntansi yang mengacu kepada standar akuntansi internasional (IAS) antara lain IAS 32 dan IAS Penerapan perhitungan permodalan secara konsolidasi dengan perusahaan tertentu dalam sektor keuangan kecuali asuransi - Pengakuan perusahaan pemeringkat oleh Bank Indonesia untuk dapat melakukan rating terhadap debitur bank Rencana Implementasi Basel II di perbankan Indonesia : Tuntutan Kesiapan Bank Indonesia dan Perbankan Dalam Basel II dinyatakan bahwa setiap otoritas pengawas perlu mempertimbangkan aspek prioritas sebelum mengadopsi Basel II. Melalui implementasi Basel II, Bank Indonesia pada dasarnya ingin meningkatkan aspek manajemen risiko agar bank semakin resisten terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam negeri, regional maupun internasional. Dengan mempertimbangkan kondisi perbankan dewasa ini maka Bank Indonesia secara realistis menetapkan format yang diambil dalam langkah implementasi Basel II. Untuk itu pendekatan yang akan dilakukan sebagai default adalah pendekatan yang paling sederhana, yaitu standardized approach. Artinya seluruh bank akan melakukan penyesuaian perhitungan kecukupan permodalan berdasarkan pedoman yang diatur dalam Basel II. Basel II juga memungkinkan adanya pengaturan yang disebut national descretion, suatu pertimbangan yang diputuskan oleh otoritas pengawas setempat yang mempertimbangkan kondisi dan kompleksitas dari produk perbankan Indonesia. Untuk mendapatkan rekomendasi pengaturan yang tepat dalam pembahasan substansi Basel II termasuk national descretion, Bank Indonesia membentuk kelompok kerja (working group) bersama perbankan. Rekomendasi pengaturan akan diformulasikan dalam bentuk Consultative Paper (CP) yang akan didistribusikan kepada stakeholders khususnya perbankan untuk dimintakan masukan/pendapat dan saran 9

10 Selama ini banyak salah paham khususnya di kalangan perbankan bahwa nantinya bank akan diwajibkan untuk menerapkan pendekatan yang lebih advanced, sehingga mewajibkan bank harus menginvestasikan lebih untuk IT/Database yang dinilai sangat mahal dan ini jelas memperberat bank. Pada prinsipnya bank diberikan keleluasaan untuk dapat menerapkan pendekatan yang lebih advanced seperti IRB apabila dari kesiapan IT, SDM dan System serta Bank Risk Profile yang mendukung diyakini dengan menerapkan pendekatan yang lebih advanced bank dapat memperoleh benefit, maka bank dimaksud dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia. Pengawas BI akan melakukan validasi terhadap kesiapan bank dimaksud sebelum mengijinkan bank menghitung kecukupan modal dengan perhitungan yang dilakukan sendiri. Bank Indonesia sedang mendidik khusus pengawas bank yang nanti akan bertindak sebagai validator market risk dan validator credit risk. P I L L A R 1 P I L L A R 2 PILLAR 3 Penerapan Pendekatan Perhitungan Risiko Penerbitan PBI Parallel Run (Standardized) 1) atau Efektif Proses Validasi Perhit. CAR (Internal Model) Risiko Lainnya 4) Penerbitan PBI Efektif Perhit. CAR Transparansi Penerbitan PBI Market Risk Standardized 2) Q Q Q Q Q Internal Model 3) Q dimulai Q Q Q Credit Risk Standardized Q Q Q Q Q IRBA 3) Q dimulai Q Q Q Operational Risk Basic Indicator Q Q Q Q Q Standardized 3) Q dimulai Q Q Q AMA 3) Q dimulai Q Q Q Q Q Implementasi Basel II di Negara Lain Berbeda dengan negara-negara G-10, tenggat waktu implementasi Basel II bagi negara-negara di luar anggota G-10 tidak ditetapkan. Ini sejalan dengan keberadaan Basel II yang pada dasarnya bukan suatu undang-undang yang legally binding dan mengenakan sanksi bagi negara yang tidak menerapkan. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa penilaian terhadap stabilitas sektor finansial suatu negara tidak akan didasarkan pada pelaksanaan Basel II tapi lebih didasarkan pada pemenuhan negara tersebut terhadap 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision (BCP). Untuk hal ini, pemenuhan Indonesia terhadap BCP selalu menunjukkan arah yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. 10

11 Memang ragam kesiapan dan kebijakan masing-masing negara dalam mengimplementasikan Basel II akan sangat unik. Kondisi, struktur dan kompleksitas kegiatan usaha perbankan serta kualitas pengawasan bank menjadi faktor-faktor yang turut berperan dalam penetapan kebijakan tersebut. Di Amerika Serikat, misalnya, advanced IRB (A-IRB) hanya akan diadopsi oleh 10 grup bank terbesar yang memang telah dikenal sebagai internationally active banks, sementara bank-bank lainnya akan menerapkan format Basel II yang disebut Basel IA. 11

12 Permodalan Bank Permodalan bagi bank sebagaimana perusahaan pada umumnya berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. Selain itu modal juga berfungsi untuk menjaga kepercayaan terhadap aktivitas perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi atas dana yang diterima dar nasabah. Merupakan tugas pengawas bank yang memberikan aturan mengenai modal. Regulatory Capital merupakan modal yang dipersyaratkan oleh otoritas pengawas untuk disiapkan dalam rangka mengatasi kerugian potensial. Persyaratan Regulatory Capital merupakan salah satu kompponen utama dari pengawasan bank yang tercermin dalam definisi modal regulatory dan rasio kecukupan modal (CAR) Rasio Kecukupan Modal (CAR) Rasio ini bertujuan untuk memastikan bahwa bank dapat menyerap kerugian yang timbul dari aktivitas yang dilakukan. Rasio regulatory yang sudah dikenal adalah rasio minimum sebesar 8%. Hal ini menghubungkan modal bank dengan bobot risiko dari aset yang dimiliki. Beberapa bank telah menggunakan pendekatan penilaian kebutuhan modal sebagai fungsi dari manajemen risiko. Umumnya, bank akan menilai jumlah modal yang dibutuhkannya untuk menutupi kerugiannya hingga suatu probabilitas tertentu. Modal merupakan sumber daya dari bank yang sangat mahal sehingga bank harus memiliki insentif yang kuat untuk mengaturnya seefektif mungkin. Sejak pertengahan 1990, beberapa intitusi yang besar dan paling sophisticated telah mengembangkan berbagai macam ukuran economic capital dan secara spesifik menyatukan sistem manajemen risiko untuk mengelola risiko dan modal lebih efisien Tujuan dari pengawasan bank adalah untuk memastikan bahwa bank beroperasi dengan aman dan sehat. Untuk kepentingan ini maka bank harus menjaga modal dan cadangan yang cukup untuk mendukung risiko yang timbul dari dari bisnisnya. Prinsip utama dari The Basel Committee on Banking Supervision s (BCBS) menyatakan bahwa pengawas bank harus menetapkan persyaratan modal minimum yang aman dan tepat untuk semua bank. 12

13 Untuk memastikan kestabilan dan kesehatan sistem keuangan merupakan tujuan yang dimiliki oleh semua otoritas pengawas perbankan. Sejak akhir 1980, penggunaan perhitungan permodalan bank secara standar yang berdasarkan pedoman BCBS telah diikuti secara internasional untuk mencapai tujuan tersebut. Definisi dari regulatory capital Definisi umum dari regulatory capital dibuat pada tahun 1988 dalam Basel I - pendekatan umum pertama untuk kecukupan modal. Definisi ini tetap sama hingga saat ini dan diterapkan dalam Basel II. Definisi tersebut menyatakan bahwa modal regulatory terdiri dari 3 tingkatan (atau tier) modal. Sebuah item dapat dikelompokkan ke dalam salah satu tier jika memenuhikriteria tertentu yang telah ditentukan. Definisi dari regulatory capital menetapkan kriteria yang dibolehkan untuk dikelompokkan sebagai komponen modal, sehingga menjamin kesesuaian kriteria antar negara-negara yang telah menggunakan Basel I. Hal ini telah mendorong penyelarasan antar bank-bank, terutama bank yang aktif secara internasional Rasio Modal Minimum Persyaratan minimum regulatory capital dibentuk berdasarkan 2 komponen: 1. Definisi dari regulatory capital - daftar dari elemen yang termasuk modal untuk tujuan regulatory capital dan kondisi-kondisi dari yang harus dipenuhi oleh elemen-elemen tersebut agar dapat diperhitungkan sebagai modal. 2. Bobot risiko dari aset - yaitu, semua eksposur setelah dikonversi menjadi aset dan telah mendapatkan bobot risiko dari pengawas berdasarkan tingkat risikonya. 13

14 Bobot risiko Bobot risiko pengawas adalah persentase yang digunakan untuk mengubah jumlah nominal dari ekposur kredit menjadi jumlah ekposur yang berisiko. Jumlah modal yang bank harus cadangkan untuk menutupi kerugiaan potensial yang berhubungan dengan eksposur didapat dari jumlah ekposur yang berisiko dengan mengkalikan bobot risiko aset dengan persyaratan modal minimum (i.e 8%) Dibawah Basel I dan Basel II, definisi dari regulatory capital terdiri dari 3 level (atau tier) modal. Sebuah item dapat dikualifikasikan pada suatu tier jika memenuhi spesifikasi tertentu. Tier tersebut adalah: o Modal Tier 1 (atau modal Inti). Tier ini terdiri dari elemen yang memiliki kapasitas terbesar untuk menyerap kerugian yang terjadi setiap saat. o Modal Tier 2 (atau modal pelengkap). Tier ini dibentuk dari campuran komponen ekuitas secara umum (a broad mix of near equity components) dan modal hybrid/instrumen hutang. Total dari tier 2 dibatasi hingga 100% dari modal tier 1. dari terbagi menjadi dua kategori: Tier 2 atas, dimana dibatasi hingga 100% dari modal tier 1 Tier 2 bawah, dimana dibatasi hingga 50% dari modal tier 1 o Modal Tier 3 (atau modal pelengkap tambahan) ditambahkan pada tahun 1995 dan hanya digunakan untuk memenuhi persyaratan modal pada risiko pasar. Untuk memenuhi persyaratan modal minimum (atau rasio solvency), ditentukan oleh 2 komponen yaitu: o Bobot risiko aset bank - yaitu, semua eksposur bank yang diubah menjadi aset kemudian setiap eksposur dikalikan oleh bobot risiko pengawas berdasarkan tingkat risikonya o 2 rasio minimum (atau batas) yang berhubungan dengan modal regulatory dengan bobot risiko dari aset: Total regulatory capital dibagi dengan jumlah bobot risiko aset harus lebih besar atau sama dengan 8% Modal tier 1 dibagi dengan jumlah bobot risiko aset paling tidak harus sama dengan 4% 14

15 EVOLUSI BASEL II Basel Capital Accord Para pengawas bank meyakini bahwa bank harus menjaga kecukupan modalnya untuk mengcover seluruh risiko. Pada tahun 1988, Basel Committee on Banking Supervision menyetujui International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards lebih dikenal sebagai Basel Capital Accord. Diterapkan sepenuhnya pada tahun 1992, Capital Accord memperkenalkan dasar dari rezim perhitungan kecukupan modal yang sensitif pada risiko yang memberikan satu-satunya opsi dalam perhitungan kecukupan modal untuk bank-bank yang aktif secara internasional. Lebih dari satu dekade kemudian, evolusi perbankan diseluruh dunia dan kenyataan bahwa cara terbaik untuk menghitung, mengelola dan memitigasi risiko berbeda untuk masing-masing bank menyebabkan Basel Committee berinisiatif untuk merevisi Accord Proposal pertama dikeluarkan pada tahun 1999, dan diharapkan dapat diterapkan pada akhir tahun 2006, revisi Capital Accord - Basel II - merupakan suatu kesepakatan menyeluruh yang menetapkan suatu spektrum pendekatan yang lebih sensitif terhadap risiko dalam persyaratan perhitungan modal minimum bank, menyediakan proses review dalam rangka pengawasan bagi bank dalam menjaga tingkat permodalan yang sepadan dengan profil risiko mereka dan mendorong disiplin pasar dengan mempersyaratkan pengungkapan informasi yang terkait. Framework kecukupan permodalan yang baru - Basel II - lebih fleksibel dengan memberikan sejumlah pendekatan yang sensitif terhadap risiko dan insentif bagi penerapan manajemen risiko yang lebih baik. Dalam Basel II, bank diminta untuk mengalokasikan modal yang lebih kecil untuk counterparty yang memiliki peringkat lebih tinggi dan modal yang lebih besar untuk yang lebih berisiko. Framework tersebut disusun dalam tiga pilar yaitu: o Pilar 1 yang terkait dengan persyaratan modal minimum yang harus disediakan oleh masing-masing bank untuk mengcover eksposur kredit, pasar dan operasional. o Pilar 2 khusus terkait dengan proses review dalam rangka pengawasan yang bertujuan untuk memastikan bahwa tingkat permodalan bank mencukupi untuk mengcover risiko bank secara keseluruhan. 15

16 o Pilar 3 terkait dengan disiplin pasar dan rincian mengenai batas minimum untuk pengungkapan kepada publik. Pada bulan Juni 1999, Basel Committee mengeluarkan proposal pertama untuk menggantikan Accord 1988 dengan pendekatan yang lebih sensitif untuk mengcover risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional. Setelah dimodifikasi dan proses konsultasi secara luas, framework kecukupan modal yang baru - Basel II - dikeluarkan pada pertengahan tahun 2004, untuk diterapkan pada akhir tahun Pilar 1 memberikan pilihan kepada bank dua metodologi dalam perhitungan kecukupan modal untuk mengcover risiko kredit. Opsi pertama adalah mengukur risiko kredit dengan ketentuan standar yang didukung oleh penilaian kredit secara ekternal sebagaimana diberikan oleh lembaga pemeringkat. Metodologi lainnya, mengacu pada persetujuan dari pengawas, memungkinkan bank untuk menggunakan sistem pemeringkatan internal mereka. Pilar Definisi Modal Pilar 1 menetapkan persyaratan modal minimum yang terkait dengan risiko kredit, pasar dan operasional. Dalam Basel II, bank harus menjaga sekurang-kurangnya delapan persen dari modalnya terhadap aset tertimbang menurut risiko. Dalam konteks ini, modal dibagi menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: o Modal Tier 1 yang merupakan modal dasar yaitu saham ditambah saham utama nonkumulatif ditambah cadangan-cadangan dikurangi goodwill. o Modal Tier 2 terdiri dari nilai revaluasi aset dan cadangan umum maupun instrumen modal hybrid dan hutang subordinasi. Kategori modal ketiga, Modal Tier 3, ditambahkan dalam Amandemen Capital Accord tahun 1996 tetapi hanya digunakan untuk memenuhi proporsi persyaratan modal bank untuk risiko pasar. Kategori tersebut terdiri dari instrumen hutang subordinasi jangka pendek dengan karakteristik khusus. Modal dasar harus memenuhi sekurang-kurangnya 50 persen dari permodalan bank. Diikuti dengan modal Tier 2 yang tidak boleh melebihi 50 persen dari permodalan. 16

17 Pilar Risiko Kredit Basel II memungkinkan lembaga keuangan untuk menghitung risiko kredit untuk memenuhi ketentuan permodalan dengan menggunakan salah satu dari dua cara sebagai berikut: o Berdasarkan Standardised Approach (SA), bank menggunakan daftar pembobotan risiko dalam penrhitungan risiko kredit dari aset-aset bank. Pembobotan risiko dikaitkan dengan peringkat yang diberikan kepada pemerintah, lembaga keuangan dan perusahaan oleh lembaga pemeringkat eksternal. o Internal Rating-Based Approach (IRB) mengizinkan bank untuk menggunakan peringkat internal mereka terhadap counterparty dan eksposur yang dimiliki yang memungkinkan pembedaan risiko yang lebih rinci dari berbagai eksposur sehingga menghasilkan tingkat permodalan yang lebih sesuai dengan tingkatan risiko yang dihadapi. Risiko Kredit ---- Standardised Approach Berdasarkan standardised approach, bank mengalokasikan satu bobot risiko untuk setiap aset dan pos-pos off-balance sheet yang menghasilkan jumlah keseluruhan aset tertimbang menurut risiko sebagai berikut: ATMR = Jumlah eksposur x bobot risiko Alokasi untuk masing-masing bobot risiko didasarkan pada kategori umum dari debitur (pemerintah, bank atau perusahaan), yang selanjutnya diklasifikasikan kembali dengan peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkat kredit eksternal. Standardised approach menetapkan bobot risiko berdasarkan perbedaan kenis aset dan menggunakan penilaian kredit eksternal untuk meningkatkan sensitivitas terhadap risiko dibandingkan dengan Accord yang digunakan saat ini. Bobot risiko untuk pemerintah, antar bank dan eksposur perusahaan dibedakan berdasarkan penilaian kredit eksternal. Contoh Bobot Risiko Lihat bobot risiko dalam tabel pemerintah, bank dan perusahaan. Bobot risiko 100 persen menghasilkan bebena modal sebesar 8% dari nilai eksposur. Hal yang sama, bobot risiko 20% menghasilkan beban modal setara dengan 1,6% (20% x 8%) dari eksposur. Terdapat beberapa bobot risiko lain sesuai dengan perbedaan jenis eksposur. Beberapa kategori bobot risiko yang diterapkan: 17

18 - Eksposur untuk rumah tinggal yang memenuhi kriteria kehati-hatian yang ketat ditetapkan sebesar 35%; - Eksposur retail ditetapkan sebesar 75% (pinjaman kepada usaha kecil dan menengah yang memenuhi kriteria tertentu dapat diperlakukan sebagai retail); - Eksposur properti komersial dengan pengecualian terbatas untuk kondisi tertentu ditetapkan sebesar 100%; - Eksposur yang berisiko tinggi seperti pinjaman yang telah jatuh tempo ditetapkan sebesar 150%; - Bagian-bagian sekuritisasi yang berperingkat BB+ and BB- ditetapkan sebesar 350%. Risiko Kredit ---- IRB Approach IRB approach mengakui bahwa bank secara umum lebih mengetahui debitur mereka dibandingkan lembaga pemeringkat. Pendekatan ini memungkinkan bank untuk menerapkan diferensiasi yang lebih tepat untuk masing-masing risiko dibandingkan tujuh kelompok risiko (0, 20, 35, 50, 75, 100 dan 150%) yang terdapat dalam standardised approach. Terdapat dua pendekatan dalam IRB, dimana kedua pendekatan tersebut mengacu pada standar pengungkapan dan metodologi yang ketat serta persetujuan pengawas: - Foundation IRB - bank menghitung probability of default yang terkait dengan masingmasing debitur dan pengawas menyediakan input lainnya seperti loss given default dan exposure at default. - Advanced IRB - selain dari PD, bank menambahkan input lainnya seperti exposure at default, loss given default dan jangka waktu. Persyaratan untuk pendekatan ini lebih ketat. Insentif Penetapan ketentuan permodalan dirancang untuk mendorong bank berpindah dari standardised approach ke IRB approach dan dari Foundation IRB ke Advanced IRB. Dengan berpindah ke pendekatan yang lebih maju, yang berarti keterkaitan yang lebig akurat antara modal dengan risiko, banyak bank akan mendapatkan pengurangan dari modal yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan. Namun demikian, terdapat kemungkinan bahwa portofolio bank, secara rata-rata, lebih tinggi dan IRB approach mempersyaratkan standard yang lebih tinggi dibandingkan standardised approach. 18

19 Komponen Pembobotan Risiko - Probability of Default adalah kecenderungan bahwa suatu debitur akan default terhadap kewajibannya. Seluruh bank harus menyediakan perhitungan internal mengenai PD dari debiturnya untuk masing-masing kelompok debitur. - Loss Given Default (LGD) adalah persentase kerugian yang diperkirakan oleh pemberi kredit jika suatu debitur default. - Exposure at Default (EAD) adalah perkiraan nilai eksposur dari debitur tertentu pada saat terjadi default. - Maturity (M) adalah jangka waktu efektif (dalam tahun) dari eksposur bank. Kelompok Aset - Eksposur Perusahaan - kewajiban hutang dari perusahaan, kerjasama atau kepemilikan. Kelompok eksposur perusahaan dibagi menjadi lima kelompok sub-aset: pembiayaan proyek, pembiayaan objek, pembiayaan komoditas, real estate yang menghasilkan pendapatan dan real estate komersial yang memiliki volatilitas tinggi. - Eksposur Bank - eksposur kepada bank dan perusahaan sekuritas. - Eksposur Pemerintah - ekpsosur kepada pemerintah, bank sentral, public sector entities dan MDBs. - Eksposur Retail - eksposur untuk pinjaman retail, termasuk peinjaman kepada perorangan, usaha kecil, kartu kredit, kredit modal kerja, rumah tinggal dan kredit angsuran. Basel II mengidentifikasi 2 sub-kelompok yaitu: eksposur yang dijamin dengan rumah tinggal, retail dengan kualifikasi tertentu dan kredit retail lainnya. - Eksposur Ekuitas - kepemilikan dalam perusahaan, kerjasama dan perusahaan bisnis lainnya. Pilar Mitigasi Risiko Kredit Risiko kredit dari pemberi pinjaman dimitigasi jika debitur memberikan agunan atau pihak ketiga menjamin kewajiban debitur, ketika bank membeli proteksi kredit, sebagai contoh melalui derivatif kredit, dan lain-lain. Basel II memberikan pengakuan yang lebih luas terhadap teknik-teknik mitigasi risiko kredit dibandingkan Accord Basel II memungkinkan bank untuk mengakui agunan-agunan sebagai berikut: - Kas - Surat hutang tertentu yang diterbitkan oleh pemerintah, public sector entities, bank, perusahaan dan perusahaan sekuritas - Sekuritas ekuitas tertentu yang dapat diperdagangkan 19

20 - Reksadana tertentu - Emas Untuk bank yang menggunakan standardised approach untuk menghitung risiko kredit, Basel II menetapkan dua kemungkinan pendekatan, yaitu: - Simple approach yang memungkinkan tagihan yang dijamin menerima bobot risiko yang dikenakan kepada instrumen agunan dengan batasan terendah sebesar 20%. - Comprehensive approach terfokus pada nilai tunai dari agunan. Pendekatan ini menggunakan haircut untuk memperhitungkan volatilitas nilai agunan. Haircut dapat berupa haircut standar yang telah ditetapkan (ditetapkan oleh Basel Committee) atau menggunakan estimasi volatilitas agunan yang disusun oleh bank. Bagi bank yang diizinkan menggunakan peringkat internal mereka, simple approach sebagaimana digambarkan diatas tidak berlaku. Bagi bank-bank yang menggunakan IRB, komponen LGD akan disesuaikan untuk menggambarkan manfaat penggunaan agunan untuk mengurangi kerugian. Sekuritisasi Aset Sekuritisasi adalah teknik yang digunakan bank untuk antara lain memindahkan risiko dan mendapatkan likuiditas. Dalam bentuk tradisional, aset bank dimasukkan dlam satu kelompok yang selanjutnya dijual dengan menerbitkan sekuritas yang dijamin dengan kelompok aste tersebut. Dalam Basel II, bank harus menerapkan kerangka sekuritisasi dalam menetapkan kebutuhan modal terhadap eksposur yang berasal dari sekutitisasi tradisional dan sintetis atau struktur yang sama yang memuat fitur-fitur tersebut. Oleh karena sekuritisasi dapat dilakukan dalam berbagai cara, penetapan modal dalam eksposur sekuritisasi harus ditetapkan berdasarkan muatan eksonomis dibandingkan bentuk legalnya. Hal yang sama, pengawas akan lebih menitikberatkan perhatiannya pada muatan ekonomis dari transaksi untuk menetapkan apakah hal tersebut mengacu pada kerangka sekuritisasi dalam kaitannya dengan penetapan kebutuhan permodalan. Dalam sekuritisasi, bank dapat berperan sebagai kreditur asal atau investor dari aset yang disekuritisasi dan peran yang sebebnarnya dari dua ketgori ini sangat bervariasi. Bagaimanapun bentuknya, Basel II menekankan bahwa bank harus mengalokasikan modal terhadap berbagai bentuk sekuritisasi. 20

21 Pilar Risiko Pasar Sejak 1 Januari 1998, perbankan dinegara-negara G 10 dipersyaratkan untuk menyediakan modal untuk mengcover risiko pasar (hal ini mengacu pada amandemen risiko pasar dari Basel Accord). Persyaratan permodalan bank untuk risiko pasar ditetapkan dengan menggunakan dua metode: Standardised approach mengadopsi apa yang disebut pendekatan building bock untuk transaksi yang terkait dengan suku bunga dan instrumen ekuitas yang membedakan persyaratan modal (beban modal) untuk risiko spesifik dari risko pasar yang umum. Internal model approach yang memungkinkan bank menggunakan metode yang dikembangkannya sendiri yang harus memenuhi kriteria kualitatif dan kuantitatif yang ditetapkan Basel Committee dan mengacu pada persetujuan dari otoritas pengawas. Internal Model Approach Internal model approach menetapkan beban modal yang lebih tinggi terhadap VaR hari sebelumnya atau rata-rata nilai VaR harian selama 60 hari kerja dikalikan dengan tiga fakto minimum. Bank harus menghitung nilai VaR berdasarkan nilai harian dengan: - One-tailed confidence interval sebesar 99% - Holding periode minimum selama 10 hari - Periode pengamatan minimum selama satu tahun Internal model yang digunakan bank harus secara akurat mencakup risiko-risiko tertentu yang terkait dengan option dan instrumen seperti option. 21

22 Pilar Risiko Operasional Risiko operasional didefinisikan oleh Basel Committee sebagai risiko yang baik langsung maupun tidak langsung berasal dari ketidakmampuan atau kegagalan proses internal, orang-orang dan sistem maupun kejadian-kejadian eksternal. Terdapat tiga pendekatan dalam menetapkan beban modal untuk risiko operasional: o Basic Indicator Apparoach menetapkan beban modal untuk risiko operasional sebesar persentase tertentu (disebut alpha factor ) dari gross income yang digunakan sebagai perkiraan terhadap eksposur risiko bank. Dalam pendekatan ini, modal yang harus dialokasikan bank terhadap kerugian yang berasal dari risiko operasional sama dengan persentase tertentu dari rata-rata gross income tahunan selama periode tiga tahun. o Standardised Approach mempersyaratkan suatu institusi untuk memisahkan kegiatannya menjadi delapan lini bisnis standar, sebagai contoh perbankan retail, pembiayaan korporasi, dan lain-lainnya. Beban modal untuk masing-masing lini bisnis dihitung dengan mengalikan gross income untuk masing-masing lini bisnis tersebut dengan suatu angka (disebut beta ) yang ditetapkan untuk masing-masing lini bisnis. Angka beta akan berbeda untuk masing-masing lini bisnis. o Dalam Advanced Measurement Approach, perhitungan kebutuhan modal akan sama dengan pengukuran risiko yang dihasilkan dari sistem pengukuran risiko operasional yang digunakan secara internal oleh bank. Bank harus memenuhi kriteria kualitatif dan kuantitatif sebagaimana ditetapkan dalam Basel II dan harus disetujui oleh pengawas. Perhitungan Kebutuhan Modal Basel II mempersyaratkan bahwa bank harus menyediakan modal sebesar 8% terhadap aset tertimbang menurut risiko, dihitung sesuai dengan rumusan sebagai berikut: Sebagai contoh, suatu bank memiliki jumlah ATMR sebesar USD10 miliar, beban modal untuk risiko pasar sebesar USD300 juta dan beban modal untuk risiko operasional sebesar USD100 juta. Kebutuhan modal minimum untuk bank tersebut adalah: = (USD 10 miliar + 12,5 x (USD300 juta + USD100 juta) x 8% = USD1,2 miliar Hal ini berarti bank tersebut harus menyediakan modal sekurang-kuranganya USD1,2 miliar. 22

23 Pilar 2 dan 3: Pengawasan dan Pengungkapan Jika Pilar 1 memiliki dampak yang jelas dan terukur terhadap bank (sehingga dibutuhkan perhatian yang lebih banyak terhadap Pilar 1), Pilar 2 dan Pilar 3 juga merupakan elemen yang penting dalam Basel II. Pilar 2 menekankan pada proses review dalam rangka pengawasan yang bertujuan untuk memastikan bahwa bank memelihara tingkat permodalan yang sepadan dengan profil risiko mereka. Pilar 3 mempersyaratkan bank untuk mengungkapkan informasi yang mencukupi untuk memfasilitasi pelaku pasar memahami risiko-risiko yang dihadapi bank yang memungkinkan penerapan disiplin pasar. Pilar Proses Review Dalam Rangka Pengawasan Proses review dalam rangka pengawasan bertujuan untuk memastikan bahwa bank menghitung kecukupan modal mereka dikaitkan dengan keseluruhan risiko yang dihadapi dan pengawas menilai da n mengambil tindakan yang diperlukan guna merespon perhitungan modal yang dilakukan bank. Pengawas dapat meminta bank untuk menyediakan modal melebihi rasio permodalan minimum atau melakukan langkah-langkah perbaikan seperti memperkuat manajemen risiko terkait atau praktek-praktek lainnya. Jika diperlukan rasio yang lebih tinggi, pengawas perlu melakukan intervensi jika modal bank berada dibawah batasan tersebut. Pilar 2 mempersyaratkan bank untuk melakukan stress test guna memperkirakan besarnya kebutuhan modal berdasarkan perhitungan IRB pada kondisi krisis. Hasil dari tes tersebut harus digunakan bank dan pengawas untuk memastikan bahwa bank memiliki permodalan yang mencukupi. Pilar 2 memiliki empat prinsip utama yaitu: o Bank harus memiliki proses untuk menghitung kecukupan modal secara keseluruhan berdasarkan profil risiko mereka termasuk strategi untuk memelihara tingkat permodalan; o Pengawas harus mereview dan menevaluasi strategi dan perhitungan kecukupan modal yang dilakukan secara internal oleh bank, dan kemampuan bank untuk memonitor dan memastikan kepatuhan terhadap rasio permodalan yang ditetapkan; 23

24 o Pengawas dapat meminta lembaga keuangan untuk beroperasi diatas rasio permodalan yang ditetapkan dan memiliki kemampuan untuk meminta bank menyediakan modal diatas batas minimum; o Pengawas dapat melakukan intervensi secara dini untuk mencegah menurunnya modal bank dibawah batas minimum dean memastikan bahwa bank melakukan langkahlangkah perbaikan jika tingkat permodalan tidak dijaga atau kembali keposisi semula. Pilar Pengungkapan Kepada Pasar Pilar 3 menetapkan persyaratan pengungkapan yang memungkinkan pelaku pasar untuk menilai informasi-informasi utama mengenai cakupan risiko, modal, eksposur risiko, proses pengukuran risiko dan kecukupan modal bank. Dalam beberapa kasus, pengungkapan merupakan kriteria khusus dalam Pilar 1 untuk mendapatkan pembobotan risiko yang lebih rendah dan/atau untuk dapat menerapkan metodologi tertentu. Diharapkan akan adanya sanksi langsung karena tidak memnuhi persyaratan pengungkapan tersebut (seperti tidak diizinkan untuk mendapatkan bobot risiko yang lebih rendah atau menggunakan metodologi tertentu). Pilar 3 juga mendiskusikan peranan dari informasi yang bersifat material, frekuensi pengungkapan dan isu mengenai informasi rahasia tau yang bersifat khusus. 24

25 Frequently Answer & Question 1. Apa itu BIS? The Bank for International Settlement (BIS) merupakan organisasi internasional yang mendorong kerjasama moneter dan keuangan secara internasional dan melakukan tugas sebagai bank bagi bank sentral. Untuk memenuhi kewajibannya BIS melakukan tugas sebagai berikut o Sebagai forum untuk mendorong diskusi dan analisa kebijakan antar bank sentral dan komunitas keuangan internasional o Sebagai pusat penelitian untuk ekonomi dan moneter o Sebagai rekan kerja utama bagi bank sentral dalam transaksi keuangan o Sebagai agen atau wakil dalam hubungannya dengan kegiatan keuangan internasional 2. Apa itu the Basel Committee on Banking Supervision? The Basel Committee on Banking Supervision atau lebih dikenal dengan komite Basel, merupakan komite yang dibentuk secara sukarela dan tidak memiliki badan otoritas pengawasan lintas negara yang resmi, sehingga semua keputusannya tidak dan tidak pernah dimaksudkan untuk memliki kekuatan hukum. Basel Committee, didirikan oleh para gubernur bank sentral dari negara-negara G 10 pada akhir tahun 1974, bertemu empat kali setahun. Negara-negara tersebut diwakili oleh bank sentral dan juga otoritas yang bertanggungjawab terhadap pengawasan bisnis perbankan dimana kewenangan tersebut tidak berada di bank sentral. Committee mengembangkan pedoman kebijakan dimana otoritas pengawas dimasing-masing negara dapat menetapkan kebijakan pengawasan yang akan mereka terapkan. Basel Committee merumuskan standar dan pedoman pengawasan yang bersifat umum dan memberikan penyataan yang berlaku secara umum (best practice), dengan harapan masingmasing otoritas akan akan mengambil langkah untuk menerapkan standar yang dibuat oleh komite melalui pengaturan melalui undang-undang yang cocok dengan sistem negara masingmasing. Hal utama dari upaya Basel Committee terkait dengan penetapan standar permodalan minimum untuk bank-bank diseluruh dunia. Basel Capital Accord yang pertama 25

26 dipublikasikan pada bulan Juli 1988 dan diterapkan sepenuhnya oleh seluruh anggota Basel Committee pada tahun Disepakati bahwa penerapan ditujukan untuk bank-bank yang aktif secara internasional. Namun demikian, Basel Accord diterima secara luas oleh perbankan dan otoritas pengawas secara internasional dan lebih dari 100 negara didunia telah mengadopsi Basel Accord. 3. Apakah perbedaan Basel I dengan Basel II? Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord untuk menentukan persyaratan modal yang berhubungan dengan risiko kredit dan pasar, serta mengembangkan sensitivitas dari kerangka modal sehingga lebih menggambarkan risiko sesungguhnya yang dihadapi oleh bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional Namun demikian, secara umum komite Basel mempertahankan tingkat agregate dari persyaratan minimum dan memberikan insentif untuk menerapkan pendekatan tingkat lanjut yang lebih sensitif terhadap risiko dari kerangka pada Basel II Basel II menyatukan persyaratan modal minimum dengan peninjauan oleh pengawas (supervisory review) dan disiplin pasar (market discipline) untuk mendorong pengembangan dari manajemen risiko. 4. Apakah tujuannya Basel? Tujuan yang ingin dicapai pada Basel I dan Basel II pada dasarnya adalah sama yaitu yang pertama adalah kerangka Basel I diharapkan untuk memperkuat tingkat kesehatan dan stabilitas sistem perbankan internasional. Yang kedua adalah kerangka Basel I pada penerapannya dinegara-negara yang berbeda diharapkan akan fair dan memiliki tingkat konsisten yang tinggi dalam pandangan untuk mengurangi sumber kompetisi yang tidak sama antara bank yang berskala internasional Pada kerangka Basel II, Komite meyakinin perubahan pendekatan yang ada akan mendorong industri perbankan untuk menggunakan metode manajemen risiko yang lebih baik. 26

27 5. Apakah sebuah negara wajib menerapkan Basel II? Semua negara tidak wajib menerapkan Basel II. Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh BIS tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat suatu negara. Oleh karena itu penerapan Basel II merupakan keputusan dari masing-masing negara dengan mempertimbangkan kesiapan kondisi perbankan dari masing-masing negara 6. Apa dampak yang didapat oleh sebuah negara jika menerapkan Basel II? Bagi negara yang menerapkan Basel II diharapkan dapat memperkuat kestabilan sistem keuangan dengan jalan mendorong pengembangan manajemen resiko dan kecukupan modal dalam dunia perbankan. Selain itu juga penerapan Basel II diharapkan dapat o Meningkatkan pengaturan korporasi (corporate governance) dan manajemen risiko o Meningkatkan alokasi modal dan struktur permodalan yang kuat o Meningkatkan standar transparansi o Meningkatkan proses dan pelaksanaan pengawasan 7. Apakah Basel II dapat diterapkan di Indonesia? Dapat. Karena Basel II merupakan suatu kerangka kebijakan yang dibuat secara umum, dan merupakan suatu konsep yang telah umum (best practices) diterapkan didunia. Sehingga konsep pada Basel II dapat diterapkan dinegara mana saja, termasuk Indonesia. 8. Kenapa Basel II harus diterapkan di Indonesia? Karena Basel II memiliki kerangka perhitungan persyaratan modal yang lebih mencerminkan risiko bank sesungguhnya. Selain itu dalam perhitungan persyaratan modal, telah memperhitungkan berbagai risiko secara lebih komprehensif. Hal ini akan mendorong bank untuk meningkatkan manajemen risiko untuk mendapatkan economic capital yang lebih tepat. Dan juga mendorong pengawas serta pelaku pasar untuk berperan lebih besar dalam stabilitas sistem keuangan. 9. Apakah tepat bagi Indonesia untuk mengimplementasikan Basel II dalam waktu dekat? Tepat. Karena sejak penerapan Basel I, dunia perbankan Indonesia telah mengalami perubahan akibat dari o Globalisasi o Pengembangan teknologi o Inovasi pada dunia keuangan 27

28 Selain itu, Basel I hanya fokus kepada risiko kredit dan pasar sehingga membuat penyederhanaan asumsi terhadap risiko tidak akan bisa menjaga kesehatan bank. Basel II memberikan suatu kerangka yang dapat menjaga kesehatan dan kestabilan perbankan dengan cara: o Peningkatan pada proses internal o meningkatkan penggunaan praktek manajemen risiko yang lebih maju dan sophisticated. o Pengukuran risiko yang lebih menggambarkan pada risiko sebenarnya pada bank o Meningkatkan transparansi 10. Pendekatan apa yang akan diterapkan di Indonesia? Bank Indonesia akan menerapkan pendekatan standar, internal based-rating maupun advanced. Pendekatan tersebut akan dilakukan secara bertahap. Pemilihan terhadap pendekatan yang akan digunakan merupakan keputusan yang diambil oleh masing-masing bank dengan persetujuan dari pengawas 11. Apakah bank dapat memilih pendekatan yang digunakan? Ya, bank dapat memilih pendekatan yang akan digunakan. Namun untuk menggunakan pendekatan selain dari pendekatan standar harus mendapatkan ijin dari pengawas. Dan apabila bank telah menggunakan pendekatan internal rating-based ataupun advanced, maka bank tidak dibolehkan untuk mengganti pendekatan yang digunakan menjadi pendekatan standar tanpa adanya persetujuan dari pengawas 12. Apakah bank diwajibkan menggunakan pendekatan internal based-rating atau advanced? Tidak, bank tidak diwajibkan untuk menggunakan pendekatan internal based-rating ataupun advanced. Pemilihan pendekatan yang akan digunakan diserahkan sepenuhnya pada keputusan masing-masing bank. Jika bank tidak dapat menerapkan pendekatan yang menggunakan internal rating-based maupun advanced maka bank didorong untuk tetap menggunakan pendekatan standar. 28

29 PENJELASAN BEBERAPA TERMINOLOGI - Pilar 1: ketentuan yang menetapkan rasio modal minimum terhadap aset tertimbang menurut risiko; - Pilar 2: Pilar review dalam rangka pengawasan, yang mempersyaratkan pengawas untuk melakukan review kualitatif terhadap teknik-teknik alokasi modal yang digunakan bank dan pemenuhan standar yang relevan; - Pilar 3: Persyaratan pengungkapan yang memfasilitasi disiplin pasar; - Peringkat internal: Hasil dari pengukuran risiko yang dilakukan oleh bank terhadap portofolio kreditnya; - Penilaian Kredit Eksternal: Peringkat yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat ekternal; - Konsolidasi: Pengukuran risiko bank yang mencakup seluruh kelompok usaha bank; - Risiko operasional: Risiko yang terjadi baik langsung maupun tidak langsung yang berasal dari ketidakmampuan atau kegagalan proses internal, orang-orang dan sistem atau dari kejadian eksternal; - Risiko kredit: Risiko kerugian yang muncul dari kegagalan debitur atau counterparty memenuhi kewajibannya; - Risiko pasar: Risiko kerugian yang berasal dari posisi perdagangan ketika harga-harga mengalami perubahan; - Mitigasi risiko kredit: sejumlah teknik dimana bank dapat melindungi sebagian dari posisi yang dimilikinya terhadap kemungkinan kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya (sebagai contoh, dengan mengambil alih agunan atau mengeksekusi garansi atau membeli instrumen lindung nilai); - Sekuritisasi aset: pengelompokan aset atau kewajiban menjadi surat-surat berharga untuk dijual kepada pihak ketiga. 29

Sekilas Implementasi Basel II

Sekilas Implementasi Basel II Sekilas Implementasi Basel II Peningkatan Standardisasi Perhitungan Kecukupan Modal Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Singapore yang telah mengadopsi Kerangka Basel II tentang Risk Based Capital

BAB I PENDAHULUAN. Singapore yang telah mengadopsi Kerangka Basel II tentang Risk Based Capital BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PT. Bank UOB Indonesia sebagai salah satu anak perusahaan Grup UOB Singapore yang telah mengadopsi Kerangka Basel II tentang Risk Based Capital Adequacy Requirements

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank sebagai lembaga intermediasi berperan dalam pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional suatu negara karena bank mempunyai fungsi menyalurkan dana dari

Lebih terperinci

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya PBI

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5626 KEUANGAN. OJK. Manajemen. Resiko. Terintegerasi. Konglomerasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis keuangan global yang melanda seluruh dunia pada tahun 2008 atau yang lebih dikenal dengan Subprime Mortgage Crisis berawal dari krisis keuangan yang

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5861 KEUANGAN OJK. Bank. Manajemen Risiko. Penerapan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 53) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

POKOK POKOK PENGATURAN TENTANG PERHITUNGAN AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) UNTUK KREDIT USAHA KECIL (KUK)

POKOK POKOK PENGATURAN TENTANG PERHITUNGAN AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) UNTUK KREDIT USAHA KECIL (KUK) POKOK POKOK PENGATURAN TENTANG PERHITUNGAN AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) UNTUK KREDIT USAHA KECIL (KUK) Latar Belakang? Upaya mendorong penyaluran kredit kepada UMKM termasuk program Kredit Usaha

Lebih terperinci

menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro seperti yang

menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro seperti yang TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/20/PBI/2014 TANGGAL 28 OKTOBER 2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah sebuah lembaga yang diberikan izin oleh otoritas perbankan untuk menerima simpanan, memberikan kredit, dan menerima serta menerbitkan cek. Bank perlu di

Lebih terperinci

No. 14/37/DPNP Jakarta, 27 Desember 2012. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 14/37/DPNP Jakarta, 27 Desember 2012. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 14/37/DPNP Jakarta, 27 Desember 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai bank sentral, Bank

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM UMUM Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan erat dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain risiko kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty

I. PENDAHULUAN. lain risiko kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan usahanya, bank menghadapi berbagai risiko antara lain risiko kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu menghimpun dana dari masyarakat luas (funding) dan menyalurkannya

BAB I PENDAHULUAN. yaitu menghimpun dana dari masyarakat luas (funding) dan menyalurkannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank sebagai lembaga financial intermediary mempunyai fungsi utama, yaitu menghimpun dana dari masyarakat luas (funding) dan menyalurkannya dalam bentuk pinjaman

Lebih terperinci

BAB 1. dengan sifat bank sebagai lembaga yang highly geared. berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.

BAB 1. dengan sifat bank sebagai lembaga yang highly geared. berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, memiliki kemampuan untuk menyalurkan dana kepada para debiturnya dengan cara mendayagunakan dana dari para tabungan deposannya.

Lebih terperinci

Bank Danamon Laporan Tahunan Manajemen Risiko & Tata Kelola Perusahaan

Bank Danamon Laporan Tahunan Manajemen Risiko & Tata Kelola Perusahaan 54 Manajemen Risiko & Tata Kelola Perusahaan 55 Laporan Tahunan 2006 Bank Danamon Manajemen Risiko Risk architecture Bank Danamon telah terbukti efektif dalam masa-masa yang penuh tantangan. Pendahuluan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang Disampaikan kepada

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 8 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 8 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, - 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 8 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Pengelolaan Risiko Kredit

STIE DEWANTARA Pengelolaan Risiko Kredit Pengelolaan Risiko Kredit Manajemen Risiko, Sesi 6 Latar Belakang 1. Risiko Kredit didefinisikan sebagai risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank. 2. Pada

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2014 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SESUAI PROFIL RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2014 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SESUAI PROFIL RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH Yth. Bank Umum Syariah di tempat SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2014 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SESUAI PROFIL RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH Sehubungan dengan berlakunya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.53, 2016 KEUANGAN OJK. Bank. Manajemen Risiko. Penerapan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5861). PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

Konsep Dasar Kegiatan Bank

Konsep Dasar Kegiatan Bank REGULASI PERBANKAN Konsep Dasar Kegiatan Bank Bank berfungsi sebagai financial intermediary antara source of fund dan use of fund Use of fund Revenue Loan BANK Cost Deposit Source of fund Bank merupakan

Lebih terperinci

TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SESUAI PROFIL RISIKO DAN PEMENUHAN CAPITAL EQUIVALENCY MAINTAINED ASSETS

TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SESUAI PROFIL RISIKO DAN PEMENUHAN CAPITAL EQUIVALENCY MAINTAINED ASSETS Yth. Direksi Bank Umum Konvensional di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26 /SEOJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SESUAI PROFIL RISIKO DAN PEMENUHAN CAPITAL

Lebih terperinci

- 1 - TENTANG PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM

- 1 - TENTANG PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM - 1 - Yth. Direksi Bank Umum Konvensional di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /SEOJK.03/2017 TENTANG PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM Sehubungan dengan berlakunya Peraturan

Lebih terperinci

No.13/ 24 /DPNP Jakarta, 25 Oktober Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum

No.13/ 24 /DPNP Jakarta, 25 Oktober Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum No.13/ 24 /DPNP Jakarta, 25 Oktober 2011 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan. 1 Prinsip adoption at all costs approach harus dihindari, khususnya negara berkembang deng an sistem

Bab 1 Pendahuluan. 1 Prinsip adoption at all costs approach harus dihindari, khususnya negara berkembang deng an sistem Bab 1 Pendahuluan Sebagaimana diketahui, dalam arahan Gubernur Bank Indonesia yang disampaikan pada awal Januari 2005 yang terkait dengan kebijakan perbankan ke depan, Bank Indonesia dipastikan akan menerapkan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.03/2016 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.03/2016 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.03/2016 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Analisa pengaruh..., Wendy Endrianto, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Analisa pengaruh..., Wendy Endrianto, FE UI, 2010. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Topik Perkembangan perokonomian di era globalisasi yang menuntut kemajuan disegala sektor ini telah menjadikan bank sebagai salah satu sektor industri yang paling

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERBANKAN. BI. Makroprudensial. Pengaturan. Pengawasan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 141) PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN /POJK.03/2017 TENTANG

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN /POJK.03/2017 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 25 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/23/PBI/2011 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/23/PBI/2011 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/23/PBI/2011 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH UMUM Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN PERSIAPAN IMPLEMENTASI BASEL II DI BANK MEGA

BAB 4 PEMBAHASAN PERSIAPAN IMPLEMENTASI BASEL II DI BANK MEGA BAB 4 PEMBAHASAN PERSIAPAN IMPLEMENTASI BASEL II DI BANK MEGA Sehubungan dengan rencana pemerintah dalam melakukan implementasi Basel II pada industri perbankan di Indonesia dimana masih terdapat banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kesempatan (opportunity). Sedangkan ketidakpastian yang berdampak. merugikan dikenal dengan istilah resiko (risk).

BAB I PENDAHULUAN. dengan kesempatan (opportunity). Sedangkan ketidakpastian yang berdampak. merugikan dikenal dengan istilah resiko (risk). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Risiko menjadi bagian dari kehidupan manusia, karena manusia selalu dihadapkan dengan risiko baik risiko itu besar maupun kecil. Menurut Kountur, (2004)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian, memfasilitasi pertumbuhan ekonomi suatu negara untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian, memfasilitasi pertumbuhan ekonomi suatu negara untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbankan memiliki peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian, memfasilitasi pertumbuhan ekonomi suatu negara untuk memenuhi tantangan dunia usaha dan industri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah sebuah lembaga yang diberikan izin oleh otoritas perbankan untuk menerima simpanan, memberikan kredit, dan menerima serta menerbitkan cek. Bank perlu di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertindak sebagai perantara keuangan (financial intermediary), melakukan

BAB I PENDAHULUAN. bertindak sebagai perantara keuangan (financial intermediary), melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank merupakan lembaga keuangan yang menghubungkan antara pemilik dana dan yang membutuhkan dana. Bank yang dalam aktivitasnya bertindak sebagai perantara keuangan

Lebih terperinci

Ringkasan Kebijakan Manajemen Risiko PT Bank CIMB Niaga Tbk

Ringkasan Kebijakan Manajemen Risiko PT Bank CIMB Niaga Tbk Ringkasan Kebijakan Manajemen Risiko PT Bank CIMB Niaga Tbk Kebijakan ini berlaku sejak mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris pada bulan Mei 2018. Manajemen risiko merupakan suatu bagian yang esensial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibiayai, perbankan lebih memilih mengucurkan dana untuk kredit ritel dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibiayai, perbankan lebih memilih mengucurkan dana untuk kredit ritel dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat sebelum krisis tahun 1998 sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tidak dilirik oleh perbankan karena mereka menilai sektor ini tidak layak untuk dibiayai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit masih merupakan aktivitas yang dominan bagi usaha perbankan di Indonesia, atau dengan kata

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5929 KEUANGAN OJK. Bank. Modal. Kewajiban. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 188). PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas dana yang diterima dari nasabah. Sesuai dengan Undang undang RI nomor

BAB I PENDAHULUAN. atas dana yang diterima dari nasabah. Sesuai dengan Undang undang RI nomor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Sesuai dengan Undang undang RI nomor 10 tahun 1998 tentang

Lebih terperinci

2. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Sisa Jangka Waktu Kontrak (Dalam Jutaan Rp)

2. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Sisa Jangka Waktu Kontrak (Dalam Jutaan Rp) A. RISIKO KREDIT 1. Pegungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah. Tagihan bersih berdasarkan Wilayah Wilayah 1 Wilayah 2 Wilayah 3 Wilayah 4 Jakarta Medan Surabaya Lainnya (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5811 KEUANGAN. OJK. Bank Umum. Pemberian Remunerasi. Tata Kelola. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 371) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

2016, No Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu

2016, No Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu No.298, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN OJK. Syariah. Unit Usaha. Bank Umum. Manajemen Risiko. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5988) PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

9 31 Desember 2009 Unit Kontrol Tabel 1.a Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum (dalam Jutaan Rupiah) KOMPONEN MODAL Posisi

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat di Indonesia. Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998, bank didefinisikan. dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

BAB I PENDAHULUAN. pesat di Indonesia. Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998, bank didefinisikan. dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Industri perbankan merupakan salah satu industri dengan pertumbuhan yang pesat di Indonesia. Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998, bank didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5841 KEUANGAN OJK. Bank. Rencana Bisnis. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 17) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.188, 2016 KEUANGAN OJK. Bank. Modal. Kewajiban. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5929). PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

BAB III MEKANISME MANAJEMEN RISIKO DI BRI SYARI AH SIDOARJO. Bank BRI Syariah Sidoarjo berada di Jalan Jenggolo No. 84 Sidoarjo, depan Bank

BAB III MEKANISME MANAJEMEN RISIKO DI BRI SYARI AH SIDOARJO. Bank BRI Syariah Sidoarjo berada di Jalan Jenggolo No. 84 Sidoarjo, depan Bank BAB III MEKANISME MANAJEMEN RISIKO DI BRI SYARI AH SIDOARJO A. Gambaran Umum Bank BRI Syari ah Sidoarjo 1. Letak Geografis Bank BRI Syariah Sidoarjo berada di Jalan Jenggolo No. 84 Sidoarjo, depan Bank

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

RISK BASED CAPITAL : Dari Basel I menuju Basel II. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan

RISK BASED CAPITAL : Dari Basel I menuju Basel II. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan RISK BASED CAPITAL : Dari Basel I menuju Basel II Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Agenda 1.Pokok-Pokok Kerangka Basel II 2.Implementasi Basel II di Indonesia 2 Sejarah Basel Capital Adequacy

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Peran Bank

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Peran Bank 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Peran Bank Bank secara sederhana dapat diartikan sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dana tersebut ke masyarakat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kondisi industri bisnis di Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kondisi industri bisnis di Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kondisi industri bisnis di Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat berkembang pesat. Perkembangan dunia bisnis di Indonesia juga mengalami perubahan.

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KESEHATAN PERBANKAN BERDASARKAN METODE CAMELS

ANALISIS TINGKAT KESEHATAN PERBANKAN BERDASARKAN METODE CAMELS ANALISIS TINGKAT KESEHATAN PERBANKAN BERDASARKAN METODE CAMELS MUNGNIYATI STIE TRISAKTI mungniyati@stietrisakti.ac.id PENDAHULUAN K esehatan merupakan aspek yang sangat penting dalam berbagai bidang kehidupan.

Lebih terperinci

Tabel 1.a. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum (dalam jutaan rupiah) KETERANGAN

Tabel 1.a. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum (dalam jutaan rupiah) KETERANGAN Tabel 1.a. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum KETERANGAN Bank Konsolidasi (1) (2) (3) (4) I KOMPONEN MODAL A Modal Inti 1 Modal disetor 1,663,146 1,663,146 2 Cadangan tambahan modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem keuangan adalah sebuah set interaksi kompleks antara institusi keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem keuangan adalah sebuah set interaksi kompleks antara institusi keuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem keuangan adalah sebuah set interaksi kompleks antara institusi keuangan dan pasar yang menyalurkan dana untuk investasi dan penyediaan fasilitas, termasuk sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Bank merupakan bagian sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara, bahkan pada

Lebih terperinci

RISIKO KREDIT 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individu

RISIKO KREDIT 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individu RISIKO KREDIT 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individu Tagihan bersih berdasarkan wilayah Kategori Portofolio Kalimantan & Central Java East Java & Bali Jakarta Sumatera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melakukan berbagai transaksi bisnis dan pembayaran-pembayaran tagihan.

I. PENDAHULUAN. melakukan berbagai transaksi bisnis dan pembayaran-pembayaran tagihan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbankan Indonesia telah memainkan berbagai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Salah satu fungsi dari perbankan adalah intermediasi keuangan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perbankan Indonesia telah memainkan berbagai peranan penting dalam

I. PENDAHULUAN. Perbankan Indonesia telah memainkan berbagai peranan penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbankan Indonesia telah memainkan berbagai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Salah satu fungsi dari perbankan adalah intermediasi keuangan,

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/13/PBI/2007 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/13/PBI/2007 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/13/PBI/2007 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam perhitungan kecukupan

Lebih terperinci

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Kategori Portofolio Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah Jakarta Bandung Surabaya Semarang Medan Makassar Kalimantan Total

Lebih terperinci

FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ) PBI NO.16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL

FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ) PBI NO.16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL 1. Apa latar belakang penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial? a. Pengalaman krisis keuangan global menunjukkan pentingnya untuk menjaga stabilitas sistem

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /SEOJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /SEOJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN Yth. 1. Direksi Bank; 2. Direksi Perusahaan Asuransi dan Reasuransi; 3. Direksi Perusahaan Efek; dan 4. Direksi Perusahaan Pembiayaan; di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /SEOJK.03/2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan peran makhluk lain untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu dari

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan peran makhluk lain untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial, yang sudah pasti akan membutuhkan peran makhluk lain untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu dari sekian banyak kebutuhan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Kategori Portofolio Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah JAKARTA BANDUNG SURABAYA SEMARANG MEDAN MAKASSAR KALIMANTAN Total

Lebih terperinci

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Kategori Portofolio Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah JAKARTA BANDUNG SURABAYA SEMARANG MEDAN MAKASSAR KALIMANTAN Total

Lebih terperinci

Prinsip Kehati-hatian Bank Dalam Kegiatan Reksadana 1

Prinsip Kehati-hatian Bank Dalam Kegiatan Reksadana 1 Prinsip Kehati-hatian Bank Dalam Kegiatan Reksadana 1 Dr. Agus Sugiarto 2 Perkembangan penjualan reksadana yang sangat pesat dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini tidak terlepas dari besarnya peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi

BAB I PENDAHULUAN. signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri perbankan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi keuangan, moneter dan

Lebih terperinci

ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR : /POJK.../2015 TENTANG TATA KELOLA YANG BAIK DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BERDASARKAN KINERJA DAN RISIKO BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 18 /PBI/2012 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 18 /PBI/2012 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 18 /PBI/2012 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individual

Tabel 1.1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individual Tabel 1.1. Pengungkapan Bersih Berdasarkan Wilayah Bank secara Individual Posisi Juni 2017 Bersih Berdasarkan Wilayah Jakarta Sumatra Wilayah Timur Jaw a Total (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 kepada Pemerintah

Lebih terperinci

BAB 3 PEMBAHASAN. 3.1 Pendekatan Perhitungan Risiko Operasional

BAB 3 PEMBAHASAN. 3.1 Pendekatan Perhitungan Risiko Operasional BAB 3 PEMBAHASAN 3.1 Pendekatan Perhitungan Risiko Operasional Basel II Accord membolehkan bank untuk menggunakan salah satu dari tiga pendekatan untuk menghitung modal risiko operasional. Suatu bank memiliki

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS PEMBAHASAN 4.1. Strategi Sekuritisasi Aset pada Piutang Pembiayaan Konsumen Seperti telah diuraikan maka salah satu aset yang memungkinkan untuk disekuritisasi oleh Perseroan adalah piutang

Lebih terperinci

RISIKO PERBANKAN ANDRI HELMI M, SE., MM MANAJEMEN RISIKO

RISIKO PERBANKAN ANDRI HELMI M, SE., MM MANAJEMEN RISIKO RISIKO PERBANKAN ANDRI HELMI M, SE., MM MANAJEMEN RISIKO Introduction Bank adalah sebuah institusi yang memiliki surat izin bank, menerima tabungan dan deposito, memberikan pinjaman, dan menerima serta

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

LAMPIRAN II SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14/SEOJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN

LAMPIRAN II SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14/SEOJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN LAMPIRAN II SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14/SEOJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN - 1 - MATRIKS JENIS RISIKO, PARAMETER DAN INDIKATOR PENILAIAN

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil perhitungan diatas, berikut adalah tabel perhitungan RWA untuk masing-masing metode, yaitu: 1. Berdasarkan portfolio CRR (Customer Risk Rating)

Lebih terperinci

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /SEOJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK UMUM KONVENSIONAL

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /SEOJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK UMUM KONVENSIONAL Yth. Direksi Bank Umum Konvensional di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /SEOJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK UMUM KONVENSIONAL Sehubungan dengan berlakunya

Lebih terperinci

30-Jun-17 Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah. Jawa Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya Total

30-Jun-17 Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah. Jawa Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya Total Tabel 1.1 : Pengungkapan Risiko Kredit - Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individual Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah Jawa Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya Total (1) (2) (3)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan 31 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Risiko kredit atau dalam bahasa asing disebut credit risk adalah suatu potensi kerugian yang disebabkan oleh ketidak mampuan (gagal bayar) dari debitur

Lebih terperinci

PT Bank KEB Hana Indonesia Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu

PT Bank KEB Hana Indonesia Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu NO KATEGORI PORTOFOLIO Jawa Sumatera Sulawesi & Bali 1 Tagihan Kepada Pemerintah 5,300,126 - - 2 Tagihan Kepada Entitas Sektor Publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan menurunnya tingkat likuiditas di pasar keuangaan, karena

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan menurunnya tingkat likuiditas di pasar keuangaan, karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis keuangan global pada tahun 2008 merupakan krisis keuangan yang ditandai dengan menurunnya tingkat likuiditas di pasar keuangaan, karena kelangkaan likuiditas

Lebih terperinci

Pengungkapan Ekposur Risiko Bank

Pengungkapan Ekposur Risiko Bank Pengungkapan Ekposur Risiko Bank A. Risiko Kredit A.1 Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah No. Kategori Portofolio Kategori Portofolio wilayah Mataram wilayah Selong wilayah Praya wilayah Sumbawa

Lebih terperinci

RANCANGAN POJK TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

RANCANGAN POJK TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH RANCANGAN POJK TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR XX/POJK.03/2018 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PEMBIAYAAN

Lebih terperinci

No. 13/31/DPNP Jakarta, 22 Desember Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA. Perihal : Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia

No. 13/31/DPNP Jakarta, 22 Desember Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA. Perihal : Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia No. 13/31/DPNP Jakarta, 22 Desember 2011 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia Dalam rangka pelaksanaan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Tingkat Kesehatan Bank Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004, tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kualitatif

Lebih terperinci

No. 15/28/DPNP Jakarta, 31 Juli 2013 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 15/28/DPNP Jakarta, 31 Juli 2013 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 15/28/DPNP Jakarta, 31 Juli 2013 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal: Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Sehubungan dengan Peraturan

Lebih terperinci

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /SEOJK.03/2016 TENTANG LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI OTORITAS JASA KEUANGAN

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /SEOJK.03/2016 TENTANG LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI OTORITAS JASA KEUANGAN Yth. 1. Direksi Bank Umum Konvensional; dan 2. Direksi Bank Umum Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /SEOJK.03/2016 TENTANG LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengaruh Risiko Usaha Terhadap Capital Adequacy Ratio (CAR) pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengaruh Risiko Usaha Terhadap Capital Adequacy Ratio (CAR) pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Ada tiga penelitian sebelumnya yang sangat bermanfaat bagi penulis sebagai bahan acuan, yaitu dilakukan oleh : 1. Riski Yudi Prasetyo 2012 Penelitian yang

Lebih terperinci

Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016)

Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016) Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016) Tabel 1. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum KOMPONEN MODAL

Lebih terperinci

SISTEM DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DI INDONESIA

SISTEM DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DI INDONESIA SISTEM DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DI INDONESIA 1 1 BANK INDONESIA Bank Sentral Republik Indonesia Menetapkan & Melaksanakan Kebijakan Moneter MENCAPAI & MEMELIHARA KESTABILAN NILAI RUPIAH Mengatur dan Menjaga

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 15 /PBI/2008 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 15 /PBI/2008 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 15 /PBI/2008 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/4/PBI/2005 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/4/PBI/2005 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/4/PBI/2005 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank juga tergantung

Lebih terperinci

2 mengelola risiko; dan (iv) mengurangi ketidakpastian pasar (market uncertainty) serta kesenjangan informasi (asymmetric information). Di sisi lain,

2 mengelola risiko; dan (iv) mengurangi ketidakpastian pasar (market uncertainty) serta kesenjangan informasi (asymmetric information). Di sisi lain, TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KEUANGAN. OJK. Laporan Bank. Transparansi. Publikasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 74) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci