PENGARUH ANOMALI SEA SURFACE TEMPERATURE (SST) DAN CURAH HUJAN TERHADAP POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU EREKSO HADIWIJOYO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH ANOMALI SEA SURFACE TEMPERATURE (SST) DAN CURAH HUJAN TERHADAP POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU EREKSO HADIWIJOYO"

Transkripsi

1 PENGARUH ANOMALI SEA SURFACE TEMPERATURE (SST) DAN CURAH HUJAN TERHADAP POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU EREKSO HADIWIJOYO DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PENGARUH ANOMALI SEA SURFACE TEMPERATURE (SST) DAN CURAH HUJAN TERHADAP POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU EREKSO HADIWIJOYO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk meperoleh gelar Sarjana kehutanan pada Departemen Silvikultur DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3 RINGKASAN EREKSO HADIWIJOYO. Pengaruh Anomali Sea Surface Temperature (SST) dan Curah Hujan Terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. Dibimbing oleh ERIANTO INDRA PUTRA. Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang sering dilanda kebakaran hutan dan lahan. Kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau terjadi setiap tahun pada dekade terakhir. Iklim merupakan salah satu faktor alam yang mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Riau. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara Anomali SST, curah hujan dan kejadian kebakaran di Provinsi Riau. Penelitian dilakukan pada bulan April Juni 2012 di Laboratorium Kebakaran Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Data yang digunakan adalah data hotspot MODIS, data curah hujan harian dan data anomali SST Nino 3.4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan mempengaruhi kejadian kebakaran di Provinsi Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009, sedangkan Anomali SST tidak berpengaruh terhadap curah hujan dan kejadian kebakaran di Provinsi Riau pada periode tersebut. Kata kunci: curah hujan, anomali SST, kebakaran hutan, hotspot

4 SUMMARY EREKSO HADIWIJOYO. The effect of Sea Surface Temperature (SST) Anomaly and Precipitation to Potential Forest Land Fires in Riau Province. Under Guidance of ERIANTO INDRA PUTRA. Riau is a province which frequently suffered from wildfires. Forest and land fires in Riau province occurred each year on the last decade. The climate is one of the factors that influence the occurrence of forest and land fires in Riau. The purpose of this research is to analyze the correlation between the SST anomalies, precipitation and forest fires in Riau Province. The research conducted from April to June 2012 at the Forest Fires Laboratory, Silviculture Department, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. The data used are MODIS hotspots, daily precepitation data and Nino 3.4 SST anomalies data. The result shows that the precipitation strongly affected forest fires occurrences in Riau Province from 2001 until 2009, however there is no correlation between SST anomalies precepitation and fire occurrence in Riau Province on that period. Key words : precipitation, SST Anomaly, forest and land fires, hotspots iv

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Anomali Sea Surface Temperature (SST) dan Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2012 Erekso Hadiwijoyo NRP E v

6 Judul Skripsi Nama NIM : Pengaruh Anomali Sea Surface Temperature (SST) dan Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau : Erekso Hadiwijoyo : E Menyetujui: Dosen Pembimbing, Dr.Erianto Indra Putra, S.Hut, M.Si NIP Mengetahui: Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir.Nurheni Wijayanto, MS NIP Tanggal lulus: vi

7 KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirahat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam peenelitian adalah kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, dengan judul Pengaruh Anomali Sea Surface Temperature (SST) dan Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi berjudul Pengaruh Anomali Sea Surface Temperature (SST) dan Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau dibimbing oleh Dr. Ir. Erianto Indra Putra, S.Hut, M.Si. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau sering terjadi pada musim kemarau. Iklim merupakan salah satu faktor alam yang dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran di hutan dan lahan. Selain kondisi iklim, suhu permukaan laut juga dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran. Pemanasan permukaan laut di Samudra pasifik akan menyebabkan perubahan cuaca yang ekstrim di Indonesia yang dapat memicu kebakaran yang hebat karena perubahan curah hujan yang terjadi. Untuk mengetahui kejadian kebakaran tersebut dapat dilihat dari jumlah hotspot yang ditangkap oleh satelit MODIS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara anomali SST, curah hujan dan kejadian kebakaran di Riau dengan menggunakan data Hotspot MODIS, data anomali SST dan curah hujan. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Besar harapan Penulis atas kritik dan saran dari semua pihak untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia kehutanan. Akhir kata, Penulis mengucapkan banyak terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini. Bogor, September 2012 Penulis vii

8 UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini terutama kepada : 1. Dr. Erianto Indra Putra, S.Hut, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan serta arahan dan bimbingan selama penelitian dan pembuatan skripsi. 2. Kedua orang tua tercinta (Surdi) dan (Nusnaini), saudaraku Donal Aprizal dan A. Tokimin atas doa serta dukungannya baik moril maupun materil selama penulis melakukan studi di IPB 3. Dr. Evi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Noor Farikha Haneda, M.Sc sebagai ketua sidang yang telah memberikan saran dan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini. 4. Pihak pemberi Beasiswa BUMN yang telah memberikan beasiswa untuk kelancaran studi dan penelitian. 5. Keluarga besar Laboratorium Kebakaran Hutan (Bapak Wardana) atas bantuannya membantu Penulis 6. BMKG pusat yang memberikan data curah hujan dan FIRMS yang memberikan data hotspot. 7. Rekan satu bimbingan (Renando, Uan dan Umar) yang selalu memberikan semangat dan motivasi. 8. Semua rekan-rekan Fahutan dan SVK khususnya SVK 45 yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan selama ini 9. Keluarga besar Departemen Silvikultur atas bantuannya dalam akademik dan non akademik termasuk pengurusan administrasi seminar, ujian skripsi dan sebagainya. Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Kehutanan. viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengkulu Selatan, Gunung Ayu pada tanggal 31 Agustus 1990 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Surdi dan Nusnaini. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA N 5 Bengkulu Selatan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di Departemen Silvikultur. Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai Ketua Organisasi Mahasiswa (OMDA) Ikatan Mahasiswa Bumi Rafflesia (IMBR) pada tahun , Kepala Divisi Kewirausahaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB tahun , Anggota Himpunan Profesi Tree Grower Comunity (TGC) divisi Scientific Improvement (SI) tahun , Kepala Divisi Scientific Improvment (SI) Himpunan Profesi Tree Grower Comunity (TGC) tahun , Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fakultas Kehutanan , panitia Bersama dalam Orientasi Anak Rimba (BELANTARA) 2010 Departemen Silvikultur. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) di Tanah Bumbu, kecamatan Batu Licin, Kalimantan selatan. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB. Penulis melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Anomali Sea Surface Temperature (SST) dan Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau di bawah bimbingan Dr. Erianto Indra Putra, S.Hut, M.Si. ix

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan penelitian Manfaat penelitian... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan Definisi Titik panas (hotspot) Pengaruh curah hujan terhadap kebakaran hutan dan lahan SST dan anomali SST El-Nino dan La-Nina... 9 BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan tempat Alat dan bahan Analisis data BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Luas dan letak Provinsi Riau Iklim kondisi dan luas hutan serta lahan Sejarah kebakaran hutan dan lahan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pola curah hujan di Riau Sebaran hotspot Pengaruh curah hujan terhadap jumlah hotspot Pengaruh anomali SST terhadap curah hujan Pengaruh anomali SST terhadap jumlah hotspot x

11 5.2 Pembahasan Pola curah hujan Sebaran hotspot Pengaruh curah hujan terhadap jumlah hotspot Pengaruh anomali SST terhadap curah hujan Pengaruh anomali SST terhadap jumlah hotspot BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xi

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Segitiga api Pembagian wilayah iklim di Indonesia Grafik curah hujan pada tiga zona iklim di Indonesia Pola penyebaran curah hujan di Indonesia Provinsi Riau Pola curah hujan di Provinsi Riau hasil penelitian ini dan pola curah hujan zona B Sebaran hotspot di Riau pada tahun Grafik jumlah hotspot per tahun di Riau pada Grafik hubungan curah hujan dan hotspot di Riau pada tahun Grafik hubungan anomali SST dan curah hujan di Riau pada tahun Grafik hubungan anomali SST dan hotspot di Riau pada tahun xii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Hotspot tertinggi dan curah hujan di Riau pada periode Hotspot terendah dan curah hujan di Riau pada periode Hasil analysis of variance hotspot dengan curah hujan Curah hujan maksimum dan anomali SST di Riau pada periode Curah hujan minimum dan anomali SST di Riau pada periode Hasil analysis of variance curah hujan dengan anomali SST Hasil analysis of variance anomali SST dengan hotspot xiii

14 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan permasalahan yang menjadi sorotan dunia. Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang paling sering mengalami kejadian kebakaran hebat terutama di lahan gambut. Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan berbagai kerugian dan kerusakan lingkungan, ekonomi, dan sosial yang sangat besar. Selain berdampak negatif terhadap ekosistem hutan dan lingkungan, kebakaran hutan juga menimbulkan masalah kesehatan. Pencegahan dan pengendalian sangat diperlukan untuk meminimalkan dampak kebakaran hutan dan lahan. Iklim merupakan salah satu faktor alam yang dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kondisi iklim (suhu, kelembaban, curah hujan, dan kecepatan angin) di suatu tempat akan mempengaruhi tingkat kekeringan bahan bakar, penjalaran api, dan ketersedian oksigen. Selain kondisi iklim anomali Sea Surface Temperature (SST) diduga mempengaruhi terjadinya kebakaran. Perubahan suhu permukaan laut diduga dapat menyebabkan perubahan pola curah hujan menjadi lebih banyak atau lebih sedikit yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Pengaruh anomali suhu permukaan air laut (SST) terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui hubungan antara anomali suhu permukaan laut dan curah hujan dengan kejadian kebakaran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara anomali SST, curah hujan dan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Riau dan menentukan model persamaan terbaik dari hubungan anomali SST, curah hujan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Riau. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara anomali SST, curah hujan, dan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau

15 2 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alat bantu untuk mengambil keputusan manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.

16 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan Definisi Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Yonatan (2006) kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain ditandai dengan adanya panas, cahaya, serta biasanya menyala. Proses pembakaran ini menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar hutan seperti: serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, gulma, semak, dedaunan serta pohonpohon besar untuk tingkat terbatas. Proses kebakaran merupakan proses perombakan karbohidrat (C 6 H 12 O 6 ) dan oksigen (O 2 ) menjadi karbondioksida (CO 2 ) dan uap air (H 2 O) Suatu kebakaran hutan dapat digambarkan sebagai segitiga api (Gambar 1). menjelaskan proses kebakaran akan terjadi apabila terdapat tiga unsur yang saling mendukung yaitu bahan bakar, sumber panas (api) dan oksigen. Brown dan Davis (1973) menggambarkan suatu kebakaran hutan sebagai segitiga api yang disusun oleh ketiga unsur tersebut yaitu bahan bakar, sumber panas (api) dan oksigen. Oksigen (O 2 ) Api Sumber panas Bahan Bakar Gambar 1 Segitiga api (Brown dan Davis 1973) 2.2 Titik Panas (Hotspot) Pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas (Anderson et al dalam Heryalianto 2006). Titik panas (hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang batas yang

17 4 telah ditentukan oleh data digital satelit. Metode yang digunakan dalam pemantauan titik panas (hotspot) adalah metode penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Hotspot adalah titik panas yang dapat diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara umum di berbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan menggunakan satelit. Salah satu perangkat yang digunakan dalam memantau kebakaran hutan dan lahan adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satelitte, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Menurut Davis et al. (2009) titik hotspot dideteksi oleh MODIS menggunakan Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) dari NASA Earth Observing System (EOS). Lintasan orbit satelit Terra adalah dari utara ke selatan memotong garis khatulistiwa pada pagi hari. Satelit Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada siang hari menghasilkan data tampilan secara global setiap 1 sampai 2 hari. Satelit Terra diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei 2002 (FIRMS 2012). Satelit Terra melintasi Provinsi Riau pada jam setiap hari, sementara satelit Aqua melintasi Provinsi Riau pada jam MODIS akan mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi adalah 330 K untuk sebuah hotspot. Hotspot MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km 2 sehingga setiap hotspot atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 km piksel. MODIS memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih banyaknya spektral panjang gelombang dan lebih telitinya cakupan lahan serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (FIRMS 2012). 2.3 Pengaruh Curah Hujan Terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm (milimeter) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah (Sukmawati 2006). Menurut Triani (1995) faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luas areal terbakar adalah musim kemarau yang terlalu panjang.

18 5 Sebagian besar hujan terjadi akibat penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara suatu tempat dengan tempat yang lain. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal. Menurut Bruce dan Clark (1997) dalam Ambarwati (2008) curah hujan merupakan adalah salah satu unsur cuaca yang sangat mempengaruhi iklim di Indonesia. Curah hujan memiliki keragaman yang besar menurut ruang dan waktu. Keragaman ruang curah hujan menurut ruang dan waktu sangat dipengaruhi oleh letak geografi, topografi, ketinggian tempat, arah angin umum, dan letak lintang. Aldrian dan Susanto (2003) membagi pola iklim di Indonesia menjadi tiga yaitu zona A (selatan Indonesia dari Sumatera bagian selatan ke Pulau Timor, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi dan sebagian dari Irian Jaya), zona B (Indonesia baratdaya, Sumatra bagian utara dan Kalimantan bagian timur laut), dan zona C (Maluku dan sebagian dari Sulawesi) (Gambar 2). Lintang Bujur Gambar 2 Pembagian wilayah iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003) Zona A merupakan wilayah dengan curah hujan maksimum pada bulan Desember/Januari/Februari (DJF) dan minimum pada bulan Juli/Agustus/September (JAS). Hal ini mengilustrasikan dua rezim monson: monson basah dari November hingga Maret (NDJFM) dan monson kering dari Mei hingga September (MJJAS). Siklus tahunan zona B mempunyai dua puncak pada bulan Oktober/November/Desember (OND) dan juga pada bulan

19 6 Maret/April/Mei (MAM). Perbedaan yang cukup mencolok terdapat di zona C dimana daerah ini mempunyai satu puncak pada bulan Mei/Juni/Juli (Gambar 3) (Aldrian dan Susanto 2003). (a) (b) (c) Gambar 3 Grafik Curah hujan pada 3 zona iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003): (a) zona A, (b) zona B, (c) zona C Tjasyono (2004) menyatakan Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi tiga iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun yaitu: 1) Pola hujan monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau, tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan), musim hujan pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dan musim kemarau pada bulan Juni Juli Agustus (JJA). 2) Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun berhujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober. 3) Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun ( Gambar 4). Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan dan curah hujan merupakan faktor yang paling tinggi dalam menentukan akumulasi bahan bakar (Syaufina 2008). Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan

20 7 yaitu iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, iklim menentukan jangka waktu dan keparahan musim kebakaran, cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, dan cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan (Syaufina 2008). Gambar 4 Pola penyebaran curah hujan di Indonesia (Tjasyono 2004) Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang bahkan tidak ada sama sekali sebaliknya pada saat curah hujan rendah atau tidak terjadi hujan maka jumlah hotspot akan meningkat (Syaufina 2008). Semakin tinggi curah hujan maka kelembaban bahan bakar akan semakin tinggi begitu juga sebaliknya jika curah hujan sedikit maka tingkat kelembaban bahan bakar menjadi rendah. Semakin rendah kelembaban bahan akan memudahkan dalam terjadinya proses pembakaran (Septicorini 2006). Menurut Suratmo (1985) dalam Handayani (2005) menyatakan bahwa cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat menentukan kadar air bahan bakar, terutama peranan dari hujan. Rastioningrum (2004) yang menunjukkan bahwa bahan bakar dengan kadar air sebesar 30%, 20% dan 10% dapat terbakar lebih baik dari 50%. Pada kadar air 10% bahan bakar daun dapat terbakar 100%. Menurut Mackinno et al. (1997) bulan basah ditandai dengan curah hujan >200 mm/bulan, sedangkan bulan kering ditandai oleh curah hujan <100 mm/bulan.

21 8 2.4 SST dan Anomali SST Suhu permukaan laut (SST) adalah suhu air dekat dengan permukaan laut. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat bergantung pada jumlah cahaya yang diterima dari sinar matahari. Daerah-daerah yang menerima sinar matahari terbanyak adalah daerah yang berada pada lintang 0 o oleh karena itu suhu air laut tertinggi adalah di equator (Weyl 1970 dalam Pardede 2001). Suhu permukaan air laut biasanya berkisar 27 o C 29 o C di daerah tropis dan 15 o C 20 o C di daerah subtropis. Suhu ini menurun secara teratur menurut kedalaman. Suhu air laut relatif konstan antara 2 o C 4 o C di kedalaman lebih dari 1000 m (King 1963 dalam Pardede 2001). Perubahan SST terjadi pada siang hari, seperti udara di atasnya, tetapi untuk tingkat yang lebih rendah karena panas yang lebih tinggi. Suhu air di perairan nusantara umumnya berkisar antara 28 o C 38 o C. Di lokasi yang sering terjadi penaikan air (upwelling) seperti laut Banda, suhu air permukaan bisa turun sampai 25 o C, ini disebabkan karena air yang dingin di lapisan bawah terangkat ke atas permukaan (Pardede 2001). SST dekat pinggiran suatu daratan, angin lepas pantai menyebabkan naiknya massa air di bawah permukaan air laut ke permukaan air laut, yang dapat menyebabkan pendinginan yang signifikan, namun di perairan dangkal atas sering hangat. Angin darat dapat menyebabkan pemanasan yang cukup besar bahkan di daerah yang peningkatannya cukup konstan, seperti pantai barat laut Amerika Selatan. Nilai-nilainya yang penting dalam memprediksi cuaca SST sebagai pengaruh atmosfer atas, seperti dalam pembentukan angin laut. Hal ini juga digunakan untuk mengkalibrasi pengukuran dari satelit cuaca (Anonim 2011). Suhu muka laut di perairan Indonesia dapat digunakan sebagai indeks banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer. Jika suhu muka laut dingin maka uap air di atmosfer menjadi berkurang, sebaliknya jika suhu muka laut panas maka uap air di atmosfer banyak. Pola suhu muka laut di Indonesia secara umum mengikuti gerak tahunan matahari. Suhu muka laut di Samudera Hindia (kecuali sebelah barat Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Nangro Aceh Darussalam) mempunyai rentang perubahan yang cukup lebar yaitu minimum berkisar 26 C pada bulan Agustus hingga maksimum berkisar 31,5 C pada bulan Februari

22 9 Maret. Wilayah perairan lainnya umumnya mempunyai rentang perubahan lebih sempit yaitu berkisar 29,0 C hingga 31,5 C dan waktu terjadinya minimum dan maksimumnya tidak sama di setiap perairan (BMG 2010). Anomali suhu permukaan laut (SST) diukur dari perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Fox 2000; Nicholls dan Beard 2000 dalam Irawan 2005). Nilai positif pada anomali SST mengindikasikan bahwa SST Pasifik Equator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rata-ratanya yang berimplikasi bahwa laut Indonesia lebih dingin. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan hujan di wilayah Indonesia (Gutman et al. 2000). Sebaliknya nilai negatif mengindikasikan bahwa SST Pasifik Equator Tengah dan Timur terjadi lebih rendah dari rata-ratanya yang berimplikasi bahwa laut Indonesia menjadi lebih panas. Data anomali SST yang digunakan untuk memprediksi curah hujan yaitu Nino 3.4. Menurut Boer et al. (1999) dalam Ambarwati (2008) anomali SST di wilayah Nino 3.4 (5 o LU 5 o LS dan 160 o BT 150 o BB) memiliki hubungan yang kuat terhadap anomali curah hujan bulanan dibandingkan dengan anomali SST di zona Nino 1 (5 10 o LS dan 80 o 90 o BB), Nino 2 (5 10 o LS dan 80 o 90 o BB), Nino 3 (5 o LU 5 o LS dan 90 o 150 o BB), Nino 4 (5 o LU 5 o LS dan 150 o BB 260 o BT). Hal ini diperkuat oleh Ambarwati (2008) yang menyatakan bahwa anomali SST yang mempunyai pengaruh nyata terhadap wilayah Indonesia adalah Nino 3.4. Menurut Philander (1992) dalam Swarinoto (2009) nilai anomali SST Indonesia dan anomali SST Nino 3.4 dihitung berdasarkan hasil pengurangan antara nilai SST aktual dengan nilai SST rerata tempat bersangkutan. Jika anomali SST bernilai positif maka nilai aktual SST berharga lebih tinggi daripada rerata SST tempat yang bersangkutan. Sebaliknya jika anomali SST bernilai negatif maka nilai aktual SST berharga lebih rendah daripada rerata SST tempat yang bersangkutan. 2.5 El-Nino dan La-Nina El-Nino adalah sebuah fenomena alam yang diketahui oleh nelayan Peru sebagai arus balik di sepanjang pesisir perairan dari Equador sampai ke Peru (Irmudyawati 2000). Fenomena ini mengakibatkan perairan yang tadinya subur

23 10 dan kaya akan ikan (akibat adanya upwelling atau arus naik permukaan yang membawa banyak nutrient dari dasar) menjadi sebaliknya. Pemberian nama El- Nino pada fenomena ini disebabkan oleh karena kejadian ini sering kali terjadi pada bulan Desember. El-Nino (bahasa Spanyol) sendiri dapat diartikan sebagai anak lelaki. Di kemudian hari para ahli juga menemukan bahwa selain fenomena menghangatnya suhu permukaan laut, terjadi pula fenomena sebaliknya yaitu mendinginnya suhu permukaan laut akibat menguatnya upwelling. Kebalikan dari fenomena ini selanjutnya diberi nama La-Nina (juga bahasa Spanyol) yang berarti anak perempuan. Fenomena ini memiliki periode 2 sampai dengan 7 tahun (As-Syakur 2007). El-Nino akan terjadi apabila perairan yang lebih panas di Pasifik Tengah dan Timur meningkatkan suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada di atasnya. Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan meningkatkan curah hujan di sekitar kawasan tersebut. Pada bagian barat Samudra Pasifik tekanan udara meningkat sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan bagian timur Indonesia, sehingga di beberapa wilayah Indonesia terjadi penurunan curah hujan yang jauh dari normal (As- Syakur 2007). Menurut Trenberth (1987) dalam Putra EI, Hayasaka H (2011) El-Nino dapat terjadi pada daerah dengan nilai SST anomali lebih besar dari +0,5 0 C selama sedikitnya enam bulan berturut-turut. Fenomena El-Nino menyebabkan penurunan jumlah curah hujan pada saat musim hujan, awal musim kemarau lebih cepat dan awal musim hujan lebih lambat (Irianto 2003). Gejala munculnya El- Nino biasanya dicirikan dengan meningkatnya suhu muka laut di kawasan Pasifik secara berkala dengan selang waktu tertentu dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Fox 2000; Nicholls dan Beard 2000 dalam Irawan 2005). La-Nina adalah gejala gangguan iklim yang diakibatkan suhu permukaan laut Samudra Pasifik dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Akibat dari La-Nina adalah hujan turun lebih banyak di Samudra Pasifik sebelah barat Australia dan Indonesia sehingga terjadi hujan lebat dan banjir besar di Indonesia. Pada saat Fenomena La-Nina jumlah curah hujan meningkat sekitar 50 mm dari curah hujan

24 11 rata-rata normal, dimana saat bulan Desember, Januari, dan Februari curah hujan meningkat sangat nyata (Effendy 2001). Peristiwa El-Nino dan La-Nina merupakan suatu proses timbal balik antara laut dan atmosfir maka banyak unsurunsur baik pada atmosfir maupun di laut yang menunjukkan perubahan antara lain adalah suhu permukaan laut, arus, suhu, salinitas dan densistas air laut (Irmudyanti 2000).

25 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, seperangkat komputer dengan beberapa perangkat program, yaitu Arc View GIS 3.3 untuk pengolahan dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG), MS Excel untuk pengolahan grafik dan tabulasi, dan Minitab 13 untuk penghitungan ANOVA (Analysis of Varian). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: data curah hujan harian Provinsi Riau periode tahun 2001 sampai dengan 2009 yang diperoleh dari BMKG pusat dan Weather Underground, data sebaran hotspot di Provinsi Riau periode tahun 2001 sampai dengan 2009 yang diperoleh dari NASA MODIS hotspot dataset, dan data anomali SST Nino 3.4 periode tahun 2001 sampai dengan 2009 dari NASA. 3.3 Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis statistik dan deskriptif. Analisis data yang pertama dilakukan adalah pemetaan sebaran hotspot di Provinsi Riau pada tahun dan dengan menggunakan data hotspot dengan tingkat kepercayaan lebih besar dari 50%. Setelah itu dilakukan perhitungan jumlah hotspot bulanan di Provinsi Riau pada periode tahun dengan menggunakan Arc View GIS 3.3, perhitungan nilai curah hujan bulanan di Provinsi Riau periode tahun , dan perhitungan jumlah data SST di Provinsi Riau periode tahun Berdasarkan hasil yang diperoleh dilakukan perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter curah hujan bulanan, jumlah deteksi hotspot dan anomali SST.

26 13 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Wilayah Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut Cina Selatan dan terletak antara 4 o 45 LU sampai 1 o 15 LS dan BT sampai BT. Luas wilayah Provinsi Riau adalah ,61 km 2 dimana sebesar km 2 (71,33%) diantaranya merupakan lautan dan hanya ,61 km 2 (28,67%) daerah daratan. Batas-batas daerah ini adalah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Singapura dan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Selat Berhala, sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara, sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan (BPS Provinsi Riau 2000). Gambar 5 Provinsi Riau 4.2 Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, Provinsi Riau mempunyai tipe Iklim Af (suhu bulan terdingin >18oC dan hujan bulanan >60 mm). Curah hujan relatif jatuh sedikit jatuh antara bulan Juni sampai dengan Agustus. Daerah Riau beriklim tropis basah dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun yang dipengaruhi kemarau dan musim hujan (Wardhana 2003).

27 Kondisi dan Luas Hutan serta Lahan Pada tahun 2000 luas lahan di Provinsi Riau adalah ha. Lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk hutan negara yaitu seluas ha (41,33%), perkebunan seluas ha (19,98%) dan ladang/huma seluas ha (6,58%). Hutan di Provinsi Riau pada tahun 2000 memiliki luas 9 juta ha. Jika dirinci menurut fungsinya seluas ha (50,44%) merupakan hutan produksi konversi, ha (20,85%) hutan produksi tetap, ha (19,73%) hutan produksi terbatas, ha (4,20%) merupakan hutan lindung. Jika dirinci menurut jenis hutannya maka hutan rawa menempati urutan pertama dengan luas ha (64,88%) diikuti oleh hutan tanah kering dengan luas ha (28,47%) dan terakhir hutan payau dengan luas ha (6,66%) (Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2000). 4.4 Sejarah kebakaran Hutan dan lahan di Riau Kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap tahun di Riau, khususnya pada musim kemarau (kering). Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Riau disebabkan oleh faktor manusia dengan motif tertentu yaitu pembukaan lahan dengan cara membakar. Berdasarkan data MODIS sepanjang tahun 2001 sampai dengan 2008 titik panas yang terdata terdeteksi sebanyak titik api. Dalam periode 2001 sampai dengan Februari 2008, 77% titik api berada di lahan gambut dengan luasan ,5 ha, 28% gambut yang terbakar merupakan gambut dalam (kedalaman 2 sampai dengan 4 m) dan 36% merupakan gambut sangat dalam (kedalaman lebih dari 4 m). Titik panas yang berada di lahan gambut pada periode 2001 sampai dengan Februari 2008 terdeteksi 39% berada di lahan IUPHHK-HT dan 29% berada di kebun kepala sawit (Muslim dan Kurniawan 2008). Dari jumlah intensitas kebakaran, 25% kebakaran yang terjadi di lahan gambut merupakan kebakaran dengan luasan di bawah 1 ha dan 75% kebakaran lebih 1 ha. Rata-rata tiap tahunnya ,82 ha lahan gambut terbakar selama periode 2001 sampai dengan Selama periode 2001 sampai dengan Februari 2008 terdeteksi 246 titik api di kawasan konservasi dengan luasan total 1.033,27 ha. Kawasan konservasi yang terbakar selama periode tersebut adalah yaitu

28 15 Danau Pulau Besar/Bawah, Tasik Belat, Giam Siak Kecil, Tasik Tanjung Pulau Padang, Bukit Batu, Sungai Dumai (Muslim dan Kurniawan 2008). Pada tahun 2002 luas kebakaran hutan di Riau mencapai ha yang meliputi IUPHHK-HA seluas 85 ha. IUPHHK-HT 2.113,5 ha, perkebunan 268 ha, penggunaan lain 7.168,3 ha serta untuk kawasan hutan 606,25 ha. Tahun 2003 luas kebakaran mencapai ha, terdiri dari kebakaran hutan di IUPHHK-HA luasnya sebesar 179,35 ha, IUPHHK-HT (213.2 ha), perkebunan (966,2 ha), area penggunaan lain (891 ha), serta kawasan hutan (951,06 ha). Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2004 jumlah luas lahan yang terbakar mengalami penurunan menjadi 744 ha, dengan area yang terbakar hanya terdapat pada kawasan hutan dan area penggunaan lain, yaitu masing-masing sebesar 9,5 dan 734,5 ha. Setelah itu pada tahun 2005 Provinsi Riau mengalami luas kebakaran terbesar yakni mencapai ha yaitu pada area IUPHHK-HA (1.500 ha), IUPHHK-HT (7.000 ha), perkebunan ( ha), dan area penggunaan lain (6.000 ha)(dishut Provinsi Riau 2006). Pada tahun 2006 hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Riau terjadi kebakaran hutan, namun yang terbesar terjadi di kabupaten Rokan Hilir, Rokan Hulu, Bengkalis, dan Pelalawan. Sebagian besar kawasan yang terbakar merupakan kawasan gambut. Pada periode Juli Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi dikawasan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT), Hutan Produksi (IUPHHK-HA) dan perkebunan sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar IUPHHK-HT seluas ha, perkebunan sawit seluas ha, IUPHHK-HAseluas ha, kawasan gambut ha, kawasan non gambut ha.

29 Hasil Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan siklus curah hujan pada zona B (Gambar 6). Rata-rata curah hujan bulan di Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009 adalah 262 mm. Curah hujan yang cukup tinggi (>262 mm) di Riau terjadi pada bulan Maret April dan Oktober Desember, sedangkan curah hujan rendah terjadi pada bulan Januari Februari dan Mei September cukup rendah (<262 mm) (Gambar 6). Curah hujan (mm) (a) Gambar 6 Pola curah hujan di Riau hasil penelitian ini (a) dan Pola curah hujan Sebaran hotspot CH Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des zona B (Aldrian dan Susanto 2003) (b) Sebaran hotspot Provinsi Riau pada tahun bersifat fluktuatif seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Jumlah hotspot tahun 2001 sampai dengan 2005 mengalami peningkatan setiap tahunnya dari titik (2001), titik (2002), titik (2003), titik (2004), dan titik (2005). Pada tahun 2006 sampai dengan 2007 jumlah titik hotspot mengalami penurunan yaitu titik (2006) dan titik (2007) dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 sampai dengan 2009 yaitu titik (2008) dan titik (2009). (b)

30 17 Gambar 7 menunjukkan bahwa hotspot terbanyak di Riau terjadi pada tahun 2005 (17.534) diikuti tahun 2009 (10.295). Gambar 7 Sebaran hotspot di Riau pada tahun Jumlah hotspot pada periode di Provinsi Riau disajikan pada Gambar 8. Seperti terlihat pada Gambar 8 jumlah hotspot di Riau pada tahun 2001 sampai dengan 2009 bersifat fluktuatif. Hotspot Tahun Gambar 8 Grafik jumlah hotspot per tahun di Riau pada

31 Pengaruh curah hujan terhadap jumlah hotspot Rataan curah hujan per bulan dan hotspot per bulan pada tahun disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan bahwa hubungan antara curah hujan dan hotspot berbanding terbalik; semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot mengalami penurunan sebaliknya semakin sedikit curah hujan jumlah hotspot mengalami peningkatan. Curah Hujan (mm) Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt Mar Agst Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei CH hotspot Hotspot Gambar 9 Grafik hubungan curah hujan dan hotspot di Riau pada tahun Jumlah hotspot tertinggi di Riau pada setiap tahun pada umumnya terjadi pada saat curah hujan berada di bawah rata-rata (Tabel 1). Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah hotspot tertinggi setiap tahunnya terjadi pada bulan Februari, Juni, Juli, dan Agustus dimana pada bulan tersebut terjadi musim kemarau di Provinsi Riau. Tabel 1 Hotspot tertinggi dan curah hujan di Riau pada periode Tahun Bulan Curah hujan (mm) Jumlah Hotspot Juli Februari Juni Juni Februari Agustus Februari Agustus Juli

32 19 Jumlah hotspot terendah di Riau pada setiap tahunnya pada umumnya terjadi pada saat curah hujan berada di atas rata-rata (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah hotspot terendah setiap tahunnya terjadi pada bulan Maret, Oktober, November, dan Desember, atau pada saat terjadi musim hujan di Provinsi Riau. Tabel 2 Hotspot terendah dan curah hujan di Riau pada periode Tahun Bulan Curah hujan (mm) Jumlah Hotspot November Desember November November November Desember November Oktober Maret Perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter curah hujan bulanan dengan hotspot menghasilkan nilai P value= 0,000 (Tabel 3). Nilai P value yang kurang dari 0,05 ini menunjukkan bahwa curah hujan mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan di Riau pada periode tahun Tabel 3 Hasil analysis of variance hotspot dengan curah hujan Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total ,06 0, Pengaruh anomali SST terhadap curah hujan Gambar 10 menunjukkan hubungan anomali SST terhadap curah hujan di Provinsi Riau pada tahun Anomali SST tertinggi pada periode tahun terjadi pada bulan Desember 2002 sebesar +1,52 0 C dengan curah hujan 531 mm sedangkan SST terendah terjadi pada bulan Februari 2008 dengan nilai -1,89 0 C dan curah hujan 140 mm. Pada Gambar terlihat bahwa anomali SST tidak mempengaruhi kejadian curah hujan di Provinsi Riau pada periode Anomali SST yang tinggi

33 20 tidak menyebabkan curah hujan mengalami penurunan sebaliknya anomali SST yang rendah tidak menyebabkan curah hujan mengalami peningkatan. Anomali SST oc 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00-0,50-1,00-1,50-2,00-2,50 Anomali SST CH Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt mar Agst Jan Jun Nov Apr Agst Feb Jul Des Mei Curah Hujan (mm) Gambar 10 Grafik hubungan anomali SST dan curah hujan di Riau pada tahun Curah hujan maksimum yang terjadi di Provinsi Riau pada periode terjadi pada rentang nilai anomali SST yang cukup besar (-1,47 sampai dengan 1,52 o C). Curah hujan maksimum di Riau terjadi pada bulan Maret April dan Oktober Desember dan terjadi pada bulan Juli (Tabel 4). Tabel 4 Curah hujan maksimum dan anomali SST di Riau pada periode Tahun Bulan Curah hujan (mm) Anomali SST ( o C) Oktober Desember Maret Oktober Juli Desember Oktober Maret Oktober ,10 1,52 0,59 0,69 0,25 1,19-1,47-1,15 0,94 Curah hujan terendah minimum yang terjadi di Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009 terjadi pada rentang anomali SST yang besar (-0,43 o C) sampai dengan 0,72 o C (Tabel 5). Curah hujan minimum di Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009 terjadi pada bulan Februari dan Juni Agustus.

34 21 Tabel 5 Curah hujan minimum dan anomali SST di Riau pada periode Tahun Bulan Curah hujan (mm) Anomali SST ( o C) Juli Februari Agustus Agustus Juni Juli Juli Juli Juli ,10 0,23 0,03 0,72 0,40 0,13-0,43-0,03 0,72 Hasil perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter curah hujan bulanan dengan Anomali SST menunjukkan nilai P value= 0,929 atau yang berarti nilai P value lebih besar daripada 0.05 (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa di Provinsi Riau pada periode curah hujan tidak dipengaruhi oleh anomali SST. Tabel 6 Hasil analysis of variance curah hujan dengan anomali SST Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total ,01 0, Pengaruh anomali SST terhadap jumlah hotspot Gambar 11 menunjukkan hubungan anomali SST terhadap hotspot di Provinsi Riau pada tahun SST tertinggi pada periode tahun adalah +1,52 0 C dengan jumlah titik hotspot sebanyak 11 pada Desember 2002 sedangkan SST terendah adalah -1,89 0 C dan jumlah titik hotspot sebanyak 1056 (Februari 2008). Jumlah hotspot tertinggi setiap tahunnya banyak terjadi pada bulan Februari, Juni, Juli dan Agustus seperti pada tahun 2001 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juli (551 titik), tahun 2002 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Februari (1216 titik), tahun 2003 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juni (2284 titik), tahun 2004 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juni (2417 titik), tahun 2005 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Februari (5429 titik), tahun 2006 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus (2401 titik), tahun 2007 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Februari (573 titik), tahun 2008

35 22 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus (1598), dan tahun 2009 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juli (2464 titik). Anomali SST 0C 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00-0,50-1,00-1,50-2,00-2,50 Anomali SST hotspot Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt mar Agst Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Hostspot Gambar 11 Grafik hubungan anomali SST dan hotspot di Riau pada tahun Hasil perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter anomali SST dengan hotspot menunjukkan nilai P value= 0,302 atau yang berarti nilai P value lebih besar daripada 0.05 (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa di Provinsi Riau pada periode jumlah hotspot tidak dipengaruhi anomali SST. Tabel 7 Hasil analysis of variance anomali SST dengan hotspot Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total ,08 0, Pembahasan Pola curah hujan di Riau Menurut Bruce dan Clark (1997) dalam Ambarwati (2008) curah hujan merupakan adalah salah satu unsur cuaca yang sangat mempengaruhi iklim di Indonesia. Curah hujan memiliki keragaman yang besar menurut ruang dan

36 23 waktu. Keragaman ruang curah hujan menurut ruang dan waktu sangat dipengaruhi oleh letak geografi, topografi, ketinggian tempat, arah angin umum, dan letak lintang. Aldrian dan Susanto (2003) membagi pola iklim di Indonesia menjadi tiga yaitu zona A (selatan Indonesia dari Sumatera bagian Selatan ke Pulau Timor, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi dan sebagian dari Irian Jaya), zona B (Indonesia barat daya, Sumatra bagian utara dan Kalimantan bagian timur laut), dan zona C (Maluku dan sebagian dari Sulawesi). Zona A merupakan wilayah dengan curah hujan maksimum pada bulan Desember/Januari/Februari dan minimum pada bulan Juli/Agustus/September. Hal ini mengilustrasikan dua rezim monson: monson basah dari November Maret dan monson kering dari Mei September. Siklus tahunan zona B mempunyai dua puncak pada bulan Oktober/November/Desember dan pada bulan Maret/April/Mei. Perbedaan yang cukup mencolok terdapat di zona C dimana daerah ini mempunyai satu puncak pada bulan Mei/Juni/Juli (Gambar 3) (Aldrian dan Susanto 2003). Riau merupakan provinsi yang terletak di Sumatera bagian utara. Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Data curah hujan bulanan dari tahun 2001 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan siklus curah hujan pada zona B (Gambar 6). Curah hujan tinggi di Riau terjadi pada bulan Maret April dan Oktober Desember, sedangkan curah hujan rendah terjadi pada bulan Januari Februari dan Mei September (Gambar 6). Pada bulan Maret April dan Oktober Desember curah hujan lebih tinggi daripada curah hujan rata-rata sehingga terjadi musim hujan di Riau, sedangkan pada bulan Januari Februari dan Mei September curah hujan lebih rendah dari curah hujan rata-rata sehingga dikatagorikan sebagai musim kemarau di Riau (Gambar 6). Hal ini sesuai dengan Syaufina (2008) yang menyatakan bahwa pola iklim di Riau mempunyai dua periode musim kemarau, yaitu bulan Februari Maret dan bulan Juli September. Gambar 6 menunjukkan bahwa pola curah hujan di Riau termasuk kedalam pola equatorial. Pola hujan equatorial merupakan wilayah yang memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak

37 24 musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun berhujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober (Tjasyono 2004) Sebaran hotspot di Riau Pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas (Anderson et al dalam Heryalianto 2006). Hotspot adalah titik panas yang diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara umum diberbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan menggunakan satelit. Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya terdeteksi adanya hotspot. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang tidak hanya terjadi di dalam negeri namun hingga luar batas negara. Gambar 7 memperlihatkan bahwa jumlah hotspot di Riau pada tahun 2001 sampai dengan 2009 bersifat fluktuatif. Jumlah hotspot tahun 2001 sampai dengan 2005 mengalami peningkatan setiap tahunnya dari titik (2001), titik (2002), titik (2003), titik (2004), dan titik (2005). Jumlah hotspot tertinggi di Provinsi Riau terdapat pada tahun 2005 ( titik). Hal ini bersesuaian dengan tingginya luas areal terbakar di Riau yang terjadi pada tahun 2005 yang mencapai ha yaitu pada areal IUPHHK-HA luas areal terbakar sebesar ha, IUPHHK-HT sebesar ha, perkebunan sebesar ha, dan areal penggunaan lain sebesar ha (Dishut Provinsi Riau 2006). Luasan areal terbakar di Riau pada tahun 2005 ini adalah yang terluas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Putra 2012). Kenaikan jumlah hotspot ini diduga karena konversi lahan yang terjadi di Provinsi Riau dimana pada proses pengkonversian lahan sering menggunakan pembakaran. Selain itu pada area hutan, penutupan lahan hutan rawa sekunder juga mengalami kenaikan jumlah hotspot.

38 25 Putra (2012) menyatakan jumlah hotspot pada tahun 2005 di Riau lebih banyak daripada tahun 2000 yang disebabkan oleh banyaknya lahan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan banyaknya areal yang terbakar di areal hutan dan areal non hutan. Hal ini dikarenakan pada areal non hutan berupa tanah terbuka memiliki faktor-faktor yang menyebabkan rentannya terjadi kebakaran hutan. Menurut Wibowo (2003), faktor utama yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan adalah bahan bakar (kadar air, jumlah, ukuran, dan susunan bahan bakar) dan kondisi cuaca (suhu, curah hujan, kelembaban, dan angin) serta topografi. Pada tahun 2006 sampai dengan 2007 jumlah titik hotspot mengalami penurunan dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 sampai dengan Gambar 8 menunjukkan bahwa kejadian kebakaran yang paling tinggi di Riau terjadi pada tahun 2005 ( titik hotspot) diikuti tahun 2009 ( titik hotspot). Pendugaan titik api (hotspot) memiliki kekurangan yakni dalam hal akurasi data. Oleh sebab itu perlu dilakukan seleksi terhadap data hotspot, salah satunya adalah dengan memilih data hotspot yang memiliki nilai kepercayaan (confidence) tinggi. Melalui cara tersebut maka ketidakakuratan data dapat diminimalisir. Menurut Adinugroho et al. (2005), untuk menghindari terjadinya kemungkinan salah perkiraan hotspot semisal bocornya cerobong api dari tambang minyak, diperlukan upaya penggabungan (overlay) antara data hotspot dengan peta penutupan lahan atau peta penggunaan lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis serta dengan melakukan cek lapangan (ground surveying). Data hotspot yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai kepercayaan 50% untuk meminimalisir ketidakakuratan data hotspot tersebut Pengaruh curah hujan terhadap jumlah hotspot Kondisi iklim selalu mengalami perubahan sesuai dengan tempat dan waktu. Pada setiap tempat kondisi iklimnya sangat berbeda, selain itu iklim pada hari ini akan berbeda dengan iklim yang akan datang. Cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan melalui dua jalan, yaitu menentukan panjang dan keparahan musim kebakaran serta menentukan jumlah bahan bakar hutan pada suatu daerah. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Definisi Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Yonatan (2006) kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain ditandai

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN MUHAMMAD DERY FAUZAN

HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN MUHAMMAD DERY FAUZAN HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN MUHAMMAD DERY FAUZAN DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN : Analisis Tingkat Kekeringan Menggunakan Parameter Cuaca di Kota Pontianak dan Sekitarnya Susi Susanti 1), Andi Ihwan 1), M. Ishak Jumarangi 1) 1Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA KEBAKARAN DI PROVINSI ACEH DESI MARDIANI

HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA KEBAKARAN DI PROVINSI ACEH DESI MARDIANI HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA KEBAKARAN DI PROVINSI ACEH DESI MARDIANI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE 2005 2013 Herin Hutri Istyarini 1), Sri Cahyo Wahyono 1), Ninis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar Iklim dapat terbentuk karena adanya: a. Rotasi dan revolusi

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Press Release BMKG Jakarta, 12 Oktober 2010 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA 2 BMKG A F R I C A A S I A 3 Proses EL NINO, DIPOLE MODE 2 1 1963 1972 1982 1997 1 2 3 EL NINO / LA NINA SUHU PERAIRAN

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 Provinsi Jawa Barat PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT A research on climate variation

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA KEBAKARAN DI PROVINSI RIAU TAHUN 2013 LAKSMI DEWANTI

HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA KEBAKARAN DI PROVINSI RIAU TAHUN 2013 LAKSMI DEWANTI HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA KEBAKARAN DI PROVINSI RIAU TAHUN 2013 LAKSMI DEWANTI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA Seni Herlina J. Tongkukut 1) 1) Program Studi Fisika FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado 95115 ABSTRAK Telah dilakukan analisis

Lebih terperinci

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Indonesia (Mulyana) 39 PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Erwin Mulyana 1 Intisari Hubungan antara anomali suhu permukaan laut di Samudra

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA OLEH : Dr. Kunarso FOKUSED GROUP DISCUSSION CILACAP JUNI 2016 PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Dalam Purwanto

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA Nuzul Hijri Darlan, Iput Pradiko, Muhdan Syarovy, Winarna dan Hasril H. Siregar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0. 9 a : intersep (perubahan salinitas jika tidak hujan) b : slope (kemiringan garis regresi). Koefisien determinasi (r 2 ) masing-masing kelompok berdasarkan klaster, tahun, dan lahan peminihan (A dan B)

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI Maulani Septiadi 1, Munawar Ali 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis dan kandungan sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia memberikan pengakuan bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011

PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011 BMKG KEPALA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Dr. Sri Woro B. Harijono PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011 Kemayoran Jakarta, 27 Mei 2011 BMKG 2 BMKG 3 TIGA (3) FAKTOR PENGENDALI CURAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 06 No. 2, Agustus 2015, Hal 132-138 ISSN: 2086-8227 PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi). 1. Klasifikasi Iklim MOHR (1933) Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering (BK) dan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG OUTLINE I. GEMPABUMI TSUNAMI KEPULAUAN MENTAWAI (25 - oktober 2010); Komponen Tsunami Warning System (TWS) : Komponen Structure : oleh

Lebih terperinci

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina ENSO (EL-NINO SOUTERN OSCILLATION) ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO adalah peristiwa naiknya suhu di Samudra Pasifik yang menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan serta mempengaruhi perubahan

Lebih terperinci

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat 1 Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat Diyas Dwi Erdinno NPT. 13.10.2291 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika,

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018 1 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Hujan Tahun Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara KTSP & K-13 Kelas Geografi ATMOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami kelembapan udara. 2. Memahami curah hujan dan kondisi

Lebih terperinci

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BALAI BESAR METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA WILAYAH IV MAKASSAR STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I MAROS JL. DR. RATULANGI No. 75A Telp. (0411) 372366 Fax. (0411)

Lebih terperinci

UPDATE DASARIAN III MARET 2018

UPDATE DASARIAN III MARET 2018 UPDATE DASARIAN III MARET 2018 : Pertemuan Angin dari Utara dan Selatan v Analisis Dasarian III Maret 2018 Aliran massa udara di Indonesia masih didominasi Angin Baratan. Terdapat area konvergensi di

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Kemarau Tahun 2017 Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG 1. TINJAUAN UMUM 1.1.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penutupan Lahan Penutupan lahan yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas 18 jenis penutupan lahan. Tabel 1 menyajikan penutupan lahan di Kalimantan Tengah.

Lebih terperinci

ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO

ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO Analisis Angin Zonal di Indonesia selama Periode ENSO (E. Mulyana) 115 ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO Erwin Mulyana 1 Intisari Telah dianalisis angin zonal di Indonesia selama periode

Lebih terperinci

MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017

MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017 BMKG MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017 Status Perkembangan 26 September 2016 PERKEMBANGAN ENSO, MONSUN, MJO & IOD 2016/17 Angin ANALISIS ANGIN LAP 850mb

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian berjudul Pemodelan dan Peramalan Angka Curah Hujan Bulanan Menggunakan Analisis Runtun Waktu (Kasus Pada Daerah Sekitar Bandara Ngurah Rai), menjelaskan

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Tangerang Selatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Tangerang Selatan Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017 Respon Salinitas dan Klorofil-a di Perairan Barat Sumatra Terhadap Fenomena Indian Ocean Dipole Tahun 2010-2016 Response of Salinity and Chlorophyll-a

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II JANUARI 2018 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami proses terjadinya angin dan memahami jenis-jenis angin tetap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci