BAB II KAJIAN PUSTAKA. Muscle Tightness (MTs) merupakan ketidakseimbangan kerja otot (muscle

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Muscle Tightness (MTs) merupakan ketidakseimbangan kerja otot (muscle"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness (HMTs) Pengertian Muscle Tightness (MTs) merupakan ketidakseimbangan kerja otot (muscle imbalance) yang menyebabkan perubahan elastisitas pada otot tersebut (Key, 2010). Sedangkan menurut Kisner dan Colby (2007) MTs merupakan gambaran keterbatasan gerak akibat pemendekan adaptif dari jaringan kontraktil dan beberapa unsur (element) dari non kontraktil otot. Sedangkan menurut Agustin (2013), HMTs adalah kondisi otot yang memendek akibat menurunnya sifat fisiologis otot maupun patologis seperti trauma, infeksi atau akibat un-activity sehingga menghambat ROM dan muscle performance, MTs berupa contracture, perlekatan, dan pembentukan jaringan parut yang mengarah pada pemendekan otot. Jadi HMTs merupakan gangguan elastisitas pada otot hamstring dan keterbatasan gerak akibat pemendekan yang bersifat adaptif pada element otot. Ghanbari et al (2013), Key (2010), Cantu dan Grodin (2001) menyatakan bahwa HMTs selain menyebabkan gangguan elastisitas pada otot hamstring itu sendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot otot punggung bagian bawah yang dapat menyebabkan low back pain (LBP). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harty et al (2005) tentang hamstring tightness, ternyata terjadinya plantar fasciitis berkaitan dengan adanya peningkatan ketegangan pada otot hamstring. Penelitian lainnya mengenai HMTs rupanya menjadi faktor penyebab utama terjadinya Hamstring Muscle 9

2 10 Strain Injuries (HMSI) pada atlet terutama pada atlet yang membutuhkan kecepatan, kekuatan dan kelenturan yang maksimal pada otot hamstring-nya misalnya pada atlet sepak bola, sprinter, dan rugby (Louis, 2004). Freckleton dan Pizzari (2011) menyatakan bahwa HMSI beresiko pada atlet yang usianya >22 tahun, pada atlet yang berat badannya tidak propossional, dan pada atlet yang fleksibilitas otot hamstring-nya lemah Anatomi dan Biomekanik Otot Hamstring 1. Anatomi Otot Hamstring Otot hamstring merupakan group otot yang terdiri dari Biceps Femoris (BF) yang dibagi dua yakni Biceps Femoris Long Head (BFlh) dan Biceps Femoris Short Head (BFsh) (Gambar 2.1.A), Semitendonosus (ST) (Gambar 2.1.B), dan Semimembranosus (SM) (Gambar 2.1.C). Semua otot berorigo di tuberositas ischium kecuali, BFsh yang melekat di linea aspera dan lateral supracondylar segaris pada osteum femur. Sedangkan untuk insertion dari otot BF melekat pada sisi lateral dari Os. Fibula, untuk otot ST melekat pada sisi medial dari permukaan Os. Tibialis bagian superior, sedangkan untuk otot SM melekat pada sisi medial dari Condylus Os. Tibialis bagian posterior (Hoskins dan Pollard, 2005). Menurut Wismanto (2011), otot hamstring memiliki gerak fungsional dasar untuk knee flexion, sebagai muscle accessory untuk gerakan Hip Extension dan gerakan eksternal serta internal dari gerakan rotasi hip. hamstring juga merupakan otot tonik, yang berfungsi sebagai otot stabilitator

3 11 postural, dan memiliki serat serabut otot yang tebal yang memiliki kandungan myoglobin dan kapasitas oksidatif tinggi sehingga tahan terhadap kelelahan yang cukup tinggi. A B C Gambar 2.1 Origo dan Insertio pada otot : A. Biceps Femoris, B. Semimembranosus, dan C. Semitendinosus (Cael, 2010) 2. Koneksi dan Peran Otot Hamstring Pada Otot Postural. Hamstring yang berfungsi sebagai stabilitator postural menurut Wismanto (2011) ternyata didukung oleh teorinya Hoskins dan Pollard (2005) yang mengatakan bahwa otot hamstring terkoneksi dengan otot-otot yang berada di punggung belakang yang merupakan komponen stabilitator postur tubuh. Origo dari BFlh (Gambar 2.2 A dan B) yang melekat pada Ischial Tuberosity merupakan kepanjangan dari ligament sacrotuberous yang posisinya menyilang di Os. Sacrum dan melekat pada Thoracolumbar Fascia (TLF). TLF terhubung dengan beberapa jaringan contractile dan non-

4 12 contractile lainnya seperti Latisimus Dorsi, Transversus Abdominus, Internal Oblique, Rhomboid, Splenius Capitis, Cervicus Tendon, Lumbar Vertebrae, dan Posterior Superior Iliac Spines. Selain itu BF juga terkoneksi kuat dengan otot Pereneus Longus (Gambar 2.2 C) yang melekat di Os. Fibula yang bertugas sebagai penggerak ankle. Sehingga pada intinya otot hamstring secara fungsional terhubung dengan lumbar-pelvic spine, upper torso, dan shoulder lalu apabila otot hamstring mengalami tightness maka akan berdampak pada TLF, dan mengganggu pergerakan dari Sacroiliac Joint (SIJ). A B C Gambar 2.2. Koneksi otot Hamstring A. TLF serta Latisimus Dorsi secara Fungsional terhubung dengan bahu dan punggung belakang atas. B. BF Long Head yang menyambung dengan bagian superfisial dari ligamen sacrotuberous. C. koneksi anatara fascia dari BF dengan Peroneus Longus (Hoskins dan Pollard, 2005)

5 13 3. Kompleksitas Otot Hamstring Dalam Gait Cycle. Menurut Koulouris dan Connell (2005) Kompleksitas Otot Hamstring atau hamstring muscle complex (HMC) secara fungsional sangat penting kaitannya bagi hip extensors dan knee flexors dalam gait cycle. Pada fase swing terutama pada permulaan gerakan ekstensi hip otot hamstring akan teraktivasi untuk berkontraksi sekitar 25% dan berlanjut menjadi 50% ketika gerakan full hip ekstensi serta secara aktif menahan gerakan dari knee ekstensi (Koulouris dan Connell, 2005). Pada saat paha mengayun kedepan terjadi gerakan knee flexion yang sebagain besar otot-ototnya dalam keadaan passive, hal tersebut dilakukan, karena tubuh secara baik telah memperhitungkan untuk mengurangi resiko terjadinya muscle strain pada gerakan difase tersebut, lalu pada fase Heel Strike, HMC mendapat informasi untuk mengurangi kecepatan gerakannya, sehingga Os. Tibia dan Os. Femur dalam keadaan mengunci membentuk knee extension yang membuat perpindahan tumpuan berat tubuh menjadi maju kedepan (Koulouris dan Connell, 2005). HMC merupakan stabilisator dinamis pada gerakan knee extension yang berkerjasama dengan Anterior Crusiatum Ligament (ACL) sebagai stabilator statis di lutut. Kerjasama antara HMC dan ACL terutama terjadi ketika derajat knee flexion berada di 30 dan kaki dalam keadaan melangkah kedepan menjauhi tubuh. Ketika kaki dalam keadaan menumpu maka HMC akan mengalami elongasi yang optimal sehingga memberikan stabilisasi yang baik bagi lutut. Dan ketika fase selanjutnya yakni fase Toe Off maka hamstring akan membantu

6 14 quadriceps untuk mendorong kaki melangkah kedepan (Koulouris dan Connell, 2005). Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba pada otot hamstring dari perannya sebagai stabilitator menjadi penggerak dari extensor knee diasumsikan menjadi faktor utama terjadinya cedera. Hal ini disebabkan karena kontraksi dari antagonis muscle yakni quadriceps yang berkerja secara tidak proposional, karena ketidak proposionalan itulah HMC didesak untuk memainkan dua peran sekaligus guna menyeimbangkan ketidak stabilan tersebut. Dan apabila hamstring gagal menyeimbangkan hal tersebut maka kemungkinan beresiko terjadinya muscle strain injury (Koulouris dan Connell, 2005). 4. Persyarafan Pada Otot Hamstring. Secara struktur anatomi, gerak pada otot mendapatkan perintah dan informasi baik sensoris maupun motoris dari sistem saraf yang menghubungkan. Hamstring, sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya yang berkaitan dengan struktur otot, fungsi dan biomekanik gerak, hamstring memiliki komponen innervasi fungsi diberbagai area bagian, misalnya pada otot BF, antara otot BFlh dan BFsh memiliki inervasi yang berbeda bahkan setiap orangpun bisa berbeda pola inervasinya. Penelitian yang dilakukan oleh Woodley dan Mercer (2005) yang menguji tentang Hamstring Architecture and Innervation pada 6 (enam) cadaver yang terbagi 3 (tiga) cadaver wanita dan 3 (tiga) cadaver pria, semua cadaver tersebut usianya sekitar tahun ketika meninggal. Woodley dan Mercer

7 15 menemukan pola inervasi (Pattern of Innervation) yang berbeda pada otot BFlh, perbedaannya terkait asal cabang saraf (nerve branch originated) di 6 (enam) spesimen tersebut, mereka menemukan 4 (empat) diantaranya bercabang dari saraf sciatic (sciatic nerve) dan 2 (dua) dari spesimen lainnya dari saraf tibialis (nerve tibialis). Pada otot BFsh 4 (empat) spesimen berasal dari cabang saraf peroneal (peroneal nerve) sedangkan 2 (dua) spesimen yang lainnya berasal dari cabang saraf sciatic (sciatic nerve), lalu untuk ST dan SM muscle innervation untuk ketiga spesimen merupakan percabangan dari saraf tibial (tibialis nerve) dan ketiga spesimen lainya dari percabangan saraf sciatic (sciatic nerve) Etiologi HMTs Berdasarkan pengertian yang sudah dijelaskan bahwa HMTs merupakan gangguan fungsi elastisitas dari otot hamstring. Tentunya ada beberapa penyebab yang mengakibatkan otot hamstring mengalami tightness. Dari beberapa teori mengatakan bahwa beberapa penyebab otot hamstring mengalami tightness dan terganggu fleksibilitasnya adalah sebagai berikut : 1. Overuse : aktivitas yang berlebihan pada otot hamstring akan membuat otot tersebut mengalami kelelahan (fatigue). Page et al (2010) berpendapat bahwa yang menyebabkan otot menjadi kaku (tight) adalah overuse dan trauma pada otot, dikarenakan hal tersebut akan menyebabkan ischemia pada beberapa serabut otot yang lainnya, sehingga akan terganggunya sirkulasi nutrien pada area serabut otot sekitarnya.

8 16 2. Inactivity : jika sebelumnya overuse menyebabkan muscle tightness maka kurangnya aktivitas pada suatu otot juga akan menyebabkan hal yang sama, hal tersebut dikarenakan inactvity akan terjadi perubahan secara fisiologis dalam otot, seperti misalnya : terjadi penurunan neural input pada serabut otot yang menyebabkan massa otot berubah, perubahan distribusi metabolisme (metabolic pathways) dalam otot, menurunya massa jenis pembuluh darah kapiler (capillary density) dalam otot, dan semua hal tersebut akan mengakibatkan penurunan elastisitas pada otot (Lennard dan Crabtree, 2005). 3. Muscle Imbalance : ketidak seimbangan pada otot disini dimaksudkan bahwa terjadinya kompensasi antar kerja otot, contohnya jika pada otot-otot punggung bawah mengalami kelemahan maka otot hamstring dan gluteal akan menarik pelvic berputar kearah posterior menyebabkan otot hamstring dan gluteal terjadi peningkatan tonisitas, begitu juga otot-otot yang berada di area abdominal akan menarik crista pubica tempat insertio dari otot rectus abdominus yang menyebabkan otot quardriceps dalam keadaan eccentric (Page et al, 2010). 4. Postural Disfunction : gangguan fungsi postural sangat berkaitan dengan Postural Habits, maksudnya keadaan posture dalam rutinitas individu dikesehariannya (Kisner dan Colby, 2007). Contohnya dalam posisi duduk yang tidak baik akan menyebabkan kelengkungan posisi kurva vetebra lumbal akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut yakni kurva lumbal menjadi flatt, dan apabila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan

9 17 perubahan postur pada bagian lainnya, seperti misalnya posisi dagu akan terlalu menjorok ke arah anterior (neck forward) dan kedua bahu akan mengalami posisi protraksi serta pelvic akan berputar ke arah posterior (Black et al, 1996), dan kita ketahui sebelumnya apabila posisi pelvic berputar kearah posterior akan menyebabkan peningkatan tensitas pada otot hamstring dan apabila menjadi habit beresiko mengalami tightness dan shortness pada otot tersebut sehingga fleksibilitas dari otot hamstring menjadi terganggu Patofisiologi Hamstring Muscle Tightness 1. Chain Reactions Dari beberapa pendapat tentang etiologi Hamstring Muscle Tightness diatas dapat di simpulkan bahwa terdapat keterkaitan penyebab satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan dalam tubuh kita terdapat suatu reaksi yang berantai (chain reactions). Dalam konsep Janda yang dijelaskan oleh Page et al (2010) menjelaskan bahwa tubuh memiliki fungsi yang saling berkaitan dari satu sistem ke sistem yang lain, karena ia berpendapat bahwa tidak ada suatu sistem dalam tubuh yang berkerja secara independent. Sehingga ia menjelaskan beberapa komponen sistem Chains Reactions yang saling berantai dan berkaitan, sistem chains reactions tersebut terdiri dari Articular Chains, Muscular Chains, dan Neurological Chains. Ketiga interaksi yang saling berkaitan dari sistem chain reactions tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

10 18 Tabel 2.1 Keterkaitan Tiga Sistem Chain Reactions Primary Chain Secondary Chains Types of Chains Articular Muscular Neurogical Postural Kinetic Muscular Articular Neurogical Synergist Muscle Slings Neurogical Articular Muscular Dari Tabel 2.1 tentang keterkaitan ketiga sistem chain rections tersebut menjelaskan bahwa Articular chains berfungsi untuk memelihara, mengatur dan mempertahankan posture serta gerakan sistem skeletal secara menyeluruh, lalu Muscular Chains berfungsi menyiapkan gerakan dan stabilisasi melalui kerja otot yang sinergis antar tiap otot dan jaringan fascial. Sedangkan Neurogical Chains berfungsi menyediakan control dalam gerakan seperti reflek memperthankan suatu gerakan (protective reflexes), perkembangan progresi dari locomotor sistem atau Neurodevelopmental motor progression, dan mengatur sensorimotor sistem dalam suatu gerakan. Secara bersamaan ketiga sistem chain reactions ini merupakan suatu komponen kesatuan yang disebut Neuromusculoskeletal yang berfungsi dan bertanggung jawab atas gerak fungsional tubuh. Sumber Page et al Myofascial Chains Primitive reflexive chains Sensorimotor system Neurodevelopmental locomotor chains A B Gambar 2.3 Chains Posture saat duduk A. Poor Posture saat duduk dan B. Good Postur saat duduk. (Page et al. 2010)

11 19 Gambar 2.3 merupakan ilustrasi keterkaitan sistem reaksi rantai antar region dalam tubuh, gambar 2.3.B menunjukan posisi sikap postur yang baik sehingga akan menstabilkan region yang lainya seperti kurva cervical spine, thoracal spine, dan lumbal spine, serat shoulder area, dan juga pelvic area. Sedangkan pada gambar 2.3 A menunjukan bahwa posisi sikap yang salah sehingga mengakibatkan regio lainnya mengalami masalah. Myers (2009) menganalisa sikap buruk pada saat duduk (Gambar. 2.4) yang mengakibatkan beberapa regio atau area yang mengalami perubahan, yakni: a. Upper neck menjadi hyperextension. b. Kepala menjadi teralu maju kedepan karena kompensasi dari cervical bagian bawah yang over flexion, sehingga menyebabkan ketegangan pada otototot upper back muscle. c. Dada menjadi terlalu kedepan dan sangkar thorax menjadi protraksi, sehingga mengganggu pengembangan sangkar thorax dan juga pola pernafasan. d. Kurva lumbal menjadi mundur kebelakang yang menyebabkan berkurangnya kurva lordosis dari lumbal, yang dalam waktu yang lama akan menyebabkan hilangnya kurva atau lumbal menjadi flatt, serta mengakibatkan kelemahan pada otot-otot punggung bagian bawah. e. Pelvis berputar kearah belakang, yang menyebabkan peningkatan tension pada otot hamstring dan gluteal sehingga otot tersebut mengalmi tigthness dan mengakibatkan fleksibilitasnya terganggu. Beberapa keterangan dari analisa Myers tentang postur duduk yang buruk tadi juga didukung oleh

12 20 pernyataan Black et al (1996), Beach et al (2008), dan Page et al (2010) yang menyatakan bahwa posterior pelvic tilt (PPT) mengakibatkan fleksibilitas otot hamstring dan gluteal terganggu. Gambar 2.4. Posisi duduk sambil menggunakan komputer yang diambil munggunakan X-Ray (Myers. 2009). 2. Static Low Level Contraction (Cinderella Hypothesis). Terjadinya peubahan pelvic yang berputar kearah posterior atau PPT akibat flatt-nya kurva vetebra lumbal maka terjadi perubahan tensitas pada otot hamstring. Perubahan tersebut akan mengakibatkan aktivitas kinerja otot yang overload. Apabila kinerja otot mengalami overload dalam waktu yang lama pada motor unit (prolonged motor task) maka akan membuat penumpukan sampah metabolic, yang akan menyebabkan gangguan homeostasis ion kalsium dalam sel otot (Dommerholt et al, 2011). Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan autogenic pada membran sel otot. Kerusakan membran ini menyebabkan kebocoran intraselular enzim laktat

13 21 dehidrogenase, kerusakan mitokondria sel otot, dan kekurangan energi pada sel otot dan menghasilkan nyeri karena pelepasan IL-6 dan cytokines lainnya yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan struktur myofilamen pada otot. Kerusakan yang terjadi pada struktur myofilaments akan menyebabkan gangguan nyeri pada otot berupa sensasi ketegangan (tightness) yang menyebabkan keterbatasan gerak otot. Dommerholt et al (2011) menyebut ini dengan sebutan Cinderella Hypothesis atau yang biasa dikenal dengan Low level muscle contraction. Pada static low level contraction terjadi peningkatan tekanan distribusi terhadap pembuluh darah kapiler otot (Intramuscular Pressure distribution) khususnya di daerah insersionya. Penekanan ini mengakibatkan penurunan sirkulasi darah ke otot dan mengakibatkan hipoksia dan ischemic pada sel-sel otot lokal (Otten, 1988 dalam Dommerholt et al, 2011). Penekanan ini juga terjadi pada daerah muscle belly maka peningkatan tekanan tadi akan berperan terhadap terjadinya rasa sensasi tidak nyaman seperti ketegangan (tightness) dan nyeri pada musculotendinous junction. 3. Respon adaptasi Metabolic dan Neurophysiological. Pada penjelasan diatas menjelaskan bahwa Static Low Level Contraction akan menyebabkan struktur myofilament pada otot mengalami kerusakan. Kerusakan struktur myofilament terpicu karena penekanan pembuluh darah kapiler dalam jaringan kontraktil yang tertekan (Intramuscular Pressure distribution) sehingga menyebabkan distribusi sirkulasi darah terganggu pada tingkat sel-sel otot lokal. Distribusi darah yang sebagaimana kita ketahui,

14 22 merupakan jalur asupan energi disetiap komponen jaringan, sehingga apabila terganggu akan menyebakan beberapa respon fisiologis otot yang ikut terganggu, seperti proses kontraksi dan relaksasi pada otot. Kontraksi dan relaksasi otot tidak lepas dari peran actin dan myosin sebagai bagian dari sarkomer yang berfungsi sebagai jaringan kontraktil pada tubuh manusia. Terjadinya respon anatara actin dan myosin tersebut membutuhkan energi cepat sebagai bahan dasar utama timbulnya suatu respon kontraksi dan relaksasi. Namun pada hal ini kebutuhan energi tersebut tidak dapat terpenuhi akbibat adanya gangguan sirkulasi darah kapiler dalam jaringan sehingga respon kontraksi dan relaksasi pada actin dan myosin ikut terganggu, gangguan tersebut berupa terjadinya Cross Linked pada Actin dan Myosin. Jaringan elastin yang terganggu tersebut sangat berkaitan dengan Muscle Spindel (MS) dan Golgi Tendon Organ (GTO) yang berfungsi sebagai Strech Reseptor pada jaringan kontraktil. Ketika terjadinya perubahan atau kerusakan pada komponen struktur elastin, akibat level kerja otot dalam posisi statis, maka hal tersebut akan memberikan dampak signal yang akan direspon oleh MS sebagai perubahan panjang pada otot, lalu MS akan beradaptasi dengan kondisi otot yang berkontraksi secara statis. Kondisi adaptasi yang dilakukan oleh MS akan memberikan rambatan signal kepada GTO yang berfungsi sebagai pendeteksi ketegangan (muscle tension) selama kontraksi otot atau peregangan otot. Ketegangan (tightness) yang terjadi jika terlalu lama akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi jaringan kontraktil. Efeknya jaringan

15 23 kontraktil tersebut akan mengalami pemendekan (shortness), sehingga akan berdampak terhadap fleksibilitas dan mobilitas dari otot tersebut Pemeriksaan Hamstring Muscle Tightness Untuk memeriksa serta memastikan seseorang, menderita HMTs dan mengalami gangguan fleksibilitasnya dapat dilakukan dengan secara manual. Menurut Minarro et al (2009) cara manual tersebut terbagi menjadi dua cara pengukurannya, yakni : Sit and Reach Test (SR), dan Back Saver Sit and Reach Test (BSSR). Dalam penelitiannya, Minarro et al (2009) mengukur fleksibilitas hamstring dengan membandingkan alat ukur menggunakan dua pengukuran tersebut, dari 143 sampel yang terdiri dari 67 wanita dan 76 pria dengan rata-rata usia 23 tahun, berat badan dengan rata rata 75kg dan tinggi badan rata-rata sampel 1.76 m. Dengan hasil bahwa SR lebih valid dibandingkan dengan BSSR, dan Minarro et al (2009) juga menyarankan para praktisi sebaiknya menggunakan SR untuk mengukur fleksibilitas dari otot hamstring dikarenakan pemeriksaan ini lebih mudah dalam memahami protokol serta pemeriksaan ini dianjurkan bagi pria maupun wanita usia sekitar tahun. Penelitian yang dilakukan Minarro et al (2009) juga didukung oleh Vega et al (2014), dia menyatakan dalam penelitiannya (Meta-Analysis) bahwa validitas untuk pengukuran fleksibilitas hamstring SR lebih baik dibandingkan dengan pengukuran yang lainnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Minarro et al (2009) dan Vega et al (2014) penulis meyakini bahwa pengukuran fleksibilitas

16 24 hamsitring akan lebih baik bila menggunakan Sit and Reach Test (SR) maka dari itu penulis akan menggunakan SR sebagai alat ukur dalam penelitian ini Sit and Reach Test (SR) 1. Pengertian Sit and Reach Test (SR) Wismanto (2011) menjelaskan bahwa metode Sit and Reach Test (SR) merupakan alat ukur untuk mengukur extensibilitas dari otot hamstring. Sit and Reach Test (SR) adalah standar pemeriksaan untuk memeriksa fleksibilitas otot hamstring dan otot punggung belakang (Glynn dan Fiddler, 2009). Sedangkan menurut Quinn (2014) Sit and Reach Test merupakan metode pengukuran untuk mengukur fleksibilitas dari otot hamstring dan punggung belakang yang meggunakan media berupa boks terbuat dari papan atau metal yang tingginya 30 cm, lalu diatas boks tersebut diletakan penggaris ukur yang panjangnya 26 cm keluar dari boks dan -26 cm sampai ke ujung dari boks tersebut (Gambar 2.5). Gambar 2.5. Contoh Sit and Reach Test Box Scale (Quinn. 2014).

17 25 2. Metode Pengukuran Sit and Reach Test (SR). Sit and Reach Test menurut Davis et al (2000) terbagi menjadi beberapa klasifikasi normal berdasarkan kriteria usia (Tabel 2.2). dapat dilihat bahwa tabel tersebut menjelaskan skor nilai Baik Sekali adalah , skor nilai Baik 60-79, Skor nilai Cukup Baik 40-59, Skor nilai Cukup 20-39, dan Skor nilai Buruk Untuk mencapai skor subjek harus mampu mencapai lebih dari 13cm pada saat pengukuran melakukan test SR pada kasus hamstring muscle tightness ini. Tabel 2.2 Klasifikasi Normal Pengukuran Sit and Reach Test Berdasarkan Kriteria Usia Klasifikasi fleksibilitas Nilai Angka Fleksibilitas Statis (cm) Usia Usia Tahun Tahun Buruk 0 19 <1.0 <-6.0 Cukup Cukup Baik Baik Baik Sekali > 10.1> Sumber Davis et al Penggunaan SR ini sangatlah mudah dan efisien, pertama-tama pemeriksa meminta sampel untuk duduk dengan kaki lurus (Straight Leg), kaki tanpa menggunakan alas (sepatu dan sandal), dilanjutkan dengan sampel menaruh telapak tangannya diatas telapak tangan yang satunya lagi sehingga ujung-ujung jari tangan terlihat seperti bertingkat. Lalu perlahan tangan sampel atau subjek maju ke arah depan sejauh mungkin sambil mempertahankan posisi lutut dalam posisi lurus, dan menyentuh permukaan

18 26 alat ukur (Gambar 2.6). yang perlu diperhatikan oleh pemeriksa adalah saat gerakan dari subjek, gerakannya tidak boleh tersendat-sendat. Agar gerakan subjek menjadi lebih baik, pemeriksa sebaiknya menyarankan untuk membuang nafas saat gerakan membungkuk kedepan dan menurunkan kepala sejajar dengan lengan. Hal tersebut dilakukan tiga kali pengulangan dan pemeriksa mengambil satu dari hasil yang terbaik setelah pemeriksaan berlangsung. Gambar 2.6. Contoh Sit and Reach Test menggunakan Boks Scale (Vega et al. 2013) Penanganan Hamstring Muscle Tightness Berdasarkan problem-problem yang dialami oleh penderita HMTs dan telah kita ketahui beberapa faktor penyebabnya yang menjadikan HMTs ini kasus yang sering terjadi. Serta banyaknya metode penanganan untuk mengembalikan

19 27 fleksibilitas dari otot hamstring akibat HMTs yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Oleh karena itu penulis memilih metode Hold Relax Stretching (HRS) dan metode Aktif Isolated Stretching (AIS) untuk meningkatkan fleksibilitas otot hamstring. Adapun tujuan pemilihan kedua metode penanganan tersebut karena karena kedua teknik stretching tersebut memiliki efek fisiologis yang sama dengan cara menginhibisi tendon golgi yang menyebabkan sarcomer memanjang. Sehingga akan mengurangi bias dari penelitian yang penulis lakukan. Untuk penjelasan respon fisiologis dari masing masing metode penanganan stretching terhadap peningkatan fleksibilitas otot hamstring akan dijelaskan pada paragraf selanjutnya, tapi terlebih dahulu penulis akan jelaskan terkait adaptasi fisiologis tubuh terhadap peningkatan fleksibilitas otot hamstring terhadap pemberian stretching Stretching. 1. Pengertian Stretching. Stretching merupakan komponen kebutuhan yang penting sekali dalam kehidupan sehari hari seseorang, karena dengan stretching membantu melancarkan oksigen keseluruh tubuh dengan baik (Martin, 2005). Menurut Nelson dan Kokkonen (2007) stretching merupakan bagian dasar dari optimalisasi kesehatan dan aktivitas seseorang. Kisner dan Colby (2007) juga menyatakan bahwa stretching merupakan penguluran pada otot yang akan membantu meningkatkan fleksibilitas dan mobilitas otot serta memaksimalkan Range of Motion (ROM) dari persendian.

20 28 2. Efek Stretching Terhadap Peningkatan Fleksibilitas Otot Kisner dan Colby (2007) menjelaskan tentang pengaruh stretching terhadap otot, stretching akan mempengaruhi perubahan Neurophysiological pada otot perubahan tersebut terjadi pada muscle spindel (MS) dan golgi tendon organ (GTO). MS merupakan organ sensoris utama pada otot yang fungsi utamanya sebagai penerima dan menyampaikan informasi tentang perubahan dari panjang otot, serta kecepatan perubahan panjang yang terjadi pada otot atau yang biasa disebut sebagai stretch receptor. MS terbagi menjadi dua muscle fibers yakni Intrafusal muscle fibers (IMF) dan extrafusal muscle fibers (EMF). IMF dan EMF tergabung dalam satu bundle dan terletak berjajar satu sama lainnya, IMF dan EMF secara bersama sama membentuk otot rangka pada tubuh (Gambar 2.7). Gambar 2.7. Muscle Spindle. Diagram Intrafusal muscle fibers (IMF) dan extrafusal muscle fibers (EMF) (Kisner dan Colby. 2007).

21 29 Pada gambar 2.7 dapat dilihat bahwa IMF terbagi menjadi Nuclear Bag Fiber (NBF) dan Nuclear Chain Fiber (NCF). dinamakan demikian karena susunan inti mereka di bagian tengah serat otot (muscle fiber). NBF berfungsi sebagai receptor sensoris utama atau Primary Stretch Receptor (PSR) yang menerima rangsangan dengan cepat dan secara terus-menerus terhadap perubahan panjang otot. Sedangkan NCF merupakan receptor yang hanya menerima rangsangan secara tonic stretch saja dan biasa disebut Secondary Stretch Receptor (SSR). PSR dan SSR terimplusasi oleh alpha or gamma motoneurons, dan apabila terstimulasi menyebabkan terangsangnya IMF dan EMF (Kisner dan Colby, 2007). Sedangkan GTO adalah stretch receptor yang terletak di dalam tendon otot tepat di luar perlekatannya pada serabut otot tersebut. Refleks GTO bisa terjadi akibat tegangan otot yang berlebihan. Sinyal-sinyal dari GTO merambat ke medula spinalis yang menyebabkan terjadinya hambatan respon (negative feed-back) terhadap kontraksi otot yang terjadi. Hal ini untuk mencegah terjadinya sobekan otot sebagai akibat tegangan yang berlebihan. Dalam hal ini refleks GTO merupakan pelindung untuk mencegah terjadinya sobekan otot, namun dapat juga bekerja sama dengan muscle spindle untuk mengontrol seluruh kontraksi otot dalam pergerakan tubuh. Sedangkan peran GTO dalam proses pergerakan atau pengaturan motorik adalah mendeteksi ketegangan selama kontraksi otot atau peregangan otot. Namun antara GTO dengan MS ada perbedaan fungsi. MS berfungsi untuk mendeteksi perubahan panjang serabut otot, sedangkan GTO berfungsi mendeteksi ketegangan otot.

22 30 Signal dari GTO dihantarkan ke medula spinalis untuk menyebabkan efek refleks pada otot yang bersangkutan. Efek inhibisi dari GTO menyebabkan rileksasi seluruh otot secara tiba-tiba. Efek inhibisi terjadi pada waktu kontraksi atau regangan yang kuat pada suatu tendon. Keadaan ini menyebabkan suatu refleks seketika yang menghambat kontraksi otot serta tegangan dengan cepat berkurang. Pengurangan tegangan ini berfungsi sebagai suatu mekanisme protektif untuk mencegah terjadinya robek pada otot atau lepasnya tendon dari perlekatannya ke tulang. Golgi Tendon Organ (GTO) memiliki fungsi sebagai propioceptor lain yang punya pengaruh dalam gerak stretch reflex, GTO terletak di dekat sambungan antara perut otot dan tendon, yang memiliki fungsi sebagai penghambat terjadinya kontraksi otot. GTO melindungi otot dari kontraksi yang berlebihan dan saat GTO terstimulasi maka otot akan rileks. 3. Mekanisme Respon Neurophysiological Terhadap Stretching pada Otot. Stretching yang diberikan pada otot maka akan memiliki pengaruh yang pertama akan terjadi pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari be-berapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot.

23 31 Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan. Ketika otot secara pasif diregang, maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas. Respon Neurophysiological otot terhadap peregangan bergantung pada struktur MS dan GTO. Ketika otot diregang dengan sangat cepat, maka serabut afferent primer dari IMF merangsang α (alpha) motor-neuron pada medulla spinalis dan memfasilitasi kontraksi EMF yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka GTO terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga memberikan pemanjangan pada komponen elastik otot yang paralel. 4. Indikasi dan Kontraindikasi Dari Stretching Terhadap Otot Hamstring. Pada paragraf ini penulis akan menjelaskan beberapa indikasi dari stretching terhadap otot skeletal pada tubuh. Beberapa indikasi atau hal yang dibolehkan untuk menggunakan stretching pada otot menurut Wismanto (2011) adalah:

24 32 a. Myostatic Contracture: merupakan kasus yang paling sering terjadi biasanya tanpa disertai patologis pada jaringan lunak (soft tissue) dan dapat diatasi dengan gentle stretching exercise dalam waktu yang pendek misalnya pada otot hamstring, otot rektus femoris dan otot gastrocnemius. b. Scar Tissue Contracture Adhession: paling sering terjadi pada kapsul sendi bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien cenderung melakukan imobilisasi akibatnya kadar glikoaminoglikans dan air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi berkurang. c. Fibrotic Adhession: kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena bia-sanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibrotik sepeti pada kondisi tortikolis. d. Ireversibel Contraktur: biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup gerak sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual tidak menghasilkan dampak yang baik. e. Pseudomiostatik Contraktur: Pada umumnya diakibatkan gangguan pada susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan sistem muskuloskeletal. Serta Wismanto (2011) juga menjelaskan kontraindikasi dari Stretching pada otot hamstring, berikut kontraindikasinya : 1) terdapat fraktur yang masih baru pada daerah hip joint. 2) post immobilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile strength. 3) ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi akut.

25 33 5. Macam-macam metode Stretching pada otot hamstring. Metode stretching untuk meningkatkan fleksibilitas otot hamstring terdapat beberapa jenis teknik, beberapa macam teknik tersebut yakni seperti Ballistic Stretching (Woolstenhulme et al, 2006), Muscle Energy Technique (Chaitow, 2001), Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) yang terdiri dari Hold Relax (HR), Static Stretching (SS) dan Contrax Relax (CR) (Hwang, 2013), Dynamic Soft Tissue Mobilisation (Hopper et al, 2004), dan Aktif Isolated Stretching (AIS) (Longo, 2009). Dan pada penelitian ini penulis akan membahas AIS dan HR, penjelasan kedua teknik stretching tersebut akan dijelaskan pada paragraf selanjutnya Active Isolated Stretching (AIS). 1. Pengertian Aktif Isolated Stretching (AIS) AIS merupakan suatu teknik atau metode stretching yang menggunakan adaptasi suatu kontraksi otot agonis secara aktif dan merelaksasikan otot antagonisnya melalui inhibisi timbal balik (Reciprocal Inhibition) yang menyebabkan terjadinya peregangan pada otot antagonis tanpa meningkatkan ketegangan otot (Muscle Tension) pada otot agonis (Longo, 2009). Teknik AIS atau yang biasa disebut dengan metode Mattes merupakan suatu pengembangan metode myofascial technique yang memiliki tujuan untuk pemulihan fisiologis dan fungsi otot, tendon, ligamen, dan persendian untuk memfasilitasi mobilitas dari permukaan jaringan fascia. Menurut Longo (2009) AIS sangat baik untuk mengoptimalkan fleksibilitas pada otot, gerakan aktif yang memungkinkan otot antagonis untuk relaksasi, sehingga terjadi

26 34 peningkatan fleksibilitas tanpa hambatan pada otot antagonisnya. Adapun tujuan dari pemberian AIS adalah untuk mencegah dan atau mengurangi tightness serta mengulur struktur jaringan lunak (soft tissue) yang berkaitan dengan spasme sehingga dapat meningkatkan mobilitas dan fleksibilitas pada struktur soft tissue tersebut. Beberapa penelitian yang menggunakan AIS sebagai modalitas memberikan kesimpulan yang baik dalam hasil pelaksanaannya. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Leimohn et al (1999), yang membandingkan penggunaan AIS dengan static stretch training terhadap keterbatasan Hip ROM, penelitian dilakukan dengan sampel yang berjumlah 30 orang dan terdiri dari 15 pria serta 15 wanita, dengan rata-rata usia sampel berkisar tahun. Pada group perlakuan AIS yang dilakukan tindakan 9 sesi pelatihan yang diawasi selama 3 minggu, menunjukan peningkatan ROM yang signifikan dan maksimal pada Hip Joint, dibandingkan dengan kelompok group perlakuan static stretch training. Penelitian lainnya dilakukan oleh Marino et al (2001) terhadap 30 sampel yang terdiri dari 24 wanita dan 6 pria dengan rata-rata usia 22 tahun. Marino et al (2001) melakukan pengukuran Hip Flexion dengan membandingkan AIS dengan Static Stretch sebagai metode pelaksanaannya, masing-masing perlakuan dilakukan 3 minggu dengan setiap sesinya dilakukan 3 kali dalam seminggu serta diberikan intervensi 60 detik setiap pertemuannya. Setelah penelitian, masing-masing sampel dilakukan pengukuran menggunakan Sit and Reach Test (SR) dan Goneometer sebagai instrument pengukurannya. Ditemukan bahwa dari kedua

27 35 perlakuan yang dilakukan oleh Marino et al hanya pada perlakuan kelompok AIS yang menunjukan peningkatan hip flexion yang signifikan. 2. Respon Fisiologis AIS Terhadap Peningkatan Panjang Otot. Secara umum AIS dilakukan untuk mendapatkan penambahan panjang dari otot dan jaringan ikat. Dalam prosedur AIS pasien menunjukkan suatu kontraksi isotonik pada otot agonis dan pada otot yang mengalami pemendekan (shortness), secara aktif akan memanjang. Alasan penerapan teknik ini adalah bahwa kontraksi isotonik yang dilakukan saat AIS secara fisiologis akan merespon otot antagonis untuk menghasilkan pemanjangan secara maksimal dan juga tanpa perlawanan. Adanya kontraksi isotonik akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari MS untuk segera mengulur panjang otot yang maksimal. GTO akan terlibat dan menghambat ketegangan otot bila otot sudah mengulur maksimal sehingga otot dapat dengan mudah di stretching. Menurut Wismanto (2011), pemberian AIS dapat mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan saraf tipe C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal cross link. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan AIS serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau abnormal cross link pada otot yang memendek. AIS dapat bermanfaat pada serabut otot yang mengalami pemendekan. Serabut otot yang terganggu akan menyebabkan penurunan elastisitas otot akibat adanya taut band dalam serabut otot. Sarkomer sebagai komponen elastis di dalam serabut otot akan

28 36 mengalami gangguan. Pemberian AIS yang dilakukan secara perlahan akan menghasilkan peregangan pada sarkomer sehingga peregangan akan mengembalikan elastisitas sarkomer yang terganggu. AIS dapat mencegah dan atau mengurangi tightness dan perasaan yang tidak nyaman. AIS merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap semua otot hamstring yang membatasi gerakan. 3. Prosedur Pelaksanaan metode AIS. Prosedur tindakan metode Aktif Isolated Stretching (AIS) adalah sebagai berikut: 1. Sampel diminta untuk berbaring diatas matras dalam posisi yang nyaman. 2. Sampel diminta untuk memasang yoga strap yang direkatkan permukaan telapak kaki (Gambar 2.8 A) 3. Sampel diminta mengangkat kakinya (dengan lutut dalam posisi full extensi atau Straight Leg Raises dan ankle dalam posisi dorsi flexion) sehingga membentuk Hip dalam posisi flexi (Gambar 2.8 B) 4. Sampel menahan posisi tersebut selama 2 detik dan dilakukan pengulangan sebanyak 10 kali dan 2 set. 5. Sebelumnya sampel diberi demo terlebih dahulu oleh Fisioterapis. A B Gambar 2.8 Contoh Metode Aktif Isolated Stretching (AIS) A. Memasang Yoga Strap Sebelum Stretching. B. Penguluran otot Hamstring (Williams, 2011).

29 Propioceptive Neural Fascilitation (PNF) Stretching 1. Pengertian Propioceptive Neural Fascilitation (PNF) Stretching merupakan teknik peregangan yang umum digunakan baik dalam lingkungan atletik maupun klinis, untuk meningkatkan ROM baik secra Aktif Range of Motion (AROM) maupun Pasif Range of Motion (PROM) dengan maksud untuk mengoptimalkan motor performance pada otot. Penggunaan metode ini sangat efektif untuk meningkatkan ROM dalam waktu yang sangat cepat. (Sharman et al, 2006). Menurut Hwang (2013) proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) terdiri dari beberapa macam teknik stretching beberapa macam teknik tersebut yakni hold relax (HR), static stretching (SS) dan contrax relax (CR). Pada penelitian ini penulis memilih HRS untuk dijadikan metode penanganan pada HMTs untuk meningkatkan fleksibilitas otot hamstring Hold Relax Stretching (HRS). 1. Pengertian. Menurut Hwang (2013), HRS merupakan bagian metode aplikasi Propioceptive Neural Fascilitation (PNF). Hwang juga mengatakan bahwa metode ini sangat membantu meningkatkan fleksibilitas otot dengan cara mengkombinasikan kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan kemudian dilanjutkan dengan rileksasi serta tambahan stretching secara pasif pada otot tersebut. Alder et al (2008) menerangkan bahwa HRS terbagi menjadi dua teknik, yaitu : Direct Treatment (DT) dan Indiricet Treatment

30 38 (IT). DT merupakan teknik yang menggunakan kontraksi isometrik pada otot agonisnya pada Target Muscle (TM). Sedangkan IT merupakan teknik yang menggunakan kontraksi isometrik pada otot antagonisnya. Kontraksi isometrik pada otot antagonisnya bertujuan untuk menstimulasi panjang otot melalui sistem Reciprocal Inhibition (RI). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ghanbari et al (2013) yang membandingkan HRS dengan Static Stretching terhadap Hamstring Tightness pada sampel sebanyak 51 pria, dengan rata-rata usia sekitar yang dilakukan 2 kali dalam seminggu selama 3 minggu ditemukan bahwa pada group perlakuan HRS menunjukan hasil yang signifikan terhadap peningkatan hamstring extensibility dibandingkan group perlakuan static stretching. 2. Respon fisiologis HRS Terhadap Peningkatan Panjang Otot Secara umum HRS dilakukan untuk mendapatkan efek rileksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Mekanisme penambahan panjang otot hamstring dengan intervensi HRS adalah dengan kontraksi isometrik, pada HRS akan meningkatkan rileksasi otot melalui pelepasan analgesik endogenous opiate sehingga nyeri regang dapat diturunkan atau dihilangkan. Adanya komponen stretching pada HRS maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktivasi GTO sehingga relaksasi dapat dicapai dan nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Pemberian intervensi HRS dapat megurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal crosslinks dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan intervensi

31 39 HRS serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa kekacauan serabut atau akibat abnormal cross links pada ketegangan akibat pemendekan otot. Adanya kontraksi isometrik pada intervensi HRS akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari MS untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal. Pada kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus GTO sehingga memicu rileksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon dengan perbandingan 2:3. Pada metode HRS, rileksasi setelah kontraksi isometrik dilakukan selama 7-15 detik dimana dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal yang difasilitasi oleh reverse innervation tadi. Proses rileksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. 3. Prosedur Pelaksanaan metode HRS. Prosedur tindakan metode Hold Relax Stretching (HRS) pada otot hamstring adalah sebagai berikut : a) Sebelumnya sampel dijelaskan terlebih dahulu terkait intervensi yang akan diberikan. b) Pasien diminta untuk berbaring diatas matras dalam posisi yang nyaman.

32 40 c) Terapis berada berhadapan dengan sampel dan terapis meminta sampel untuk mengangkat kaki dalam posisi Straight Leg Raises d) Terapis menahan posisi kaki sampel, dan meminta sampel untuk mendorong kaki kearah depan (hip extension) sekuatnya kearah terapis. Dan terapis terus menahan sampai 10 detik (Gambar 2.9 A). e) Setelah itu terapis mendorong segera kaki sampel kearah depan dan ditahan sekitar 30 detik (Millar, 2012) lihat Gambar 2.9 B. f) Lakukan secara bergantian antara kaki kanan dan kiri sebanyak tiga kali pengulangan dalam tiap sesinya. A B Gambar 2.9 Contoh Metode Hold Relax Stretching (HRS) A.Sampel diminta untuk mendorong kakinya. B. Fisioterapis men-stretching otot hamstring secara pasif. (Anonim, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan rutin, hal tersebut menjadi suatu hal yang alamiah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan rutin, hal tersebut menjadi suatu hal yang alamiah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas sehari-hari seperti bersekolah, dan bekerja merupakan kegiatan rutin, hal tersebut menjadi suatu hal yang alamiah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk menjalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu bergerak dan beraktivitas dalam kehidupannya. Semua bentuk kegiatan manusia selalu memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut manusia melakukan macam aktivitas. Aktivitas yang sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut manusia melakukan macam aktivitas. Aktivitas yang sangat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat manusia dituntut untuk hidup lebih maju mengikuti perkembangan tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan sehari-hari manusia dalam bekerja dan beraktivitas selalu melibatkan anggota gerak tubuhnya. Manusia adalah makhluk yang memerlukan gerak karena hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan atau aktivitas sehari-hari dalam kehidupannya. Salah satu contoh aktivitas seharihari adalah bersekolah,kuliah,bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidup sehat adalah tujuan semua orang. Salah satu yang mempengaruhi kualitas hidup individu adalah kondisi fisiknya sendiri. Sehingga manusia yang sehat sudah tentu

Lebih terperinci

METODE ACTIVE ISOLATED STRETCHING

METODE ACTIVE ISOLATED STRETCHING METODE ACTIVE ISOLATED STRETCHING (AIS) DAN METODE HOLD RELAX STRETCHING (HRS) SAMA EFEKTIF DALAM MENINGKATKAN FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING PADA MAHASISWA AKADEMI FISIOTERAPI WIDYA HUSADA SEMARANG YANG

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Sindroma miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Sindroma miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau 61 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Sindroma miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau beberapa titik picu (trigger points) dan dicirikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kebugaran serta dilakukan dengan aturan tertentu, dimana dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kebugaran serta dilakukan dengan aturan tertentu, dimana dengan tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Olahraga adalah suatu kegiatan fisik yang merupakan salah satu cara untuk dapat meningkatkan kebugaran serta dilakukan dengan aturan tertentu, dimana dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menuju Indonesia Sehat 2010 merupakan program pemerintah dalam mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai macam kondisi yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari mulai alat komunikasi, alat perkantoran, alat transportasi sampai sistem

BAB I PENDAHULUAN. Dari mulai alat komunikasi, alat perkantoran, alat transportasi sampai sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kini, perkembangan zaman semakin pesat. Setiap waktunya lahir berbagai teknologi baru yang memudahkan manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Dari mulai alat komunikasi,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Biomekanik Otot Hamstring Otot hamstring berfungsi sebagai gerakan untuk fleksi dari knee joint dan membantu untuk gerakan ekstensi dari hip joint. Hamstring juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia tidak akan terlepas dari masa remaja. Masa remaja merupakan saah satu periode dari perkembangan manusia, masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut menjadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknogi (IPTEK) pada zaman globalisasi telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut menjadikan pekerjaan manusia lebih hemat waktu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan anggota gerak bawah. Yang masing-masing anggota gerak terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. dan anggota gerak bawah. Yang masing-masing anggota gerak terdiri atas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu bergerak dalam menjalankan aktivitasnya. Sering kita jumpai seseorang mengalami keterbatasan gerak dimana hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkup perkantoran biasanya sudah dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas serta

BAB I PENDAHULUAN. lingkup perkantoran biasanya sudah dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era modern seperti sekarang, banyak pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian besar orang, salah satunya adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil. Dimana profesi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena 65% penduduk Indonesia adalah usia kerja, 30% bekerja disektor

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena 65% penduduk Indonesia adalah usia kerja, 30% bekerja disektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu dari negara dengan jumlah penduduk terbesar didunia, sangat berkepentingan terhadap masalah kesehatan dan keselamatan kerja. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik dengan menggunakan anggota tubuhnya. Biasanya anggota yang. badan, pergerakan tersebut bisa terjadi pada saat beraktivitas.

BAB I PENDAHULUAN. fisik dengan menggunakan anggota tubuhnya. Biasanya anggota yang. badan, pergerakan tersebut bisa terjadi pada saat beraktivitas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk hidup yang banyak melakukan kerja fisik dengan menggunakan anggota tubuhnya. Biasanya anggota yang sering digunakan terutama bagian kaki. Gerak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. munculnya masalah tersebut, seseorang akan mengkompensasinya dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. munculnya masalah tersebut, seseorang akan mengkompensasinya dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktivitas manusia tidak bisa terlepas dengan fungsi kaki. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, fungsi kaki sangat berperan. Perjalanan seribu mil pun selalu dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aktifitas manusia dalam hidupnya dilakukan dengan bergerak.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aktifitas manusia dalam hidupnya dilakukan dengan bergerak. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk yang memerlukan gerak karena hampir seluruh aktifitas manusia dalam hidupnya dilakukan dengan bergerak. Kebutuhan gerak ini harus terpenuhi agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsional untuk menjadikan manusia menjadi berkualitas dan berguna

BAB I PENDAHULUAN. fungsional untuk menjadikan manusia menjadi berkualitas dan berguna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepanjang hidupnya, manusia tidak terlepas dari proses gerak. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan berbagai macam aktifitas yang dipengaruhi oleh tugas, kepribadian,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pembuatan skripsi ini ditujukan sebagai suatu kewajiban untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Fisioterapi.

KATA PENGANTAR. Pembuatan skripsi ini ditujukan sebagai suatu kewajiban untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Fisioterapi. KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan judul EFEKTIVITAS ANTARA NORDIC HAMSTRING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju, berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju, berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju, berbagai macam teknologi telah digunakan untuk membuat segala pekerjaan menjadi lebih efisien. Komputer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu melibatkan anggota gerak tubuhnya. Suatu pergerakan

BAB I PENDAHULUAN. selalu melibatkan anggota gerak tubuhnya. Suatu pergerakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan sehari-hari manusia dalam bekerja dan beraktivitas selalu melibatkan anggota gerak tubuhnya. Suatu pergerakan membutuhkan kontraksi dari otot-otot yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di zaman globalisasi sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di zaman globalisasi sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di zaman globalisasi sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berkembang sangat pesat, bisa kita lihat di dalam perkembangan ilmu pengetahuan misalnya,

Lebih terperinci

Skeletal: Otot: Sendi: Fasia Hubungan sistem muskuloskeletal dengan reproduksi wanita

Skeletal: Otot: Sendi: Fasia Hubungan sistem muskuloskeletal dengan reproduksi wanita Skeletal: Struktur jaringan tulang Klasifikasi tulang Tulang tengkorak, rangka dada, tulang belakang, panggul, ekstremitas atas dan bawah Sendi: Klasifikasi berdasarkan gerakan Klasifikasi berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana jika kesehatan terganggu maka akan dapat mempengaruhi. kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. mana jika kesehatan terganggu maka akan dapat mempengaruhi. kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan di mana jika kesehatan terganggu maka akan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti HNP, spondyloarthrosis, disc migration maupun patologi fungsional

BAB I PENDAHULUAN. seperti HNP, spondyloarthrosis, disc migration maupun patologi fungsional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Vertebra memiliki struktur anatomi paling kompleks dan memiliki peranan yang sangat penting bagi fungsi dan gerak tubuh. Patologi morfologi seperti HNP, spondyloarthrosis,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. gerak: nyeri cukup berat, sedangkan pada terapi ke-6 didapatkan hasil bahwa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. gerak: nyeri cukup berat, sedangkan pada terapi ke-6 didapatkan hasil bahwa BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Nyeri Hasil evaluasi nyeri dengan menggunakan VDS didapatkan hasil bahwa pada terapi ke-0 nyeri diam: tidak nyeri, nyeri tekan: nyeri ringan, nyeri gerak: nyeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa dengan segala tuntutan belajarnya dewasa ini semakin rendah kesadaran akan bergerak dan berolahraga. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organitation/WHO)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fleksibilitas 2.1.1 Pengertian Fleksibilitas adalah kemampuan suatu jaringan atau otot untuk mengalami pemanjangan semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan. melakukan atifitas atau pekerjaan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan. melakukan atifitas atau pekerjaan sehari-hari. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Negara Indonesia merupakan negara dengan jumah penduduk yang memasuki peringkat 5 besar penduduk terbanyak didunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang melakukan aktifitas fisik untuk menunjang hidup sehat, karena Kesehatan sangat penting bagi kehidupan manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sangat pesat, bisa kita lihat di dalam perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sangat pesat, bisa kita lihat di dalam perkembangan ilmu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berkembang sangat pesat, bisa kita lihat di dalam perkembangan ilmu pengetahuan misalnya, banyak sekali

Lebih terperinci

PELATIHAN METODE ACTIVE ISOLATED STRETCHING LEBIH EFEKTIF DARIPADA CONTRACT RELAX STRETCHING DALAM MENINGKATKAN FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING

PELATIHAN METODE ACTIVE ISOLATED STRETCHING LEBIH EFEKTIF DARIPADA CONTRACT RELAX STRETCHING DALAM MENINGKATKAN FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING PELATIHAN METODE ACTIVE ISOLATED STRETCHING LEBIH EFEKTIF DARIPADA CONTRACT RELAX STRETCHING DALAM MENINGKATKAN FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING Wismanto Fisioterapi Rumah Sakit Advent Bandung Jalan Cihampelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang statis dan overload dalam waktu yang lama dapat menyebabkan ketenganan

BAB I PENDAHULUAN. yang statis dan overload dalam waktu yang lama dapat menyebabkan ketenganan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bekerja dan bersekolah merupakan beberapa aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya. Seperti Bekerja didepan komputer dengan posisi yang statis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menghambat aktivitas kegiatan sehari-hari, di Jerman persentase

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menghambat aktivitas kegiatan sehari-hari, di Jerman persentase BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cedera ligamen kolateral medial sendi lutut merupakan salah satu gangguan yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas dan fungsional, sehingga menghambat aktivitas

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental bertujuan untuk

BAB VI PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental bertujuan untuk BAB VI PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental bertujuan untuk mengetahui perbedaan kombinasi Mc.Kenzie dan William flexion exercise dengan pilates exercise dalam meningkatkan keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh tugas, kepribadian, dan lingkungan, seperti bekerja, olahraga,

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh tugas, kepribadian, dan lingkungan, seperti bekerja, olahraga, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang hidupnya, manusia tidak terlepas dari proses gerak. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan berbagai macam aktifitas yang dipengaruhi oleh tugas,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Pada remaja kemampuan berkembang secara fisik masih sangat baik. Waktu utama untuk pertumbuhan otot yang optimal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat berinteraksi atau beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat berinteraksi atau beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk biopsikososial membutuhkan kondisi yang optimal untuk dapat berinteraksi atau beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya manusia harus melakukan aktivitas untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya manusia harus melakukan aktivitas untuk memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya manusia harus melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Melakukan aktivitas fisik dengan membiarkan tubuh bergerak secara aktif tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dengan menggunakan bahan malam atau lilin melalui alat yang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dengan menggunakan bahan malam atau lilin melalui alat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara yang kaya akan seni. Salah satu karya seni dari masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun-temurun adalah batik. Dalam Balai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi saat ini sangat berkembang pesat. Dimana sangat membawa dampak perubahan yang sangat besar terhadap gaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan sangat penting bagi manusia untuk hidup dan untuk melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah suatu keadaan dimana seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan, kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laktat merupakan produk akhir dari metabolisme anaerobik, proses ini berlangsung tanpa adanya oksigen.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laktat merupakan produk akhir dari metabolisme anaerobik, proses ini berlangsung tanpa adanya oksigen. digilib.uns.ac.id 18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laktat merupakan produk akhir dari metabolisme anaerobik, proses ini berlangsung tanpa adanya oksigen. Selama latihan fisik akan terjadi

Lebih terperinci

FLEKSIBILITAS PENGERTIAN FLEKSIBILITAS

FLEKSIBILITAS PENGERTIAN FLEKSIBILITAS FLEKSIBILITAS PENGERTIAN FLEKSIBILITAS Fleksibilitas mengandung pengertian, yaitu luas gerak satu persendian atau beberapa persendian. Ada dua macam fleksibilitas, yaitu (1) fleksibilitas statis, dan (2)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya kemajuan dibidang teknologi dan komunikasi menyebabkan perubahan gaya hidup manusia, dampak besar yang terjadi terlihat jelas pada status kesehatan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis

Lebih terperinci

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot Tinjauan Umum Jaringan Otot Tipe Otot Otot rangka menempel pada kerangka, lurik, dapat dikontrol secara sadar Otot jantung menyusun jantung, lurik, dikontrol secara tidak sadar Otot polos, berada terutama

Lebih terperinci

PENGARUH DURASI STATIC STRETCHING OTOT HAMSTRING TERHADAP PENINGKATAN EKSTENSI SENDI LUTUT PADA LANJUT USIA DI POSYANDU SERANGAN DESA BLULUKAN

PENGARUH DURASI STATIC STRETCHING OTOT HAMSTRING TERHADAP PENINGKATAN EKSTENSI SENDI LUTUT PADA LANJUT USIA DI POSYANDU SERANGAN DESA BLULUKAN PENGARUH DURASI STATIC STRETCHING OTOT HAMSTRING TERHADAP PENINGKATAN EKSTENSI SENDI LUTUT PADA LANJUT USIA DI POSYANDU SERANGAN DESA BLULUKAN Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. memiliki rerata umur sebesar 36,65 ± 7,158 dan kelompok perlakuan

BAB VI PEMBAHASAN. memiliki rerata umur sebesar 36,65 ± 7,158 dan kelompok perlakuan BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sampel Deskripsi sampel pada penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, dan disabilitas. Berdasarkan umur diperoleh data bahwa kelompok kontrol memiliki rerata umur

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari 3 kumpulan otot diantaranya otot semitendinosus, otot

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari 3 kumpulan otot diantaranya otot semitendinosus, otot 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Biomekanik 2.1.1 Otot Hamstring Otot hamstring merupakan salah satu group otot besar yang terdiri dari 3 kumpulan otot diantaranya otot semitendinosus, otot semimembranosus,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan gerak tubuh yang benar maka akan terus menerus dipertahankan di

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan gerak tubuh yang benar maka akan terus menerus dipertahankan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan pada manusia ada empat fase, yaitu fase anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Remaja adalah fase yang sangat penting yang menjadi kunci pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri tak tertahankan, mempengaruhi tangan, punggung, leher, lengan, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. nyeri tak tertahankan, mempengaruhi tangan, punggung, leher, lengan, bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Myalgia cervical atau sering dikenal dengan nyeri otot leher adalah suatu kondisi kronis dimana otot mengalami ketegangan atau terdapat kelainan struktural tulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum dan untuk mencapai tujuan

Lebih terperinci

yaitu tidak perlu menghabiskan waktu lama untuk menjalankan pelatihan peregangan

yaitu tidak perlu menghabiskan waktu lama untuk menjalankan pelatihan peregangan PELATIHAN METODE ACTIVE ISOLATED STRETCHING LEBIH EFEKTIF DARIPADA CONTRACT RELAX STRETCHING DALAM MENINGKATKAN FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING Wismanto Fisioterapi Rumah Sakit Advent Bandung Jalan Cihampelas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dilakukan pada saat hendak melakukan latihan, terdiri dari sekelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dilakukan pada saat hendak melakukan latihan, terdiri dari sekelompok BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peregangan merupakan salah satu bagian dasar dari program permulaan yang dilakukan pada saat hendak melakukan latihan, terdiri dari sekelompok aktivitas fisik. Peregangan

Lebih terperinci

Ada beberapa bentuk metode atau tipe latihan yang dapat diaplikasikan oleh pasien stroke diantaranya adalah :

Ada beberapa bentuk metode atau tipe latihan yang dapat diaplikasikan oleh pasien stroke diantaranya adalah : FISIOTERAPI Penanganan fisioterapi pasca stroke adalah kebutuhan yang mutlak bagi pasien untuk dapat meningkatkan kemampuan gerak dan fungsinya. Berbagai metode intervensi fisioterapi seperti pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun jumlahnya cenderung mengalami peningkatan. Menurut Kantor

BAB I PENDAHULUAN. tahun jumlahnya cenderung mengalami peningkatan. Menurut Kantor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan penduduk lanjut usia (Lansia) di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung mengalami peningkatan. Menurut Kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan mahkluk sosial yang saling berinteraksi dengan lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal dalam bergerak atau beraktivitas.

Lebih terperinci

MANFAAT LATIHAN STATIC ACTIVE STRETCHING DAN MC KENZIE LEHER PADA SINDROMA MIOFASIAL LEHER PENJAHIT

MANFAAT LATIHAN STATIC ACTIVE STRETCHING DAN MC KENZIE LEHER PADA SINDROMA MIOFASIAL LEHER PENJAHIT MANFAAT LATIHAN STATIC ACTIVE STRETCHING DAN MC KENZIE LEHER PADA SINDROMA MIOFASIAL LEHER PENJAHIT SKRIPSI DISUSUN SEBAGAI PERSYARATAN DALAM MERAIH GELAR SARJANA SAINS TERAPAN FISIOTERAPI Disusun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan satu kesatuan dari tulang, sendi, otot dan saraf. Anggota gerak ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan satu kesatuan dari tulang, sendi, otot dan saraf. Anggota gerak ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia bekerja dan beraktifitas melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh anggota gerak tubuh. Setiap anggota gerak merupakan satu kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa memiliki beranekaragam aktivitas sehingga dituntut memiliki gerak fungsi yang baik dalam hal seperti mengikuti perkuliahan, melaksanakan tugas-tugas kuliah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih mengalami pertumbuhan dan perkembangannya sehingga remaja berasal

BAB I PENDAHULUAN. masih mengalami pertumbuhan dan perkembangannya sehingga remaja berasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia tidak terlepas dari masa remaja. Dalam masa ini, anak masih mengalami pertumbuhan dan perkembangannya sehingga remaja berasal dari kata latin adolance

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di suatu

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di suatu negara, seperti pada kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, sesama manusia maupun lingkungan, baik secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, sesama manusia maupun lingkungan, baik secara langsung 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan mahluk sosial yang satu sama lainnya saling berinteraksi, sesama manusia maupun lingkungan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, verbal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS. Kinesiologi adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia pada waktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS. Kinesiologi adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia pada waktu BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Kinesiologi dan Biomekanika Kinesiologi adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia pada waktu melakukan gerakan. 6 Beberapa disiplin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena

PENDAHULUAN. Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena olahraga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta akan dapat berdampak kepada

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN AUTOSTRETCHING TERHADAP FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING PADA KASUS TIGHTNESS HAMSTRING NASKAH PUBLIKASI

PENGARUH PEMBERIAN AUTOSTRETCHING TERHADAP FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING PADA KASUS TIGHTNESS HAMSTRING NASKAH PUBLIKASI PENGARUH PEMBERIAN AUTOSTRETCHING TERHADAP FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING PADA KASUS TIGHTNESS HAMSTRING NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh : DANIATI AGUSTIN J120111023 PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka kesehatan fisik ialah salah satu hal yang penting. Kesehatan fisik

BAB I PENDAHULUAN. maka kesehatan fisik ialah salah satu hal yang penting. Kesehatan fisik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin majunya perkembangan jaman, persaingan dalam segala bidang semakin ketat. Untuk mampu mengikuti persaingan yang semakin ketat dibutuhkan kualitas sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. yang lama dan berulang, akan menimbulkan keluhan pada pinggang bawah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. yang lama dan berulang, akan menimbulkan keluhan pada pinggang bawah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada perkembangan jaman sekarang ini, kesehatan merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Sehat adalah suatu kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengguna jasa asuransi kesehatan. Pengertian sehat sendiri adalah suatu kondisi

BAB I PENDAHULUAN. pengguna jasa asuransi kesehatan. Pengertian sehat sendiri adalah suatu kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kesehatan saat ini merupakan hal yang sangat penting dikarenakan meningkatnya jumlah pasien di rumah sakit dan meningkat juga pengguna jasa asuransi kesehatan.

Lebih terperinci

Latihan Kondisi Fisik (Latihan Kemampuan Dasar) Oleh: dr. Hamidie Ronald,M.Pd, AIFO

Latihan Kondisi Fisik (Latihan Kemampuan Dasar) Oleh: dr. Hamidie Ronald,M.Pd, AIFO Latihan Kondisi Fisik (Latihan Kemampuan Dasar) Oleh: dr. Hamidie Ronald,M.Pd, AIFO Latihan Ergosistema Primer 1. Latihan kerangka ------ flexibilitas 2. Latihan Otot : a. Latihan kekuatan dan daya tahan

Lebih terperinci

Hal ini sesuai dengan Permenkes No.80 tahun 2013 tentang penyelenggaraan

Hal ini sesuai dengan Permenkes No.80 tahun 2013 tentang penyelenggaraan 2 Hal ini sesuai dengan Permenkes No.80 tahun 2013 tentang penyelenggaraan kerja dan praktik fisioterapi yang menyatakan bahwa fisioterapi merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. langsung dan tidak langsung, kesehatan masyarakat juga perlu. With Low Back Pain : A Randomized Controllled Trial Bukti juga

BAB 1 PENDAHULUAN. langsung dan tidak langsung, kesehatan masyarakat juga perlu. With Low Back Pain : A Randomized Controllled Trial Bukti juga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan dan keselamatan dalam bekerja sangat penting bagi masyarakat yang berkaitan dengan semua pekerjaan yang berhubungan dengan faktor potensial yang mempengaruhi

Lebih terperinci

Dwi Rosella Komalasari 1, Ali Ahyar Ridha 2

Dwi Rosella Komalasari 1, Ali Ahyar Ridha 2 PENGARUH MUSCLE ENERGY TECHNIQUE ISOMETRIK DAN STATIC STRETCHING TERHADAP FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRINGS PADA SISWA DI SEKOLAH SEPAK BOLA (SSB) ANGKASA SURAKARTA Dwi Rosella Komalasari 1, Ali Ahyar Ridha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telapak kaki. Bentuk kaki datar pada masa bayi dan anak-anak dengan usia

BAB I PENDAHULUAN. telapak kaki. Bentuk kaki datar pada masa bayi dan anak-anak dengan usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaki merupakan bagian tubuh yang berfungsi untuk menopang berat badan, namun banyak diantara kita yang memiliki masalah dengan kaki, salah satunya ialah Flat Foot atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, biologis,

BAB I PENDAHULUAN. kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, biologis, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Istilah kesehatan dalam kehidupan sehari-hari sering dipakai untuk menyatakan bahwa sesuatu dapat bekerja secara normal. Kebanyakan orang mengatakan sehat jika badannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang. merokok dan minum-minuman keras. Mereka lebih memilih sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang. merokok dan minum-minuman keras. Mereka lebih memilih sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi manusia. kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengertian kesehatan menurut UU Kesehatan RI Nomor 36 tahun 2009 bab 1 pasal 1 yaitu Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mobilisasi yang baik, tidak ada keluhan dan keterbatasan gerak terutama

BAB I PENDAHULUAN. dan mobilisasi yang baik, tidak ada keluhan dan keterbatasan gerak terutama 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG WHO menyatakan Health is a state of complete physical, mental and social well being and not merely the absence of deaseas or infirmity. Sehat adalah suatu keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga kehidupan yang berkaitan dengan lingkungan sekitar. Sehat

BAB I PENDAHULUAN. hingga kehidupan yang berkaitan dengan lingkungan sekitar. Sehat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan sangat penting bagi manusia untuk hidup, dan melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam memenuhi kebutuhan sehariharinya hingga kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, tingkat aktivitas masyarakat Indonesia semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga

Lebih terperinci

Blanko Kuisioner Neck Disability Index (NDI)

Blanko Kuisioner Neck Disability Index (NDI) Lampiran 1 Blanko Kuisioner Neck Disability Index (NDI) 1. Intensitas Nyeri a Saat ini saya tidak merasa nyeri (nilai 0) b. Saat ini nyeri terasa sangat ringan (nilai 1) c. Saat ini nyeri terasa ringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melakukan pekerjaan, seseorang atau sekelompok pekerja

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melakukan pekerjaan, seseorang atau sekelompok pekerja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam melakukan pekerjaan, seseorang atau sekelompok pekerja beresiko mendapat kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam kegiatannya yaitu penggunaan remote control, komputer,

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam kegiatannya yaitu penggunaan remote control, komputer, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini teknologi sudah sangat berkembang sehingga memudahkan semua kegiatan, sehingga membuat manusia menjadi kurang bergerak (hypokinetic), seperti contohnya tehnologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekedar jalan-jalan atau refreshing, hobi dan sebagainya. Dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN. sekedar jalan-jalan atau refreshing, hobi dan sebagainya. Dalam melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupannya manusia memiliki banyak aktivitas untuk dilakukan baik itu rutin maupun tidak rutin. Ada berbagai macam aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. stabilitas sendi dapat menurunkan proprioseptif dan koordinasi yang dapat. mengakibatkan meningkatkan risiko cedera.

BAB I PENDAHULUAN. stabilitas sendi dapat menurunkan proprioseptif dan koordinasi yang dapat. mengakibatkan meningkatkan risiko cedera. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekuatan dan daya tahan otot saling mempengaruhi. Saat kekuatan otot meningkat, daya tahan juga meningkat dan sebaliknya. Lemahnya stabilitas sendi dapat menurunkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hamstring Tightness Hamstring adalah kelompok otot besar yang melalui sendi pinggul dan sendi lutut dan sangat penting untuk fungsi normal berkaitan dengan berlari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas adalah berjalan. Untuk dapat menghasilkan mekanisme pola berjalan yang harmonis, maka kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak selektif dalam menjalani kehidupan sehari-hari akan mudah. dalam beradaptasi terhadap lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak selektif dalam menjalani kehidupan sehari-hari akan mudah. dalam beradaptasi terhadap lingkungan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit yang terdapat di dunia saat ini sangatlah variasi dan berkembang seiring berkembangnya modernitas kehidupan dan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pola

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, manusia melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Kebugaran jasmani ialah kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan sehari-hari dengan ringan tanpa merasakan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk melakukan

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh: AYUDIA SEKAR PUTRI J

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh: AYUDIA SEKAR PUTRI J NASKAH PUBLIKASI PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA STIFFNESS ELBOW DEXTRA POST FRAKTUR SUPRACONDYLAR HUMERI DENGAN K-WIRE DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL Disusun oleh: AYUDIA SEKAR PUTRI J 100 090 02

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: muscle energy technique isometric, static stretching, fleksibilitas, hamstring.

ABSTRAK. Kata kunci: muscle energy technique isometric, static stretching, fleksibilitas, hamstring. MUSCLES ENERGY TECHNIQUE ISOMETRIC LEBIH MENINGKATKAN FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING DARI PADA STATIC STRETCHING PADA PEMAIN SEPAK BOLA PHYSIO TEAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA HUN 1 I Made Wahyu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tahun dengan diagnosa medis CTS dextra diperoleh permasalahan berupa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tahun dengan diagnosa medis CTS dextra diperoleh permasalahan berupa BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Setelah dilakukan proses assessment pada pasien Ny. DA usia 44 tahun dengan diagnosa medis CTS dextra diperoleh permasalahan berupa nyeri tekan dan gerak pada pergelangan

Lebih terperinci

Perwujudan kerja ditampilkan oleh rangka yg digerakkan oleh otot-otot. Gerakan otot-otot diatur oleh syaraf

Perwujudan kerja ditampilkan oleh rangka yg digerakkan oleh otot-otot. Gerakan otot-otot diatur oleh syaraf Perwujudan kerja ditampilkan oleh rangka yg digerakkan oleh otot-otot. Gerakan otot-otot diatur oleh syaraf SKELET OTOT SARAF KESATUAN PERTAMA YG MELAKSANAKAN GERAK ERGOSISTEMA I MENDUKUNG DARAH & CAIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laptop dan bekerja sambil duduk di depan komputer dapat mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. laptop dan bekerja sambil duduk di depan komputer dapat mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktifitas duduk lama seperti saat kegiatan perkuliahan, bermain laptop dan bekerja sambil duduk di depan komputer dapat mengakibatkan imbalance muscle. Posisi duduk

Lebih terperinci