Republik Indonesia, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 tahun 2004.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Republik Indonesia, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 tahun 2004."

Transkripsi

1 Republik Indonesia, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 tahun Republik Indonesia, Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Republik Indonesia, Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

2 DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia Human Right A Complitation of International Instruments, (New York, United Nation, 1993) hal 3. Indonesia legal Centre Publishing, Klien dan Penasehat Hukum, Yudha Pandu, M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, buku I. Sinar Grafika , Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, buku II. Sinar Grafika Mangasi Sidabutar. Hak Terpidana, Terpidana, Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum. Raja Grafindo Persada Osman Simanjuntak. Teknik Tuntutan dan Upaya Hukum R. Soesilo. Hukum Acara Pidana. Politeia Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 tahun 1981 (KUHAP). Republik Indonesia, Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Republik Indonesia, Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.

3 Yurisprudensi MARI No. 11 PK/Pid/1993 tanggal 13 Desember 1994 yang menyatakan : Alasan peninjauan kembali berupa keterangan terdakwa Asun dalam suatu perkara pidana yang mengakui dalam sidang bahwa ia membunuh Pamor dalam perkara pidana lain, dimana terdakwanya adalah Lingah, Pangah dan Sumir yang telah dipidana dan berkekuatan tetap, maka pengakuan Asun tersebut haruslah ditindaklanjuti berupa Asun disidik, dituntut dan disidangkan sampai ada putusan hakim terhadap Asun. Bilamana tidak atau belum ditindaklanjuti maka keterangan atau pengakuan Asun tersebut bukan merupakan keadaan baru atau novum eks. Pasal 263 (2) a KUHAP. Demikian juga berkaitan dengan alasan novum sebagaimana Yurisprudensi No. 14 K/Pid/1997 tanggal 14 November 1997 menegaskan : Putusan perkara perdata yang menyebutkan gugatan pemohon peninjauan kembali dapat diajukan sebagai novum dalam perkara peninjauan kembali pidana yang membatalkan putusan kasasi dan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. - ooo -

4 1. Apabila terdapat keadaan baru sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat bahwa apabila keadaan tersebut diketahui waktu masih sidang berlangsung, putusan yang dijatuhkan akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara ini diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 2. Apabila dalam berbagai putusan terdapat saling pertentangan. 3. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada panitera pengadilan negeri yagn memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Dan untuk pertanggungjawaban yuridis, panitera pengadilan negeri yang meminta permohonan peninjauan kembali mencatat permintaan itu dalam sebuah akte keterangan yang lazim juga disebut akta permintaan peninjauan kembali. Akta atau surat keterangan tersebut ditandatangani oleh panitera dan pemohon kemudian akte tersebut dilampirkan dalam berkas perkara. Sikap yang dapat diambil oleh Mahkamah Agung berkaitan dengan pengajuan PK adalah antara lain : 1. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon maka mahkamah agung menolak PK dengan menetapkan putusan yang dimintakan PK tetap berlaku disertai dasar pertimbangan. 2. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon maka Mahkamah Agung membatalkan putusan PK itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa : a. Putusan bebas b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum c. Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum d. Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan Berkaitan dengan PK terdapat beberapa Yurisprudensi MARI antara lain :

5 oleh karena judec factie salah menerpakan hukum. Dalam hal ini Ordonansi Bea Stbl No. 471 telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan berlakunya UU No. 10 tahun 1985 pada 1 april 1995 sedangkan perbuatan terdakwa pada tanggal 6 Desember C. Peninjauan Kembali / Heerzening. Dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP disebutkan : terhadap putusan pengadilan yan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Dalam pasal 264 ayat 3 KUHAP secara tegas menetapkan bahwa permintaan mengajukan peninjauan kembali adalah tanpa batas waktu. Dalam hal ini tidak ada batas tenggang waktu untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Kapan saja boleh diajukan. Pengajuan Peninjauan Kembali yaitu : Dapat diajukan terhdap putusan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekutan hukum tetap Dapat diajukan terhadap putusan pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekutan hukum tetap Dapat diajukan terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekutan hukum tetap Alasan peninjauan kembali dapat berupa :

6 Beberapa Yurisprudensi berkaitan dengan kasasi antara lain : Yurisprudensi MARI No. 47 K/Kr/1971 tanggal 20 September 1972 : Keberatan yang diajukan penuntut umum bahwa ia tidak diberitahu tentang permohonan banding dari jaksa dan tidak diberitahu isi memori banding sehingga ia tidak dapat mengajukan kontra memori banding. Tidak dapat diterima, karena hal tersebut tidak menyebabkan batalnya putusan, lagi pula kontra memori banding tidak bersifat menentukan, karena dalam tingkat banding perkara diperiksa kembali dalam keseluruhannya. Yurisprudensi MARI No. 104 K/Kr/1977 tanggal 16 Oktober 1977 : Keberatan penuntut kasasi bahwa memori banding jaksa tidak pernah dikemukakan kepadanya tidak dapat diterima, karena hal tersebut tidak menyebabkan batalnya putusan, lagi pula dengan tingkat banding perkara ditinjau secara menyeluruh. Ilustrasi pemeriksaan kasasi mengenai salah penerapan hukum : Posisi kasus : Pada tanggal 6 Desember 1995, Nanang Bin Jamberan melakukan penyelundupan bawang putih ke luar negeri dengan cara sebelumnya terdakwa membicarakan dengan Agus tentang rencana tersebut. Ketika bawang berada di kapal tanpa dilindungi dokumen dibawa oleh Nanang maka pada saat itulah Nanang ditangkap. Dipersidangan Nanang di jerat dengan dakwaan primer ketentuan pasal 56 ke 2 KUHP Jo. Pasal 26 Ordonansi Bea Stbl No. 471 Jo. UU No. 7/Drt/1995 Jo. UU No. 8/Drt/1958 Jo. UU No. 21/Prp/1959, sedangkan subsider tindak penadahan. Bahwa dalam putusan kasasi oleh Mahkamah Agung RI membenarkan permohonan kasasi terdakwa dengan alasan keberatan karena Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin menghukum pemohon kasasi berdasarkan UU yang tidak berlaku lagi,

7 Apabila dalam tenggang empat belas hari pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka haknya gugur (pasal 248 (2) KUHAP) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi (pasal 248 (6) KUHAP) Dalam waktu empat belas hari panitera wajib menyampaikan memori kasasi kepada pihak yang mengajukan memori kasasi (pasal 248 (7) KUHAP) Tambahan memori kasasi atau kontra memori kasasi masih dapat ditambahkan masing-masing pihak dalam waktu empat belas hari sesudah permohonan kasasi diajukan (pasal 249 (1) KUHAP) Putusan kasasi oleh Mahkamah Agung terdapat tiga macam yaitu : 1. Menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima Dalam hal ini bila syarat formal tidak dipenuhi. 2. Permohonan kasasi ditolak Dalam hal ini keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan oleh karena judex factie tidak salah menerapkan hukum atau tidak lalai memenuhi acara sebagaimana diwajibkan undang-undang. 3. Permohonan kasasi dikabulkan. Dalam hal ini apabila alasan-alasan yang diajukan pemohon kasasi dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

8 empat belas hari sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa (pasal 245 (1) KUHAP) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun keduanya, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (pasal 246 (1) KUHAP) Apabila lewat empat belas hari tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (pasal 246 (1) KUHAP) Selama perkara belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut dan permohonan kasasi dalam perkara ini tidak dapat diajukan lagi (pasal 247 (1) KUHAP) Apabila perkara telah dimulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sementara pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (pasal 247 (3) KUHAP) Pemohon kasasi wajib mengajukan momori kasasi dan dalam waktu empat belas hari setelah menyatakan/menandatangani akte kasasi dimaksud harus sudah menyerahkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri (pasal 248 (1) KUHAP) Dalam hal pemohon kasasi adlah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera wajib menanyakan apakan alasan kasasi tersebut dan untuk itu panitera membuat memori kasasinya (pasal 248 (2) KUHAP)

9 Jika dipandang perlu, Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat kepada mereka tentang apa yang ingin diketahui atau mahkamah agung dapat pula mendengar keterangan meeka dengan cara pemanggilan yang sama (pasal 253 (4)) Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa pemohonan kasasi mengenai hukumnya, Mahkamah Agung dapat memutus, menolak atau mengabulkan permohonan kasasi (pasal 254) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan-peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan dengan semestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara itu (pasal 255 (1)). Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi, mengenai bagian yang dibatalkan (pasal 255 (2)). Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut (pasal 255 (3)). Keberatan-keberatam kasasi hanya yang berkaitan dengan masalah penerapan hukum semata dan tidak bisa didasarkan kepada penilaian terhadap fakta kecuali bila penilaian terhadap fakta ada kekeliruan, dilihat dari segi penerapan hukum. Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kasasi kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu

10 B. Kasasi. Dalam bahasa Belanda Cassatie dalam bahasa Inggris Cassation dan dalam bahasa Perancis Caesei yang artinya pembatalan putusan pengadilan bawahan (yang telah dijatuhkan), oleh Mahkamah Agung dengan dasar : a. Transgression; melampaui batas wewenang b. Misjudge; salah mengetrapkan atau melanggar peraturan hukum yang berlaku c. Negligent; adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh suatu ketentuan undang-undang yang mengancam kelalaian itu dan membatalkan putusan itu sendiri. Hal-hal yang perlu diperhatikan, dalam permintaan pemeriksaan kasasi antara lain: Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas (pasal 244 KUHAP) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak guna menentukan : a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterpakan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (pasal 253 (1) KUHAP) Berkas perkara yang dikirim ke Mahkamah Agung (melalui panitera) terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara di sidang, semua surat yang timbul disidang yang berhubungan dengan perkara itu, beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir (pasal 253 (2))

11 Pengadilan Negeri. Karena dalam tingkat banding, hakim wajib untuk membaca kembali seluruh berkas perkara yang dimohonkan banding tersebut. A.2. Kontra memori banding Kontra memori banding adalah suatu tulisan yang berupa tanggapan terhadap memori banding atau dengan kata lain kontra banding adalah bertujuan untuk meng-counter memori banding. Makna kontra memori banding untuk menanggapi alasan-alasan yang dimuat dalam momori banding. Dan kontra memori banding ini pada hakekatnya mendukung keputusan pengadilan negeri tingkat pertama. Akibat dari pembandingan atas suatu putusan pengadilan negeri, akan mewujudkan pendirian yang dapat berupa : a. Menguatkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan. Dalam hal ini berarti semua hasil penilaian dan penghargaan pengadilan negeri yang bersangkutan adlah conform dengan pendirian pengadilan negeri. b. Mengubah putusan pengadilan negeri yang bersangkutan. Dalam hal ini, sebagian saja dari hasil penilaian pengadilan negeri yang bersangkutan yang conform dengan penilaian pengadilan tinggi, sedangkan lainnya memerlukan perubahan sesuai dengan pendirian pengadilan tinggi. c. Muncul putusan baru. Dalam hal ini pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan karena tidak didukung hasil penilaian dan penghargaan atas facti yang ada. Putusan baru ini dapat saja berupa yang tadinya putusan pemidanaan diubah menjadi putusan bukan pemidanaan.

12 a. Surat bukti yang merupakan lampiran dari berkas perkara b. Berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan negeri c. Berita acara pemeriksaan dari penyidik d. Semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu termasuk putusan surat dakwaan, dan e. putusan pengadilan negeri Tenggang waktu pengajuan banding ditentukan hanya 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau dalam hal terdakwa tidak hadir dihitung setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa. Dalam pasal 228 KUHAP dinyatakan jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari berikutnya Hak pengajuan permintaan banding itu dianggap gugur apabila tidak memanfaatkan tenggang waktu 7 (tujuh) hari itu untuk mengajukan permintaan banding yang membawa konsekwensi hukum bahwa yang bersangkutan dianggap telah menerima putusan pengadilan negeri yang bersangkutan. A.1. Memori banding Memori banding adalah risalah atau tulisan yang memuat suatu penjelasan. Pihak yang mengajukan banding memuat memori banding untuk menanggapi putusan pengadilan tingkat pertama dan mengajukan hal-hal yang dianggap ada fakta-faktanya atau unsur-unsur yang luput dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya atau terdakwa merasa hukuman (starafmat) yang dijatuhkan terlalu berat. Dalam hal ini peranan memori banding yang didukung oleh data dan dikaitkan dengan abstrak hukum sangat menentukan untuk pertimbangan hakim banding dalam menjatuhkan putusan. Walaupun memori banding bukanlah suatu keharusan untuk diajukan oleh pihak yang mengajukan banding atas putusan

13 BAB V UPAYA HUKUM A. Tingkat Banding (pasal KUHAP) berbunyi : Dasar hukum pengajuan banding diatur dalam pasal 67 KUHAP, yang Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum putusan pengadilan dalam acara cepat Banding merupakan sarana penting untuk melakukan bantahan/sanggahan terhadap putusan pengadilan negeri yang dianggap tidak tepat karena : Kelalaian dalam penerapan hukum acara Kekeliruan melaksanakan hukum Adanya kesalahan dalam pertimbangan hukum, hukum pembuktian dan amar putusan pengadilan pertama. Banding dapat dikatakan suatu judicium novum (pemeriksaan baru) karena jika dipandang perlu Pengadilan Tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum tentang apa yang ingin diketahui oleh Pengadilan Tinggi. Tidak tertutup kemungkinan pada peradilan tingkat ulangan dimajukan saksi, keterangan ahli atau alasan-alasan baru (novum) yang ternyata belum diungkapkan dalam pemeriksaan tingkat pertama. Yang menjadi sasaran (objek) pemeriksaan tingkat banding adalah berkas perkara yang diterima dari Pengadilan Tinggi, yang terdiri dari :

14 a. Hak segera menerima atau segera menolak isi putusan b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat 2 KUHAP) c. Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (pasal 169 ayat 3 KUHAP jo. UU Grasi) d. Hak meminta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 196 ayat (3) Jo. Pasal 233 ayat 2 KUHAP) e. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir a (menolak putusan) dalam waktu yang ditentukan dalam pasal 235 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara it utidak boleh diajukan lagi (pasal 196 ayat 3 KUHAP).

15 Kekeliruan penulisan atau pengetikan terhadap huruf b, c, d, j, k dan l yaitu : Tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum Tetapi kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan atau pengetikan itu dapat diperbaiki. Kekeliruan penulisan atau pengetikan huruf a, e, f, dan h yaitu : Dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum Kelalaian mencantumkannya mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam yurisprudensi MARI No. 793K/Pid/1990 tanggal 16 Maret 1993 : menurut pasal 197 KUHAP, ditentukan bahwa setiap pemidanan hakim wajib mencamtukan dalam putusannya rumusan tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam tuntutan jaksa, ex pasal 197 ayat 1 huruf e KUHAP. Bilamana hakim lalai memuat tuntutan pidana (requisitoir) jaksa dalam putusannya maka akibat hukumnya adalah putusan hakim tersebut menjadi batal demi hukum. Begitu juga dengan barang bukti, Menurut Yurisprudensi MARI No. 129K/Kr/1969 tanggal 17 Juli 1971 menyebutkan : Tidak memberi keputusan barang bukti (surat) yang diajukan di muka sidang dan memberi keputusan atas sesuatu barang yang tidak diajukan sebagai barang bukti di muka sidang tidaklah mengakibatkan batalnya putusan. Judex factie tidak berwenang memberi putusan terhadap barang yang tidak diajukan di muka sidang. Dengan tidak mempertimbangkan dasar dan perampasan barang bukti, oleh karena kedua keputusan tersebut sebagai kurang beralasan harus dibatalkan (Yurisprudensi MARI No. 89K/Kr/1968 Februari 1969). Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidan wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :

16 J. Acara Pembacaan Putusan. Setelah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan berkaitan dengan tindak pidana yang disidangkan tersebut. Bertitik tolak dari kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, bisa berbentuk : 1. Putusan bebas (vrij spraak) 2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum 3. Putusan pemidanaan 4. Penetapan tidak berwenang mengadili 5. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima Hal-hal yang harus dimuat dalam suatu putusan (pasal 197 KUHAP) yaitu : a. Berkepala : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa b. Identitas terdakwa c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan penuntut umum d. Pertimbangan yang lengkap e. Tuntutan pidana penuntut umum f. Peraturan undang-undang yang menjadi dasar pemidanaan g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal h. Pernyataan kesalahan terdakwa i. Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti j. Penjelasan tentang surat palsu k. Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau pembebasan l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera Kekeliruan pengetikan huruf g dan I tidak mutlak membatalkan putusan,

17 menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan delik sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya. H. Replik (oleh Jaksa) Dalam menyusun jawaban atas pembelaan (replik) dari terdakwa atau penasehat hukumnya, jaksa penuntut umum harus mampu mengantisipasi arah dan wujud serta materi pokok dari pemelaan terdakwa dan penasehat hukumnya dalam replik tersebut. Jaksa penuntut umum harus menginventarisir inti (materi pokok) pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasehat hukumnya dalam repliknya sebagai bantahan/sanggahan atas pembelaan terdakwa atau penasehat hukumnya. I. Duplik Setelah jaksa penuntut umum mengajukan replik di persidangan, maka selanjutnya giliran terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk menanggapi replik dari jaksa penuntut umum tersebut. Tanggapan seperti ini lazim disebut sebagai duplik. Sebagai penutup dari replik dan duplik dibuat suatu kesimpulan yang menyimpulkan semua tanggapan dan tangkisan. Sebelum majelis hakim mengambil sikap dan menyusun keputusan, biasanya majelis hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa apakah masih ada yang perlu disampaikan misalnya mohon keringanan hukum atau mohon keputusan yang seadil-adilnya.

18 b. Selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum, mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya selalu mendapat giliran terakhir. c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakuan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan. Dalam mengajukan pembelaan/pledoi biasanya terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan tanggapan, antara lain : Surat dakwaan jaksa penuntut umum kabur Jaksa penuntut umum keliru dalam menerpakan undang-undang atau pasalpasal yangdidakwakan Jaksa penuntut umum keliru melakukan analisa terhadap unsur-unsur delik yang didakwakan dan penerapan terhadap perbuatan terdakwa yang dipandang terbukti Jaksa penuntut umum keliru dalam menilai alat-alat bukti atau menggunakan alat bukti yang saling tidak mendukung Delik yang didakwakan adalah delik materil bukan formil Mengajukan alibi pada saat terjadinya perbuatan pidana Perbuatan terdakwa bukanlah perbuatan pidana tetapi perbuatan perdata Barang bukti yang diajukan bukanlah milik terdakwa, dan lain sebagainya sesuai dengan kasus yang dihadapi. Berkaitan dengan alibi, dalam yurisprudensi MARI No. 429K/Pid/1995 : Alibi yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia pada saat dilakukannya delik oleh para saksi (menjadi terdakwa dalam perkara lain) berada di tempat lain, maka alibi ini dapat diterima oleh hakim, karena alibi tersebut dibenarkan oleh para saksi yang keterangannya bersesuaian satu dengan lainnya, dan diperkuat pula adanya surat bukti (buku jurnal). Dengan adanya alibi tersebut, maka dalam putusannya, hakim

19 dan disertai dengan penjelasan dari setiap unsur dari delik yang didakwakan dan dengan demikian surat tuntutan adalah gambaran (visualisasi) dari tuntutan hukum yang akan dimohonkan kepada hakim. Bagi terdakwa surat tuntutan menjadi bahan untuk pembelaan, karena terdakwa dapat meng-caunter argumentasi yang dimuat jaksa penuntut umum dalam surat tuntutan, bilamana tuntutan pemidanaan. Bagi hakim surat dakwaan dapat menjadi bahan atau memberi corak terhadap putusan yang dijatuhkan dan juga bahan confirmasi terhadap fakta-fakta yang ditemukan dengan yang menjadi bahan bagi keyakinannya. Penyusunan surat tuntutan adalah suraut karya yurudis, ilmiah dan seni karena surat tuntutan harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dengan dukungan ilmiah yang disusun dalam bahasa dan tata bahasa yang baik. G. Pledoi / Pembelaan. Setelah jaksa penuntut umum selesai membacakan surat tuntutannya maka giliran diberikan hak kepada terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk mengajukan pembelaan (pledoi) (pasal 182 KUHAP). Pembelaan (pledoi) bertujuan untuk memperoleh putusan hakim yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum ataupun setidak-tidaknya hukumana pidana seringan-ringannya. Dalam pasal 182 KUHAP, dinyatakan : a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana

20 Berkaitan dengan pemeriksaan saksi menurut Yurisprudensi MARI NO. 1691K/Pid/1993 tanggal 20 Maret 1994 : Tiada manfaatnya menghadirkan dan mendengarkan keterangan para saksi sebanyak-banyaknya yang secara kwantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian, namun secara kualitatif tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan yang diatur ex pasal 185 (4), (6) KUHAP. Berkaitan dengan barang bukti menurut MARI No. 115K/Kr/1972 tanggal 23 Mei 1973 yaitu Yang dimaksud dengan barang bukti dalam persidangan ialah barang bukti yang resmi diajukan oleh jaksas kepada hakim dalam persidangan. F. Pembacaan Surat Tuntutan/Requisitoir. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (pasal 182 (1) KUHAP). Pemeriksaan dapat dinyatakan selesai, apabila : a. Semua alat bukti telah rampung diperiksa (menurut pasal 184 ayat 1 mengenai alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa). b. Semua barang bukti yang ada telah diperlihatkan kepada terdakwa maupun saksi-saksi sekaligus menanyakan pendapat mereka terhadap barang bukti tersebut. c. Demikian juga surat-surat yang ada maupun berita acara yang dianggap penting sudah dibacakan dalam sidang pengadilan. Mengenai surat tuntutan maka surat tuntutan berisi bagian-bagian mana dan ketentuan-ketentuan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa yang telah terbukti

21 E. Acara Pemeriksaan. 1. formalitas persidangan. Prinsip pemeriksaan dalam persidangan pidana antara lain : - Prinsip pemeriksaan terbuka untuk umum - Hadirnya terdakwa dalam persidangan - Hakim ketua sidang memimpin persidangan - Pemeriksaan dalam sidang secara langsung dengan lisan - Wajib menjaga pemeriksaaan secara bebas - Pemeriksaan lebih dahulu mendengar keterngan saksi Proses pemeriksaan persidangan : 1. Pemeriksaan identitas terdakwa, mengenai : - nama lengkap - tempat lahir - umur dan tanggal lahir - jenis kelamin - kebangsaan - tempat tinggal - agama - pekerjaan - pendidikan terakhir 2. Memperingatkan terdakwa 3. Pembacaan surat dakwaan 4. Menanyakan tentang isi surat dakwaan 5. hak mengajukan eksepsi 6. pemeriksaan saksi 7. pemeriksaan terdakwa 8. pemeriksaan ahli (bila diperlukan)

22 - apa yang didakwakaan kepada terdakwa telah pernah diputus dan telah mempunyai kekutan hukum tetap (nebis in idem) - apa yang didakwakaan kepada terdakwa telah lewat waktu atau kadaluarsa - apa yang didakwakaan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya - apa yang didakwakaan kepada terdakwa bukan merupakan tinda pidana akan tetapi termasuk perselisihan perdata - apa yang didakwakaan kepada terdakwa adalah tindak pidana aduan atau klacht delicten, sedang orang yang berhak mengadu tidak pernah menggunakan haknya. 3. Surat dakwaan harus dibatalkanm, dalam hal ini karena tidak memenuhi syarat formil seperti yang ditentukan pasal 143 ayat 2 huruf a. Sebenarnya eksepsi mengenai surat dakwaan tidak membawa efek, karena andai kata dakwaan ditolak jaksa penuntut umum masih bisa memperbaiki kembali karena belum memeriksa pokok perkara. Kecuali bilamana putusan pembatalan surat dakwaan setelah selesai pemeriksaan materi perkara oleh pengadilan negeri atau putusan pengadilan tinggi ata putusan Mahkamah Agung.

23 4. waktu tindak pidana dilakukan 5. tempat tindak pidana dilakukan Bilamana syarat-syarat materiil ini tidak dipenuhi maka surat dakwaaan batal demi hukum (pasal 143 ayat 3 KUHAP). D. Eksepsi. Eksepsi adalah keberatan yang diajukan terdakwa dan atau penasehat hukumnya terhadap syrat hukum formil, belum memasuki pemeriksaan hukum materil. Pengajuan eksepsi diberikan kepada terdakwa setelah jaksa penuntut umum selesai membacakan surat dakwaan. Majelis hakim akan menanyakan dan memberi kesempatan kepada terdakwa atau penasehat hukum apakah terdakwa akan menanggapi / keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum ataukah dalam bentuk eksepsi. Bila terdakwa atau penasehat hukumnya tidak mengajukan keberatan / tanggapan terhadap surat dakwaaan maka persidangan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi. Ada tiga hal yang menjadi objek eksepsi sebagaimana yang dimuat dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP yaitu : 1. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara, meliputi : - Keberatan tidak berwenang mengadili secara relatif (competentie relatif) - Keberatan tidak berwenang secara absolute (competentie absolute) 2. Dakwaaan tidak dapat diterima, antara lain : - apa yang didakwakaan terhadap terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran

24 5. Surat panggilan harus memuat dakwaan C. Pembacaan Surat Dakwaan. Surat dakwaan bagi terdakwa berfungsi untuk mengetahui sejauhmana terdakwa dilibatkan dalam persidangan. Dengan memahami surat dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum maka surat dakwaan tersebut adalah dasar pembelaan bagi dirinya sendiri. Sedangkan bagi hakim sebagai bahan (objek) pemeriksaan dipersidangan yang akan memberi corak dan warna terhadap keputusan pengadilan yang akan dijatuhkan. Bagi jaksa penuntut umum, surat dakwaan menjadi dasar surat tuntutan (requisitori). Sesudah pemeriksaan selesai (ditutup) oleh hakim, maka penuntut umum membuat suatu kesimpulan bagian-bagian mana dan pasal-pasal mana dari dakwaan yang dinyatakan terbukti. Syarat-syarat surat dakwaan, ada 2 (dua) yaitu : a. Syarat formal (pasal 143 ayat (2). KUHAP Antara lain memuat nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, serta pendidikan terdakwa. Tidak terpenuhinya syarat formil ini tidak mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum (absolute nietig) karena tidak tegas diatur dalam undang-undang tetapi dapat dibatalkan. b. Syarat materiil (pasal 143 ayat (2) b. KUHAP, meliputi : 1. uraian secara cermat tindak pidana yang didakwakan 2. uraian secara jelas tindak pidana yang didakwakan 3. uraian secara lengkap tindak pidana yang didakwakan

25 B. Panggilan sidang Apabila seorang terdakwa hendak diperiksa dipersimpangan, penuntut umum harus menghadirkan terdakwa dengan jalan memanggil terdakwa. Penuntut umum diberi wewenang untuk memanggil terdakwa supaya hadir pada hari, tanggal, yang ditentukan dan tempat persidangan yang telah ditentukan. Ini berarti tanpa ketidakhadiran terdakwa dianggap tidak sah. Kalau terdakwa tidak dapat dihadirkan maka persidangan diundurkan pada hari lain untuk memberi kesempatan penuntut umum melakukan pemanggilan dan menghadirkan terdakwa. Untuk sahnya suatu pemanggilan : 1. Panggilan berbentuk surat panggilan (pasal 145 ayat 1 KUHAP). Memuat antara lain : tanggal, hari serta jam sidang, temapt gedung persidangan, untuk perkara apa ia dipanggil. 2. Pemanggilan harus disampaikan a. terdakwa berada diluar tahanan : - pemanggilan disampaikan secara langsung kepada terdakwa di alat tempat tinggal - bila tidak diketahui, surat panggilan disampaikan kepada terdakwa - bila tidak ada, surat pemanggilan disampaikan melalui kepada desa daerah hukum tempat tinggal terakhir terdakwa (pasal 145 ayat a (2)) - surat panggilan tempelan bila tidak diketahui atau tidak dikenal. b. terdakwa berada dalam tahanan surat panggilan dilakukan melalui pejabat Rutan (pasal 145 ayat 3) 3. Surat tanda penerimaan (pasal 145 ayat 4) 4. Tenggang waktu penyampaian surat panggilan

26 SURAT KUASA KHUSUS Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama :.` Alamat :. Dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada : dan Advokat dan Penasehat Hukum Berkantor di jalan.. Baik secara bersama-sama maupun masing-masing sendirian. Khusus Untuk mendampingi dan memberi advis-advis hukum terhadap Pemberi Kuasa selaku Terdakwa dalam tindak pidana diduga melakukan.. sebagaimana dimaksud dalam pasal. KUH Pidana dalam perkara No. /Pid. B/2007/PN.Mdn. Dan untuk itu : - Untuk hadir dan menghadap di persidangan Pengadilan Negeri Medan - Untuk mendampingi dan memberi advis-advis hukum serta memajukan pembelaan-pembelaan demi kepentingan hukum pemberi kuasa di hadapan persidangan Pengadilan Negeri Medan - Untuk mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi yang diperlukan dalam perkara pidana tersebut. - Untuk mengajukan eksepsi dan pledoi terhadap surat dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan - Untuk melakukan perbuatan-perbuatana lain yang dianggap perlu guna melaksanakan kuasa ini Demikian surat kuasa ini diperbuat dengan sebenarnya dengan hak subtitusi kepada pihak lain. Medan, April 2007 Yang menerima kuasa Yang memberi Kuasa

27 BAB IV ACARA PERSIDANGAN A. Surat Kuasa Secara umum pengertian surat kuasa adalah suatu dokumen dimana isinya seorang menunjuk dan memberi wewenang pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas namanya. Tanpa surat kuasa penasehat hukum tidak berwenang melakukan perbuatan hukum apapun yang mengatasnamakan seseorang dalam menyelesaikan suatu perkara. Ditinjau dari isinya, maka surat kuasa dapat dibedakan menjadi 2 yaitu surat kuasa khusus dan surat kuasa umum. Surat kuasa khusus adalah kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa hanya berlaku untuk hal-hal tertentu saja. Sedangkan surat kuasa umum adalah surat kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut hanya untuk hal-hal yang bersifat umum saja. Secara umum ciri-ciri surat kuasa adalah surat kuasa tertera tanggal, surat kuasa ditanda tangani, nama dan identitas pemberi kuasa, nama dan identitas penerima kuasa, hal-hal atau perbuatan hukum yang dikuasakan, ketentuan pelimpahan kuasa (substitusi) dan tanda tangan pemberi kuasa dan penerima kuasa. Dalam praktek hukum tidak ada format baku yang berlaku seragam mengenai isi dan bentuk surat kuasa, semua tergantung pada masing-masing pihak dalam membuat surat kuasa antara penasehat hukum dan pemberi kuasa. Berikut ini akan diberikan contoh surat kuasa khusus untuk mendampingi terdakwa dalam persidangan di pengadilan.

28 4. oleh tersangka, ahli warisnya atau kuasanya (pasal 95 ayat 2 KUHAP) 5. oleh tersangka tau pihak ketiga yang berkepentingan (pasal 81 KUHAP) pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan : permohonan ditujuakan kepada ketua pengadilan negeri permohonan deregister dalam perkara praperadilan ketuga pengadilan negeri serta menunjuk hakim dan paniteranya pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal tata cara pemeriksaaan praperadilan : a. penetapan hari sidang 3 hari sesudah deregister (pasal 82 ayat 1 huruf a KUHAP) b. pada hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan c. selambat-lambatnya 7 hari putusan sudah dijatuhkan (pasal 82 ayat 1 huruf c KUHAP) Isi putusan praperadilan (pasal 82 ayat 2 dan 3 KUHAP), antara lain : a. Sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan b. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan c. Diterima atau ditolaknya permintaan ganti rugi kerugian dan rehabilitasi d. Perintah pembebasan dari penahanan e. Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan f. Besarnya ganti rugi g. Berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka h. Memerintahkan segera mengembalikan sitaan

29 mengajukan keberatan atau permohonan agar terhadapt tersangka dilakukan pengalihan jenis tahanan. Penyidik berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu ke yang lain (pasal 23 ayat 1) Dengan kewenangan pasal 23 dan 123, penyidik dapat mengabulkan permintaan atau keberatan tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya. Dalam terjadinya kesalahan yang dilakukan dalam penyidikan terhadap tersangka, maka terbuka peluang bagi tersangka atau keluarganya atau juga penasehat hukumnya untuk mengajukan yang dikenal dengan istilah praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 10 KUHAP, dan dipertegas dalam pasal 77 KUHAP yaitu : Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang : a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Pihak yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaaan praperadilan yaitu : 1. tersangka, keluarga atau kuasanya (pasal 79 KUHAP) 2. penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan (pasal 80 KUHAP) 3. penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan

30 1. Terhadap tersangka atau terdakwa harus dengan bukti yang cukup ada dugaan keras bahwa ia telah melakukan tindak pidana. 2. Harus ada kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana dan 3. Tersangka atau terdakwa harus melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara selama lima tahun atau lebih b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 (3), 296, 335 (1), 351(1), 353 (1), 372, 378, 379 a, 453, 545, 455, 459, 480, 506 KUHAP, dst. Penahanan dilakukan terhadap tersangka dengan surat perintah penahanan yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang disangkalkan. Selanjutnya tembusan surat penahanan harus diberikan kepada keluarga yang akan ditahan. Selama tersangka berada dalam tahanan, maka tersangka atau keluarganya maupun penasehat hukumnya : Dapat mengajukan keberatan atas penahanan yang dilakukan Dapat mengajukan keberatan atas jenis penahanan yang dilakukan. Dalam pasal 22 KUHAP ditentukan jenis penahanan yaitu penahanan rumah tahanan negara (Rutan), penahanan rumah dan penahanan kota. Dalam hal ini tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya dapat

31 lainnya adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yan berprinsip menjunjung tinggi HAM. Yurisprudensi MARI No. 429K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 : pencabutan keterangan terdakwa dalam BAP dengan alasan karena adanya penyiksaan baik psikis maupun phisik terhadap terdakwa dan para saksi tersebut, hal tersebut dapat diterima hakim sehingga keterangan dalam BAP tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti. Akan tetapi berita acara pemeriksaan penyelidikan juga bisa mempunyai nilai pembuktian yang sah apabila telah diakui kebenarannya oleh terdakwa. Hal ini terlihat dalam praktek hukum sebagaimana Yurisprudensi No. 2677K/Pid/1993 tanggal 7 Februari 1996 yaitu : Karena terdakwa telah mengakui dan membenarkan keterangan saksi Fransiska Mei Iku yang dibacakan dari berita acara penyidikan walaupun tanpa didahului penyumpahan saksi ketika disidik, bahwa ia telah mencuri barang bukti cincin emas dan menggadaikan kepadanya, maka keterangan tersebut mempunyai nilai pembuktian yang sah. Sehingga terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan yaitu mengambil barang milik orang lain secara melawan hukum dan untuk memilikinya barang yang diambil. E. Surat Penangguhan Penahanan. Menurut pasal 1 angka 21 KUHAP disebutkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serata menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Adapun syarat penahanan menurut pasal 21 KUHAP, yaitu :

32 Pelaksanaan penetapan dan lain tindakan yang secara khusus ditentukan oleh undang-undang Dalam pelaksanaan penggeledahan, pemasukan rumah dan penyitaan barang oleh penyidik maka sebelum dilaksanaakan harus terlebih dahulu mendapat izin dari pengadilan setempat kecuali dalam hal tertangkap tangan. D. Pencabutan Keterangan BAP Dalam persidangan dipengadilan, suatu keterangan yang diberikan dalam BAP penyidikan dapat juga dicabut oleh terdakwa. Dalam hal ini yurisprudensi MARI No. 1651K/Pid/1989 tanggal 16 September 1992 menyatakan : keterangan terdakwa dalam BAP kepolisian yang kemudian ditarik kembali dalam suatu persidangan dengan alasan terdakwa telah dipaksa dan dipukuli oleh penyidik, dan alasan ini dibenarkan pula oleh saksi dan bukti baju yang bercak darah, maka penarikan keterangan yang demikian itu adalah syah karena didasari alasan yang logis sehingga keterangan terdakwa dalam BAP tidak mempunyai nilai pembuktian menurut KUHAP. Demikian juga dengan Yurisprudensi MARI No. 1174K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 : Penyidik melakukan penyidikan terhadap beberapa orang yang didakwa melakukan tindak pidana yan sama, hasil penyidikan dituangkan dalam BAP secara terpisah. Terdakwa dalam BAP I menjadi saksi dalam BAP II dan sebaliknya. Mereka bergantian menjadi terdakwa dan juga saksi satu sama lainnya (menjadi saksi mahkota). Dalam persidangan pengadilan para terdakwa dan para saksi mencabut semua keterangan dalam penyidikan. Pencabutan tersebut dapat diterima hakim karena ternyata ada tekanan phisik dan psikis. Secara yuridis pemecahan perkara bertujuan menjadikan terdakwa sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa

33 3. Jika tersangka yang hendak diperiksa bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang akan melakukan pemeriksaan, penyidik yang bersangkutan dapat membebankan pemeriksaan kepada penyidik yang berwenang di daerah tempat tinggal terangka. (pasal 119) 4. Tersangka yang tidak dapat hadir menghadap penyidik. Menurut pasal 113, pemeriksaan dilakukan dengan cara : Penyidik sendiri yang datang melakukan pemeriksaan ke tempat kediaman tersangka. Hal ini dimungkinkan apabila tersangka dengan alasan yang wajar dan patut tidak dapat datang ke tempat pemeriksaan yang ditentukan penyidik. Berita acara pemeriksaaan (BAP) penyidik pada umumnya memuat berbagai hasil tindakan penyidik yang masing-masing dituangkan dalam bentuk Berita Acara. Dalam berita acara tersebut harus jelas tercantum nama pejabat yang melakukan tindakan yang terkait yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatannya dan harus terdapat tanda tangan pejabat yang bersangkutan secara semua pihak yang terlibat dalam tindakan penyidik yang bersangkutan. Berita acara harus dibuat untuk setiap tindakan berikut ini dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang untuk itu, berupa : Pemeriksaan tersangka Penangkapan, penahanan Penggeledahan, pemasukan rumah Penyitaan benda Pemeriksaan surat Pemeriksaan saksi Pemeriksaan di tempat kejadian

34 C. Berita Acara Pemeriksaan Saksi Tersangka Adapun cara pemeriksaan terhadap tersangka di muka penyidik, antara lain: 1. Jawaban atau keterangan yang diberikan tersangka kepada penyidik, diberikan tanpa tekanan dari siapapun juga dan dengan bentuk apapun juga. 2. Penyidik pencatat dengan seteliti-telitinya keterangan tersangka. Keterangan tersangka tersebut selanjutnya : Di catat dalam berita acara pemeriksaan (BAP) oleh penyidik Setelah selesai, ditanyakan atau diminta persetujuan dari tersangka tentang kebenaran isi berita acara tersebut. Persetujuan ini bisa dengan jalan membacakan isi berita acara, atau menyuruh bacakan sendiri berita acara pemeriksaan kepada tersangka, apakah dia telah menyetujui isinya atau tidak. Bila tidak harus memberitahukan bagian mana yang tidak setuju. Apabila tersangka telah menyetujui isi keterangan yang tertera dalam berita acara, tersangka dan penyidik masing-masing membubuhkan tanda tangan mereka dalam berita acara. Apabila tersangka tidak mau membubuhkan tanda tangannya dalam berita acara pemeriksaan, penyidik membaut catatan berupa penjelasan atau keterangan tentang hal itu, serta menyebut alasan yang menjelaskan kenapa tersangka tidak mau menanda tanganinya.

35 Yang bertanda tangan di bawah ini : SURAT KUASA KHUSUS Nama :... Tempat dan Tgl Lahir :... Pekerjaan :... Alamat :... Dengan ini memberikan kuasa kepada : Nama :... Pekerjaan :... Alamat :... Khusus Untuk memberikan bantuan hukum di dalam proses penyidikan kepada pemberi kuasa (tersangka) yang dipersangkakan telah melakukan tinda pidana... Sebagai dimaksud dalam pasal berdasarkan : 1. Laporan Polisi No. Pol :.. tgl Kuasa ini tidak diberikan hak kepada penerima kuasa untuk mengalihkannya kepada orang lain (tanpa hak substitusi), kecuali atas persetujuan pemberi kuasa dan/atau persetujuan penyidik/penyidik pembantu yang telah menunjuk penerima kuasa sebagai penasehat hukum berdasarkan surat penetapan penunjukan penasehat hukum No. Pol :.. tgl.., Yang menerima kuasa, Yang memberi kuasa/tersangka Materai ( ) (.. )

36 Bahwa La Noki Bin La Kede telah diajukan di persidangan dengan dakwaan melanggar pasal 340, 338 dan 351 (3) KUHP. Dalam tingkat Pengadilan Negeri La Noki dijatuhi hukuman selama 12 tahun penjara dan putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan tinggi. Akan tetapi pada tingkat kasasi ternyata La Noki Bin La Kede justru dinyatakan bebas demi hukum oleh MARI. Adapun pertimbangan yang dikemukakan oleh Mahkamah Agung adalah bahwa ternyata selama dalam pemeriksaan terdakwa dalam tingkat penyidikan dan dalam tingkat penuntutan terdakwa tidak ditunjuk penasehat hukum untuk mendampinginya, sehingga bertentangan dengan ketentuan pasal 56 KUHAP, sehingga Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan Penuntut Umum dan oleh karena itu Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, walaupun pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa didampingi oleh penasehat hukumnya. Oleh karenanya Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi menyatakan tidak dapat diterima tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan terdakwa dari semua penahanan. C. Contoh Surat Kuasa Khusus. Dalam mendampingi tersangka diperiksa oleh penyidikan, maka kehadiran penasehat hukum untuk bertindak haruslah berdasarkan dengan terlebih dahulu adanya surat kuasa atau penunjukan dari tersangka dimaksud. Dengan contoh sebagai berikut :

37 mencari sendiri penasehat hukum, disamping itu juga tindak pidana tidak diancam dengan hukman mati atau hukuman 5 tahun keatas. b. Pemberian bantuan hukum, bukan semata-mata hak dari tersangka, akan tetapi sebagai kewajiban dari penyidik, dalam hal : Tindak pidana yang diancamkan merupakan ancaman hukuman mati atau 15 tahun keatas. Bagi mereka yang tidak mampu untuk mempunyai atau mendatangkan penasehat hukum, sedangkan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih. Dalam praktek penegakan hukum berkaitan dengan kedudukan penasehat hukum maka : Penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dapat membolehkan atau penasehat hukum untuk mengikuti jalannya pemeriksaan. Namun kalau penyidik tidak menyetujuinya atau tidak membolehkannya penasehat hukum tidak dapat memaksakan kehendaknya untuk mengikuti jalannya pemeriksaan. Kedudukan dan kehadiran penasehat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan adalah secara fasif. Atau hanya sebagai penonton. Kehadiran yang fasif yang boleh melihat dan mendengar jalannya pemeriksaan, hanya berlaku terhadap tersangka yang dituntut diluar kejahatan terhadap keamanan negara. Jika kejahatan terhadap keamanan negara maka kedudukan fasif penasehat hukum dikurangi semakin fasif. Sebagai ilustrasi akan dikemukakan putusan Kasasi MARI No. 367 K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998 sebagai berikut :

38 b. Atau kalau tempat tinggal tidak diketahui dengan pasti atau bila petugas tidak menjumpai di alamat tempat tinggalnya, pemanggilan disampaikan di tempat kediaman mereka yang terakhir (pasal 227 ayat 1). c. Pemanggilan dilakukan dengan jalan bertemu sendiri dengan orang yang dipanggil (in person). Panggilan tidak dapat dilakukan dengan perantara orang lain (pasal 227 ayat 1). d. Petugas yang menjalankan panggilan diwajibkan membuat catatan yang menerangkan panggilan telah disapaikan dan telah diterima langsung oleh yang bersangkutan (pasal 227 ayat 1). e. Kedua belah pihak membubuhkan tanggal dan tanda tangan mereka, bila yang dipanggil tidak bersedia tanda tangan maka petugas mencatat alasan yang dipanggil tersebut (pasal 227 ayat 2). f. Jika orang yang hendak dipanggil tidak dijumpai pada tempat tinggalnya maka petugas diperkenankan menyampaikan panggilan melalui kepala desa atau jika diluar negeri negeri melalui pejabat perwakilan RI tempat yang dipanggil biasa berdiam. g. Memenuhi panggilan adalah kewajiban hukum. B. Bantuan Hukum. Sebelum memulai pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau tersangka wajib didampingi oleh penasehat hukumnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 KUHAP. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) sisi tampilnya penasehat hukum mendampingi seorang tersangka, yaitu : a. Bantuan hukum dari penasehat hukum benar-benar murni berdasarkan hak yang diberikan hukum kepadanya dengan syarat tersangka dianggap mampu

39 1. alasan pemanggilan, dalam hal ini haruslah tegas dijelaskan status orang yang dipanggil apakah sebagai tersangka atau saksi, agar memberikan kepastian hukum dan kejelasan bagi orang yang dipanggil; 2. surat panggilan ditanda tangani pejabat penyidik (pasal 112 ayat 1) b. Pemanggilan memperhatikan tenggang waktu yang wajar dan layak, dengan jalan: 1. memperhatikan tenggang waktu antara tanggal hari diterimanya surat panggilan dengan hari tanggal orang yang dipanggil tersebut menghadap (pasal 112 ayat 1) 2. atau surat panggilan harus disampaikan selambat-lambatnya tiga (3) hari sebelum tanggal hadir yan ditentukan dalam surat panggilan; (penjelasan pasal 152 ayat 2 dan pasal 227 ayat 1 KUHAP). Bila tenggang waktu tidak terpenuhi pasal 227 ayat 1 KUHAP maka panggilan tidak memenuhi syarat untuk dianggap sah. Sehingga orang yang dipanggil dapat memilih apakah akan tetap hadir memenuhi panggilan ataukah tidak akan hadir. Akan tetapi dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14- PW.07.03/1983 angka 18, telah memberi penegasan tenggang waktu diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan tidak dianalogikan sesuai dengan penjelasan pasal 152 ayat 2. Sehingga pemanggilan dapat disampaikan sehari sebelum diperiksa. 2. Tata Cara Pemanggilan : a. Panggilan dilakukan langsung di tempat tinggal orang yang dipanggil. Tidak boleh melalui kantor pos atau dengan sarana lain, jika alamat tempat tinggal yang bersangkutan jelas diketahui.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTEK

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTEK BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTEK Kerja Praktek adalah bentuk penyelenggaraan perkuliahan yang pelaksanaannya merupakan perpaduan teoritis dalam materi perkuliahan dengan dunia praktisi dalam pekerjaan yang

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori 14 BAB II TNJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Terhadap Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP menjelaskan bahwa Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA. Welin Kusuma

HUKUM ACARA PIDANA. Welin Kusuma HUKUM ACARA PIDANA Welin Kusuma ST, SE, SSos, SH, SS, SAP, MT, MKn, RFP-I, CPBD, CPPM, CFP, Aff.WM, BKP http://peradi-sby.blogspot.com http://welinkusuma.wordpress.com/advokat/ Alur Penanganan Perkara

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN L II.3 TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN I. PERKARA PERDATA Untuk memeriksa administrasi persidangan, minta beberapa berkas perkara secara sampling

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN KEPANITERAAN PIDANA: STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI 1. Perkara Biasa: Meja Pertama: - Kepaniteraan pidana ada meja 1 (pertama) yang bertugas menerima pelimpahan berkas

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA 1. PELAYANAN PERSIDANGAN NO. JENIS PELAYANAN DASAR HUKUM 1. Penerimaan Pelimpahan Berkas. Pasal 137 KUHAP PERSYARATAN - Yang melimpahkan harus Jaksa Penuntut Umum

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA 1. Upaya Hukum Banding Upaya banding didaerah jawa dan madura semula diatur dalam pasal 188-194 HIR, sedangkan bagi daerah luar jawa dan madura diatur dalam pasal-pasal

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan

Lebih terperinci

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA 1. Penerimaan berkas perkara Kepaniteraan Pidana (Petugas Meja I) Pedoman Pelaksanaan Tugas Buku II 1 hari 1. Menerima perkara yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

PUTUSAN HAKIM BANDING BATAL DEMI HUKUM KASUS SEORANG PENGACARA

PUTUSAN HAKIM BANDING BATAL DEMI HUKUM KASUS SEORANG PENGACARA PUTUSAN HAKIM BANDING BATAL DEMI HUKUM KASUS SEORANG PENGACARA KASUS POSISI: Katiman penduduk kota Trenggalek ingin mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri di tempat. Untuk maksud tersebut ia dikenalkan

Lebih terperinci

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty Demi kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana, undang-undang memberikan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM 57 BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan N0.251/Pdt.G/2013 PA.Sda Dalam memutuskan setiap Perkara di dalam persidangan hakim tidak serta merta memutuskan perkara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara A. Pengertian Penahanan Seorang terdakwa akan berusaha untuk menyulitkan pemeriksaan perkara dengan meniadakan kemungkinan akan dilanggar, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Terdakwa yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM STREET LAWYER LEGAL AID DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU

BAB IV ANALISIS PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM STREET LAWYER LEGAL AID DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU BAB IV ANALISIS PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM STREET LAWYER LEGAL AID DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU A. Dasar Hukum Lembaga Bantuan Hukum Street Lawyer Legal Aid Dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

1 jam perkara sesuai dengan nomor urut perkara 4. Membuat formulir penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang

1 jam perkara sesuai dengan nomor urut perkara 4. Membuat formulir penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) KEPANITERAAN PIDANA PENGADILAN NEGERI TANAH I. PROSEDUR PENERIMAAN PERKARA 1. Prosedur Penerimaan Perkara Pidana Biasa : PENGADILAN TINGGI SAMARINDA PENGADILAN NEGERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA Dasar: Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 026/KMA/SK/II/2012 Tentang Standar Pelayanan Peradilan 1. PELAYANAN PERSIDANGAN a. Pengadilan menyediakan ruang tunggu khusus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Militer Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu: 1. Tindak Pidana Militer Murni. Tindak Pidana Militer Murni yaitu tindakan-tindakan yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal-pasal

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N KODE ETIK P O S B A K U M A D I N PEMBUKAAN Bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara yang tidak mampu merupakan kewajiban negara (state obligation) untuk menjaminnya dan telah dijabarkan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Jaksa Ketua PN Para Pihak Melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Panitera Pidana Menunjuk Majelis Hakim dalam jangka

Lebih terperinci