PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty"

Transkripsi

1 PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty Demi kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana, undang-undang memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada prinsipnya merupakan pengurangan-pengurangan hak asasi manusia. Bentuk dari tindakan tersebut adalah upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Praperadilan dalam KUHAP pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak terdapat penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang. Permasalahannya adalah apakah pengaturan mengenai praperadilan dalam KUHAP telah cukup memadai untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum dan melindungi hak seorang tersangka dan terdakwa dalam suatu upaya paksa. Analisa ini akan memberikan gambaran bahwa ternyata dalam kasus tertentu pengaturan mengenai praperadilan selama ini belum cukup untuk mengakomodir tujuan semula dari lembaga praperadilan itu sendiri. POSISI KASUS Pada tanggal 15 Juli 2002, diajukan Surat Dakwaan atas nama Terdakwa Arno Suwarno, Dose Hudaya, dan Siti Wahyu Widayati yang pada pokoknya mendakwa bahwa mereka telah melakukan tindakan memasukkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik dengan maksud menggunakannya seolah-olah benar, dan melanggar pasal 266 (1) jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Berdasarkan Surat Dakwaan tersebut, para Terdakwa memalsukan keterangan dalam akta otentik dalam hal penggunaan buku kutipan akta nikah antara Siti Wahyu Widayanti dengan Ahmad 1

2 Jajang untuk mengajukan permohonan eksekusi atas suatu putusan perdata tanggal 6 Oktober 1990 antara penggugat Ahmad Jajang dan para Tergugat ahli waris Yustimiharja, yang pada pokoknya memenangkan gugatan penggugat atas piutang para Tergugat. Karena Ahmad Jajang telah meninggal pada bulan Febuari 1996, maka untuk mengajukan eksekusi atas putusan perkara yang dimenangkan oleh Ahmad Jajang, Siti Wahyuni menggunakan buku kutipan akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA Jatisari sebagai alas hak bahwa selaku ahli waris dari Ahmad Jajang, Terdakwa berhak atas piutang ahli waris Yustimihadja. Adapun setelah dilakukan pengecekan oleh salah satu ahli waris Yustimiharja, yaitu Yohanes Timiharja, didapatkan keterangan bahwa buku kutipan akta nikah tersebut palsu, karena nomor akta yang bersangkutan, di KUA Jatisari tercatat bukan atas nama Ahmad Jajang dan Siti Wahyuni, melainkan atas nama Adam bin Daneng dengan Nela binti Olis. Dalam perkara pidana penempatan keterangan palsu dalam akta otentik oleh para Terdakwa, telah dikeluarkan putusan yang menyatakan para Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana, sehingga dibebaskan dari segala dakwaan, pada tanggal 15 Oktober Namun pada saat pemeriksaan perkara ini berlangsung, dikeluarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri tertanggal 19 Agustus 2002 (selanjutnya disebut penetapan 1409), yang menyatakan bahwa saksi Yohanes Timiharja dan saksi Yeni Timiharja diduga keras telah memberikan keterangan palsu di persidangan. Sehingga Ketua PN memerintahkan kepada JPU yang bersangkutan untuk menahan para saksi dan melakukan penuntutan terhadap mereka. Pada tanggal 6 November 2002, diajukan gugatan praperadilan oleh para Pemohon antara lain Siti Wahyuni Widayanti, Arno Suwarno, dan Dose Hudaya terhadap para Termohon, yaitu Kejaksaan Agung RI cq. Kejaksaan Negeri Bandung, Jaksa Muda dan Ajun Jaksa yang memeriksa perkara ini. Alasan pengajuan gugatan praperadilan adalah karena para Termohon tidak melaksanakan penetapan PN 2

3 mengenai perintah menuntut dan menahan Yohanes dan Yani Timiharja atas kesaksian palsu yang diberikan di muka sidang. Tindakan tidak melakukan apa-apa atas kedua saksi, menurut para Pemohon, dapat dikualifikasikan sebagai penghentian penuntutan yang masuk dalam lingkup pasal 77 KUHAP mengenai praperadilan. Atas permohonan tersebut, para Tergugat telah mengajukan tanggapannya yang terbagi atas tanggapan dalam eksepsi dan dalam pokok perkara. Dalam eksepsinya, para Termohon menyatakan bahwa permohonan praperadilan harus ditolak berdasarkan hal-hal sebagai berikut: - Dalil permohonan tidak masuk dalam lingkup pasal 77 KUHAP, dimana dasar permohonan praperadilan akibat tidak dilaksanakannya penetapan 1409 tidak masuk lingkup pasal 77 mengenai alasan pengajuan praperadilan atas tidak sahnya penghentian penuntutan - Pemohon bukan merupakan pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 KUHAP - Permohonan praperadilan bukan merupakan perkara perdata, sehingga pengajuan gugatan praperadilan tidak dapat dibenarkan - Pengajuan para Termohon II dalam perkara ini tidak tepat dan berlebihan, dimana para Pemohon hanya melaksanakan tugas penuntutan sesuai perintah Undang-undang. - Berdasarkan pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, permohonan praperadilan gugur karena JPU telah menyerahkan para Terdakwa kepada Penyidik Polri pada tanggal 7 November 2002 (dengan bukti surat laporan dan penerimaan terlampir) Sedangkan dalam pokok perkara, para Termohon mengajukan dalil-dalil sebagai berikut: 3

4 - Materi permohonan bukan merupakan obyek dan wewenang pemeriksaan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 KUHAP - Termohon II telah melaksanakan kewajiban hukumnya sesuai ketentuan Undang-Undang, dimana berdasarkan pasal 174 ayat (3) KUHP, JPU wajib menindaklanjuti berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan palsu menurut ketentuan dalam KUHP. Dalam Keputusan Bersama MAHKEJOPOL II mengenai Penetapan Keterpaduan Sesama Aparatur Penegak Hukum dalam Penanganan dan Penyelesaian Perkara-Perkara Pidana, halaman 7 poin 15, pada pokoknya diterangkan bahwa perintah penahanan oleh Hakim akibat pemberian keterangan palsu, walaupun ditujukan kepada JPU, merupakan tanggung jawab Polri. Dalam hal ini, Termohon II telah melimpahkan proses penyidikan perkara ini kepada Polri - Ketetapan 1409 telah dilaksanakan sejak tanggal 7 November 2002 Atas jawaban ini telah diajukan replik dan duplik yang pada pokoknya tetap berpegang pada dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing pihak. Majelis Hakim yang bersangkutan telah mengambil keputusan atas perkara ini pada tanggal 6 November 2002 yang memutuskan menolak eksepsi para Termohon dan mengabulkan gugatan praperadilan, menyatakan para Termohon telah melakukan perbuatan melawan hukum, serta menghukum para Termohon untuk melaksanakan penetapan Atas putusan tersebut, telah diajukan upaya hukum banding pada tanggal 24 November 2002; namun dalam putusan Pengadilan Tinggi tanggal 7 Januari 2003, dinyatakan bahwa banding yang diajukan tidak dapat diterima berdasarkan alasan amar putusan aquo (putusan praperadilan di PN) tidak termasuk dalam lingkup praperadilan. Namun demikian, hingga tahun 2003, penetapan 1409 tidak kunjung dilaksanakan. Oleh sebab itu, pada tanggal 16 April 2003, kuasa hukum para 4

5 Pemohon mengajukan permohonan eksekusi penetapan 1409 kepada Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Atas surat tersebut, pihak Kejaksaan mengirimkan balasan yang pada pokoknya menyatakan bahwa permohonan eksekusi tersebut belum dapat ditindaklanjuti, karena pihak Kejaksaan sedang meminta fatwa dari MA mengenai permasalahan ini. Adapun pihak Kejaksaan melalui Pangadilan Negeri telah menyampaikan surat permohonan fatwa kepada Mahkamah Agung mengenai status putusan praperadilan tersebut, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: - JPU telah melaksanakan penetapan 1409 dengan cara menyerahkannya pada penyidik untuk diadakan penyidikan - Pemohon menganggap penetapan 1409 belum dilaksanakan karena penahanan terhadap para saksi yang memberikan keterangan palsu belum dilakukan Dan memohon fatwa atas hal-hal sebagai berikut: - Apakah lembaga praperadilan dapat digunakan oleh Hakim judex factie untuk memutus mengenai tidak dilaksanakannya penetapan Hakim, dan bila tidak dapat dibenarkan, bagaimana akibat hukumnya; - Apakah tindakan JPU menyerahkan para saksi kepada Penyidik Polri dapat dibenarkan; - Mengingat pasal 174 KUHAP, siapa yang berwenang memproses permasalahan sumpah palsu dan siapa yang harus melaksanakan penahanan terhadap para Tersangka; - Bagaimana status dari putusan praperadilan tersebut? Namun demikian, MA belum memberikan fatwa berkaitan dengan hal ini, sehingga eksekusi penetapan 1409 belum dapat dilaksanakan. 5

6 ANALISA Analisa berikut didasarkan pada berkas putusan praperadilan Pengadilan Negeri Bandung, pengadilan Tinggi Bandung, serta penetapan Pengadilan Negeri atas pemberian kesaksian palsu, dimana akan dicermati masalahan lingkup perkara praperadilan yang dalam hal ini berkaitan dengan masalah pelaksanaan penetapan PN tersebut. 1. Masalah pemberian keterangan palsu Dalam sidang, kesaksian dari seseorang merupakan salah satu alat bukti yang digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan mengenai bersalah atau tidaknya Terdakwa oleh Majelis Hakim. Dalam sistim hukum Indonesia, pengambilan keputusan harus didasarkan oleh keyakinan Hakim yang didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan Terdakwa. Karena signifikansi keberadaan keterangan saksi dalam proses pengambilan keputusan, maka seseorang yang memberikan keterangan dimuka pengadilan hendaknya memberikan keterangan yang jujur dan sebenar-benarnya. KUHAP bahkan memberikan penegasan dalam pemberian kesaksian oleh para saksi dengan memberikan pengaturan untuk dilakukannya penyumpahan dan selanjutnya mengatur tindakan yang dapat dilakukan dalam rangka diberikannya keterangan palsu dalam sidang pengadilan. Dalam kasus, permasalahan berawal dari pengajuan JPU dan Kejaksaan Negeri ke hadapan sidang praperadilan karena dianggap tidak melaksanakan penetapan Hakim mengenai perintah penahanan dan penuntutan saksi-saksi yang memberikan keterangan palsu. Dalam pasal 173 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa dalam hal Hakim telah memperingatkan saksi yang diduga memberikan kesaksian palsu, bila saksi tersebut tetap pada kesaksiannya, maka Hakim Ketua Sidang dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut dengan 6

7 dakwaan sumpah palsu. Sedangkan dalam ayat (3) disebutkan bahwa dalam hal demikian, Panitera segera membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan tersebut, dan setelah ditandatangani oleh Hakim Ketua sidang dan Panitera, segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang. Berdasarkan bunyi pasal 173 tersebut, maka bila dalam persidangan terdapat Saksi yang memberikan keterangan palsu, maka tindakan yang harus dilakukan oleh Hakim Ketua Sidang adalah memberikan peringatan. Setelah diberi peringatan dan Saksi tetap pada keterangannya, maka Hakim yang bersangkutan dapat memerintahkan agar saksi ditahan, untuk kepentingan penyusunan surat dakwaan dan penuntutan. Setelah itu panitera membuat berita acara sidang yang memuat keterangan yang diduga palsu; membubuhkan tanda tangannya dan tanda tangan Hakim; dan menyerahkannya kepada JPU. Adapun penahanan yang diperintahkan untuk dilakukan adalah penahanan untuk kepentingan pendakwaan dan penuntutan, dan tidak dapat dilihat terpisah dengan proses pendakwaan dan penuntutan yang akan dilakukan. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, menurut Yahya Harahap, berkembang dua perbedaan pendapat mengenai penerapan ketentuan ini yang berkaitan dengan penyidikan perkara pemberian kesaksian palsu. Pendapat pertama menyatakan proses hukum atas tindakan pemberian kesaksian palsu di hadapan sidang pengadilan tidak memerlukan penyidikan oleh Polri. Dalam hal ini, berita acara sidang yang dibuat oleh Panitera dianggap cukup berlaku sebagai berita acara penyidikan Penuntut Umum, sehingga tidak perlu dilakukan penyidikan terlebih dahulu oleh Polri. Dengan demikian, Penuntut Umum dapat dengan segera melakukan penuntutan atas perkara ini yang dilakukan secara bertahap sebagai berikut. Setelah Penuntut Umum menerima berita acara sidang, penuntut umum segera menyiapkan berkas perkara. Bila Ia berpendapat perlu melengkapi 7

8 menyempurnakan atau melengkapi pembuktian, dapat dilakukan Penyidikan lebih lanjut sebagai tambahan berita acara sidang. Sebaliknya, bila penuntut umum berpendapat berita acara sidang tersebut telah cukup untuk menyusun Surat Dakwaan, maka tidak perlu dilakukan penyidikan lebih lanjut, dan penuntut umum segera menyusun Surat Dakwaan, dan melimpahkannya ke pengadilan agar segera diproses. Pendapat kedua mengenai penerapan pasal 174 ayat (2) mendasarkan teorinya pada prinsip diffrensiasi fungsional yang telah digariskan oleh KUHAP, dimana menurut KUHAP (pasal 6), yang berhak melakukan penyidikan adalah Pejabat Polri. Kewenangan membuat berita acara perkara sesuai dengan bentuk dan isi yang ditentukan KUHAP adalah pada Penyidik, dalam hal ini adalah Pejabat Polri. Selain itu, berita acara sidang yang dibuat panitera tidak memenuhi syarat kelengkapan sebagaimana ditentukan dalam pasal 75 KUHAP, dimana dalam berita acara sidang tidak dimuat mengenai pemeriksaan tersangka, saksi, maupun surat. Berita acara sidang yang dimaksud pasal 174 ayat (3) hanya memuat keterangan saksi dengan menyebut alasan dugaan kesaksian palsu tersebut. Analis sependapat dengan pendapat terakhir yang menyatakan bahwa penyidikan atas perkara kesaksian palsu dilakukan oleh Penyidik Polri. Hal ini beranjak dari tujuan materiil dari adanya penyidikan yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana yang dipersangkakan. Dalam hal kesaksian palsu, penyidikan atas dugaan ini dilakukan dengan mencari kenyataan-kenyataan faktual (yang berupa keadaan atau dalam wujud materi) yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan saksi palsu di pengadilan, sehingga pernyataannya tersebut dapat dikatakan palsu (karena bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya). Adapun penyidikan atas hal semacam ini merupakan lingkup tugas Penyidik Polri. Selain itu, berdasarkan redaksi pasal 173 ayat (1) dan (2), Hakim memerintahkan penuntut umum untuk menahan dan menuntut saksi yang disangka memberikan kesaksian palsu. Dengan 8

9 demikian, memang diperlukan adanya penyidikan lebih lanjut untuk memperjelas permasalahan, apakah benar saksi tersebut telah memberikan kesaksian palsu atau tidak. Lebih lanjut, dalam pasal 174 ayat (3) ditegaskan kewajiban Penuntut Umum untuk menindaklanjuti (permasalahan kesaksian palsu) menurut ketentuan KUHAP. Berkaitan dengan ketentuan ini, sudah sewajarnya penerapan pasal 174 ayat (2), terutama mengenai prinsip difrensiasi fungsional serta tugas, wewenang dan fungsi penyidik berkaitan dengan pembuatan berita acara perkara, dilaksanakan menurut ketentuan KUHAP. Dengan demikian, JPU telah melaksanakan penetapan 1409 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana JPU telah menyerahkan para tersangka pemberi kesaksian palsu kepada penyidik Polri, yang dibuktikan dengan surat penyerahan saksi Yohanes dan Yani Timiharja beserta barang bukti berupa berita acara sidang, dan surat penerimaan tersangka beserta barang bukti. Adapun perintah penahanan yang tidak dilakukan oleh JPU (sehingga dipermasalahkan oleh para Pemohon) merupakan tindakan dalam rangka melakukan dakwaan dan penuntutan atas perkara tersebut. Dengan demikian pelaksanaan penahanan tersebut telah diserahkan kepada Pejabat Polri dalam rangka mendapatkan keterangan untuk kepentingan penyidikan. Namun demikian, agar penuntut umum dapat dikatakan telah memenuhi isi penetapan majelis hakim, penuntut umum harus memastikan terselenggaranya penyidikan dan penahanan atas para Tersangka, yang dilakukan dalam rangka mendapatkan bukti-bukti dilakukannya tindak pidana. Dalam penetapan 1409, perintah penahanan selama 30 hari dan perintah penuntutan harus dilihat sebagai satu kesatuan, dimana penahanan diperintahkan untuk dilakukan untuk kepentingan penuntutan. Penahanan tidak mungkin dilakukan oleh alasan lain, misalnya sebagai penghukuman atas diberikannya kesaksian palsu, karena 9

10 pemberian kesaksian palsu masih merupakan dugaan yang harus dibuktikan kebenarannya melalui mekanisme sidang pengadilan. Adapun dalam penetapan 1409, Hakim memerintahkan Penuntut Umum untuk menahan para pemberi kesaksian palsu dan melakukan penuntutan atas mereka. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 jo pasal 14 huruf j KUHAP, penuntut umum tanpa prasangka apapun wajib melaksanakan penetapan tersebut. Tindakan melimpahkan para pemberi keterangan palsu kepada penyidik Polri merupakan pelaksanaan perintah penuntutan. Selanjutnya, perlu dilaksanakan perintah kedua yaitu untuk melakukan penahanan selama 30 hari kepada para tersangka. Pelaksanaan penahanan tersebut dapat dilaksanakan oleh penyidik dalam rangka penyidikan (sehingga dengan demikian, JPU telah melaksanakan perintah penahanan) atau bila tidak dilaksanakan oleh penyidik Polri, dapat dilakukan oleh JPU sendiri demi kepentingan penuntutan. Dengan demikian, penuntut Umum telah melaksanakan kedua perintah penetapan. Dalam perkara ini, JPU telah melaksanakan perintah penuntutan, namun belum melaksanakan perintah penahanan. Akan tetapi dalam KUHAP tidak ada ketentuan mengenai batas waktu pelaksanaan ketentuan ini, sehingga penangguhan pelaksanaan penetapan, selama belum lewat batas waktu untuk pelaksanaan (misalnya perkara telah dilimpahkan ke pengadilan) belum dapat dijadikan alasan bahwa Penuntut Umum telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan mengindahkan penetapan Hakim. 2. Masalah Praperadilan Praperadilan merupakan hal yang baru pengaturannya dalam dunia peradilan Indonesia. Eksistensi lembaga praperadilan bukan merupakan suatu lembaga peradilan tersendiri, namun hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, untuk menilai sah atau 10

11 tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 10 KUHAP, praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya, atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan penyidik/penuntut umum, demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian/rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya, atau pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Adapun lingkup kompetensi lembaga praperadilan berdasarkan pasal 77 KUHAP adalah: 1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan 2. Ganti kerugian dan rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (dengan demikian, perkaranya tidak diajukan ke pengadilan) Sidang praperadilan selanjutnya ditetapkan dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan. Sidang praperadilan dipimpin oleh seorang hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri, dengan dibantu oleh seorang panitera. Pemeriksaan sidang praperadilan dilakukan secara cepat; dan selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Namun bila suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka permintaan praperadilan tersebut gugur. Atas putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Namun atas putusan 11

12 praperadilan mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Dalam kasus, pemohon praperadilan mendalilkan permohonannya atas dasar tidak dilakukannya penetapan Pengadilan Negeri yang memerintahkan Penuntut Umum untuk menahan dan melakukan penuntutan atas dua orang saksi yang diduga telah memberikan kesaksian palsu. Lebih lanjut diuraikan oleh Pemohon, tindakan JPU yang tidak melakukan penuntutan atas kedua saksi tersebut merupakan tindakan penghentian penuntutan. Mengenai perintah penahanan dan penuntutan karena kesaksian palsu masuk yang dalam lingkup pasal 173 (2) KUHAP telah dibahas sebelumnya. Terlepas dari pendapat bahwa Penuntut Umum telah melaksanakan kewajibannya dalam menindaklanjuti perkara kesaksian palsu, berikut akan dibahas dalil-dalil yang dipermasalahkan dalam praperadilan, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai praperadilan. Mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan praperadilan Dalam KUHAP terutama yang mengatur masalah praperadilan (pasal 79 sampai dengan pasal 83) ditentukan mengenai pihak-pihak yang berhak mengajuakn permohonan praperadilan, yaitu: - Tersangka, keluarganya, atau kuasanya - Penuntut Umum - Penyidik - Pihak ketiga yeng berkepentingan Permohonan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri oleh Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (atas tidak sahnya penangkapan atau penahanan) atau oleh Penyidik, Penunutut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan (atas penghentian penyidikan atau penuntutan) dengan 12

13 menyebutkan alasannya. Sedangkan permohonan praperadilan atas ganti rugi dan rehabilitasi diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan. Siapa saja yang termasuk penyidik dan penuntut umum telah diatur secara jelas dalam KUHAP. Namun pengertian pihak ketiga yang berkepentingan tidak secara tegas dijelaskan oleh pembuat UU, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran dalam penerapannya. Berdasarkan teori-teori penafsiran UU yang telah dikenal, maka penafsiran atas pihak ketiga yang berkepentingan adalah: - Secara gramatikal Korban dalam perkara pidana yang bersangkutan. Dalam hal dihentikannya penyidikan atau penuntutan suatu perkara, Korban berkepentingan karena kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan. - Secara sistimatikal (penafsiran pasal-pasal dalam hubungannya secara keseluruhan) Dengan melihat pada prinsip keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum dalam KUHAP, maka pihak yang berkepentingan secara khusus adalah korban dalam suatu tindak pidana; dan secara umum adalah masyarakat yang dirugikan secara tidak langsung dalam tindak pidana tersebut. - Secara historikal (penafsiran dengan melihat perkembangan terjadinya UU dan lembaga hukum yang diatur didalamnya) Pihak yang berkepentingan adalah korban dalam suatu tindak pidana, atau keluarganya - Secara teologikal (melihat maksud dari pembuat UU/tujuan dibuatnya UU) Berdasarkan mekanisme pengawasan horisontal dan vertikal dalam hukum acara pidana, dan tujuan hukum acara pidana untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan; maka pihak ketiga yang berkepentingan adalah korban, dan masyarakat umum yang secara tidak langsung dirugikan oleh terjadinya suatu tindak pidana. 13

14 - Secara ekstensif atau restriktif (dengan memperluas atau mempersempit arti suatu istilah) Secara sempit terbatas pada korban atau orang yang dirugikan secara langsung. Secara luas, tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor, melainkan meliputi masyarakat luas yang dapat diwakili oleh LSM. Pada dasarnya pihak ketiga yang berkepentingan meliputi pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak menderita kerugian karena dihentikannya penyidikan dan penuntutan, maupun dalam permintaan ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal ini, analis sepakat dengan pertimbangan Pengadilan Negeri yang menempatkan para Pemohon sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, dimana para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan bila tindakan pemberian keterangan palsu tersebut tidak diproses, karena pemberian keterangan palsu tersebut menyangkut nama baik para Pemohon. Mengenai bentuk permohonan praperadilan Dalam kasus, para Pemohon mengajukan permohonannya dalam bentuk gugatan, dan menggunakan terminologi penggugat dan tergugat. Atas hal ini, Termohon menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima karena permohonan praperadilan bukanlah perkara perdata, melainkan perkara pidana. Berkaitan dengan hal ini, dalam KUHAP tidak diatur mengenai bentuk permohonan praperadilan tersebut. KUHAP hanya menyiratkan bahwa praperadilan merupakan suatu upaya hukum dalam lingkup hukum pidana, dimana alasan permohonan praperadilan hanya terjadi dalam lingkup hukum pidana. Adapun lembaga praperadilan ini diadakan dalam rangka menjamin penegakan hukum dan perlindungan HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian, perbedaan penggunaan terminologi atau hal-hal lain yang tidak esensial dan menyangkut pokok perkara, selama tidak diatur secara tegas, hendaknya tidak 14

15 dipermasalahkan lebih jauh sehingga tidak mengganggu tujuan mulia dari lembaga praperadilan itu sendiri. Mengenai lingkup perkara praperadilan Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KUHAP telah mengatur secara jelas mengenai apa saja yang termasuk dalam lingkup pengajuan perkara praperadilan dalam pasal 77. Pelaksanaan penetapan pengadilan, berdasarkan pasal 13 KUHAP memang masuk dalam lingkup tugas Penuntut Umum, namun kealpaan pelaksanaan penetapan yang dilakukan oleh penuntut umum tidak masuk dalam lingkup praperadilan. Dalam putusannya atas perkara praperadilan, Hakim praperadilan menerima permohonan praperadilan berdasarkan pertimbangan bahwa Penuntut Umum telah tidak melakukan tindakan penyidikan/penuntutan, dalam hal ini penyidikan/penuntutan yang lahir berdasarkan penetapan hakim. Selain itu, dalam pertimbangan lain dinyatakan bahwa kesalahan lain dari Penuntut Umum adalah tidak segera melaksanakan penetapan 1409, dimana pelimpahan para tersangka ke Penyidik Polri baru dilakukan setelah diajukannya permohonan praperadilan. Baik dalam KUHAP maupun UU Kejaksaan, merupakan tugas dari Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan, terlebih dalam hal yang telah jelas mengenai tindak pidana yang dilakukan, sebagaimana dalam kasus ini. Namun demikian, tidak ada sanksi yang secara tegas dapat dikenakan atas kelalaian penangguhan penuntutan atas tersangka/terdakwa. Peraturan yang berlaku hanya mengharuskan Penuntut Umum untuk secepatnya melakukan penuntutan dalam hal ia telah menentukan bahwa berkas perkara telah lengkap/cukup digunakan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan. Batas waktu yang secara tegas dicantumkan adalah dalam hal Penuntut Umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, maka dalam jangka waktu 7 hari harus diberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan tersebut telah mencukupi untuk dilakukan penuntutan atau tidak. Bila tidak, 15

16 diberikan jangka waktu 14 hari bagi penyidik untuk melengkapinya; dan setelah lengkap secepatnya dilakukan pendakwaan. Namun tidak diatur mengenai akibat hukum dari ketidaktepatan penggunaan jangka waktu yang telah ditetapkan. Atas hal tersebut, mungkin dapat/telah diadakan ketentuan teknis mengenai akibat hukum dari ketidaktepatan penggunaan jangka waktu dalam pendakwaan dan penuntutan. Namun demikian, hal tersebut tetaplah bukan merupakan lingkup dari praperadilan. Lingkup praperadilan yang telah secara tegas ditetapkan dalam pasal 77 hanya mengatur masalah penghentian penuntutan sebagai lingkup daripada praperadilan. Adapun yang dimaksud dengan penghentian penuntutan adalah dalam hal telah dilakukannya suatu proses penanganan perkara (penyidikan), namun tidak dilakukan penuntutan atas perkara tersebut. Dalam perkara ini, proses penuntutan bukannya dihentikan, namun ditangguhkan karena menunggu selesainya proses penyidikan, sehingga penanganan perkara dilaksanakan menurut prosedur yang berlaku. Dengan penyerahan para Tersangka kepada Penyidik Polri, maka proses penyidikan dapat dianggap telah dilakukan. Dengan demikian, tindakan Penuntut Umum yang dalam hal ini tidak langsung melakukan penuntutan tidak dapat dianggap sebagai penghentian penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 KUHAP, karena penuntutan bukannya dihentikan, namun belum dilaksanakan karena menunggu hasil penyidikan. Tindakan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku mengenai proses penanganan perkara, dan tidak pula bertentangan dengan ketentuan mengenai jangka waktu dilakukannya penuntutan tersebut. Mengenai gugurnya perkara praperadilan Dalam pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dinyatakan bahwa permintaan praperadilan gugur bila perkara (yang dipraperadilankan) sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan permintaan praperadilan tersebut belum selesai. Dengan demikan ada dua persyaratan gugurnya pemeriksaan praperadilan, 16

17 yaitu perkara telah diperiksa PN dan pemeriksaan praperadilannya belum selesai. Tujuan dari gugurnya putusan praperadilan adalah untuk menghindari terjadinya penjatuhan putusan yang berbeda, sehingga mengakibatkan kekacauan. Kesimpulan Analisa Secara materiil, putusan Pengadilan Negeri mengenai perkara praperadilan ini kurang tepat, karena perbuatan Termohon tidak masuk dalam lingkup perkara Praperadilan berdasarkan pasal 77 KUHAP. Termohon pada dasarnya telah melaksanakan penetapan Pengadilan Negeri mengenai perintah penuntutan atas pemberi kesaksian palsu dengan melimpahkan para tersangka kepada penyidik Polri. Tindakan ini adalah selaras dengan ketentuan KUHAP mengenai prosedur penanganan perkara yang mengharuskan perkara terlebih dahulu disidik oleh penyidik, sebelum dilakukan pendakwaan dan penuntutan. Atas perintah penahanan sebagaimana dituangkan dalam Penetapan PN yang belum dilaksanakan, kealpaan pelaksanaan Penetapan ini bukan merupakan lingkup praperadilan, sehingga tidak tepat bila diajukan praperadilan atas permasalahan ini. Lingkup praperadilan hanya mengenai tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi dan rehabilitasi sebagai akibat dari tidak sahnya penangkapan atau penahanan. Apakah lembaga praperadilan dalam kasus ini telah mencapai tujuannya? Ada dua pendapat yang melihat ruang lingkup praperadilan secara berbeda. Menurut aliran Legalis formil, ruang lingkup praperadilan adalah sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang. Sehingga untuk hal-hal diluar pasal 77 KUHAP tidak dapat diajukan praperadilan. Sedangkan menurut pandangan sosiologis, praperadilan dapat diajukan sepanjang untuk melaksanakan fungsi pengawasan horizontal diantara institusi peradilan. Lembaga praperadilan semula diajukan dengan tujuan untuk melaksanakan pengawasan horizontal antara institusi peradilan dengan memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menilai kinerja institusi 17

18 peradilan seperti kejaksaan dan kepolisian. Dalam hal alasan permohonan praperadilan tidak termasuk ruang lingkup dari praperadilan, sebagaimana diatur dalam pasal 77 KUHAP, maka upaya perlindungan hak asasi kepada pemohon akan mendapat hambatan. Sehingga untuk mencapai tujuan praperadilan ini hakim harus diberikan keleluasaan untuk menilai lingkup praperadilan, hal ini sejalan dengan pandangan sosiologis terhadap praperadilan tadi. Dengan demikian alasan permohonan praperadilan dalam kasus ini dapat diterima dengan didasarkan pada pandangan sosiologis. Berkaitan dengan hal ini, menurut kami, pelaksanaan lembaga praperadilan di Indonesia masih memerlukan pengaturan-pengaturan yang lebih jauh untuk terciptanya kepastian hukum. 18

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN L II.3 TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN I. PERKARA PERDATA Untuk memeriksa administrasi persidangan, minta beberapa berkas perkara secara sampling

Lebih terperinci

BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP

BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP 1. Pengawasan Terhadap Upaya Paksa Melalui Konsep Praperadilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA 1. Penerimaan berkas perkara Kepaniteraan Pidana (Petugas Meja I) Pedoman Pelaksanaan Tugas Buku II 1 hari 1. Menerima perkara yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Praperadilan 2.1.1 Pengertian Praperadilan : Secara harfiah pengertian praperadilan dalam KUHAP memiliki arti yang berbeda, Pra memilik arti mendahului dan praperadilan sama

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 77 huruf a] terhadap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Jaksa Ketua PN Para Pihak Melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Panitera Pidana Menunjuk Majelis Hakim dalam jangka

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia HASRIL HERTANTO,SH.MH MASYARAKAT PEMANTAU PERADILAN INDONESIA DISAMPAIKAN DALAM PELATIHAN MONITORING PERADILAN KBB, PADA SELASA 29 OKTOBER 2013 DI HOTEL GREN ALIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

PUTUSAN HAKIM BANDING BATAL DEMI HUKUM KASUS SEORANG PENGACARA

PUTUSAN HAKIM BANDING BATAL DEMI HUKUM KASUS SEORANG PENGACARA PUTUSAN HAKIM BANDING BATAL DEMI HUKUM KASUS SEORANG PENGACARA KASUS POSISI: Katiman penduduk kota Trenggalek ingin mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri di tempat. Untuk maksud tersebut ia dikenalkan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian. KASUS PIDANA UMUM CONTOH-CONTOH KASUS PIDANA: Kekerasan akibat perkelahian atau penganiayaan Pelanggaran (senjata tajam, narkotika, lalu lintas) Pencurian Korupsi Pengerusakan Kekerasan dalam rumah tangga

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo.

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Undang-Undang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

MEDIA RELEASE DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN

MEDIA RELEASE DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN UNTUK DIBERITAKAN SEGERA Direktorat Jenderal Pajak Terancam Menghentikan Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan Jakarta, 3 September 2014 - Pada tanggal 26 Agustus 2014, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan

Lebih terperinci

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N KODE ETIK P O S B A K U M A D I N PEMBUKAAN Bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara yang tidak mampu merupakan kewajiban negara (state obligation) untuk menjaminnya dan telah dijabarkan dalam

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA SERTA HAK-HAK HAKIM AGUNG DAN HAKIM

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.49, 2017 HUKUM. Anak. Anak Korban. Perkara. Register. Pedoman. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6033) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa

Lebih terperinci