REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA DADANG HIDAYAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA DADANG HIDAYAT"

Transkripsi

1 REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA DADANG HIDAYAT DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 ABSTRAK Dadang Hidayat. Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor Batubara. Dibimbing oleh Dondin Sajuthi dan Idrus Bambang Iryanto. Bijih besi banyak ditemukan di Indonesia. Permasalahan energi yang dihadapi industri baja nasional dapat diatasi dengan menggunakan reduktor batubara. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan batubara, yaitu sekitar 38,8 milyar ton. Penelitian ini bertujuan melakukan pengkayaan kandungan bijih besi laterit dalam batuan besi dengan benefisiasi, memperoleh suhu optimum dalam reduksi bijih besi laterit, dan membandingkan hasil reduksi antara penambahan kapur dan penambahan bentonit. Penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu preparasi sampel, analisis bijih besi (meliputi silikat, Fe total, dan Fe 2+ ), pembuatan besi spons (reduksi bijih besi), analisis besi spons (meliputi Fe total dan Fe metal), analisis komposisi kimia dari kapur dan bentonit (meliputi CaO, MgO, silikat), dan analisis batubara (meliputi kadar air, volatile matter (vm), kadar fixed carbon (fc), dan kadar abu). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh bahwa kadar silikat menurun setelah dilakukan benefisiasi, yaitu 5.90% menjadi 2.69% sehingga kadar Fe total dapat meningkat, yaitu 56.70% menjadi 64.51%. Batubara yang digunakan termasuk jenis sub-bituminus dengan kadar fixed carbon 47.19% karenanya cukup efektif untuk proses reduksi. Penambahan bentonit berfungsi sebagai perekat sehingga pelet yang diperoleh lebih baik (cukup keras) dan kadar metalisasi lebih tinggi dibandingkan penambahan kapur dengan persen metalisasi berturut-turut, yaitu 82.11% dan 80.63%. Suhu optimum yang diperoleh untuk mereduksi bijih besi laterit dari bayah berkisar antara 1000 o C dan 1100 o C. Bijih besi laterit dari bayah cukup dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif untuk produksi baja. ABSTRACT Dadang Hidayat. Laterit Iron Ore Reduction from Bayah, Banten Province with Coal Reductor. Supervised by Dondin Sajuthi and Idrus Bambang Iryanto. Iron ore is one of the most usually found metal in Indonesia. The energy problems faced by the national steel industry can be reduced by using coal reductor. Indonesia is a country which has coal reserves at least 38.8 billion tons. The objectives of this research are to enrich laterite iron ore in iron rock with benefiziation, to get optimum temperature of laterite iron ore rediction, and to compare the final reduction result between calcite and bentonite addings. This research covers several stages, includes sample preparation, iron ore analysis (includes silicate, total Fe, and Fe 2+ ), spons iron producing (iron ore reduction), spons iron analysis (includes total Fe and metal Fe), calcite and bentonite chemical composition analysis (includes CaO, MgO, and silicate), and coal analysis (includes moisture contain, volatile matter (vm), fixed carbon (fc) contain, and ash contain). Based on the results of the research is that the silicate content decreased after the benefiziation from 5.90% to 2.69%, which total Fe content has been increased from 56.70% to 64.51%. The used coal was a type of sub-degree bituminus with 47.19% fixed carbon which it was quite effective for reduction process. The function of the bentonit addings was as a sticker which can make the pellet was more better and made the metalization contain was higher than the calcite addings with respectively percentage are 82.11% and 80.63%. The range of optimum temperature of the iron ore laterit reduction from bayah is 1000 o C to 1100 o C. Laterit iron ore from bayah could be used as alternative raw materials for steel production.

3 REDUKSI BIJIH BESI LATERIT DARI BAYAH PROVINSI BANTEN DENGAN REDUKTOR BATU BARA DADANG HIDAYAT Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

4 Judul : Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor Batu bara Nama : Dadang Hidayat NIM : G Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Idrus Bambang Iryanto, ST NIP NIK 6495 Mengetahui: Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Dr. drh. Hasim, DEA NIP Tanggal Lulus:

5 PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor Batu bara dapat diselesaikan. Kegiatan penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2009 di Laboratorium Kimia Pengendalian Kualitas Besi Spons Bahan Baku dan Bahan Pembantu (PKBS BB dan BP) Divisi Pengendalian Kualitas PT Krakatau Steel Cilegon, Banten. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D dan Bapak Idrus Bambang Iryanto, ST selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukannya kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu dan bapak tercinta (Hj. Desy Rohayati dan H. Dulmukin), kakak dan adik tersayang (Tedy Hidayat, ST dan Ainurrohmah), dan teman dekat Agustiarani Asih serta seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan dukungannya. Ucapan terima kasih juga, penulis sampaikan kepada Bapak Didik Eko Trimulyanto selaku training koordinator, Bapak Runtut Bagus Pambudi selaku superintendent laboratorium kimia, Bapak M. Irfan selaku manager pengendalian kualitas, Bapak M. Najib selaku manager keamanan, Ibu Dewi Handayani selaku manager PEAD, dan Bapak Nurjaya selaku koordinator PKL&Riset yang telah memberi kesempatan dan izin untuk penelitian di PT Krakatau Steel. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Hj. Yani, Bapak Dede Sukandar, Bapak Kusman, dan Bapak Misto yang telah memberikan arahan dalam melakukan analisis di laboratorium. Fahmi, Agis, dan Desman dari Teknik Metalurgi Untirta, temen-teman di tempat riset (Icha, Ayu, Ria, Anggi, dan Wida), teman-teman kimia 42 IPB (Herman, Hengki, Redo, Bowo, Ecep, Reni, Iki, Mega, dan Janti lain-lain) dan teman-teman Asrama Sylvasari IPB yang telah membantu dan tukar pengetahuan. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Juni 2009 Dadang Hidayat

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 23 Januari 1987 dari pasangan H. Dulmukin dan Hj. Desy Rohayati sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menjalankan pendidikan formal mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi (PT). Tahun 2002 sampai 2005 di SMA Negeri 2 Krakatau Steel Cilegon. Tahun 2005, penulis melanjutkan studi di Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis melakukan praktik lapangan pada tahun 2008 di PT Krakatau Steel, Cilegon dengan judul laporan adalah proses percobaan pembuatan besi spons dari scale wire rod mill. Selama perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kampus antara lain Dewan Keluarga Mushala As-Shaf Asrama Putra Tingkat Persiapan Bersama IPB tahun 2005/2006, Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Banten tahun 2005/2006, Forum for Scientific Studies tahun 2005/2007, Lembaga Dakwah Kampus Al-Hurriyyah (hubungan luar dan pengembangan sumber daya manusia) tahun 2005/2007, Ikatan Mahasiswa Kimia IPB tahun 2006/2007, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB Departemen Sosial dan Lingkungan tahun 2007/2008, kepengurusan asrama Sylvasari IPB (pengembangan sumber daya manusia, pertahanan dan keamanan, koperasi, dan pecinta alam) tahun 2006/2008.

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... viii PENDAHULUAN... 1 TINJAUAN PUSTAKA Bijih Besi dan Besi Laterit... 1 Benefisiasi dan Pembuatan Pelet... 2 Reduksi Bijih Besi.. 2 Reduksi Langsung dengan Reduktor Padatan dan Gas... 2 Batu bara... 2 Batu Kapur dan Bentonit... 3 Tinjauan Kinetika Reduksi... 4 X-Ray Fluorescence Spectrofotometer dan Carbon/Sulfur Determinator... 4 BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat... 5 Lingkup Penelitian... 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengkayaan Kandungan Bijih Besi Laterit dengan Benefisiasi... 7 Pengaruh Suhu Pada Persen Reduksi Bijih Besi Laterit... 8 Pengaruh Suhu Pada Persen Metalisasi Bijih Besi Laterit... 9 Perbandingan Penambahan Kapur dan Bentonit SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 13

8 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram kesetimbangan gas CO dan CO 2 untuk reduksi bijih besi Pengaruh suhu pada persen reduksi bijih besi laterit dari Bayah Pengaruh suhu pada persen karbon setelah proses reduksi bijih besi laterit dari Bayah Pengaruh suhu pada persen metalisasi bijih besi laterit dari Bayah DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Bahan baku dan hasil percobaan Alat yang digunakan dalam percobaan Diagram alir reduksi bijih besi Diagram alir benefisiasi Rumus-rumus perhitungan pada metode analisis Data hasil pengujian Contoh perhitungan viii

9 2 PENDAHULUAN Bijih besi merupakan komoditi tambang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku baja. Bijih besi banyak ditemukan di Indonesia, namun bahan baku baja masih didatangkan dari luar negeri. Berdasarkan BEI News (2005), Cina menggunakan bahan baku baja tertinggi di dunia, yaitu 16.7% pada tahun Bahan baku baja yang digunakan sebanyak juta ton akan tetapi dua tahun kemudian langsung melonjak menjadi juta ton. Produksi baja di Cina meningkat setiap tahunnya. Tahun 2003 sampai 2005, produksi baja di Cina berturut-tutut adalah 220, 300, dan 350 juta ton. Konsumsi baja di Indonesia menurut harian umum pelita (2009), tahun 1997 sampai 2000 adalah 36, 13, 14, dan 26 kilogram per kapita yang mengalami penurunan pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi. Negara lain seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Jepang, AS, dan Korea Selatan berturut-turut adalah 44, 111, 274, 635, 472, dan 846 kilogram per kapita pada tahun Berdasarkan analisis internal yang dikeluarkan PT Krakatau Steel (KS), konsumsi baja canai panas pada tahun 2007 mencapai sekitar 2,91 juta ton dengan asumsi peningkatan 10%, pada tahun 2008 konsumsi baja domestik akan menyentuh 3.25 juta ton. Kenaikan harga bahan baku baja di pasar internasional, memicu pemerintah dan para kuasa pertambangan (KP) untuk mulai memanfaatkan bahan baku lokal. Menurut Sutisna (2007), ada empat jenis cebakan bijih besi di Indonesia, yaitu skarn, placer, laterit, dan sedimen. Cebakan laterit jumlahnya paling melimpah, yaitu mencapai 1 miliar ton, sedangkan cebakan bijih besi skarn, placer, dan sedimen berturut-turut hanya mencapai 15, 159, dan 1 juta ton. Cebakan ini juga mengandung karbonat, silikat, besi, hematit, dan magnetit sehingga kadar besinya rendah, yaitu hanya 40-60%. Bahan baku lokal berupa bijih besi laterit dapat dijadikan pelet yang akan direduksi menjadi besi spons. Pemanfaatan bijih besi lokal ini dapat mengurangi biaya produksi sehingga harga jual bajanya dapat bersaing. Kenaikan harga tersebut diakibatkan naiknya harga iron ore pellet dan minyak mentah yang terus meningkat membuat harga bahan baku dan biaya produksi baja menjadi tinggi. Salah satu penyebab kenaikan biaya produksi baja adalah tingginya harga impor bahan baku pelet. Selain itu teknologi berbasis gas yang digunakan saat ini seperti Hojalata Y Lamina (HYL) I dan HYL III (dengan kapasitas kurang lebih 2 juta ton besi spons per tahun) semakin tidak kompetitif untuk dioperasikan. Permasalahan energi yang dihadapi industri baja nasional dapat diatasi dengan menggunakan reduktor batu bara. Menurut Raharjo (2006), Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan batu bara sekitar 38.8 miliar ton dengan 70% batu bara muda dan 30% batu bara kualitas tinggi. Penelitian ini bertujuan melakukan pengkayaan kandungan bijih besi laterit dalam batuan besi dengan benefisiasi, memperoleh suhu optimum dalam reduksi bijih besi laterit, dan membandingkan hasil reduksi antara penambahan kapur dan penambahan bentonit. TINJAUAN PUSTAKA Bijih Besi dan Besi Laterit Mineral merupakan bahan-bahan anorganik alam yang ditemukan dalam kerak bumi sedangkan mineral yang digunakan sebagai sumber untuk produksi bahan-bahan secara komersial disebut bijih besi (Keenan et al. 1992). Bijih besi dapat berupa karang keras sekali, butiran kecil, dan tanah yang gembur dengan warna yang beragam dari hitam hingga merah bata. Besi adalah suatu logam yang sangat kuat dan keras. Namun, kekerasannya tidak melebihi nikel dan kobalt sehingga perlu diberi zat aditif atau dibentuk paduan logam dengan nikel, kobalt, atau logam lain (Meyer 1980). Besi laterit merupakan jenis cebakan endapan residu yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan dengan melibatkan dekomposisi, pengendapan kembali, dan pengumpulan secara kimiawi. Bijih besi tipe laterit umumnya terdapat di daerah puncak perbukitan dengan kemiringan <10%. Kemiringan tersebut menjadi salah satu faktor utama proses pelapukan secara kimiawi yang perannya lebih besar daripada proses mekanik. Sementara struktur dan karakteristik tanah dipengaruhi oleh daya larut mineral dan kondisi aliran air tanah (Sani 2008). Sutisna (2007) menyatakan bahwa sifatsifat dari cebakan laterit adalah tekstur dapat terlihat jelas, lapisan yang kompak, komposisi mineral besi beragam, kadar Fe berkisar antara dan 60.00%, mengandung kadar Ni dan Cr yang lebih rendah daripada jenis laterit, yaitu rata-rata 0.41% Ni dan 2.10% Cr 2 0 3, khususnya yang berasal dari bijih besi laterit, dapat mengandung bijih besi bog iron, dengan kandungan belerang dan mangan yang tinggi, sedangkan yang berasal sumber air

10 2 panas dapat mengandung belerang yang relatif lebih tinggi, dan kadar Al lebih rendah dari tipe lateritik, yaitu sekitar 7.00%. Benefisiasi dan Pembuatan Pelet Bahan baku utama baja berupa bijih besi yang diolah dalam tanur pada suhu tinggi. Bijih besi yang masih tercampur dengan kotoran dapat dimurnikan dengan dicuci terlebih dahulu. Menurut Novyanto (2007), proses pembuangan kotoran, gas, tanah liat, dan pasir adalah pencucian, pemecahan: batuan yang mengandung bijih besi dipecah dengan menggunakan mesin sehingga dihasilkan bijih besi dengan ukuran yang sama, sortir merupakan proses bijih besi melewati roda magnet yang mempunyai sifat kemagnetan kuat sehingga bijih besi terpisah antara kandungan Fe rendah dan kandungan Fe tinggi, dan pemanasan untuk menghilangkan kandungan air dan udara (gas) yang masih menempel di bijih besi. Menurut Meyer (1980 ), pelet merupakan bulatan seperti kelereng yang dihasilkan dari bijih besi alam dengan ciri sebagai berikut: kandungan besi lebih dari 63%, daya serap air berkisar antara 25 dan 30%, ukuran distribusi antara diameter 9-15 mm, daya tahan pada tekan yang tinggi, kecenderungan untuk abrasi rendah, partikel tidak hilang saat pembakaran (tidak terjadi pengecilan dan komposisi mineralnya masih sama), mempunyai tekanan mekanik yang rata-rata pada tekanan panas selama reduksi di udara. Secara garis besar proses pembuatan pelet melalui tiga tahap, yaitu 1) proses penyiapan bahan baku sebelum pembuatan pelet, 2) mencampur bahan campuran dalam tahapan ke-1 dengan air dan membentuknya menjadi bulatan-bulatan kecil dengan diameter mm, 3) pembakaran, yaitu membakar pelet hasil tahapan ke-2 setelah dikeringkan untuk meningkatkan kekuatan. Reduksi Bijih Besi Proses penghilangan oksigen dan pengotor bijih besi disebut reduksi. Proses reduksi secara umum terbagi atas dua metode, yaitu reduksi langsung dan reduksi tidak langsung. Proses reduksi bijih besi secara tidak langsung dilakukan dalam tanur tinggi dengan reduktor berupa kokas batu bara dan suhu di atas titik lebur besi. Produk berupa lelehan logam Fe yang selanjutnya diumpankan ke dalam BOF (Basic Oxygen Furnace) dan sebagian kecil akan dicetak menjadi pig iron. Sementara Proses reduksi langsung merupakan proses pemisahan Fe dari oksigen dengan reduktor berupa padatan seperti batu bara atau gas seperti metana (CH 4 ). Proses reduksi ini dilakukan di bawah titik lebur sehingga produk yang dihasilkan dalam bentuk padatan (Sun 1997). Nomura et al. (2007) menyatakan kebanyakan besi oksida direduksi menjadi logam besi oleh CO yang dihasilkan selama oksidasi karbon. Pada suhu 1200 o C, komponen berupa SiO 2 dan FeO di dalam serbuk bijih besi dapat bereaksi menghasilkan suatu campuran FeO dan SiO 2, yaitu fayalite (2FeO.SiO 2 ) yang dapat mengisi pori-pori batu bara. Reduksi Langsung dengan Reduktor Padatan dan Gas Proses ini menggunakan reduktor padatan berupa batu bara atau batu arang untuk mereduksi bijih besi. Keseluruhan reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut (Pelton & Christopher 2000) 3Fe 2 O 3 + C 2Fe 3 O 4 + CO, Fe 3 O 4 + C 3FeO + CO, FeO + C Fe + CO, Reaksi ini berjalan secara endotermik atau memerlukan panas. Panas yang diperlukan berasal dari udara dan pembakar. Bijih besi yang digunakan dalam proses reduksi langsung dengan reduktor karbon relatif berkadar Fe rendah (53% Fe) serta tidak memerlukan energi panas untuk mereformasi gas alam sehingga penggunaan energi lebih efisien. Persamaan reaksi reduksi bijih besi oleh gas CO dan H 2 ditunjukkan oleh persamaan reaksi (Rosenqvist 1983), 3Fe 2 O 3 + CO 2Fe 3 O 4 + CO 2, Fe 3 O 4 + CO 3FeO + CO 2, FeO + CO Fe + CO 2, atau 3Fe 2 O 3 + H 2 2Fe 3 O 4 + H 2 O, Fe 3 O 4 + H 2 3FeO + H 2 O, FeO + H 2 Fe + H 2 O, Reduksi langsung dengan reduktor gas memerlukan bahan baku bijih besi dengan kadar Fe yang relatif tinggi (60-67%) dan pengotor serendah mungkin (P 0.017%, S 0.011%) baik dalam bentuk pelet ataupun batuan bisa. Batu bara World Coal Institute (2004) menyatakan bahwa batu bara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk, awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Batu bara merupakan batuan organik

11 3 yang terdiri atas karbon, hidrogen, dan oksigen. Karakteristik batu bara tipe bituminus (A, B, C, dan D) dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 1 Karakteristik batu bara (Grigore et al. 2007) Batu bara A B C D Analisis Proksimat (%) Kadar air Kadar abu Zat terbang Karbon tetap Analisis Abu (%) SiO Al 2O Fe 2O CaO MgO TiO Na 2O K 2O P 2O Mn 3O4 < SO Cr 2O 3 <0.02 <0.02 <0.02 <0.02 CuO <0.02 <0.02 <0.02 <0.02 V 2O ZnO <0.02 <0.02 <0.02 <0.02 NiO <0.02 <0.02 <0.02 <0.02 BaO SrO Total Menurut Raharjo (2008), berdasarkan proses pembentukannya di alam yang dikontrol oleh tekanan, panas, dan waktu umumnya dibagi dalam 5 kelas, yaitu 1) Antrasit: kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan metalik, mengandung % karbon dengan kadar air kurang dari 8.00%. 2) Bituminus mengandung % karbon dan berkadar air % dari bobotnya. Kelas batu bara ini paling banyak ditambang di Australia dan Amerika Serikat. Bituminus umumnya digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. 3) Sub-bituminus: batu bara yang memiliki sifat di antara lignit dan bituminus. Permukaannya tidak mengkilap, warnanya cokelat gelap sampai kehitam-hitaman, serta bersifat lunak dan rapuh pada rentang menengah ke bawah. Akan tetapi, pada rentang menengah ke atas batu bara sub-bituminus mengkilap, sangat hitam, keras, dan relatif kuat. Batu bara subbituminus memiliki sedikit karbon 37.70% dan banyak air ( % dari bobotnya), dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus. 4) Lignit: jenis batu bara muda terdapat pada lapisan geologi atas. Batu bara lignit sangat lunak dan mengandung air % sedangkan kadar karbonnya rendah, kurang lebih %. 5) Gambut: berpori dan memiliki kadar air di atas 75.00% serta nilai kalori yang paling rendah. Batu Kapur dan Bentonit Batu kapur dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, mekanik, atau kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik, yaitu berasal dari pengendapan cangkang kerang dan siput, atau ganggang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu-abu, cokelat, bahkan hitam, bergantung pada keberadaan mineral pengotornya (Tekmira 2005). El-Geassy et al. (2007) menjelaskan bahwa bahan tambahan seperti CaO, MgO, dan SiO 2 berperan penting dalam mengurangi indeks pemekaran maksimum disekitar suhu 1250 o C karena pemutusan CaO dari FeO pada lokasi-lokasi pengintian. Liu (2003) menjelaskan bahwa selain devolatilisasi batu bara dengan gas CO 2 juga dihasilkan proses dekomposisi oleh batu kapur, reaksi dekomposisi batu kapur terjadi pada suhu ± 900 o C. Mineral bentonit berdiameter kurang dari 2 µm dan terdiri atas berbagai macam mineral seperti silika, aluminium oksida, dan hidroksida yang dapat mengikat air. Bentonit diklasifikasikan dalam 2 kelompok, yaitu natrium dan kalsium bentonit. Natrium bentonit mengandung lebih banyak Na + dibandingkan dengan Ca 2+ dan Mg 2+. Bentonit ini dapat mengembang hingga 8-15 kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Sementara kalsium bentonit memiliki lebih banyak Ca 2+ dan Mg 2+ daripada Na +. Kalsium bentonit kurang menyerap air, tetapi diaktifkan dengan asam agar kemampuan menyerap airnya baik dan tetap terdispersi dalam air (Syuhada et al. 2009). Saidi et al. (2004) menyatakan bahwa penggunaan bentonit dalam reduksi bijih besi dapat meningkatkan besi total dalam bentuk oksida. Selain itu, bentonit memiliki permukaan ion sehingga bermanfaat dalam pembuatan suatu salutan yang lengket pada butir-butir bijih besi. Kelengketan dari bentonit dapat

12 4 menghasilkan kekerasan sehingga melindungi pelet dari tekanan tinggi. Tinjauan Kinetika Reduksi Kinetika reaksi reduksi bijih besi adalah kecepatan besi oksida untuk bertransformasi menjadi logam besi dengan melepaskan oksigen. Kecepatan reaksi reduksi bijih besi ditentukan oleh tinggi rendahnya kemampuan bijih besi tersebut untuk direduksi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ukuran partikel, bentuk dan distribusi ukuran partikel, bobot jenis, porosity, struktur kristal, serta komposisi kimia (Ross 1980). Kinetika reduksi langsung menggunakan reduktor batu bara dipengaruhi oleh kombinasi beberapa mekanisme, yaitu perpindahan panas, perpindahan massa oleh konveksi, difusi fase gas, serta reaksi kimia dengan gasifikasi karbon. El-Geassy et al. (2007) menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi reduksi besi oksida seperti komposisi bahan baku, basisitas, komposisi gas, dan suhu reduksi. Pengaruh komposisi gas terjadi pada perubahan volume dari besi oksida pada suhu o C. Reaksi batu bara dan bijih besi merupakan suatu sistem yang kompleks. Perubahan dalam reaksi sangat dipengaruhi oleh parameter perpindahan panas yang meliputi ukuran, bentuk, bobot jenis partikel dan kecepatan aliran panas. Perpindahan panas yang terjadi dalam proses reduksi adalah perpindahan panas secara konduksi. Proses konduksi adalah perpindahan panas melalui zat padat. Dalam sistem reduksi langsung dengan karbon, mekanisme perpindahan panas yang paling berpengaruh adalah adalah konduksi dan konveksi (Sun 1998). Proses konduksi sangat bergantung pada suhu proses, sifat padatan dan fase gas yang terjadi sehingga nilai konduktifitas panas padatan merupakan salah satu hal penting dalam proses reduksi Konduktivitas panas yang tinggi akan meningkatkan kecepatan laju reaksi (Milandia 2005). Perpindahan massa terjadi karena adanya gas CO dari batu bara yang bereaksi dengan bijih besi membentuk logam besi (Fe), sehingga oksigen dilepaskan dari bijih besi tersebut dan karbon (C) akan bereaksi dengan karbon dioksida (CO 2 ) untuk membentuk CO. Aliran gas CO yang menyebabkan proses konveksi dan difusi dipengaruhi oleh perbedaan tekanan dan konsentrasi gas dalam sistem sehingga perpindahan massa dapat berjalan baik (Milandia 2005). Seki dan Nagata (2006) menjelaskan bahwa besi oksida yang berisi karbon dapat direduksi pada suhu lebih rendah. Penurunan suhu ketika reduksi bijih besi dengan karbon terjadi saat peningkatan efisiensi energi dan karbon sebagai CO 2. Reaksi kimia yang terjadi pada proses reduksi langsung bijih besi dengan reduktor batu bara meliputi devolatilisasi batu bara, reduksi bijih besi dengan gas, dan gasifikasi arang batu bara (char). Devolatilisasi batu bara mulai terjadi lebih awal pada suhu rendah dengan laju reaksi lebih cepat dari reaksi reduksi bijih besi maupun gasifikasi arang batu bara. Kesetimbangan reaksi dapat dilihat pada gambar 1. Gambar 1 Diagram kesetimbangan gas CO dan CO 2 untuk reduksi bijih besi (Ross 1980). X-Ray Fluorescence Spectrofotometer dan Carbon/Sulfur Determinator Fluoresensi dan absorpsi sinar-x telah digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif penentuan unsur-unsur. Sumber sinar-x untuk keperluan analisis dapat berasal dari tabung sinar-x, radioisotop, dan sinar-x sekunder. Serapan sinar-x menimbulkan ion tereksitasi tingkat elektronik, saat kembali ke keadaan dasar akan melibatkan transisi tingkat energi yang lebih tinggi. Setelah beberapa saat, ion kembali ke keadaan dasar melalui serangkaian transisi elektronik yang khas dengan memancarkan radiasi pada panjang gelombang yang sama dengan sinar yang menyebabkan eksitasi. Komponen alatnya adalah sumber sinar, pemilih panjang gelombang (filter), sel (tempat sampel), detektor atau tranduser, dan pemprosesan sinar dan luaran (Skoog et al. 1998).

13 5 Carbon/sulfur determinator merupakan alat untuk analisis bahan-bahan seperti batu bara, semen, dan bijih-bijih mineral. Carbon determinator menggunakan suatu carbon infrared cell untuk menentukan persen karbon pada setiap sampel. Elemental Determinators itu dapat diatur dengan pilihan berikut: karbon, belerang rendah, belerang tinggi, belerang dan karbon rendah, belerang dan karbon tinggi, belerang rendah dan belerang tinggi, dan cakupan rangkap (karbon dan belerang rendah dan belerang tinggi) (Labfit 2008). Carbon/sulfur determinator menggunakan cawan khusus untuk analisisnya sehingga dipanaskan dahulu di dalam tungku perapian pada suhu yang tinggi antara 1250 C dan 1350 C (Eltra 2005). BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bijih besi dari Bayah, H 2 O 2 30%, HF 38-40%, K 2 S 2 O 7, SnCl 2 10%, HgCl 2 10%, larutan standar EDTA 0.1 M, indikator Fe (difenilamina sulfonat) 0.1%, larutan standar K 2 Cr 2 O N, indikator murexide, kapur, bentonit, Br 2, TEA (trietanolamin), FeCl 3 15%, dan batu bara. Gambar bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, magnet, hot plate, mesin penggiling (labotary disk mill), mesin pengepresan briket (briquetting press machine), spektrofotometer sinar-x fluoresensi, tanur (furnace), cawan platina, kertas saring Whatman no. 41, cawan porselen, ayakan 150 mesh, neraca analitik, neraca kasar, sudip, bulp, oven, geockel glass, dan carbon/sulfur determinator. Gambar peralatan dapat dilihat pada Lampiran 2. Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu preparasi sampel, analisis bijih besi (meliputi silikat, Fe total, dan Fe 2+ ), pembuatan besi spons (reduksi bijih besi), analisis besi spons (meliputi Fe total dan Fe metal), analisis komposisi kimia dari kapur dan bentonit (meliputi CaO, MgO, silikat), dan analisis batu bara (meliputi kadar air, volatile matter (VM), kadar fixed carbon (FC), dan kadar abu). Metode analisis mengacu pada American Society for Testing and Materials (ASTM) tahun 2003 sedangkan diagram alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3. Preparasi Sampel Batuan besi yang mengandung bijih besi laterit dikeringkan dalam oven, didinginkan, digiling halus, dan diayak dengan ayakan ukuran 150 mesh. Bijih besi hasil pengayakan dikocok agar homogen. Selanjutnya dilakukan analisis komposisi kimia menggunakan x-ray fluoresence (XRF) spektrofotometer dan metode basah sehingga didapatkan data komposisi kimia yang terkandung dalam sampel sebelum dilakukan benefiasi. Benefiasi dilakukan pada sampel melalui pencucian berulang menggunakan air dan deterjen dengan bantuan magnet, lalu dilakukan analisis komposisi kimia kembali menggunakan XRF spektrofotometer dan metode basah. Diagram alir proses benefisiasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Reduksi Bijih Besi Bijih besi yang telah digiling lalu diayak ukuran yang lolos 150 mesh. Campuran hasil gilingan (yang lolos dari ayakan 150 mesh) dengan batu bara dan kapur yang halus lalu diaduk hingga homogen. Campuran tersebut ditambahkan air sehingga dapat dilakukan pembuatan pelet secara manual lalu dikeringkan. Masukkan pelet yang sudah kering dalam tanur pada suhu 800, 900, 1000, 1100 dan 1200 o C selama 60 menit. Besi spons didinginkan pada suhu kamar, digiling sampai 150 mesh, lalu dilakukan uji Fe metal dan Fe total. Standardisasi Kalium Dikromat Sebanyak 0.3 gram Fe standar (61.09%) ditambah HCl pekat hingga larut sempurna kemudian ditambahkan akuades 200 ml lalu dipanaskan hingga mendidih ldan reduksi dengan SnCl 2 10% hingga jernih. Sebanyak 15 ml HgCl 2 10% dan 10 ml H 3 PO 4 85% ditambahkan pada larutan kemudian ditambahkan indikator Fe 0.1%, lalu titrasi dengan larutan standar K 2 Cr 2 O 7 hingga berwarna ungu. Catat volume K 2 Cr 2 O 7 yang digunakan. Rumus perhitungan pada Lampiran 5. Analisis Fe Total Sebanyak 0.3 sampel ditimbang dengan neraca analitik lalu dimasukkan dalam erlenmeyer. Sampel dilarutkan dengan 25 ml larutan HCl pekat. Setelah sampel larut, kemudian encerkan dengan akuades sebanyak 200 ml dan dididihkan hingga menimbulkan gelembung. Reduksi dengan beberapa tetes SnCl 2 10% hingga tidak berwarna lalu didinginkan pada suhu kamar. Sebanyak 15

14 6 ml HgCl 2 10% dan 10 ml H 3 PO 4 85% ditambahkan pada sampel, indikator Fe ditambahkan lalu dititrasi dengan larutan standar K 2 Cr 2 O 7 hingga berwarna ungu. Volume K 2 Cr 2 O 7 yang digunakan dicatat. Rumus perhitungan pada Lampiran 5. Analisis Fe 2+ Ditimbang dengan teliti 0.5 sampel lalu dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, 10 ml NaHCO 3 10%, dan 25 ml HCl pekat ditambahkan. Erlenmeyer ditutup dengan geockel glass yang berisi NaHCO 3 10%, kemudian sampel dipanaskan sampai larut sempurna, lalu didinginkan perlahan dan geockel glass dibiarkan berada pada tempatnya hingga dingin. Geockel glass dibuka, ditambahkan 10 ml H 3 PO 4, dan 5 tetes indikator Fe 0.1%. Titrasi dilakukan dengan larutan standar K 2 Cr 2 O N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Rumus perhitungan pada Lampiran 5. Analisis Fe metal Sebanyak 0.2 sampel ditimbang dengan neraca analitik, sampel dimasukkan dalam labu takar 200 ml. Larutan FeCl 3 sebanyak 50 ml ditambahkan dan gas argon dialirkan dalam labu takar. Labu takar langsung ditutup lalu diaduk dengan pengaduk magnetik selama 55 menit. Setelah itu, ditambahkan larutan NH 4 Cl sedikit melewati tanda tera, kocok hingga homogen. Larutan diambil 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 ml. Sebanyak 20 ml campuran asam fosfat:sulfat dan indikator Fe ditambahkan pada larutan. Titrasi dilakukan dengan larutan standar K 2 Cr 2 O 7 sampai terjadi perubahan warna dari tak berwarna menjadi ungu. Rumus perhitungan pada Lampiran 5. Analisis Silikat Sebanyak 1.0 sampel (G) ditimbang lalu dimasukkan dalam gelas piala 400 ml, sampel dilarutkan dengan HCl pekat dan ditutup dengan kaca arloji. Sampel dipanaskan hingga larut kemudian ditambahkan beberapa tetes H 2 O 2 lalu dipanaskan sampai kering, dan didinginkan. Sebanyak 50 ml larutan HCl ditambahkan dan dipanaskan sampai larut lalu diencerkan dengan akuades kemudian larutan dididihkan. Endapan disaring dengan kertas Whatman no. 41 dalam 500 ml labu takar, endapan dicuci dengan akuades lalu dimasukkan endapan dan kertas saring dalam cawan platina. kertas saring dipijarkan dalam tanur pada suhu 1000 o C kemudian ditimbang (A). Endapan diberi sedikit akuades lalu ditambahkan HF dua kali dan dipijarkan pada suhu 1000 o C, didinginkan, dan ditimbang (B). Sisa residu dalam cawan platina dilarutkan dengan HCl pekat dan ditambahkan sedikit akuades, dipanaskan hingga larut, lalu dimasukkan dalam labu takar. Larutan diencerkan dengan akuades hingga tanda tera, residu pada labu takar digunakan untuk analisis Fe total, CaO, dan MgO. Rumus perhitungan pada Lampiran 5. Analisis CaO Filtrat yang diperoleh pada penentuan SiO 2 diencerkan dengan akuades sampai tanda tera dan dikocok sampai homogen, kemudian diambil sebanyak 100 ml menggunakan pipet volumetrik, lalu dimasukkan kedalam gelas piala. Filtrat ditambahkan 5 ml TEA (trietanolamin), dan 1 ml KCN. KOH ditambahkan hingga ph 13, kemudian ditambahkan indikator murexide, dititrasi dengan EDTA 0.1 M hingga berwarna violet. Rumus perhitungan pada Lampiran 5. Analisis MgO Larutan yang sama (filtrat CaO di atas), ditambahkan HCl pekat hingga jernih, ditambahkan amonia pekat hingga ph 10, ditambahkan indikator EBT (eriochrome black-t) dan dititrasi dengan EDTA 0.1 M terjadi perubahan warna dari merah menjadi biru. Rumus perhitungan pada Lampiran 5. Analisis kadar Air Wadah yang konstan ditimbang (A), kemudian wadah dan sampel ditimbang (B), lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 100 ºC sampai bobot konstan. Sampel didinginkan, kemudian ditimbang (C). Rumus perhitungan pada Lampiran 5. Analisis Hilang Pijar Cawan kosong yang telah konstan ditimbang (A), kemudian cawan kosong dan sampel (1-4) ditimbang (B), lalu dipijarkan dalam tanur pada suhu 1000 ºC selama ± 24 jam (semalam) atau sampai bobot konstan. Sampel didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (C). Rumus perhitungan pada Lampiran 5. Analisis Volatile Matter Cawan kosong dan koach yang telah konstan ditimbang (A). Cawan kosong, koach, dan sampel (1-3) ditimbang (B). Sampel dipijarkan dalam tanur pada suhu 1000 ºC selama ± 8 menit, lalu didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (C).

15 7 Penentuan Fixed Carbon Penentuan fixed carbon dari batu bara berdasarkan selisih antara hasil perhitungan hilang pijar dan volatile matter. Penentuan Kadar Abu Penentuan kadar abu dari batu bara berdasarkan selisih antara total persentase (100%) dan hasil perhitungan hilang pijar. Analisis dengan Alat X-Ray Flouresence Spectrofotometer Sampel dalam wadah pipa paralon dipress dengan mesin pengepresan briket pada tekanan 35 ton. Sampel ditempatkan pada wadah analisis lalu ditutup rapat. Nama dan kode sampel dimasukkan, tombol F1 ditekan sehingga diperoleh hasil analisis tentang komposisi kimia dalam bentuk persen pada layar. Analisis dengan Alat Carbon/Sulfur Determinator cawan yang kosong pada ditimbang dengan timbangan dalam alat, kemudian sampel dimasukkan sebanyak 0.3, lalu ditambahkan katalisator secukupnya. Cawan dan sampel dimasukkan dalam tempat pembakaran sehingga data mengenai kadar karbon dan sulfur terlihat pada layar. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengkayaan Kandungan Bijih Besi Laterit dengan Benefisiasi Bijih besi yang berbentuk batuan harus dihilangkan jumlah air dari sampel supaya bobot yang diperoleh konstan. Kadar air yang diperoleh kecil, yaitu 1.03% karena air hanya terdapat pada bagian lapisan luar batuan besi. Menurut Harjadi (1986), air yang terikat secara fisik untuk menghilangkannya diperlukan panas rendah sekadar untuk menguapkannya, umumnya suhu ºC. Hasil analisis awal terdapat pada Lampiran 6 baik dengan analisis metode XRF maupun analisis metode konvensional. Mulyaningsih (2005) menyatakan bahwa metode XRF lebih cepat dibandingkan metode konvensional, metode konvensional memerlukan beberapa tahapan analisis, sedangkan metode XRF hanya satu tahap analisis dan langsung dihasilkan analisisnya. Selain itu, metode konvensional memiliki tingkat keakuratan hasilnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode XRF. Hal ini disebabkan metode XRF mempunyai kendala dalam karakteristik matrik sampel dan matrik standar. Standar yang digunakan dalam metode XRF maupun metode basah adalah iron ore yang sudah diketahui kadar Fe total maupun Fe metal dengan pasti (kode material standarnya euro MRC 685-1). Pada metode fluoresensi sinar-x, sampel logam atau spesimen batuan disinari oleh berkas sinar-x gelombang pendek. Berkas ini dapat mementalkan sebuah elektron dari kulit elektron terdalam dari sebuah atom, dan untuk menggantikan elektron yang hilang ini, sebuah elektron lain dapat melompat dari salah satu kulit luar dan dengan demikian terbebas energi dalam bentuk sinar-x. Radiasi sinar-x sekunder atau pendaran (fluorescence) yang dihasilkan ini akan dipancarkan dengan panjang gelombang yang karakteristik dari atom yang bersangkutan, dan intensitas radiasi itu dapat digunakan untuk memperkirakan banyaknya unsur di dalam sampel yang menimbulkan radiasi itu. Ini merupakan suatu contoh dari sejumlah metode uji yang disebut non-destruktif (tak merusak) (Basset et al. 1994). Adanya unsur-unsur lain dalam jumlah yang cukup besar setelah dilakukan analisis metode XRF menandakan bahwa dalam bijih besi laterit tersebut masih terdapat banyak pengotor sehingga kadar Fe total kecil. Apabila kadar Fe total dari bijih besi kurang dari 63% maka perlu dilakukan proses benefisiasi. Proses ini digunakan untuk memisahkan antara mineral berharga dari pengotornya berdasarkan perbedaan sifat kemagnetan yang dimilki oleh mineralmineral pada bijih besi. Dengan mengurangi pengotor-pengotor tersebut, maka diharapkan akan didapatkan kadar Fe yang lebih tinggi. Fraksi ukuran yang digunakan adalah 150 mesh karena mineral-mineral berharga yang terdapat pada bijih besi terjebak antara mineral-mineral pengotor yang lain. Hasil dari proses benefisiasi dapat dikelompokkan sebagai berikut: hasil benefisiasi yang banyak mengandung mineral berharga, hasil benefisiasi bijih besi yang banyak mengandung unsur pengotor dan hasil benefisiasi bijih besi yang masih cukup banyak mengandung mineral berharga sehingga perlu dilakukan proses benefisiasi ulang. Ketika proses benefisiasi berlangsung, terdapat gaya yang bekerja antara lain: gaya magnet atau medan magnet yang ditimbulkan oleh pemisah magnet, gaya gravitasi, gaya sentrifugal, gaya gesek, gaya tarik atau tolak antar partikel. Proses benefisiasi (pengkayaan) dengan melakukan pencucian bijih besi

16 8 menggunakaan air dan deterjen serta pemisahan dengan magnet. Pencucian terutama digunakan untuk mengurangi jumlah unsur-unsur pengganggu yang terdapat pada bijih besi seperti silika. Setelah dilakukan proses benefisiasi, diperoleh kadar silika menurun dari 5.90 menjadi 2.69%. Alasan digunakannya deterjen adalah sebagai zat yang mampu memperkecil tegangan permukaan dimana unsur-unsur pengganggu akan terikat pada deterjen dan menjaga tetap teremulsinya kotoran suatu pelarut. Proses benefiasi ini dilakukan berulang-ulang agar kotoran-kotoran pengganggu berkurang sehingga kadar Fe total dapat meningkat, yaitu menjadi 64.51%. Perhitungan kadar Fe total dapat dilihat pada Lampiran 7. Penentuan Fe total dengan metode basah menggunakan HCl pekat untuk melarutkan besi oksida yang terkandung dalam bijih besi laterit. Ketika besi oksida larut sempurna terjadi perubahan warna dari kuning menjadi coklat kemerahan. Air akuades untuk mengencerkan larutan besi oksida. Pada saat larutan mendidih, Fe 3+ akan direduksi menjadi Fe 2+ oleh larutan SnCl 2 sehingga warna berubah menjadi tak berwarna. Penambahan larutan HgCl 2 setelah larutan dingin untuk menangkap kelebihan Sn 2+ yang berubah menjadi Sn 4+ berdasarkan reaksi berikut, (Arthur 1979) 2Fe 3+ + Sn 2+ 2Fe 2+ + Sn 4+ Penambahan H 3 PO 4 berfungsi mengaktifkan indikator Fe (difenilamina sulfonat) karena asam fosfat akan membentuk kompleks Fe 3+ sehingga berada dalam trayek perubahan indikator. Selanjutnya dititrasi menggunakan larutan kalium dikromat yang sudah distandardisasi. Pada titrasi tersebut akan terjadi proses oksidasi Fe 2+ menjadi Fe 3+. Perubahan warna yang terjadi dari putih menjadi kehijauan kemudian ungu. Penentuan Fe 2+ didasarkan pada pelarutan dengan HCl pada kondisi ruang yang ditutup geockel glass untuk mencegah masuknya oksigen sehingga tidak terjadi oksidasi Fe 2+ menjadi Fe 3+. Penambahan H 3 PO 4 berfungsi mengaktifkan indikator Fe karena asam fosfat akan membentuk kompleks Fe 3+. Selanjutnya pada titrasi dengan larutan kalium dikromat akan terjadi proses oksidasi Fe 2+ menjadi Fe 3+. Pengaruh Suhu Pada Persen Reduksi Bijih Besi Laterit Persen reduksi besi spons adalah banyaknya oksigen yang diambil atau hilang dari besi oksida oleh reduktor pada saat proses reduksi. Persen reduksi besi spons menunjukkan seberapa besar keberhasilan dari proses reduksi bijih besi melalui proses reduksi langsung. Selain persen reduksi, untuk melihat kualitas besi spons digunakan juga persen metalisasi. Berdasarkan ilmu termodinamika, kenaikan suhu menyebabkan reaksi reduksi bijih besi akan cenderung berjalan ke arah kanan (membentuk produk [logam Fe]) atau berjalan lebih spontan. Sehingga reaksi reduksi bijih besi akan berjalan semakin baik pada setiap kenaikan suhu namun persen reduksi akan menurun yang ditunjukkan gambar 2 akibat perubahan gas langsung menjadi CO 2. Gambar 2 Pengaruh suhu pada persen reduksi bijih besi laterit dari Bayah Perpindahan massa yang terjadi dalam sistem reduksi langsung terdiri atas proses difusi dan konveksi. Proses konveksi yang disebabkan oleh aliran gas dalam sistem merupakan mekanisme perpindahan massa yang paling dominan dalam reduksi langsung (Sun 1999). Sebagian besar reaksi kimia yang terjadi selama reduksi bijih besi adalah reaksi endotermik. Suhu proses yang digunakan menentukan keberhasilan proses reduksi bijih besi karena akan memengaruhi tingkat metalisasi dan persen reduksi dari besi spons yang dihasilkan (Sun 1999). Kenaikan suhu menyebabkan laju perpindahan panas antar partikel padatan makin tinggi, karena konduktifitas panas padatan dan radiasi yang meningkat. Panas harus selalu tersedia untuk menjaga kelangsungan reduksi bijih besi. panas yang masuk digunakan pada proses gasifikasi karbon untuk menghasilkan gas CO yang berperan sebagai reduktor. Hal ini disebabkan karena gasifikasi karbon memiliki nilai energi

17 9 aktifasi yang tinggi karena reaksinya berjalan endotermik. Pelepasan oksigen dari besi oksida dilakukan oleh gas CO yang dihasilkan dari reaksi gasifikasi karbon dengan gas CO 2 yang berjalan secara endotermik dengan persamaan (Perry 1984), C + O 2 CO 2 C + CO 2 2CO Laju gasifikasi karbon juga dipengaruhi oleh laju perpindahan massa gas oksida (CO 2 dan O 2 ) untuk mengoksidasi karbon. Semakin tinggi suhu maka laju difusi dan konveksi gas oksida makin tinggi sehingga laju gasifikasi karbon juga meningkat. Peningkatan laju gasifikasi karbon akan meningkatkan konsentrasi gas reduktor yang menyebabkan konsumsi karbon sehingga jumlah karbon (%) akan berkurang yang ditunjukkan pada Gambar 3. Naiknya suhu maka padatan karbón memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjadi CO, sehingga volume gas CO semakin besar dengan bertambahnya suhu. Pada suhu 800 o C dan 900 o C diperlukan persen gas CO yang lebih tinggi untuk mereduksi magnetit (Fe 3 O 4 ) menjadi wustit (FeO) jika dibandingkan dengan suhu 1000 o C, hal ini disebabkan reaksi reduksi magnetit menjadi wustit berjalan secara endotermik. Gambar 3 Pengaruh suhu pada persen karbon setelah proses reduksi bijih besi laterit dari Bayah Peningkatan konstanta laju gasifikasi karbon akan meningkatkan konsumsi karbon sehingga laju proses reduksi dan pembentukan CO 2 dan H 2 O untuk gasifikasi karbon meningkat. Sehingga laju proses reaksi reduksi secara keseluruhan akan meningkat (Milandia 2005). Komposisi kimia batu bara dapat memengaruhi proses pembakaran dalam mereduksi bijih besi. Kandungan volatile matter (VM) memengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Penilaian tersebut didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon (fixed carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan nisbah bahan bakar (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batu bara yang tidak terbakar juga semakin tinggi. Jika perbandingan fuel ratio nilainya lebih dari 1.2 pengapian akan kurang baik karena kecepatan pembakaran menurun. Kadar abu tinggi berarti memengaruhi tingkat pengotoran tinggi. Kadar abu dalam percobaan ini 7.93% yang berarti pengotornya cukup tinggi. Kadar karbon yang diperoleh 47.19% karenanya dapat digolongkan ke dalam batu bara jenis sub-bituminus. Pada suhu 1000 o C tersedia panas yang lebih tinggi untuk mereduksi magnetit menjadi wustit jika dibandingkan pada suhu 900 o C, sehingga kebutuhan persen gas CO lebih kecil. Pada suhu rendah (T<1000 o C) dengan jumlah persen gas CO yang tidak mencukupi maka hematit (Fe 2 O 3 ) tidak dapat tereduksi secara sempurna menjadi logam Fe melainkan hanya sampai FeO. Diperlukan suhu yang lebih tinggi agar konsentrasi gas CO dapat mereduksi hematit dengan sempurna. Reaksi maksimum terjadi pada suhu o C. Hal ini disebabkan karena karbon sangat mudah teroksidasi pada suhu ± 950 o C. Dalam reaksi reduksi bijih besi, peningkatan laju tidak terlalu memengaruhi reaksi keseluruhan sedangkan peningkatan laju reaksi pada reaksi gasifikasi karbon sangat memengaruhi reaksi keseluruhan. Oleh karena itu, reaksi gasifikasi karbon merupakan faktor pengendali laju reaksi kimia dalam sistem. Reaksi reduksi bijih besi melibatkan suatu mekanisme yang siklus, di mana CO 2 mengalami reduksi untuk menghasilkan CO yang akan mereduksi besi oksida kemudian menghasilkan CO 2 kembali melalui reduksi oksida. Reaksi-reaksi reduksi dan gasifikasi seperti itu perlu digabungkan untuk memperoleh persen reduksi yang tinggi. Reaksi gasifikasi karbon sangat endotermik dengan jumlah lebih besar dari energi diperlukan. (Camci et al. 2002). Pengaruh Suhu Pada Persen Metalisasi Bijih Besi Laterit Persen metalisasi, yaitu perbandingan banyaknya logam Fe pada Fe total, dalam besi spons. Semakin meningkat suhu maka persen

18 10 metalisasi akan naik namun turun pada suhu 1000 o C akibat jumlah CO berkurang setelah proses reduksi. Reaksi lambat ini terjadi karena gas reduktor (CO) yang dibutuhkan untuk reaksi reduksi bijih besi dan gasifikasi batu bara tidak cukup karena batu bara telah terdevolatilisasi lebih awal sehingga gas CO yang tersisa tidak mencukupi untuk reaksi lainnya. Secara umum, perubahan dari hematit menjadi magnetit, magnetit menjadi wustit dan wustit menjadi logam besi dengan reduksi langsung merupakan reduksi orde ke-1 (Donskoi et al. 2002). Ishizaki, Nagata, dan Hayashi (2007) menjelaskan bahwa penggabungan batu bara dengan bijih besi terjadi saat kondisi butiran dipanaskan mencapai suhu 800 C. Di atas suhu ini, terjadi reduksi Fe 3 O 4 menjadi FeO pada rentang suhu C kemudian FeO menjadi Fe pada suhu 1000 C-1250 C. Perubahan hematit menjadi logam besi (Fe) terjadi dalam tiga tahap, yaitu hematit menjadi magnetit, magnetit menjadi wustit dan wustit menjadi Fe. Hematit mulai tereduksi pada suhu 580 o C dan mulai berakhir pada 670 o C menggunakan gas CO dan H 2 hasil devolatilisasi batu bara. Magnetit tereduksi pada suhu o C membentuk FeO menggunakan gas CO dan H 2 hasil devolatilisasi dan CO yang berasal dari reaksi gasifikasi batu bara. FeO tereduksi pada suhu o C dengan gas CO hasil gasifikasi batu bara. Reaksi maksimum terjadi pada suhu o C. Hal ini disebabkan karena karbon sangat mudah teroksidasi pada suhu ± 800 o C (Liu 2003). Penambahan kapur suhu 800 o C dan 900 o C tingkat metalisasi bijih besi Bayah (19.45% dan 44.50%) dan penambahan bentonit (17.97% dan 43.78%) lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat metalisasi pada suhu 1000 o C, yaitu 80.63% untuk penambahan kapur dan 82.11% untuk penambahan bentonit. Hal ini disebabkan oleh laju gasifikasi karbon pada suhu 800 o C dan 900 o C berjalan lebih lambat karena masih terdapat jelaga jika dibandingkan pada suhu 1000 o C. Nilai persen metalisasi dapat dilihat pada gambar 4. Selain itu, belerang yang terkandung dalam bijih besi dan batu bara diikat oleh kapur bakar hasil kalsinasi batu kapur. Reaksi yang terjadi ditunjukkan oleh persamaan berikut: CaO + S + C CaS + CO 2S + 2CaO + Si 2CaS + SiO 2 S + 2CaO + 2Si 2CaSi + SO 2, Nomura et al. (2007) menyatakan bahwa ketika suhu 1200 o C, komponen utama dari batu bara, SiO 2, dan FeO di dalam serbuk bijih besi dapat bereaksi menghasilkan suatu campuran FeO dan SiO 2, yaitu fayalite (2FeO.SiO 2 ). Akibat terbentuknya fayalite, hasil reduksi yang diperoleh lebih rendah dari 1000 o C walaupun sisa karbonnya sedikit. Gambar 4 Pengaruh suhu pada persen metalisasi bijih besi laterit dari Bayah Perbandingan Penambahan Kapur dan Bentonit Proses pembentukan pelet untuk besi spons dipengaruhi oleh penambahan air, bahan perekat, dan ukuran butiran. Penambahan air yang terlalu banyak akan membuat pelet menjadi lebih lunak sehingga sulit dibentuk bulatan. Penambahan air yang terlalu sedikit akan membuat kekuatan bola pelet berkurang. Pembentukan pelet dengan penambahan kapur lebih rapuh dibandingkan penambahan bentonit akibat kadar Al 2 O 3 pada bentonit yang lebih banyak sehingga lebih mudah untuk merekatkan partikel bijih besi. Penambahan binder atau perekat akan membuat pelet semakin kuat setelah dilakukan proses reduksi. Bentonit berperan sebagai perekat karena Kandungan utama bentonit adalah 80% mineral monmorilonit seperti kristal aluminium, hidrosilikat dengan struktur lapisan membentuk tanah liat. Struktur monmorilonit terdiri atas 3 layer, yaitu lapisan alumina (Al 2 O 3 ) berbentuk oktahedral yang diapit oleh 2 lapisan silika (SiO 4 ) berbentuk tetrahedral. Bentonit mengandung SiO 2 lebih tinggi dibandingkan CaO sehingga hasil besi spons dapat dikatakan bersifat asam sedangkan kapur mengandung kadar CaO lebih banyak dibandingkan SiO 2 sehingga besi spons dapat dikatakan bersifat basa.

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA 2 PENDAHULUAN Bijih besi merupakan komoditi tambang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku baja. Bijih besi banyak ditemukan di Indonesia, namun bahan baku baja masih didatangkan dari luar negeri.

Lebih terperinci

Penentuan Fixed Carbon Penentuan fixed carbon dari batu bara berdasarkan selisih antara hasil perhitungan hilang pijar dan volatile matter.

Penentuan Fixed Carbon Penentuan fixed carbon dari batu bara berdasarkan selisih antara hasil perhitungan hilang pijar dan volatile matter. 7 Penentuan Fixed Carbon Penentuan fixed carbon dari batu bara berdasarkan selisih antara hasil perhitungan hilang pijar dan volatile matter. Penentuan Kadar Abu Penentuan kadar abu dari batu bara berdasarkan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Bahan baku dan hasil percobaan

Lampiran 1 Bahan baku dan hasil percobaan LAMPIRAN 13 14 Lampiran 1 Bahan baku dan hasil percobaan a a. Sampel Bijih Besi Laterit dan b. Batu bara b a b a. Briket Bijih Besi Laterit dan b. Bentuk Pelet yang akan direduksi Hasil Titrasi Analisis

Lebih terperinci

Material dengan Kandungan Karbon Tinggi dari Pirolisis Tempurung Kelapa untuk Reduksi Bijih Besi

Material dengan Kandungan Karbon Tinggi dari Pirolisis Tempurung Kelapa untuk Reduksi Bijih Besi Material dengan Kandungan Karbon Tinggi dari Pirolisis Tempurung Kelapa untuk Reduksi Bijih Besi Anton Irawan, Ristina Puspa dan Riska Mekawati *) Jurusan Teknik Kimia, Fak. Teknik, Universitas Sultan

Lebih terperinci

BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PERCOBAAN

BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PERCOBAAN BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PERCOBAAN 3.1 Percobaan Percobaan tabling merupakan percobaan konsentrasi gravitasi berdasarkan perbedaan berat jenis dari mineral berharga dan pengotornya. Sampel bijih dipersiapkan

Lebih terperinci

Pupuk dolomit SNI

Pupuk dolomit SNI Standar Nasional Indonesia Pupuk dolomit ICS 65.080 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Syarat mutu... 1 4 Pengambilan contoh...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlakuan Awal dan Karakteristik Abu Batubara Abu batubara yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu abu batubara hasil pembakaran di boiler tungku

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis

Lampiran 1. Prosedur Analisis L A M P I R A N 69 Lampiran 1. Prosedur Analisis A. Pengukuran Nilai COD (APHA,2005). 1. Bahan yang digunakan : a. Pembuatan pereaksi Kalium dikromat (K 2 Cr 2 O 7 ) adalah dengan melarutkan 4.193 g K

Lebih terperinci

Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian 16 Bab III Metodologi Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode titrasi redoks dengan menggunakan beberapa oksidator (K 2 Cr 2 O 7, KMnO 4 dan KBrO 3 ) dengan konsentrasi masing-masing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini didahului dengan perlakuan awal bahan baku untuk mengurangi pengotor yang terkandung dalam abu batubara. Penentuan pengaruh parameter proses dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

Tabel klasifikasi United State Department of Agriculture (USDA) fraksi tanah (Notohadiprawiro, 1990).

Tabel klasifikasi United State Department of Agriculture (USDA) fraksi tanah (Notohadiprawiro, 1990). LAMPIRAN 74 Lampiran 1. Klasifikasi fraksi tanah menurut standar Internasional dan USDA. Tabel kalsifikasi internasional fraksi tanah (Notohadiprawiro, 1990). Fraksi Tanah Diameter (mm) Pasir 2.00-0.02

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium kimia mineral / laboratorium geoteknologi, analisis proksimat dilakukan di laboratorium instrumen Pusat Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 ALAT DAN BAHAN Pada penelitian ini alat-alat yang digunakan meliputi: 1. Lemari oven. 2. Pulverizing (alat penggerus). 3. Spatula/sendok. 4. Timbangan. 5. Kaca arloji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Penelitian yang sudah ada Pirometalurgi Hidrometalurgi Pelindian Sulfat Pelindian Pelindian Klorida Penelitian

Lebih terperinci

GRAVIMETRI PENENTUAN KADAR FOSFAT DALAM DETERJEN RINSO)

GRAVIMETRI PENENTUAN KADAR FOSFAT DALAM DETERJEN RINSO) LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK GRAVIMETRI PENENTUAN KADAR FOSFAT DALAM DETERJEN RINSO) NAMA : KARMILA (H311 09 289) FEBRIANTI R LANGAN (H311 10 279) KELOMPOK : VI (ENAM) HARI / TANGGAL : JUMAT / 22 MARET

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

Catatan : Jika ph H 2 O 2 yang digunakan < 4,5, maka ph tersebut harus dinaikkan menjadi 4,5 dengan penambahan NaOH 0,5 N.

Catatan : Jika ph H 2 O 2 yang digunakan < 4,5, maka ph tersebut harus dinaikkan menjadi 4,5 dengan penambahan NaOH 0,5 N. Lampiran 1 Prosedur uji asam basa dan Net Acid Generation (Badan Standardisasi Nasional, 2001) A. Prinsip kerja : Analisis perhitungan asam-basa meliputi penentuan potensi kemasaman maksimum (MPA) yakni

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

UJI COBA PROSES REDUKSI BIJIH BESI LOKAL MENGGUNAKAN ROTARY KILN

UJI COBA PROSES REDUKSI BIJIH BESI LOKAL MENGGUNAKAN ROTARY KILN SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA V Kontribusi Kimia dan Pendidikan Kimia dalam Pembangunan Bangsa yang Berkarakter Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP UNS Surakarta, 6 April 2013

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 yang meliputi kegiatan di lapangan dan di laboratorium. Lokasi pengambilan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ).

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ). 0.45 µm, ph meter HM-20S, spektrofotometer serapan atom (AAS) Analytic Jena Nova 300, spektrofotometer DR 2000 Hach, SEM-EDS EVO 50, oven, neraca analitik, corong, pompa vakum, dan peralatan kaca yang

Lebih terperinci

Penetapan kadar Cu dalam CuSO 4.5H 2 O

Penetapan kadar Cu dalam CuSO 4.5H 2 O Penetapan kadar Cu dalam CuSO 4.5H 2 O Dody H. Dwi Tiara Tanjung Laode F. Nidya Denaya Tembaga dalam bahasa latin yaitu Cuprum, dalam bahasa Inggris yaitu Copper adalah unsur kimia yang mempunyai simbol

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 18 hingga

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimental. Sepuluh sampel mie basah diuji secara kualitatif untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Baja Baja merupakan paduan yang terdiri dari unsur utama besi (Fe) dan karbon (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang tersusun dalam

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam tahapan sintesis ligan meliputi laboratory set dengan labu leher tiga, thermolyne sebagai pemanas, dan neraca analitis untuk penimbangan

Lebih terperinci

Air dan air limbah Bagian 13: Cara uji kalsium (Ca) dengan metode titrimetri

Air dan air limbah Bagian 13: Cara uji kalsium (Ca) dengan metode titrimetri Standar Nasional Indonesia Air dan air limbah Bagian 13: Cara uji kalsium (Ca) dengan metode titrimetri ICS 13.060.50 Badan Standardisasi Nasional Daftar Isi Daftar isi...i Prakata....ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

Desikator Neraca analitik 4 desimal

Desikator Neraca analitik 4 desimal Lampiran 1. Prosedur Uji Kadar Air A. Prosedur Uji Kadar Air Bahan Anorganik (Horwitz, 2000) Haluskan sejumlah bahan sebanyak yang diperlukan agar cukup untuk analisis, atau giling sebanyak lebih dari

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

PELINDIAN PASIR BESI MENGGUNAKAN METODE ELEKTROLISIS

PELINDIAN PASIR BESI MENGGUNAKAN METODE ELEKTROLISIS PELINDIAN PASIR BESI MENGGUNAKAN METODE ELEKTROLISIS Rizky Prananda(1410100005) Dosen Pembimbing Dosen Penguji : Suprapto, M.Si, Ph.D : Ita Ulfin S.Si, M.Si Djoko Hartanto, S.Si, M.Si Drs. Eko Santoso,

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : 19630504 198903 2 001 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004, tanggal

Lebih terperinci

RECOVERY ALUMINA (Al 2 O 3 ) DARI COAL FLY ASH (CFA) MENJADI POLYALUMINUM CHLORIDE (PAC)

RECOVERY ALUMINA (Al 2 O 3 ) DARI COAL FLY ASH (CFA) MENJADI POLYALUMINUM CHLORIDE (PAC) RECOVERY ALUMINA (Al 2 O 3 ) DARI COAL FLY ASH (CFA) MENJADI POLYALUMINUM CHLORIDE (PAC) Ninik Lintang Edi Wahyuni Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung Jl. Gegerkalong Hilir Ds Ciwaruga, Bandung 40012

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK DASAR PENENTUAN KADAR NIKEL SECARA GRAVIMETRI. Pembimbing : Dra. Ari Marlina M,Si. Oleh.

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK DASAR PENENTUAN KADAR NIKEL SECARA GRAVIMETRI. Pembimbing : Dra. Ari Marlina M,Si. Oleh. LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK DASAR PENENTUAN KADAR NIKEL SECARA GRAVIMETRI Pembimbing : Dra. Ari Marlina M,Si Oleh Kelompok V Indra Afiando NIM 111431014 Iryanti Triana NIM 111431015 Lita Ayu Listiani

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bubuk magnesium oksida dari Merck, bubuk hidromagnesit hasil sintesis penelitian

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Beton Konvensional Beton adalah sebuah bahan bangunan komposit yang terbuat dari kombinasi agregat dan pengikat (semen). Beton mempunyai karakteristik tegangan hancur tekan yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Januari 2012

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Januari 2012 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Januari 2012 sampai April 2012 di Laboratorium Fisika Material, Laboratorium Kimia

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel

III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah saus sambal dan minuman dalam kemasan untuk analisis kualitatif, sedangkan untuk analisis kuantitatif digunakan

Lebih terperinci

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g) LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Prosedur Analisis mutu kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC, 1984) Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada suhu 100 o C.Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 28 November 2013

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 28 November 2013 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT 1. Waktu Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 28 November 2013 2. Tempat Laboratorium Patologi, Entomologi, & Mikrobiologi (PEM) Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 22 23 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemakaian batubara sebagai sumber energi telah menjadi salah satu pilihan di Indonesia sejak harga bahan bakar minyak (BBM) berfluktuasi dan cenderung semakin mahal.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF Joko Triyanto, Subroto, Marwan Effendy Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl.

Lebih terperinci

Percobaan 1 PENGGUNAAN ALAT DASAR LABORATORIUM

Percobaan 1 PENGGUNAAN ALAT DASAR LABORATORIUM Percobaan 1 PENGGUNAAN ALAT DASAR LABORATORIUM TUJUAN Mengetahui cara membersihkan, mengeringkan dan menggunakan berbagai alat gelas yang digunakan di laboratorium kimia. Mengatur nyala pembakar Bunsen

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan tahapan isolasi selulosa dan sintesis CMC di Laboratorium Kimia Organik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya. 5 E. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (25 : 75), F. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (50 : 50), G. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (75 :

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos LAMPIRA 30 Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC 1984) Cawan alumunium kosong dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada temperatur 100 o C. Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekperimental.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekperimental. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekperimental. B. Tempat dan Waktu Pengerjaan sampel dilakukan di laboratorium Teknik Kimia

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli-Desember 2012 bertempat di

METODE PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli-Desember 2012 bertempat di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli-Desember 2012 bertempat di empat lokasi digester biogas skala rumah tangga yang aktif beroperasi di Provinsi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk modifikasi elektroda pasta karbon menggunakan zeolit, serbuk kayu, serta mediator tertentu. Modifikasi tersebut diharapkan mampu menunjukkan sifat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan dan kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Rumus untuk perhitungan TSS adalah sebagai berikut: TSS = bobot residu pada kertas saring volume contoh Pengukuran absorbans

Lebih terperinci

PEMANFAATAN ABU SEKAM PADI DENGAN TREATMENT HCL SEBAGAI PENGGANTI SEMEN DALAM PEMBUATAN BETON

PEMANFAATAN ABU SEKAM PADI DENGAN TREATMENT HCL SEBAGAI PENGGANTI SEMEN DALAM PEMBUATAN BETON PEMANFAATAN ABU SEKAM PADI DENGAN TREATMENT HCL SEBAGAI PENGGANTI SEMEN DALAM PEMBUATAN BETON Maria 1, Chris 2, Handoko 3, dan Paravita 4 ABSTRAK : Beton pozzolanic merupakan beton dengan penambahan material

Lebih terperinci

STUDY PENGGUNAAN REDUKTOR PADA PROSES REDUKSI PELLET BIJIH BESI LAMPUNG MENGGUNAKAN ROTARY KILN

STUDY PENGGUNAAN REDUKTOR PADA PROSES REDUKSI PELLET BIJIH BESI LAMPUNG MENGGUNAKAN ROTARY KILN Prosiding SNaPP2012 : Sains, Teknologi, dan Kesehatan ISSN 2089-3582 STUDY PENGGUNAAN REDUKTOR PADA PROSES REDUKSI PELLET BIJIH BESI LAMPUNG MENGGUNAKAN ROTARY KILN 1 Yayat Iman Supriyatna, 2 Muhammad

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). sebanyak 1-2 g dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya.

1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). sebanyak 1-2 g dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya. 57 Lampiran I. Prosedur Analisis Kimia 1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). Timbang contoh yang telah berupa serbuk atau bahan yang telah dihaluskan sebanyak 1-2 g dalam botol timbang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang Abu terbang adalah bagian dari sisa pembakaran batubara berupa bubuk halus dan ringan yang diambil dari tungku pembakaran yang mempergunakan bahan

Lebih terperinci

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat Bab III Metodologi Penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu isolasi selulosa dari serbuk gergaji kayu dan asetilasi selulosa hasil isolasi dengan variasi waktu. Kemudian selulosa hasil isolasi dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan 6 didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 3.3.3 Sintesis Kalsium Fosfat Sintesis kalsium fosfat dalam penelitian ini menggunakan metode sol gel. Senyawa kalsium fosfat diperoleh dengan mencampurkan serbuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2012. Cangkang kijing lokal dibawa ke Laboratorium, kemudian analisis kadar air, protein,

Lebih terperinci

REAKSI REDUKSI DAN OKSIDASI

REAKSI REDUKSI DAN OKSIDASI REAKSI REDUKSI DAN OKSIDASI Definisi Reduksi Oksidasi menerima elektron melepas elektron Contoh : Mg Mg 2+ + 2e - (Oksidasi ) O 2 + 4e - 2O 2- (Reduksi) Senyawa pengoksidasi adalah zat yang mengambil elektron

Lebih terperinci

MODUL I Pembuatan Larutan

MODUL I Pembuatan Larutan MODUL I Pembuatan Larutan I. Tujuan percobaan - Membuat larutan dengan metode pelarutan padatan. - Melakukan pengenceran larutan dengan konsentrasi tinggi untuk mendapatkan larutan yang diperlukan dengan

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Deskripsi profil tanah Andosol dari hutan Dusun Arca Order tanah : Andosol

Tabel Lampiran 1. Deskripsi profil tanah Andosol dari hutan Dusun Arca Order tanah : Andosol LAMPIRAN Tabel Lampiran 1. Deskripsi profil tanah Andosol dari hutan Dusun Arca Order tanah : Andosol Fisiografi : Volkan Bahan Induk : Abu / Pasir volkan intermedier sampai basis Tinggi dpl : 1301 m Kemiringan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisik, Kimia, dan Formulasi Tablet Departemen Farmasi FMIPA UI, Depok. Waktu pelaksanaannya adalah dari bulan Februari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2012 di Laboratorium. Fisika Material, Laboratorium Kimia Bio Massa,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2012 di Laboratorium. Fisika Material, Laboratorium Kimia Bio Massa, III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2012 di Laboratorium Fisika Material, Laboratorium Kimia Bio Massa, Laboratorium Kimia Instrumentasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Juni 2015 di Balai Besar

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Juni 2015 di Balai Besar 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Juni 2015 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung untuk pengambilan biomassa alga porphyridium

Lebih terperinci

KIMIA DASAR TEKNIK INDUSTRI UPNVYK C H R I S N A O C V A T I K A ( ) R I N I T H E R E S I A ( )

KIMIA DASAR TEKNIK INDUSTRI UPNVYK C H R I S N A O C V A T I K A ( ) R I N I T H E R E S I A ( ) KIMIA DASAR TEKNIK INDUSTRI UPNVYK C H R I S N A O C V A T I K A ( 1 2 2 1 5 0 1 1 3 ) R I N I T H E R E S I A ( 1 2 2 1 5 0 1 1 2 ) Menetukan Sistem Periodik Sifat-Sifat Periodik Unsur Sifat periodik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Untuk sampel

BAB III METODE PENELITIAN. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Untuk sampel BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium penelitian jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Untuk sampel kulit

Lebih terperinci

PENGOLAHAN BIJIH BESI DARI TASIKMALAYA DENGAN METODE REDUKSI

PENGOLAHAN BIJIH BESI DARI TASIKMALAYA DENGAN METODE REDUKSI PROSIDING PEMAPARAN HASIL PENELITIAN PUSAT PENELITIAN GEOTEKNOLOGI LIPI TAHUN 2014 Peran Penelitian Geoteknologi untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia PENGOLAHAN BIJIH BESI DARI TASIKMALAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kendaraan bermotor merupakan salah satu alat yang memerlukan mesin sebagai penggerak mulanya, mesin ini sendiri pada umumnya merupakan suatu alat yang berfungsi untuk

Lebih terperinci

Lampiran 1. Laporan Hasil Pengujian Residu Pestisida

Lampiran 1. Laporan Hasil Pengujian Residu Pestisida LAMPIRAN Lampiran 1. Laporan Hasil Pengujian Residu Pestisida 53 Lampiran 2. Aplikasi Dosis Herbisida Selama 1 Musim Tanam No Blok Kebun Petak Luas (Ha) Aplikasi 1 (Liter) Aplikasi 2 (Liter) Ametryn 2,4-D

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. PROSEDUR ANALISIS CONTOH TANAH. Pertanian Bogor (1997) yang meliputi analisis ph, C-organik dan P-tersedia.

LAMPIRAN 1. PROSEDUR ANALISIS CONTOH TANAH. Pertanian Bogor (1997) yang meliputi analisis ph, C-organik dan P-tersedia. LAMPIRAN 1. PROSEDUR ANALISIS CONTOH TANAH Berikut diuraikan prosedur analisis contoh tanah menurut Institut Pertanian Bogor (1997) yang meliputi analisis ph, C-organik dan P-tersedia. Pengujian Kandungan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. II.1. Electrorefining

BAB II PEMBAHASAN. II.1. Electrorefining BAB II PEMBAHASAN II.1. Electrorefining Electrorefining adalah proses pemurnian secara elektrolisis dimana logam yangingin ditingkatkan kadarnya (logam yang masih cukup banyak mengandung pengotor)digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan sumberdaya alam yang melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang melimpah adalah batubara. Cadangan batubara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Produk keramik adalah suatu produk industri yang sangat penting dan berkembang pesat pada masa sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Minyak goreng bekas

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Minyak goreng bekas BABHI METODA PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat 3.1.1. Bahan-bahan yang digunakan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Minyak goreng bekas yang diperoleh dari salah satu rumah makan di Pekanbaru,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK 2 PENENTUAN KADAR KLORIDA. Senin, 21 April Disusun Oleh: MA WAH SHOFWAH KELOMPOK 1

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK 2 PENENTUAN KADAR KLORIDA. Senin, 21 April Disusun Oleh: MA WAH SHOFWAH KELOMPOK 1 LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK 2 PENENTUAN KADAR KLORIDA Senin, 21 April 2014 Disusun Oleh: MA WAH SHOFWAH 1112016200040 KELOMPOK 1 MILLAH HANIFAH (1112016200073) YASA ESA YASINTA (1112016200062) WIDYA

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah 30 LAMPIRAN 31 Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah No. Sifat Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. C (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.0 2. N (%)

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE

BAB III. BAHAN DAN METODE 10 BAB III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan Februari dan berakhir pada bulan Agustus 2011. Proses pembuatan dan pengujian arang aktif dilakukan

Lebih terperinci

BAB 3 INDUSTRI BESI DAN BAJA

BAB 3 INDUSTRI BESI DAN BAJA BAB 3 INDUSTRI BESI DAN BAJA Pengantar Besi (Fe) merupakan salah satu logam yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia, terlebih-lebih di zaman modern seperti sekarang. Kelimpahannya

Lebih terperinci

KLASIFIKASI MINERAL. Makro : Kebutuhan minimal 100 mg/hari utk orang dewasa Ex. Na, Cl, Ca, P, Mg, S

KLASIFIKASI MINERAL. Makro : Kebutuhan minimal 100 mg/hari utk orang dewasa Ex. Na, Cl, Ca, P, Mg, S ANALISIS KADAR ABU ABU Residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari bahan menunjukkan : Kadar mineral Kemurnian Kebersihan suatu bahan yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi merupakan faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis industri didirikan guna memenuhi

Lebih terperinci

PRAKTIKUM KIMIA DASAR I

PRAKTIKUM KIMIA DASAR I PRAKTIKUM KIMIA DASAR I REAKSI KIMIA PADA SIKLUS LOGAM TEMBAGA Oleh : Luh Putu Arisanti 1308105006 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA BADUNG TAHUN 2013/2014

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Metode Penelitian Pembuatan zeolit dari abu terbang batu bara (Musyoka et a l 2009).

BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Metode Penelitian Pembuatan zeolit dari abu terbang batu bara (Musyoka et a l 2009). BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Pada penelitian ini alat yang digunakan adalah timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg, shaker, termometer, spektrofotometer serapan atom (FAAS GBC), Oven Memmert, X-Ray

Lebih terperinci

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Lampiran 1 BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Bahan Tepung ubi jalar Putih Coklat collata Margarin Gula pasir Telur Coklat bubuk Kacang kenari Jumlah 250 gr 350 gr 380 gr 250 gr 8 butir 55 gr 50 gr Cara Membuat:

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE. Prosedur Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2010 sampai Maret 2011 di Laboratorium Bagian Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB dan di Laboratory of Applied

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PERCOBAAN Penentuan Kadar Kebutuhan Oksigen Kimiawi (KOK) a. Gelas ukur pyrex. b. Pipet volume pyrex. c.

BAB 3 METODE PERCOBAAN Penentuan Kadar Kebutuhan Oksigen Kimiawi (KOK) a. Gelas ukur pyrex. b. Pipet volume pyrex. c. BAB 3 METODE PERCOBAAN Pada analisis yang dilakukan terhadap penentuan kadar dari beberapa parameter pada limbah cair pengolahan kelapa sawit menggunakan beberapa perbedaan alat dan metode, adapun beberapa

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Alat dan Bahan 4.1.1 Alat-Alat yang digunakan : 1. Seperangkat alat kaca 2. Neraca analitik, 3. Kolom kaca, 4. Furnace, 5. Kertas saring, 6. Piknometer 5 ml, 7. Refraktometer,

Lebih terperinci

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT DI SUSUN OLEH : NAMA : IMENG NIM : ACC 109 011 KELOMPOK : 2 ( DUA ) HARI / TANGGAL : SABTU, 28 MEI 2011

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Energi Biomassa, Program Studi S-1 Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Lebih terperinci

ASIDI-ALKALIMETRI PENETAPAN KADAR ASAM SALISILAT

ASIDI-ALKALIMETRI PENETAPAN KADAR ASAM SALISILAT ASIDI-ALKALIMETRI PENETAPAN KADAR ASAM SALISILAT I. DASAR TEORI I.1 Asidi-Alkalimetri Asidi-alkalimetri merupakan salah satu metode analisis titrimetri. Analisis titrimetri mengacu pada analisis kimia

Lebih terperinci

FOSFOR A. KELIMPAHAN FOSFOR

FOSFOR A. KELIMPAHAN FOSFOR FOSFOR A. KELIMPAHAN FOSFOR Fosfor termasuk unsur bukan logam yang cukup reaktif, sehingga tidak ditemukan di alam dalamkeadaan bebas. Fosfor berasal dari bahasa Yunani, phosphoros, yang berarti memiliki

Lebih terperinci

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen.

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen. Dasar Teori Tambahan Batubara merupakan mineral bahan bakar yang terbentuk sebagai suatu cebakan sedimenter yang berasal dari penimbunan dan pengendapan hancuran bahan berselulosa yang bersal dari tumbuhtumbuhan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Preparasi Awal Bahan Dasar Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dan Batu Bara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Preparasi Awal Bahan Dasar Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dan Batu Bara 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab hasil dan pembahasan ini akan diuraikan mengenai hasil preparasi bahan dasar karbon aktif dari tempurung kelapa dan batu bara, serta hasil karakterisasi luas permukaan

Lebih terperinci