BAB I PENDAHULUAN. (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat
|
|
- Fanny Rachman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat atau penegak hukum, dan faktor kesadaran hukum. Faktor perundang-undangan dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi hukum pidana materiil (hukum pidana substantif) maupun hukum pidana formil (hukum acara pidana). Ada dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum pidana, yaitu isi atau hasil penegakan hukum (substantif justice) dan tata cara penegakan hukum (procedural justice). Dalam praktek pembuatan perundang-undangan di Indonesia, penggunaan pidana sebagai bagian dari politik atau kebijakan hukum pidana sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah hampir selalu dicantumkannya sanksi pidana, baik mengenai strafsoort, atau strafmaat ataupun strafmodus, pada setiap kebijakan pembuatan perundang-undangan pidana di Indonesia dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang pemilihan atau penentuannya. Ada wacana diantara para pemerhati hukum, bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan 1
2 perlindungan masyarakat di satu pihak, dengan kepentingan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan reaksi dan sikap kritis terhadap beragamnya strafmaat yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu tersebut. Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya wacana disparitas pidana (disparity of sentencing) diantara delik-delik tertentu tersebut. Adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal obyektif untuk delik-delik tertentu yang sangat dicela dan merugikan atau membahayakan masyarakat dan negara, serta ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general prevention) terhadap delikdelik tertentu yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga undang-undang kemudian menentukan, bahwa untuk delik-delik tertentu tersebut, disamping ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini menganut sistem maksimum umum dan khusus serta minimum umum. Hal ini menyebabkan hakim dalam menjatuhkan pidana dapat bergerak antara pidana paling tinggi dan paling rendah. Berhubung bermacam-macam ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP, sehingga hakim Indonesia mempunyai kebebasan yang sangat luas menentukan berat maupun ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Akibat dari ketentuan semacam itu terkadang tindak pidana yang secara 2
3 hakiki kualitasnya sama dijatuhi pidana yang berbeda-beda (disparitas pidana). Untuk mencapai hukum pidana yang lebih baik dan lebih mengutamakan keadilan maka diadakan pembaharuan hukum pidana, sehingga di dalam rancangan konsep KUHP baru dan dalam beberapa perundang-undangan pidana khusus telah menggunakan sistem minimum khusus di antaranya adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 1 Sanksi pidana minimum khusus yang diharapkan dapat mengurangi disparitas pidana dan menjamin perlindungan terhadap hak-hak terdakwa ternyata antara teori dan realitasnya sangat jauh berbeda, dalam beberapa kasus korupsi disparitas pidana masih sering terjadi seperti halnya dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Nazaruddin di Komisi Pemilihan Umum. Pada tanggal 20 Mei tahun 2005, Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum. Nazaruddin dituntut hukuman penjara selama delapan tahun enam bulan, membayar denda sebesar Rp. 450 juta, serta mengganti uang negara sebesar Rp 14,193 miliar. Jika uang negara tersebut tidak dapat dibayarkan, maka Nazaruddin akan dipenjara tambahan selama empat tahun. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lalu menjatuhinya hukuman penjara selama tujuh tahun pada 14 Desember Ia juga diharuskan membayar denda sebesar Analisis sanksi pidana minimum khusus tanggal 04 Maret
4 Rp (tiga ratus juta). Dalam putusannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan Nazaruddin terbukti korupsi dalam pengadaan asuransi kecelakaan diri sehingga merugikan keuangan negara Rp 5,03 miliar. Nazaruddin juga diperintahkan untuk membayar uang pengganti Rp 5,03 miliar secara tanggung renteng dengan Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU. 2 Kasus korupsi lainnya adalah kasus yang dialami Ir.Parlaungan Lubis, mantan Kasubdis Bidang Pengawasan dan Perizinan Dinas PU Kota Medan. Tersangkut kasus korupsi drainase tersier (parit) senilai Rp 10,2 miliar. Dalam vonis pada hari Selasa, 20 Oktober 2009, Majelis Hakim yang diketuai Charles Simamora SH menghukumnya dua tahun delapan bulan penjara denda Rp50 juta subsidair enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp ,- secara bersama-sama dengan 11 kecamatan yang turut dalam mengerjakan proyek drainase tersebut. 3 Kasus korupsi yang kontroversial lainnya terkait dengan vonis hakim yang ringan terjadi terhadap Mantan Kepala Dinas Kependudukan Kota Medan Yusri Ramadhan Siregar,Bendahara Dinas Kependudukan Kota Medan Siti Salamah serta Kasubdis Pelayanan dan Pendataan Lisma Amin yang dinyatakan bersalah melakukan korupsi anggaran pemutahiran data pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2008,Rabu,19 Agustus 2009,Majelis hakim yang diketuai I Ketut Sudira,SH menghukum para terdakwa agar membayar denda masingmasing Rp (lima puluh juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan Kasus Korupsi, diakses tanggal 04 Maret Inilah Kasus Korupsi Birokrat Medan, diakses tanggal 04 Maret
5 serta uang pengganti terhadap terdakwa Yusri Ramadhan sebesar Rp101 juta. Sedangkan uang pengganti terhadap terdakwa Siti Salamah dan Lisna Amin masing-masing Rp251 juta. 4 Kasus Korupsi yang menjadi sorotan publik lainnya adalah kasus korupsi yang melibatkan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Al Amin Nur Nasution, terdakwa kasus suap alih fungsi hutan di Bintan (Kepulauan Riau), diganjar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan hukuman delapan tahun penjara. Vonis itu lebih ringan hampir separo dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni hukuman 15 tahun penjara bagi mantan anggota Komisi Kehutanan DPR RI itu. Di samping hukuman badan, ketua majelis hakim Edward Patinasarani menghukum Al Amin membayar denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan. Hukuman denda itu juga mendapatkan korting. Sebab, majelis memutuskan tidak membebankan uang pengganti bagi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan itu. Padahal, dalam sidang sebelumnya Jaksa Penuntut Umum meminta dia membayar uang pengganti Rp 2,95 miliar. Hakim beralasan tuntutan uang itu tak bisa diluluskan karena tidak dicantumkan dalam surat dakwaan. 5 Selain dari beberapa kasus korupsi yang telah diuraikan diatas, disparitas pidana juga terjadi dalam beberapa kasus tindak pidana Terorisme yaitu seperti kasus pemboman hotel JW Marriot dan Ritz Calton dengan terdakwa Saifudin Zuhri, Ketua Majelis Hakim Heriyanto ketika membacakan vonis di Pengadilan Ibid. 5 Jawa Pos, Selasa 6 Januari
6 Negeri Jakarta Selatan yaitu "Mengadili, menyatakan terdakwa telah terbukti memberikan bantuan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Menjatuhkan pidana delapan tahun dikurangi massa tahanan, lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa penuntut umum. 6 Kasus Terorisme yang lainnya dengan Terdakwa Aris Makruf divonis tiga tahun penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah, menyatakan terdakwa terbukti menyembunyikan Noordin M Top. Aris dinyatakan melanggar Undang-Undang Anti-terorisme karena turut menyembunyikan buronan teroris paling dicari Noordin M. Top. Vonis tiga tahun penjara ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang menuntutnya lima tahun penjara. Majelis hakim menyebutkan, faktor meringankan antara lain terdakwa menyerahkan diri dan kooperatif selama persidangan. Aris bersama dua temannya, Jabir dan Mustaghfirin dinilai membantu mencarikan tempat tinggal Nurdin M Top dan membantu menyediakan kebutuhannya sehari-hari selama di persembunyian. 7 Kasus yang tidak kalah hebohnya adalah dengan Terdakwa kasus terorisme Ainul Bahri alias Abu Dujana dijatuhi pidana penjara selama 15 tahun. Dalam persidangan, majelis hakim juga menetapkan Al Jamaah Islamiyah sebagai korporasi yang terlarang. "Majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara memutuskan terdakwa Ainul Bahri dihukum pidana penjara selama 15 tahun," kata Ketua Majelis Hakim Wahjono dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, hari Senin, Hakim vonis saifudin zuhri, diakses tanggal 20 April Terdakwa kasus terorisme, 07/15/109186/Terdakwa-Kasus-Terorisme-Divonis-3-Tahun-Penjara,diakses tgl 15 Juli
7 21 April Selain menghukum pidana penjara, hakim juga menyatakan Al Jamaah Islamiyah sebagai korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana terorisme. Karena itu majelis hakim mewajibkan pengurus Al Jamaah Islamiyah untuk membayar denda sebesar Rp 10 juta. Abu Dujana dinilai dan terbukti memiliki dan menyimpan bahan senjata api dan bahan peledak secara melawan hukum.majelis hakim juga menilai Dujana telah memberi bantuan dan kemudahan pada pelaku tindak pidana dan terorisme serta menyembunyikan informasi tentang mereka. Putusan hakim ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu penjara seumur hidup. Hal-hal yang meringankan Abu Dujana antara lain, Dujana telah berlaku sopan selama persidangan dan belum pernah tersangkut kasus pidana. Terdakwa juga mengaku khilaf dengan apa yang dilakukan dan memiliki tanggungan istri dan anak. 8 Selain kasus terorisme dan korupsi yang telah disampaikan diatas terdapat juga kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang menjadi perhatian publik baik nasional maupun internasional, yaitu kasus pelanggaran berat ham di timortimor dengan tersangka Drs.GM Timbul Silaen, jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana termaksud pasal 42 ayat 2 huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, pasal 37 undang- undang No. 26 tahun 2000 sesuai dengan dakwaan kesatu dan dakwaan kedua dengan ancaman pidana 10 tahun 6 bulan. Namun dalam kasus ini Abu Dujana dihukum 15 th, Bulan/04/tgl/21/time/151209/idnews/926783/idkanal/10, diakses tanggal 21 April
8 hakim dalam putusannya menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia. Putusan bebas yang dibuat oleh Majelis Hakim menunjukan satu kegagalan serius dalam menegakkan keadilan bagi korban dan kegagalan serius bagi pemajuan hak asasi manusia. Dari beberapa kasus korupsi, terorisme dan pelanggaran ham yang telah dijelaskan diatas, maka ada beberapa hal yang menjadi catatan penting yaitu terkait dengan penerapan sanksi pidana minimum khusus pada tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorisme terdapat perbedaan (disparitas pidana). Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana minimum khusus kepada terdakwa korupsi dan terorisme dengan berbagai pertimbangan berdasarkan alat bukti dipersidangan tentunya sesuai dengan keyakinan hakim. Permasalahannya adalah keyakinan setiap hakim tidak ada tolak ukur yang jelas dan selain itu tidak adanya pola pemidanaan yang jelas juga bagi para hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana minimum khusus terhadap terdakwa korupsi dan terorisme. Dalam penerapan sanksi pidana minimum khusus terhadap terdakwa korupsi, terorisme dan ham masih sering tumpang tindih terkait lamanya hukuman maupun besaran denda yang di jatuhkan, selain itu dari aspek perlindungan hukum masih terdapat ketidakadilan (diskriminasi). Berdasarkan latar belakang tersebut, jelaslah disini bahwa masih sering terjadi disparitas pidana terkait sanksi pidana minimum khusus yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku kejahatan. Disini terlihat belum adanya pola pemidanaan yang jelas bagi hakim dalam menjatuhkan vonis (sanksi pidana), 8
9 sehingga dengan perbedaan vonis tersebut dapat dikatakan perlindungan hak-hak asasi bagi pelaku kejahatan tidak mempunyai standar yang jelas. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang : Kebijakam Hukum Pidana (Formulatif) dan Penerapan Sanksi Pidana Minimum Khusus Terhadap Pelaku Kejahatan B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka beberapa permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana (formulatif) dalam merumuskan sanksi pidana minimum khusus? 2. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana minimum khusus oleh hakim terhadap pelaku kejahatan? 3. Apakah putusan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana minimum khusus telah melindungi hak-hak pelaku kejahatan (terpidana)? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana (formulatif) dalam merumuskan sanksi pidana minimum khusus (unsur-unsur dan ancaman sanksi pidana minimum khusus). b. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana minimum khusus oleh hakim terhadap pelaku kejahatan. c. Untuk mengetahui putusan hakim terkait sanksi pidana minimum khusus melindungi hak pelaku kejahatan (terpidana). 9
10 D. Tinjauan Pustaka Kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana yang sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum. Politik hukum adalah: a) Usaha untuk mewujudkan peraturan peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat 9. b) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan 10. Bericara mengenai penegakkan hukum tehadap pelaku kejahatan, maka diperlukan aturan yang memiliki sanksi pidana yang dapat membuat efek jera, salah satunya dengan menerapkan sanksi pidana minimim khusus. Ide dasar sistem pidana minimum khusus tersebut kemudian (idealnya) ditindaklanjuti dengan menentukan kriteria kualitatif dan kuantitatif untuk sistem pidana minimum khusus. Pemegang kebijakan legislasi dalam membuat suatu undangundang pidana, tidak boleh sembarangan dan asal taruh pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya, dengan tanpa memperhatikan kriteria kualitatif dan kuantitatif sistem pidana minimum khusus Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, 1981, hlm Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, 1983, hlm
11 Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam undang-undang, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, maka tampak halhal berikut 11 : 1. Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan, dan denda) berapa dapat mulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun (dari 3 tahun hingga 15 tahun) dan ada pula yang menggunakan bulan. Demikian juga untuk pidana kurungan, ada yang menggunakan tahun dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan. Untuk pidana denda ada yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan ada pula yang menggunakan ukuran miliaran rupiah. 2. Tidak ada keseragaman rentang-kisaran untuk pidana penjara minimum, pidana kurungan minimum khusus, dan pidana denda minimum. Selanjutnya dari kisaran terendah, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda, dengan menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak (semuanya) menunjukkan, bahwa delik-delik tersebut merupakan delik yang sangat membahayakan/ meresahkan masyarakat, dan atau delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualijizierte delikte). 3. Tidak ada kesebandingan/kesetaraan rasio antara maksimum khusus dengan minimum khususnya,baik untuk pidana penjara,pidana kurung Pola Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi, diakses tanggal 04 Maret
12 an maupun pidana denda. 4. Beragamnya rumusan strafmaat dalam undang-undang yang mencantumkan pidana minimum khusus, adalah bersumber pada belum adanya "pola pemidanaan" yang dapat dipedomani oleh pemegang kebijakan legislasi. Akibat yang sudah dapat dibayangkan adalah adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada beberapa undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan ini pada gilirannya berpotensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukumnya di tingkat kebijakan aplikasi. Apabila faktor-faktor yang memperingan pidana lebih dominan, maka kepada Hakim dituntut untuk melakukan penegakan hukum yang berkeadilan. Akan tetapi yang dapat menimbulkan permasalahan adalah seberapa jauh memberi peluang kebebasan kepada Hakim (judicial discretion) untuk "dapat" turun (sampai batas tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus dalam suatu formulasi perundang-undangan, agar implementasi penegakan hukum yang berkeadilan tersebut tetap berada dalam koridor kepastian hukum. Dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan membuatkan suatu formulasi aturan atau pedoman pemidanaan (straftoemetingsleidraad, atau statutory guidelines for sentencing-sebagaimana aturan atau pedoman pemidanaan dalam pola pidana maksimum khusus yang juga "dapat" naik (sampai batas tertentu) diatas batas limit pidana maksimum khususnya, ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat pidana, seperti concursus realis terhadap kejahatan recidive terhadap kejahatan tertentu yang sejenis. Sebagaimana menurut rencana dalam KUHP 12
13 Nasional yang akan datang juga akan ada ketentuan yang mengatur soal "straftoemetingsregel" yang memuat hal-hal yang memperingan dan memperberat pidana. Penetapan mengenai alasan-alasan yang dapat memperingan dan memperberat hukuman ini adalah sangat penting dalam rangka keserasian dalam pertimbangan putusan Hakim. Dengan berpedoman pada penetapan ini maka antara Hakim yang satu dengan Hakim yang lain dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan akan terdapat keserasian, sehingga pidana yang akan dijatuhkannya pun akan sama satu sama lain. E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian a. Politik hukum pidana dalam merumuskan sanksi pidana minimum khusus terhadap pelaku kejahatan. b. Penerapan sanksi pidana minimum khusus oleh hakim terhadap pelaku kejahatan. c. Sinkronisasi putusan hakim dan perlindungan hak pelaku kejahatan (terdakwa) terkait sanksi pidana minimum khusus. 2. Subyek Penelitian Hakim,Akademisi dan pihak-pihak yang terkait dengan obyek penelitian 3. Sumber Data a.) Data primer, yaitu data yang diperoleh penulis di lapangan yaitu dari hasil wawancara dengan hakim,akademisi serta pihak-pihak yang terkait dengan obyek penelitian. b.) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelaahan terhadap 13
14 literature, jurnal, surat kabar, majalah, putusan pengadilan dan bahan tertulis lainnya yang terkait dengan masalah yang diteliti serta dokumentasi resmi institusional yang berupa berkas perkara instansi atau lembaga dimana penelitian ini dilakukan. 4. Metode pengumpulan data a. Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mencari data yang berhubungan dengan obyek penelitian dilakukan dengan cara: Wawancara, yaitu secara langsung kepada hakim yang pernah menjatuhkan vonis pidana minimum khusus dan akademisi yang ahli terkait dengan obyek penelitian. b. Studi kepustakaan, yaitu dengan mengkaji peraturan perundangundangan dan mempelajari buku-buku, jurnal, makalah-makalah, kaya ilmiah yang berkaitan dengan obyek penelitian. c. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa putusan di Pengadilan F. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : a) Pendekatan Yuridis Normatif yaitu memahami permasalahan berdasarkan peraturan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini terkait kebijakan hukum pidana merumuskan sanksi pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 14
15 2000. b) Pendekatan Yuridis Sosiologis yaitu menganalisis implementasi aturan yuridisnya dalam dunia praktek penegakkan hukum, dalam hal ini terkait dengan penerapan sanksi pidana minimum khusus melalui tinjauan terhadap putusan pengadilan. G. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan disusun secara sistematis melalui pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis sosiologis kemudian dilakukan analisis secara mendalam terkait dengan obyek penelitian dan dilanjutkan dengan kesimpulan. 15
BAB I PENDAHULUAN. merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. masalah yang serius dan penegakannya tidak mudah.
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada saat ini penegakan hukum yang paling ditunggu masyarakat adalah penegakan hukum tindak pidana korupsi. Adanya tuntutan dari masyarakat untuk dilakukanya upaya pemberantasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang mempunyai akibat buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan saja merugikan keuangan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak
Lebih terperinciSistem Pidana Minimum
Sistem Pidana Minimum Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan; faktor aparat/penegak hukum; dan faktor kesadaran
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan
Lebih terperinciBAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada ketentuan peraturan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu
Lebih terperinciPOLA PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI
POLA PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pola Pemidanaan. Perundang-undangan di Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki "sistem pemidanaan yang bersifat nasional" yang di dalamnya mencakup
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis
Lebih terperinciPenerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)
Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Lebih terperinciMANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.
MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kasus korupai yang terungkap dan yang masuk di KPK (Komisi. korupsi telah merebak ke segala lapisan masyarakat tanpa pandang bulu,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang belakangan ini cukup marak di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus korupai
Lebih terperinciMEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI
MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK
Lebih terperinciKasus Korupsi PD PAL
Kasus Korupsi PD PAL banjarmasinpost.co.id Mantan Direktur Utama Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah (PD PAL) Banjarmasin yang diduga terlibat dalam perkara korupsi i pengadaan dan pemasangan jaringan
Lebih terperinciBAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak
BAB IV ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAKARAN HUTAN PADA PENGADILAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 235/PID.SUS/2012/PTR Tindak Pidana dan Tanggung Jawab Korporasi di Bidang
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam
Lebih terperinciadalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai suatu Negara yang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu
Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan
Lebih terperinciPerkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa
Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya
Lebih terperinci1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor
Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makumur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila
Lebih terperinciRANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN
RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM
Lebih terperinciKASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENINGKATAN JALAN NANTI AGUNG - DUSUN BARU KECAMATAN ILIR TALO KABUPATEN SELUMA
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENINGKATAN JALAN NANTI AGUNG - DUSUN BARU KECAMATAN ILIR TALO KABUPATEN SELUMA http://www.beritasatu.com 1 Bengkulu - Kepala Polda Bengkulu, Brigjen Pol. M. Ghufron menegaskan,
Lebih terperinciMatriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK
Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya
11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya mengharuskan manusia untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Korupsi sudah berkembang di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini jelas sangat merugikan
Lebih terperinciPERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli
Lebih terperinciPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau
Lebih terperinciPENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan alat transportasi mengalami perkembangan, terutama penggunaan kendaraan roda dua dan roda empat. Hal ini mengakibatkan kepadatan lalu lintas, kemacetan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Korupsi merupakan musuh bagi setiap Negara di dunia. Korupsi yang telah mengakar akan membawa konsekuensi terhambatnya pembangunan di suatu negara. Singkatnya
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan
24 BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU A. Defenisi Pidana Penjara Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara.
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini tidak dapat terelakkan dan sudah dirasakan akibatnya, hampir di semua negara,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dan berjuang bersama rakyat
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum yang selalu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan jaminan kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup berkembang di kalangan masyarakat. Konsumen minuman keras tidak hanya orang dewasa melainkan juga
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat
BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan pangan, kebutuhan listrik dan lain sebagainya. Perilaku korupsi itu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tahun 2007 ini tindak pidana korupsi masih dapat ditemukan di dalam berbagai proyek infrastruktur yang menyangkut kepentingan publik, seperti kebutuhan pangan,
Lebih terperinciPOLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM
Lebih terperinciP U T U S A N. Nomor : 762/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor : 762/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal dalam
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Petikan Putusan Nomor 1361 K/Pid.Sus/2012 Berdasarkan pemeriksaan perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung telah memutuskan
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA
NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya
Lebih terperinciKETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR :02 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
Lebih terperinciINDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013
LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang
Lebih terperinciBAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang
BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Lemahnya penegakan hukum dan dihentikannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik
Lebih terperinciInstrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi
Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Oleh Suhadibroto Pendahuluan 1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperincib. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinci