BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Upaya Hukum dijelaskan di dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP, yaitu Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Upaya hukum menurut R.Atang Ranoemihardja, yaitu suatu usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan hakim yang dianggapnya kurang adil atau kurang tepat. Dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP, Upaya Hukum diartikan sebagai hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Menurut KUHAP ada dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa yang diatur dalam BAB XVII, dan upaya hukum luar biasa diatur dalam BAB XVIII. b. Upaya Hukum Biasa 1) Upaya Hukum Banding Berdasarkan Pasal 67 KUHAP menyebutkan bahwa Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. 13

2 14 Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atas semua putusan Pengadilan Negerti tingkat pertama, kecuali : (1) Putusan bebas; (2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum; (3) Putusan pengadilan dalam acara cepat. Adapun tujuan dari pengajuan permohonan banding atas putusan Pengadilan Negeri adalah : (1) Menguji putusan Pengadilan Negeri (tingkat pertama) tentang ketepatan atau bersesuaian dengan hukum dan perundangundangan yang berlaku; (2) Pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu. a) Alasan Permohonan Banding Alasan dari pengajuan permohonan banding menurut M.Yahya Harahap antara lain : (1) Kelalaian Dalam Penerapan Hukum Acara Kelalaian dalam penerapan hukum acara dapat terjadi apabila suatu ketentuan itu berupa perintah yang harus dilaksanakan, teteapi perintah itu tidak dituruti oleh Pengadilan Tingkat Pertama yang memeriksa perkara, maka pengadilan dalam hal ini dianggap melakukan kelalaian; (2) Kekeliruan Penerapan Hukum Acara Kekeliruan dalam penerapan hukum acara terjadi apabila terdapat ketentuan yang melarang dilakukan atau ditempuhnya suatu cara tertentu, namun pengadilan melanggar larangan itu. Dalam hal ini, maka pengadilan dapat dianggap keliru atau salah menerapkan hukum acara; (3) Ada Yang Kurang Lengkap Pengadilan Tinggi menganggap ada hal-hal yang perlu dilengkap, seperti pemeriksaan terhadap Terdakwa masih

3 15 kurang lengkap, kekurang-lengkapan keterangan saksi atau keterangan Terdakwa, atau kekurangan yang berhubungan dengan pemeriksaan saksi yang belum pernah diperiksa, atau pemeriksaan ahli (M. Yahya Harahap, 2012: ). b) Putusan Yang Dapat Dibanding Pada prinsipnya semua putusan akhir Pengadilan Negeri dapat diajukan permintaan banding. Akan tetapi, terhadap prinsip ini, ada pengecualian, dan pengecualian tersebut ditegaskan dalam Pasal 67. Atas pengecualian tersebut tidak semua putusan akhir pengadilan tingkat pertama dapat diminta banding. Berikut putusan akhir pengadilan tingkat pertama yang dapat diajukan banding, sebagai berikut: (1) Putusan pemidanaan dalam acara biasa Terhadap setiap putusan pemidanaan dalam acara biasa sekalipun sifat putusan pemidanaan itu berupa percobaan atau pidana bersyarat seperti yang diatur dalam Pasal 14 a KUHP, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan bandung; (2) Putusan pemidanaan dalam acara singkat Setiap putusan pemidanaan dalam acara singkat, sekalipun pidana bersyarat, dapat dimintakan banding baik oleh terdakwa atau penuntut umum; (3) Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapt diterima dalam acara biasa dan singkat; (4) Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum Terhadap setiap putusan yang dakwaan batal demi hukum baik dalam acara biasa maupun acara singkat, penuntut umum dapat mengajukan banding; (5) Putusan perampasan kemerdekaan dalam acara cepat; (6) Putusan Praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (M. Yahya Harahap, 2012: ).

4 16 2) Upaya Hukum Kasasi Kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya, artinya kekuasaan kehakiman telah ditafsirkan secara luas dan sempit. Jadi penafsiran secara sempit yaitu jika hakim memutus sesuatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman; dalam arti luar misalnya jika hakim pengadilan memutus padahal hakim pertama telah membebaskannya (Andi Hamzah, 2011: ). Berdasarkan Pasal 244 KUHAP sebagai dasar dari pengajuan kasasi menyatakan bahwa Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Menurut Hadari Djenawi Tahir, kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tinggi atau tingkat banding (Hadari Djenwai Tahir, 2001:17) Tujuan dari kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum. Berikut tujuan-tujuan dari kasasi menurut M.Yahya Harahap, antara lain : (1) Koreksi Terhadap Kesalahan Putusan Pengadilan Bawahan Salah satu dari tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benarbenar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang;

5 17 (2) Menciptakan Dan Membentuk Hukum Baru Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi; (3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermaksud mewujudkan kesadaran keseragaman penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya (M. Yahya Harahap, 2012: ). a) Alasan Kasasi Adapun alasan untuk mengajukan permohonan kasasi yang diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan: 1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; 2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; Maka Mahkamah Agung mencetapkan disertai penunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.

6 18 3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Maka Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut (Pasal 255 KUHAP). b) Putusan Yang Dapat Dikasasi Tidak semua putusan pidana dapat diajukan kasasi. Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi adalah semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan, kecuali terhadap putusan Mahkamah Agung sendiri dan putusan bebas. Terdapat 3 (tiga) poin dalam penjelasan Pasal 244 KUHAP, yaitu sebagai berikut: 1) Terhadap Semua Putusan Pengadilan Negeri dalam Tingkat Pertama dan Tingkat Terakhir Artinya jenis perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri yang dalam kedudukannya sekaligus sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir, yang terhadap putusan tidak dapat diajukan permohonan banding. Jenis perkara yang diputus dalam tingkat pertama dan terakhir oleh Pengadilan Negeri ialah perkara-perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat. 2) Terhadap Semua Putusan Pengadilan Tinggi yang Diambilnya pada Tingkat Banding Artinya terhadap putusan Pengadilan Negeri yang dapat diajukan permohonan banding, dan terhadap putusan itu diajukan permohonan banding serta Pengadilan Tinggi telah mengabil putusan pada tingkat banding, terhadap putusan banding tersebut dapat diajukan permohonan kasasi. 3) Tentang Putusan Bebas Putusan bebas yang dapat dimintakan kasasi adalah putusan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) atau sering juga disebut sebagai putusan pembebasan yang terselubung (verkapte

7 19 vrijspraak) sedangkan untuk putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang telah menghilangkan frase kecuali terhadap putusan bebas dalam Pasal 244 KUHAP, mengingat bahwa ketentuan tersebut sudah dianulir, berarti tidak ada larangan lagi untuk pengajuan kasasi terhadap putusan bebas. c) Tata Cara Permohonan Kasasi Pada kenyataan praktek peradilan, sering ditemukan hambatan formal yang dialami pencari keadilan. Hambatan formal yang dimaksud adalah kurang mengertinya kalangan pencari keadilan tentang tata cara mengajukan permohonan kasasi. Berikut tata cara permohonan kasasi adalah sebagai berikut: 1) Permohonan Diajukan Kepada Panitera Pasal 245 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa. Jangka waktu diatur secara tegas di dalam Undang-Undang. 2) Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Kasasi Pasal 244 KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan permohonan kasasi adalah terdakwa dan atau penuntut umum. Dan menurut Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 No. M. 14-PW pada angka 24 lampiran tersebut menyebutkan bahwa dimungkinkan permintaan kasasi diajukan oleh seorang kuasa, asal untuk itu terdakwa membuat surat kuasa khusus secara tersendiri yang sengaja dibuat untuk, memberi kuasa mengajukan permohonan kasasi (M. Yahya Harahap, 2000: 548).

8 20 3) Tenggang Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi Tenggang waktu yang dibenarkan Undang-Undang untuk mengajukan kasasi adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diberitahukan, Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Terlambat dari batas waktu 14 (empat belas) hari mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur seperti yang ditegaskan dalam Pasal 246 ayat (2) KUHAP. Menurut hukum apabila permohonan kasasi diajukan terlambat dari tenggang waktu 14 (empat belas) hari maka dengan sendirinya hak untuk mengajukan kasasi gugur, terdakwa dianggap menerima putusan, untuk itu panitera membuat akta penerimaan putusan. 4) Akta Permohonan Kasasi Bentuk dan pembuatan akta permohonan kasasi diatur dalam Pasal 245 ayat (2) KUHAP, istilah dalam Pasal itu adalah surat keterangan. Tidak ada perbedaan arti antara surat keterangan dengan akta kasasi, hanya saja akta kasasi adalah istilah yang lazim digunakan. Bentuk dan tata cara pembuatan akta kasasi menurut Pasal 245 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut : (1) Panitera menulis permohonan dalam sebuah Surat Keterangan ; (2) Akta kasasi harus ditandatangani panitera dan pemohon; (3) Akta kasasi dilampirkan dalam Berkas Perkara ; 5) Permintaan Kasasi Wajib Diberitahukan Ketentuan Pasal 245 ayat (3) KUHAP, panitera wajib memberitahukan permintaan kasasi yang diterimanya kepada pihak yang lain. Pihak yang lain disini maksudnya adalah terdakwa pada satu pihak dan penuntut umum pada pihak yang lain. Jadi panitera wajib menyampaikan pemberitahuan baik kepada terdakwa apabila penuntut umum yang mengajukan, kepada penuntut umum apabila terdakwa yang mengajukan baik

9 21 kedua-duanya, terdakwa maupun penuntut umum apabila keduaduanya sama-sama mengajukan permohonan kasasi. 6) Pemohon Wajib Mengajukan Memori Kasasi Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemohon kasasi adalah membuat memori kasasi, Pasal 248 ayat (1) KUHAP. Kewajiban mengajukan memori kasasi bersifat imperatif yaitu memiliki sanksi yang tegas, kerena tanpa memori kasasi gugur haknya untuk mengajukan kasasi Pasal 248 ayat (4) KUHAP. Tenggang waktu mengajukan memori kasasi adalah 14 hari setelah permohonan kasasi diajukan Pasal 248 ayat (1) KUHAP. 7) Tenggang Waktu Menyerahkan Memori Kasasi Pada Pasal 248 ayat (1) KUHAP telah ditentukan tenggang waktu mengajukan memori kasasi yaitu 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi diajukan. Jadi tenggang waktu tersebut telah diatur secara tegas apabila tidak memenuhi atau melewati tenggang waktu yang diajukan mengakibatkan gugur haknya untuk mengajukan kasasi. 8) Tanda Terima Penyerahan Memori Pada Pasal 248 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa panitera menerima penyerahan memori kasasi, panitera memberikan surat tanda terima. Surat tanda terima tersebut sebagai bukti penyerahan memori kasasi bagi pemohon. 9) Kewajiban Panitera Memberi Bantuan Kewajiban panitera memberikan bantuan untuk membuat memori kasasi ditegaskan dalam Pasal 248 ayat (2) KUHAP. Hal ini bertujuan untuk membantu terdakwa yang awam tentang hukum guna membuat memori kasasi. 10) Kontra Memori Kasasi Pada Pasal 248 ayat (6) KUHAP yang intinya berisi tentang memberikan hak kepada pihak lain untuk mengajukan kontra memori kasasi atas kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi.

10 22 Kontra memori kasasi merupakan hak dimana hak tersebut bisa digunakan bisa juga tidak. Kontra memori kasasi sebagai tanggapan terhadap memori kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi. Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari panitera menyampaikan kontra memori kasasi kepada pihak yang mengajukan memori kasasi Pasal 248 ayat (7) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: ) c. Upaya Hukum Luar Biasa Selain dari upaya hukum biasa, terdapat juga upaya hukum luar biasa yang telah diatur dalam BAB XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi demi kepentingan hukum dan Bagian Kedua dari Pasal 263 sampai Pasal 269 KUHAP tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum Pemeriksaan kasasi demi pekentingan hukum ini dapat diajukan terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung saja berdasarkan penyampaian dari pejabat kejaksaan yang menurut pendapatnya perkara ini perlu dimintakan kasasi demi kepentingan hukum. Kasasi demi kepentingan hukum ini diatur dalam Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP. Pengajuan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung ini dimaksudkan untuk menjaga kepentingan terpidana dan juga membuka kemungkinan bagi perubahan atas putusan pengadilan di bawah keputusan Mahkamah Agung yang dirasakan kurang tepat oleh Jaksa Agung dengan kata lain putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (judex factie) terlalu berat yang tidak sesuai dengan tuntutan penuntut umum.

11 23 2) Peninjauan Kembali Peninjauan Kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (herziening) berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Berdasarkan 263 ayat (2) KUHAP mengenai syarat-syarat dalam pengajuan Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut : a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas (vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alie rechtsvervolging) atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvvankelijk verklaring) atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 2. Tinjauan tentang Penuntut Umum a. Pengertian Penuntut Umum Berdasarkan isi dari Pasal 13 KUHAP yang secara tegas menyatakan bahwa yang dimaksud Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

12 24 Adapun menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menjelaskan bahwa : 1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. 2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. b. Kewenangan Penuntut Umum Kewenangan penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 KUHAP adalah sebagai berikut : a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan pra-penuntutan apabia ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketetntuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada siding yang telah ditentutkan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan umum;

13 25 i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim. Adapun wewenang Jaksa Agung secara khusus yang berkaitan dengan penuntutan diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, antara lain : a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; d. mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; f. mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuao dengan peraturan perundang-undangan. 3. Tinjauan tentang Judex Factie dan Judex Juris a. Judex Factie Judex Factie merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Latin. Judex yang berarti hakim dan Factie yang berarti fakta. Maksa yang dimaksud dengan Judex Factie adalah Hakim yang memeriksa duduknya perkara berdasarkan fakta-fakta hukum yang ditemui di persidangan baik tingkat pertama Pengadilan Negeri maupun di tingkat banding Pengadilan Tinggi. Fakta-fakta hukum itu sendiri diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan. Tahap pembuktian terhadap pemeriksaan alat bukti, Judex Factie berwenang untuk menilai kekuatan pembuktian dari seluruh alat bukti yang diajukan di persidangan. Tujuan Judex Factie memeriksa alat-alat bukti

14 26 yang diajukan di persidangan adalah untuk menentukan fakta-fakta hukum dari suatu perkara. Fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan inilah yang nantinya dijadikan pertimbangan Judex Factie dalam menjatuhkan putusan. b. Judex Juris Judex Juris merupakan Hakim pada tingkat kasasi yang memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara yang sebelumnya telah diperiksa oleh Hakim pada pengadilan di tingkat bawahnya. Mahkamah Agung yang merupakan badan peradilan tertinggi di tingkatannya merupakan Judex Juris. Hal tersebut dikarenakan Mahkamah Agung hanya memeriksa mengenai penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh Judex Factie. Kewenangan dari Mahkamah Agung sendiri adalah untuk menilai apakah hukum telah diterapkan sebagaimana mestinya dan apakah cara mengadili telah dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kewenangan Mahkamah Agung antara lain: 1) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung; 2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan 3) kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. 4. Tinjauan tentang Pertimbangan Putusan Hakim a. Pengertian Hakim Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum maka Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dapat melaksanakan serta menegakan Hukum sebagaimana mestinya.

15 27 Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki peranan yang sangat besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Hakim sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 butir 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang selanjutnya disebut KUHAP adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang- Undang untuk mengadili. Adapun yang dimaksud dengan mengadili menurut Pasal 1 butir 9 KUHAP adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di siding pengadilan dalam hal dan menurut cara yand diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti Pengadilan. Berhakim artinya minta diadili perkaranya; menghakimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, ada kalanya istilah hakim dipakai oleh orang budiman, ahli dan orang bijaksana (Lilik Mulyadi, 2010: 125). Hakim bertugas menilai apakah perbuatan Terdakwa tersebut melanggar Hukum Pidana atau tidak. Untuk menetapkan hal tersebut secara tepat, seorang Hakim harus dapat menentukan Hukum Pidana yang mana telah dilanggar (Wirjono P, 1974 :26-27). b. Kewajiban Hakim Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menyelesaikan suatu perkara. Dalam menyelesaikan

16 28 suatu perkara, hakim harus mampu memutuskan perkara yang diadilinya berdasarkan hukum, kebenaranm dan keadilan dengan tiada membedabedakan orang yang dengan berbagai resiko yang dihadapannya. Sesuai penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Prinsipnya kewajian hakim adalah menjatuhkan putusan yang menimbulkan akibat hukum bagi pihak lain. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan memiliki tugas dan kewajiban pokok dibidang peradilan yang secara normatif telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewajiban pokok hakim menurut pandangan beberapa ahli antara lain: 1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 2) Hakim wajib memperhatikan sifat -sifat yang baik dan jahat dari Terdakwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan; 3) Hakim harus dapat menemukan kembali dan menemukan pembaharuan hukum (Barda Nawawi, 2010:43). Hakim dalam menjalankan kewajibannya untuk menyelesaikan perkara tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara serta mengadili. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukummnya atau aturan hukumnya kurang jelas karena hakim itu dianggap mengetahui hukum sesuai dengan asas Ius Curius Novit. Apabila aturan hukum tersebut tidak ada, maka seorang hakim harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum dan apabila aturan hukum tersebut tidak jelas, maka Hakim harus menafsirkannya.

17 29 c. Tanggung Jawab Hakim Hukum merupakan seperangkat kaidah atau norma yang tersusun dalam suatu system yang berisikan petunjuk bertingkah laku, tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan disertai dengan sanksi. Untuk memastika agar hukum itu dapat dijalankan serta dapat ditaati dengan baik oleh masyarakat, maka dibutuhkan seseorang yang mengetahui benar serta memiliki pemahaman yang mendalam terhadap kaidah-kaidah hukum serta mempunyai integritas yang tinggi untuk diberikan kewenangan dalam menegakkan hukum, dan orang tersebut adalah hakim. Mengingat hakim memiliki posisi yang cukup sentral dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis serta berkeadilan, maka seseorang yang diangkat menjadi hakim mempunyai tanggung jawab yang besar yang senantiasa dipegang oleh para hakim. Tanggung jawab tersebut antara lain (Iskandar Kamil, 2006:2): a. Tanggung Jawab Moral Seorang hakim harus tunduk dan mematuhi nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan kehakiman, seorang hakim harus mamapu untuk memanifestasikan rasa keadilan yang terdapat dalam kenyataan normatif (das sollen) ke dalam kenyataan keseharian (das sein) melalui putusan-putusannya. b. Tanggung Jawab Hukum Menjalankan tanggung jawabnya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, hakim wajib untuk menjunjung tinggi rambu-rambu hukum. c. Tanggung Jawab Teknis Profesi Tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.

18 30 d. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan dapat dilihat dari putusannya itu sendiri, artinya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau ditetapkan lewat keputusan. Dalam hubungan tersebut ditegaskan bahwa untuk menjamin kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang dilakukan oleh hakim dalam persidangan sejak pemeriksaan hingga sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya. Pertimbangan-pertimbangan hakim untuk sampai pada putusan harus memperhatikan ketentuan Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa dalam Pasal 50 : 1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang. Sedangkan dalam Pasal 53 menyatakan bahwa: 1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. 2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan pada keterangan saksi-saksi, barang bukti, keterangan terdakwa dan alat bukti surat dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, serta unsur-unsur pasal tindak pidana yang disangkakan kepada Terdakwa. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi ada 2 (dua), yaitu pertimbangan yuridis dan non yuridis. Pertimbangan Yuridis, yaitu

19 31 pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam Persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan. Ada 2 (dua) kategori untuk memberikan telaah pada pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Kategori pertama akan dilihat dari segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang bersifat non yuridis, selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut (Rusli Muhammad, 2007: ): Pertimbangan yang bersifat yuridis diantaranya: a) Dakwaan penuntut umum; b) Tuntutan pidana; c) Keterangan saksi; d) Keterangan terdakwa; e) Barang bukti; f) Pasal-pasal yang terkait. Sedangkan dasar-dasar yang digunakan dalam pertimbangan non yuridis, diantaranya: a) Latar belakang terdakwa; b) Akibat perbuatan terdakwa; c) Kondisi diri terdakwa; d) Agama terdakwa. e. Pengertian Putusan Pengadilan Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam siding pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Selanjutnya mengenai jenis putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan hakim telah ditentukan, yaitu: 1) Putusan Bebas menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

20 32 terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas. 2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP adalah jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. 3) Putusan Pemidanaan berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. 5. Tinjauan tentang Tindak Pidana Illegal Fishing a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika itu dilakukan baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP, menjelaskan bahwa Tiada suatu perbuatan dapat dipidanakan kecuali berdasarkan aturan pidana dalam perundangundangan yang sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada. Ketentuan ini memberi jaminan bahwa seseorang tidak dapat dituntut berdasarkan ketentuan undang-undang secara surut. Menurut ketentuan dalam KUHP, tindak pidana dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1) Kejahatan (Misdrijven) Kejahatan adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman yang lebih berat daripada pelanggaran. Dalam KUHP yang termasuk dalam kejahatan antara lain : 1. kejahatan terhadap keamanan negara;

21 33 2. kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden; 3. kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat serta wakilnya; 4. kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan; 5. kejahatan terhadap ketertiban umum; 6. perkelahian tanding; 7. kejahatan yang membahayakan keamanan bagi umum bagi orang atau barang; 8. kejahatan terhadap penguasa umum; 9. sumpah palsu dan keterangan palsu; 10. pemalsuan mata uang dan uang kertas; 11. pemalsuan materai dan merek; 12. pemalsuan surat; 13. kejahatan terhadap asal-usul perkawinan; 14. kejahatan terhadap kesusilaan; 15. meninggalkan orang yang perlu ditolong; 16. penghinaan; 17. membuka rahasia; 18. kejahatan terhadap kemerdekaan orang; 19. kejahatan terhadap nyawa; 20. penganiayaan; 21. menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan; 22. pencurian; 23. pemerasan dan pengancaman; 24. penggelapan; 25. perbuatan curang(bedrog); 26. perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak; 27. penghancuran atau perusakan barang; 28. kejahatan jabatan; 29. kejahatan pelayaran; 30. penadahan, penerbitan, dan percetakan;

22 pengulangan kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai bab. 2) Pelanggaran (Overtredingen) Pelanggaran adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman yang lebih ringan daripada kejahatan, yang termasuk jenis pelanggaran menurut KUHP antara lain (Nunung Mahmudah, 2015:12-14) : 1. pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang atau barang dan kesehatan umum; 2. pelanggaran ketertiban umum; 3. pelanggaran terhadap penguasa umum; 4. pelanggaran mengenai asal-usul dan perkawinan; 5. pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan; 6. pelanggaran kesusilaan; 7. pelanggaran mengenai tanah, tanaman, dan pekarangan; 8. pelanggaran jabatan; 9. pelanggaran pelayaran. b. Pengertian Tindak Pidana Illegal Fishing Peraturan perundang-undangan tentang kelautan, terutama menyangkut bidang perikanan, kategori tindak pidana dibedakan menjadi kejahatan dan pelanggaran. Namun, dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perbuhan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tidak memberikan definisi ataupun penjelasan lebih lanjut tentang apa itu illegal fishing. Pemberian istilah illegal fishing merajuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh International Planof Action (IPOA) tentang illegal, unreported, dan unregulated (IUU) fishing yang secara harafiah diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. Hal tersebut diprakarsai oleh FAO (Food and Agriculture Organization) dalam konteks

23 35 implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pengertian illegal fishing dijelaskan sebagai berikut : 1) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu; 2) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh perikanan berbendera salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO), tetapi pengoprasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO. Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional; 3) Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundangundangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturanaturan yang ditetapkan negara anggota RFMO (Nunung Mahmudah, 2105:80-81). Sedangkan yang dimaksud dengan unreforted fishing adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan atau sengaja dilaporkan dengan memberi data yang tidak benar kepada penguasa otoritas nasional terkait, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri tersebut; atau 2) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan diwilayah yang menjadu kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional dan kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dilaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan organisasi tersebut. Selanjutnya yang dimaksud dengan unregulated fishing adalah: 1) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan diwilayah yang berada dibawah pengaturan organisasi pengelolaan perikanan regional, oleh

24 36 kapal-kapal tanpa kebangsaan, atau oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara yang bukan anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan, dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konvensi dan langkah-langkah pengelolaan dari organisasi tersebut; atau 2) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan diwilayah atau terhadap stok ikan yang belum memiliki pengaturan tentang pengelolaan dan konservasinya dan kegiatan tersebut dilaksanakan dengan cara yang bertentangan dengan tanggungjawab negara berdasarkan ketentuan hukum internasional mengenai konservasi sumberdaya hayati laut (Yudi Dharma Putra, 2015:16-17). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perikanan jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mencatumkan definisi atau konsep perikanan yang mengandung pengertian luas. Dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan, bahwa : Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praporduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Definisi perikanan tersebut, mengandung arti kegiatan tidak hanya sekedar penangkapan ikan, tetapi juga termasuk kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Setelah konsep illegal fishing yang dibuat oleh lembaga yang berwenang disinkronkan dengan konsep perikanan menurut Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009, maka dapat diketahui bahwa semua bentukbentuk tindak pidana, baik yang merupakan kejahatan maupun pelanggaran dalam undang-undang perikanan dapat disebut sebagai tindak pidana illegal fishing. Setiap kegiatan illegal fishing terjadi di wilayah perairan laut atau perairan Indonesia yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif

25 37 Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI, luas dari zona tersebut mencapai 200 mil dari garis dasar pantai. Pengertian dari ZEEI adalah didalam zona laut tersebut Indonesia sebagai negara pantai diberikan hak atas kekayaan atau sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, serta diberikan hak untuk memanfaatkan dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan hukum, juga diberikan kebebasan untuk kegiatan kenavigasian, melakukan aktivitas penerbangan datas wilayahnya serta melakukan aktivitas penanaman kabel dan pipa di bawah laut untuk kepentingan bangsa dan negaranya (Yudi Dharma Putra, 2015:4). Merujuk pada pengertian illegal fishing tersebut, secara umum dapat diidentifikasikan menjadi empat golongan yang merupakan illegal fishing yang umum terjadi di Indonesia, yaitu: 1. Penangkapan ikan tanpa izin; 2. Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu; 3. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang; 4. Penangkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin. Beberapa modus atau jenis kegiatan illegal fishing yang sering dilakukan oleh kapal ikan Indonesia maupun kapal asing, yaitu tidak adanya atau tidak memiliki beberapa dokumen izin dalam usaha perikanan. Berikut izin-izin yang harus dimiliki dalam usaha di bidang perikanan, diantaranya: 1. Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut; 2. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP; 3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengumpulan dan pengangkutan ikan (Djoko Tribawono, 2013:255).

26 38 c. Sanksi Pidana terhadap Pelaku Illegal Fishing Sanki pidana bagi pelaku illegal fishing diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perikanan diantara lain: 1. Pasal 92 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 2. Pasal 93 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah). 3. Pasal 93 ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua puluh miliar rupiah). 4. Pada 93 ayat (3) menyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah).

27 39 5. Pasal 93 ayat (4) menyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua puluh miliar rupiah).

28 40 B. Kerangka Pemikiran Perkara Illegal Fishing Putusan PN. Sorong Nomor 234/PID.SUS/2011/PN-SRG Pidana Denda Upaya Hukum Banding oleh Penuntut Umum Putusan PT. Jayapura Nomor 34/PID/2012/PT.JPR Pidana Penjara dan Pidana Denda Upaya Hukum Kasasi oleh Penuntut Umum Alasan Permohonan Kasasi Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dikabulkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1766 K/PID.SUS/2013 Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penjelasan Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan alur pemikiran penulis dalam menggambarkan, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai Pengajuan Kasasi Penuntut Umum Berdasarkan Judex Factie Salah Menerapkan Sanksi Pidana Dan Pertimbangan Judex Juris

29 41 Memutuskan Perkara Illegal Fishing (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1766 K/Pid.Sus/2013). Meninjau perkara illegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing di wilayah perairan Indonesia ini sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1766 K/Pid.Sus/2013 bahwa telah membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jayapura Nomor 34/PID/2012/PT.JPR dan memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Sorong Nomor 234/PID.SUS/2011/PN-SRG, Hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan alasan kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum. Dalam memori kasasinya, Penuntut Umum menjelaskan bahwa Majelis Hakim dalam memutuskan perkara tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya dan tidak memberi efek jera bagi pelaku tindak pidana illegal fishing, Dari uraian tersebut, dapat diketahui terdapat suatu permasalah hukum yang ada dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1766 K/Pid.Sus/2013 sehingga penulis memandang perlu suatu kajian yang lebih mendalam terhadap putusan ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Upaya Hukum Maksud dari upaya hukum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak

Lebih terperinci

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori 14 BAB II TNJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Terhadap Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP menjelaskan bahwa Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Militer Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu: 1. Tindak Pidana Militer Murni. Tindak Pidana Militer Murni yaitu tindakan-tindakan yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 59, 1991 (ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

Makalah Rakernas

Makalah Rakernas Makalah Rakernas 2011 1 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI Oleh : H. A. Kadir Mappong (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidan Yudisial) Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA. Muh. Priyawardhana Dj.

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA. Muh. Priyawardhana Dj. TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA Muh. Priyawardhana Dj. Dian Ekawati Ismail, SH., MH. (Dosen Pembimbing I) Dolot Alhasni Bakung, SH., MH. (Dosen Pembimbing II)

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-undang

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Agenda Pendahuluan Dasar Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara manapun di dunia ini, militer merupakan organ yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang kedaulatan suatu Negara ada pada

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA A. Kasus Pencurian Ikan Di Perairan Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty Demi kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana, undang-undang memberikan

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci