TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA. Muh. Priyawardhana Dj.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA. Muh. Priyawardhana Dj."

Transkripsi

1

2 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA Muh. Priyawardhana Dj. Dian Ekawati Ismail, SH., MH. (Dosen Pembimbing I) Dolot Alhasni Bakung, SH., MH. (Dosen Pembimbing II) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jend. Soedirman Kota Gorontalo. TLPN FAX ABSTRAK Fokus bahasan dalam penulisan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis pembatasan upaya-upaya hukum kasasi pada perkara pidana. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud penulis menggunakan metode penelitian yuridis deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif. Selain itu juga menggunakan literature-literature yang ada sebagai penunjang dalam menyelesaikan permasalahan pembatasan upaya kasasi pada perkara pidana di Indonesia. Adapun hasil yang diperoleh adalah pembatasan upaya hukum kasasi dalam perkara pidana telah diatur tegas dalam SEMA Nomor 8 Tahun 2011 tentang perkara yang tidak memenuhi syarat kasasi dan peninjauan kembali. Kata Kunci : kasasi, pembatasan upaya hukum 1

3 PENDAHULUAN Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) misalnya dikenal dua bentuk upaya hukum, pertama upaya hukum biasa yaitu dalam bentuk banding dan kasasi, dan kedua upaya hukum luar biasa demi kepentingan hukum.mahkamah Agung merupakan lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman dan peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan sebagaimana diubah terakhir Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Dalam undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan itu, memuat pula pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.dasar hukum yang sah bahwa suatu putusan hakim haruslah memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu. Dalam tahun 1947 dan 1974, Hoge Raad membatalkan putusan hakim yang lebih rendah karena alasan-alasan yang kurang cukup dan kelihatan di situ bahwa pidana yang dijatuhkan kurang seimbang dengan alasan-alasan yang dikemukakan dalam putusan pengadilan tersebut. Berdasar alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang ditentukan oleh undangundang yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim) itu. Dalam putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi terkadang tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh undang-undang (dalam hal ini khususnya yang tercantum pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman). Kurang adanya pertimbangan atau alasanalasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain, dapat 2

4 menimbulkan suatu kelalaian dalam acara, oleh karena itu dapat menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri dan tinggi oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi. Bahwa para pihak mengajukan upaya hukum sampai ketingkat kasasi maksudnya untuk mencari kebenaran dan kepastian hukum. Upaya hukum banding maupun kasasi merupakan hak terdakwa maupun penuntut umum dan bukan merupakan hak korban. Namun demikian hak tersebut dapat dimanfaatkan atau dikesampingkan. Penggunaan atau pengesampingan hak melakukan upaya hukum lebih didasarkan pada ketidakpuasan para pihak dalam menerima putusan pengadilan. Apabila yang menjadi indikator adalah ketidakpuasan terdakwa atau penuntut umum dan menolak putusan pengadilan, maka subjektivitasnya dan kepentingannya sangat tinggi. Ketidakpuasan dan subjektivitas serta kepentingan sangat terkait dengan harga diri para pihak. Harga diri merupakan nilai yang sangat tinggi dan tidak dapat diberi harga berapa pun. Dalam realitas sering dijumpai perkara sederhana, nilai objeknya rendah namun karena menyangkut kepentingan dan harga diri, maka para pihak sampai khilaf dalam memperjuangkan hak-haknya. Namun upaya hukum kasasi perkara pidana tanpa pembatasan akan menghasilkan jumlah menumpuknya berkas perkara, sehingga peradilan menjadi lambat. Gambaran tersebut membuahkan suatu pemikiran bahwa upaya hukum kasasi harus diatur sedemikian rupa oleh sehingga secara normatif tidak setiap perkara dapat diajukan kasasi dengan memberdayakan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Hak asasi tanpa batas dalam peradilan dapat mengaburkan keadilan, dan pembatasan upaya hukum kasasi dapat mewujudkan keadilan, peradilan sederhana dan cepat dan biaya ringan. Maka dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2011 dapat mengantisipasi peningkatan jumlah perkara di masa depan yang diduga kuat akan 3

5 semakin besar dan semakin penting untuk diputus oleh. Serta dapat mengurangi tunggakan perkara di Mahkamah Agung karena banyaknya jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Selain itu, juga akan membawa impak, yakni pengurangan jumlah hakim agung sehingga fungsi MA sebagai peradilan kasasi, menjaga keseragaman hukum, mendorong perkembangan hukum melalui putusanputusan yang berbobot, dan sebagainya lebih mudah terealisir. TINJAUAN PUSTAKA Upaya Hukum Kasasi Berdasarkan esensi Pasal 244 KUHAP dan pendapat kalangan doktrina dapat disimpulkan bahwa upaya hukum kasasi merupakan suatu hak yang dapat dipergunakan atau dikesampingkan oleh terdakwa atau penuntut umum. Apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat bawahnya maka dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan dan pengetrapan hukum yang telah dijalankan oleh pengadilan di bawahnya kecuali terhadap putusan yang mengandung pembebasan. Pembatasan Upaya Hukum Pengaturan pembatasan upaya hukum antara lain sebagai mana diatur menurut ketentuan: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Pasal 45A: a. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya; b. Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiriatas: - Putusan tentang Praperadilan; 4

6 - Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan / atau diancam pidana denda; - Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. c. Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung; d. Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diajukan upaya hukum; e. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung; 2. Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 23 : Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 26 : Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak bersangkutan, kecuali Undang- Undangmenentukan lain. Putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-Undang menentukan lain. 3. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP pada Bagian Kedua, Bab XVII Pasal 244 sampai dengan Pasal 258. Menurut ketentuan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 244 : 5

7 Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. a. Pasal 246 : 1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan. 2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur. 3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), maka panitera, mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara. b. Pasal 247 : 1) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi. 2) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan. 3) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya. 4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali. c. Pasal 248 1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu empat belas hari setelah mengajukan 6

8 permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima. (2) Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya. (3) Alasan yang tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (l) Undang-Undang ini. (4) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur. (5) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (4) pasal ini. (6) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi. (7) Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi. Menurut Cetak Biru Pembaruan Peradilan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2010, secara ringkas tujuan pembatasan perkara kasasi adalah untuk: a) Meningkatkan kualitas putusan; b) Memudahkan MA melakukan pemetaan permasalahan hukum; Mengurangi jumlah perkara di tingkat kasasi yang berarti mengurangi bebankerja MA. 7

9 METODE PENELITIAN Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif oleh penulis bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti. Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik azas-azas hukum (rechsbeginselen). yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis 1. Analisis Bahan Hukum Dalam menganalisis isu hukum yang diangkat, peneliti menggunakan teknik Interpretasi, Interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi sistematis, dimana menurut P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan diantara aturan dalam suatu Undang- Undang yang saling bergantung 2. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah Undang-Undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun ketentuan didalam Undang-Undang merupakan aturan yang berdiri sendiri 3. Dengan teknik analisis ini mempermudah peneliti dalam menjawab permasalahan yang ada, yaitu mengenai Pembatasan Upaya Hukum Kasasi. HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press: Jakarta. 2 P.W.C. Akkerman, dalam Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Prenada Media,Jakarta, 2005, hal Peter Mahmud Marzuki, Op cit, hal

10 Pelaku kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pengadilan Negeri Gorontalo, sebagai pelaku kekuasaan kehakimanan bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama. Efektifitas pelaksanaan pelayanan hukum di Pengadilan Negeri Gorontalo adalah merupakan implementasi dari kebijakan Pimpinan Mahkamah Agung RI, sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sesuai dengan tugasnya Pengadilan Negeri Gorontalo berwenang memberikan putusan terhadap suatu perkara, khususnya pada perkara pidana.akan tetapi, dalam prakteknya terdakwa dan penuntut umum yang tidak puas dengan adanya putusan tersebut dapat mengajukan kasasi. Hal ini sesuai dengan dasar hukum dalam KUHAP pasal 244 Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Namun tidak semua perkara dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.Pembatasan perkara adalah isu yang sensitif. Dalam diskursus pembatasan perkara, terjadi pertarungan antara kepastian hukum dan hak. Akibat posisinya yang sensitif ini, dalam pembahasan mengenai pembatasan perkara selalu muncul kritikankritikan dan penolakan. Pada tahun 1997, Mantan Hakim Agung, Z. Asikin Kusumah Atmadja menekankan bahwa pembatasan kasasi seperti itu tidak ada manfaatnya. Itu tidak saja bertentangan dengan jaminan perlindungan hukum sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945, tetapi juga tidak akan memecahkan permasalahan, khususnya dalam kaitan dengan terjadinya tunggakan perkara di MA yang terus meningkat. Sejak tahun 2004, usulan mengenai pembatasan perkara mulai mengemuka. Dorongan untuk melakukan pembatasan perkara semakin kencang dan berakhir pada pengaturan Pasal 45A ayat (2) UU Nomor5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung 9

11 yang intinya menyatakan bahwa perkara-perkara pidana yang ancaman hukumannya dibawah 1 tahun, perkara-perkara pra peradilan dan perkara-perkara Tata Usaha Negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. Perdebatan mengenai pembatasan perkara sudah dimulai sejak pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Perlu diketahui, bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHAP), memuat aturan-aturan yang paling kentara mengenai pembatasan perkara. Dalam pengaturan mengenai upaya hukum, KUHAP menerapkan pembatasan upaya banding untuk perkara-perkara; 1) Putusan Bebas (vrijspraak), 2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum (bedekt onslag van), 3) Putusan pengadilan dalam acara cepat. KUHAP juga mengatur pembatasan upaya banding terhadap putusan praperadilan, yakni, pada prinsipnya praperadilan tidak bisa banding kecuali untuk putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi daerah hukum yang bersangkutan. Upaya hukum tertinggi dalam KUHAP adalah Kasasi. Dalam KUHAP, terdapat beberapa pengaturan mengenai pembatasan kasasi. Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung.Menurut KUHAP suatu permohonan ditolak jika; 1) putusan yang dimintakan kasasi adalah putusan bebas (Pasal 244 KUHAP).Senada dengan ini Putusan Mahkamah Agung tanggal Nomor70 K/Kr/1956.Mengenai putusan bebas tidak murni 2) melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu empat belas hari sesudah putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP). Beberapa ketentuan dalam UU No. 5 tahun 2004 dan KUHAP pun mengatur pula jenis-jenis perkara dan putusan yang secara eksplisit tidak dapat diajukan kasasi, meski alasan-alasan sebagai mana dijelaskan di atas terpenuhi. Dalam ranah pidana, 10

12 Pasal 244 KUHAP melarang kasasi terhadap putusan bebas dan putusan pengadilan dalam acara cepat dan Pasal 205 ayat (3)-nya mengatur bahwa putusan pengadilan negeri dalam acara cepat merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir (tidak dapat diajukan kasasi). Meski demikian, pengaturan dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP tersebut dianggap hanya berlaku bagi perkara tindak pidana ringan.sepertinya karena penafsiran itu pula maka perkara tindak pidana lalu lintas, yang menurut KUHAP juga harus diproses melalui acara cepat, tetap dapat diajukan kasasi ke MA. Berdasarkan putusan kasasi oleh Mahkamah Agung mengenai perkara penyerobotan yang diajukan oleh terdakwa atas dasar putusan 9 bulan pidana penjara yang mana Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi oleh terdakwa, sesuai peraturan yang terdapat dalam pasal 45A Undang-UndangMahkamah Agung RI nomor 4tahun 1985 yang telahdiubah dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2004, Undang-Undang Nomor 3 tahun2009, dan terakhir dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 8 Tahun 2011 mengenai perkara yang tidak memenuhi syarat kasasi dan Peninjauan Kembali. Majelis Hakim sudah dianggap benar dalam menerapkan hukum dan sudah tepat didalam pertimbangannya sehingga Pengadilan Negeri Gorontalo yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Gorontalo sudah benar dalam menetapkan dan penerapan hukumnya. Mengenai alasan-alasan yang diajukan oleh terdakwa tidak dapat diterima karena terdakwa tidak dapat menunjukkan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan bahwa terdakwa juga memiliki hak atas tanah dan rumah tersebut. Dan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya dapat diajukan apabila terdapat tidak diterapkannya suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). 11

13 Mahkamah Agung dalam mengadili perkara ini sudah cermat dan teliti namun dalam keberatan yang diajukan oleh terdakwa dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan tidak memenuhi syarat-syarat pengajuan kasasi sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun Disamping itu, Mahkamah Agung berdasarkan wewenang pengawasannya juga tidak dapat melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Gorontalo dengan telah melampaui batas wewenangnya, oleh karena itu Pemohon Kasasi/Terdakwa berdasar pada Pasal 45A Undang-UndangMahkamah Agung (Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yangtelah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang- Undang No. 3 Tahun 2009) dinyatakan tidak dapat diterima. Sudah jelas bahwa putusan Pengadilan Negeri Gorontalo yang diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Gorontalo dalam perkara penyerobotan sudah benar dalam pertimbangan dan penerapan hukumnya.sehingga upaya hukum kasasi terdakwa tidak dapat dilaksanakan karena putusan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau diancam pidana denda tidak memenuhi syarat kasasi dan Peninjauan Kembali sesuai isi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2011 butir 2. Akibat Yang Timbul Tanpa Pembatasan Upaya Hukum Kasasi Perkara Pidana Upaya hukum kasasi perkara pidana tanpa pembatasan akan menghasilkan jumlah menumpuknya berkas perkara, sehingga peradilan menjadi lambat. Gambaran tersebut membuahkan suatu pemikiran bahwa upaya hukum kasasi harus diatur sedemikian rupa oleh sehingga secara normatif tidak setiap perkara dapat diajukan kasasi dengan memberdayakan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Hak asasi tanpa batas dalam peradilan dapat mengaburkan keadilan, dan pembatasan upaya hukum kasasi dapat mewujudkan keadilan, peradilan sederhana dan cepat dan biaya ringan. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun

14 1. Perkara-perkara yang menurut undang-undang tidak memenuhi syarat untutk diajukan kasasi dan peninjauan kembali: A. Perkara perdata (Umum, Agama dan Tata Usaha Negara) kasasi a. Melampaui tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi, sesuai yang ditentukan oleh Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang- Undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir Undang-Undang No.3 Tahun 2009); b. Melampaui tenggang waktu pengajuan memori kasasi sesuai ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009). Peninjauan Kembali Melampaui tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali dan memori peninjauan kembali sesuai dengan ketentuan Pasal 69 Undang- Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yan gtelah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009). B. Perkara pidana (Umum, Khusus, dan Militer) a. Melampaui tenggang waktu permohonan kasasi sesuai dengan Pasal 245 ayat (1) KUHAP; b. Melampaui tenggang waktu pengajuan memori kasasi sesuai dengan Pasal 248 ayat (1) KUHAP. 2. Perkara-perkara yang menurut Pasal 45A Undang-UndangMahkamah Agung dikecualikan tidak boleh diajukan kasasi (Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yangtelah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009). a. Putusan Pra peradilan; 13

15 b. Putusan pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau diancam pidana denda; c. Perkara tata usaha Negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku diwilayah daerah yang bersangkutan. 3. Perkara butir 1 dan 2 diatas, tidak perlu dikirimkan ke Mahkamah Agung; 4. Perkara butir 1 dan 2 diatas, harus dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama, dan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum (Perlawanan, Kasasi atau Peninjauan kembali); 5. Apabila perkara-perkara yang tidak memenuhi syarat tersebut diatas tetap dikirim ke Mahkamah Agung, maka panitera Mahkamah Agung wajib mengembalikan berkas perkara tersebut tanpa deregistrasi dengan surat biasa. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan apa yang diuraikan dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan pengajuan kasasi oleh terdakwa terhadap putusan pidana 9 bulan penjara dan ancaman denda sudah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP Upaya hukum dalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. 2. Pembatasan upaya hukum kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pidana 1 tahun sudah sesuai karena dalam realitas sering dijumpai perkara sederhana, nilai objeknya rendah namun karena menyangkut kepentingan dan 14

16 harga diri, maka para pihak sampai khilaf dalam memperjuangkan hak-haknya. Namun apabila perkara-perkara yang tidak memenuhi syarat tersebut tetap dikirim ke Mahkamah Agung, maka panitera Mahkamah Agung wajib mengembalikan berkas perkara tersebut tanpa deregistrasi dengan surat biasa sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung butir 5. Saran 1. Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus permohonan kasasi seyogianya memperhatikan segi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. 2. Secara normatif berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2011, terhadap putusan pidana 1 tahun pada prinsipnya tidak dapat diajukan kasasi, sehingga semestinya ini menjadi pegangan bagi Penuntut Umum dan/atau Terdakwa ketika berupaya mencari keadilan melalui pengajuan kasasi. 15

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

1 jam perkara sesuai dengan nomor urut perkara 4. Membuat formulir penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang

1 jam perkara sesuai dengan nomor urut perkara 4. Membuat formulir penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) KEPANITERAAN PIDANA PENGADILAN NEGERI TANAH I. PROSEDUR PENERIMAAN PERKARA 1. Prosedur Penerimaan Perkara Pidana Biasa : PENGADILAN TINGGI SAMARINDA PENGADILAN NEGERI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Militer Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu: 1. Tindak Pidana Militer Murni. Tindak Pidana Militer Murni yaitu tindakan-tindakan yang

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

Pelayanan Perkara Pidana

Pelayanan Perkara Pidana Pelayanan Perkara Pidana Pelayanan Perkara Pidana Meja Pertama Menerima perkara pidana, lengkap dengan surat dakwaannya dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut. Pendaftaran perkara pidana

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 12 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA Dasar: Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 026/KMA/SK/II/2012 Tentang Standar Pelayanan Peradilan 1. PELAYANAN PERSIDANGAN a. Pengadilan menyediakan ruang tunggu khusus

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PIDANA

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PIDANA STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PIDANA A. PROSEDUR PENERIMAAN BERKAS PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI NO KEGIATAN WAKTU PENYELESAIAN 1 2 3 4 5 6 7 8 Menerima pelimpahan berkas perkara

Lebih terperinci

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA 1. Penerimaan berkas perkara Kepaniteraan Pidana (Petugas Meja I) Pedoman Pelaksanaan Tugas Buku II 1 hari 1. Menerima perkara yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA 1. PELAYANAN PERSIDANGAN NO. JENIS PELAYANAN DASAR HUKUM 1. Penerimaan Pelimpahan Berkas. Pasal 137 KUHAP PERSYARATAN - Yang melimpahkan harus Jaksa Penuntut Umum

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM (BAB XVII KUHAP)

UPAYA HUKUM (BAB XVII KUHAP) UPAYA HUKUM (BAB XVII KUHAP) Welin Kusuma ST, SE, SSos, SH, SS, SAP, MT, MKn, RFP-I, CPBD, CPPM, CFP, Aff.WM, BKP http://peradi-sby.blogspot.com http://welinkusuma.wordpress.com/advokat/ Upaya Hukum adalah

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori 14 BAB II TNJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Terhadap Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP menjelaskan bahwa Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, biasanya setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa kurang tepat, kurang adil

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA Pembahasan mengenai analisis data mengacu pada data-data sebelumnya,

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N KODE ETIK P O S B A K U M A D I N PEMBUKAAN Bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara yang tidak mampu merupakan kewajiban negara (state obligation) untuk menjaminnya dan telah dijabarkan dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MAHKAMAH AGUNG Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tanggal 30 Desember 1985 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

MAHKAMAH AGUNG Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tanggal 30 Desember 1985 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, MAHKAMAH AGUNG Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tanggal 30 Desember 1985 Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Bambang Heriyanto, S.H., M.H. Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Disampaikan pada Rapat Kerja Kementerian

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG PERMOHONAN KASASI PERKARA PIDANA YANG TERDAKWANYA BERADA DALAM STATUS TAHANAN

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG PERMOHONAN KASASI PERKARA PIDANA YANG TERDAKWANYA BERADA DALAM STATUS TAHANAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG PERMOHONAN KASASI PERKARA PIDANA YANG TERDAKWANYA BERADA DALAM STATUS TAHANAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 10 September 1998 Nomor : MA.Kumdil.160.IX.K.1998

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST (HAKIM MAHKAMAH AGUNG) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah Agung No. No. 1481K/PID.SUS/2008) (Skripsi) RAHMADIN BAGUS RAFLE JALEWANGAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Agenda Pendahuluan Dasar Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding:

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding: Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding: 1. Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar iah dalam tenggang waktu : a. 14 (empat belas)

Lebih terperinci

BAB IV. A. Dasar Hukum Putusan Hakim Pidana Di Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut. Tugas Hakim sangatlah berat, karena tidak hanya mempertimbangkan

BAB IV. A. Dasar Hukum Putusan Hakim Pidana Di Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut. Tugas Hakim sangatlah berat, karena tidak hanya mempertimbangkan BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PUTUSAN HAKIM PIDANA DI BAWAH TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM DIHIBINGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN A. Dasar Hukum Putusan Hakim Pidana

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999 Dalam Perkara Keberatan Terhadap Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA Fenomena proses penegakan hukum di Indonesia Dibentuknya berbagai Komisi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika I. PEMOHON Sutrisno Nugroho Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS A. Sekilas Profil Mahkamah Agung Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 16/PID.SUS.Anak/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 16/PID.SUS.Anak/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 16/PID.SUS.Anak/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN KEPANITERAAN PIDANA: STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI 1. Perkara Biasa: Meja Pertama: - Kepaniteraan pidana ada meja 1 (pertama) yang bertugas menerima pelimpahan berkas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli Habibie,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

MEMORI KASASI. Dahulu sebagai TERDAKWA/PEMOHON BANDING, saat ini untuk selanjutnya akan disebut sebagai PEMOHON KASASI.

MEMORI KASASI. Dahulu sebagai TERDAKWA/PEMOHON BANDING, saat ini untuk selanjutnya akan disebut sebagai PEMOHON KASASI. MEMORI KASASI jo PutusanPengadilan Negeri Jakarta pusat No. 1337/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst Atas nama Kepada Yth Ketua Mahkamah Agung RI Melalui Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Di Jakarta Jakarta, 7 Febuari

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

SURAT EDARAN Nomor : 2 Tahun 1998 Tentang Pemohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Terdakwanya berada dalam Status Tahanan

SURAT EDARAN Nomor : 2 Tahun 1998 Tentang Pemohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Terdakwanya berada dalam Status Tahanan KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : MA/Kumdil/163/III/1998 Jakarta, 10 September 1998 Kepada Yth. Sdr. 1. Ketua Pengadilan Tinggi 2. Ketua Pengadilan Negeri di Seluruh Indonesia SURAT EDARAN

Lebih terperinci

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 14 TAHUN 1985 (14/1985) Tanggal : 30 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber : LN 1985/73; TLN NO. 3316 DENGAN

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA 1. Upaya Hukum Banding Upaya banding didaerah jawa dan madura semula diatur dalam pasal 188-194 HIR, sedangkan bagi daerah luar jawa dan madura diatur dalam pasal-pasal

Lebih terperinci