Foto Cover : Taufik Rinaldi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Foto Cover : Taufik Rinaldi"

Transkripsi

1

2 Foto Cover : Taufik Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub Office Jalan Kusuma Atmadja No. 36 Menteng, Jakarta Ph , /09 Fax Website:

3 Mei 2009 Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

4 Prakata Prakata Reformasi di sektor hukum dan peradilan menjadi hal yang esensial untuk pembangunan berkelanjutan, pemerintahan yang efektif dan pengurangan kemiskinan jantung dari misi utama Bank Dunia. Pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari masyarakat internasional, sedang menjalankan serangkaian program pembaharuan untuk meningkatkan penegakan keadilan melalui institusi-institusi negara - Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Pembaharuan penting kelembagaan telah dijalankan dalam beberapa tahun terakhir melalui prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan implementasi cetak biru reformasi Mahkamah Agung yang tengah berlanjut. Akan tetapi, dalam suatu negeri seperti Indonesia, yang kaya dengan berbagai macam kebudayaan dan pluralisme hukum, hukum tidak hanya menjadi tanggungjawab negara. Mayoritas permasalahan hukum pada kenyataannya dipecahkan di luar pengadilan melalui mekanisme yang berlaku di masyarakat. Satu-satunya pengalaman keadilan yang dialami oleh sebagian besar warga negara justru tidak didapat dari gedung pengadilan, dari balai desa, majelis adat, atau melalui mediasi oleh pemimpin agama dan kepala desa. Perselisihan sehari-hari yang kerap muncul pada tingkatan ini - tanah, tenaga kerja, warisan, pernikahan, dan perceraian - mempunyai dampak sosial ekonomi yang berarti dalam kehidupan warga Indonesia. Jika perselisihan seperti itu tidak bisa dipecahkan secara efisien dan adil, maka bisa mengakibatkan konflik kekerasan sosial. Oleh karena itu, kebijakan yang berfokus kepada sistem keadilan non-negara adalah elemen yang penting dalam strategi reformasi hukum dan peradilan. Laporan ini merupakan salah satu keluaran dari program Justice for the Poor-Bank Dunia, diluncurkan untuk mengembangkan kerangka kebijakan dan operasional guna meningkatkan efektivitas dan inklusifitas sosial peradilan non-negara di Indonesia. Berdasarkan riset lapangan yang dilakukan selama delapan belas bulan di lima provinsi dan data kuantitatif mengenai keadilan dan konflik Survei Pemerintahan dan Desentralisasi, laporan ini mendokumentasikan proses, preferensi, dan praktik dalam upaya penyelesaian masalah melalui sistem peradilan non-negara di Indonesia dan mengidentifikasi inovasi lokal serta regional untuk meningkatkan kinerjanya. Bekerjasama dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA), laporan ini diharapkan bisa menjadi masukan dalam pengembangan cetak biru pembaruan MA pada tahap berikutnya. Ini juga kontribusi kepada Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan yang sedang dikembangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kita berharap bahwa studi ini akan memperluas pemahaman mengenai proses penyelesaian sengketa nonnegara yang bervariasi dan kompleks. Dengan demikian membantu pembuat kebijakan menemukan jalan yang baru untuk membangun membangun sistem hukum dan peradilan yang efektif dan mudah diakses oleh semua warga Indonesia. Joachim von Amsberg Country Director, Indonesia ii

5 Ucapan Terima Kasih Ucapan Terima Kasih Laporan ini adalah produk Unit Pembangunan Sosial, Bank Dunia di Indonesia, dengan dukungan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Ini merupakan hasil kerja tim Justice for the Poor (disingkat Tim Justice) sebagai bagian dari program Otonomi Peradilan Desa (Village Judicial Autonomy). Penelitian ini didasarkan pada sejumlah studi kasus dari sengketa yang dipecahkan melalui kelembagaan di desa di Indonesia, dilengkapi dengan data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi (Governance and Decentralization Survey atau GDS). Penelitian lapangan dilakukan oleh anggota Tim Justice bersama fasilitator lokal di lima provinsi. Fasilitator tersebut adalah Fitriyanti dan Rifai Lubis dari LSM Limpapeh di Sumatera Barat; Agus Hadi dan L. Prima Wira Putra dari Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan di Nusa Tenggara Barat; Yuanita Oktavania dari Universitas Palangkaraya di Kalimantan Tengah; aktivis LSM Bata Peillouw dan Bai Tualeka di Maluku; dan peneliti Zuyyinah dan Novia Cici Anggraini di Jawa Timur. Tim Justice mengucapkan terima kasih kepada seluruh penduduk desa, tokoh masyarakat, pejabat lokal, para pengacara bantuan hukum, wartawan, akademisi, aktivis masyarakat sipil, polisi, jaksa dan hakim yang berpartisipasi pada riset, baik sebagai responden maupun peserta pada lokakarya dan diskusi lanjutan. Ucapan terima kasih secara khusus juga ditujukan kepada Hakim Agung H. Abdurrahman SH. MH., Profesor Rehngena Purba SH MS. dan Prof. Dr. Valerine J.L.K, SH. MA untuk bimbingan dan dukungan di sepanjang studi. Penulis utama laporan ini adalah Matt Stephens dan Samuel Clark. Anggota Tim Justice ikut memberikan kontribusi dan masukan secara tertulis dan lisan serta komentar atas naskah laporan. Lene Ostergaard dan Pieter Evers berkontribusi terhadap keseluruhan kerangka dan pengembangan panduan penelitian lapangan. Laporan dari lima provinsi ditulis oleh Peri Umar Farouk (Nusa Tenggara Barat), Dewi Novirianti (Maluku), Lene Ostergaard (Sumatera Barat), Samuel Clark (Jawa Timur), dan Matt Stephens (Kalimantan Tengah ). Taufik Rinaldi, Bambang Soetono, Megadianty Adam, Matt Zurstrassen, dan Philippa Venning turut memberi komentar dan masukan. Terima kasih juga tertuju kepada Arya Gaduh dan Daan Pattinasarany atas bantuan mereka dengan analisa data GDS. Dr. Sinclair Dinnen dari Australian National University, Professor Julio Faundez dari Universitas Warwick, Steven Golub dari Universitas California di Berkeley, dan Dr. Jaap Timmer dari Leiden University bertindak sebagai reviewer atas naskah laporan. Alexandre Marc ikut mereview dari internal Bank Dunia. Erica Harper dari International Development Law Organization, Patrick Barron, Andrea Woodhouse, dan Pamela Dale juga ikut memberikan komentar. Juliana Wilson, Teguh Nugroho, dan Agni Paramita juga memberi masukan editoral yang berharga. Seluruh tim mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Joel Hellman, Susan Wong, dan Scott Guggenheim untuk dukungan intelektual serta bimbingan untuk menyusun laporan ini dan kepada Program Justice for the Poor. Kami juga menyampaikan penghargaan kepada Bank Dunia-DFID Poverty Reduction Partnership Trust Fund dan Kedutaan Besar Belanda atas dukungan finansialnya. Pertanyaan seputar laporan bisa dialamatkan kepada Matt Stephens gmail.com) dan Samuel Clark iii

6 Daftar Isi Daftar Isi Prakata Ucapan Terima Kasih Daftar Isi Daftar Istilah Ringkasan Eksekutif Pengantar ii iii iv vi vii xiv Bagian I: Pendahuluan 1 A. Pentingnya Peradilan Non-Negara di Indonesia 2 B. Pendekatan Kebijakan Pemerintah Terhadap Non-State Justice di Indonesia 4 C. Menemukan Titik Keseimbangan 6 D. Metodologi 8 Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa 11 A. Peradilan Non-Negara dalam Praktek: Tipologi Sengketa, Pelaku, dan Institusi 12 B. Prosedur, Norma, Sanksi dan Pendorong Penyelesaian Sengketa 19 C. Persinggungan antara Peradilan Formal dan Informal 30 Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara 37 A. Kekuatan: Mengapa Orang-orang Lebih Memilih Peradilan Non-negara? 38 B. Kelemahan: Ketika Mekanisme Peradilan Informal Gagal 41 Bagian IV: Kesimpulan dan Saran 57 A. Kesimpulan 57 B. Saran-saran 63 Lampiran 71 Daftar Bacaan dan Sumber Informasi 82 iv

7 Daftar Isi Gambar Gambar 1: Sengketa yang dilaporkan terjadi di desa responden selama dua tahun terakhir 13 Gambar 2: Pengalaman responden dengan pengadilan, pemahaman soal hak hukum, dan kepercayaan terhadap pengadilan 14 Gambar 3: Pelaku Peradilan Informal dan formal yang biasa menyelesaikan sengketa 15 Gambar 4: Struktur Organisasil Majelis Adat di Desa Pelau, Kabupaten Maluku Tengah 18 Gambar 5: Penyelesaian kasus perkelahian di pasar 20 Gambar 6: Kepuasan dengan pelaku formal dan informal 39 Gambar 7: Kepercayaan terhadap tetangga dekat dan desa-desa sekitar 48 Tabel Tabel 1: Konflik regional berdasarkan jenis konflik viii Tabel 2: Konflik regional berdasarkan jenis konflik 13 Tabel 3: Sanksi bagi tindak pidana menurut hukum negara dan hukum adat di lokasi riset terpilih 27 Tabel 4: Kerangka kerja 65 Boks Boks 1: Contoh hukum adat dari Bentek, Nusa Tenggara Barat 24 Boks 2: Contoh perubahan I: Menghadapi kurangnya keterwakilan perempuan dan bias gender melalui pemberdayaan hukum 45 Boks 3: Contoh Perubahan II: Memperjelas norma dan struktur resolusi perselisihan di NTB 51 Boks 4: Contoh-contoh Perubahan III: Meningkatkan kesesuaian antara peradilan formal dan informal dan membangun kapasitas Unit Perantara Peradilan Komunitas Papua Nugini 54 Boks 5: Contoh Perubahan IV: Mendefinisikan Persinggungan Sistem Peradilan Barangay di Filipina. 54 Studi Kasus Studi Kasus 1: Perkelahian di pasar dalam bayangan konflik etnis xiv Studi Kasus 2: Perselisihan antara sepupu di panangguan, Jawa Timur 16 Studi Kasus 3: Perbatasan yang tidak jelas di Desa Souhoku, Pulau Seram, Maluku 17 Studi Kasus 4: Warisan membawa petaka 22 Studi Kasus 5: Penghinaan ketua adat 25 Studi Kasus 6: Reaksi cepat raja dan polisi mencegah kerusuhan meluas di Ruhua 28 Studi Kasus 7: Perkosaan yang diabaikan di Desa Sepa 29 Studi Kasus 8: Gugatan terhadap denda adat yang berat 32 Studi Kasus 9: Perkelahian jalanan di Madura 34 Studi kasus 10 : Perkelahian (baku hantam) diselesaikan dengan cepat 40 Studi Kasus 11: Lahan Bu Marnis dijual saudara laki-lakinya: Sumpur, Sumatera Barat 43 Studi Kasus 12: Itu cuma kelebihan nafsu 44 Studi Kasus 13: Konflik antara Etnis Batak dan Minang di Kinali 46 Studi Kasus 14: Tembok berlinnya Lombok: Karang Genteng vs Patemon 49 Studi Kasus 15: Pertambangan Sari Gunung menciptakan Kekacauan 50 Studi Kasus 16: Penusukan di Kota Resolusi Dua Jalur 52 v

8 Daftar Istilah Daftar Istilah Awig-awig BJS Bundo Kanduang Carok Damang Datuk GDS Grosok KAN KDRT Kyai LAN Let Adat Mamak Marga Nagari Negeri Ninik Mamak Raja Saniri Negeri Santet Sasi Soa Tua Biroko Tuan Guru Aturan hukum adat (Lombok, Nusa Tenggara Barat) Barangay Justice System - Sistem Peradilan Barangay (di Filipina) Dewan adat perempuan, tidak termasuk dalam KAN (Sumatera Barat) Pertarungan kekerasan fisik sampai mati (Madura, Jawa Timur) Pemimpin adat (Kalimantan Tengah) Gelar adat turun-temurun yang diwariskan melalui garis matrimonial (garis ibu), namun hanya untuk pria (Sumatera Barat) Governance and Decentralization Survey - Survei Pemerintahan dan Desentralisasi Endapan lumpur atau kepingan sisa-sisa pertambangan kapur Kerapatan Adat Nagari -- Dewan Adat Nagari (Sumatera Barat) Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tokoh agama (Islam) di Jawa Timur dan Jawa Tengah, di Jawa Barat disebut Ajengan, di Sumatera Barat disebut Buya, di Nusa Tenggara Barat disebut Tuan Guru Lembaga Adat Nagari -- Dewan Adat Nagari. Sama seperti KAN, namun penggunaan istilah ini tergantung pada masing-masing Nagari Perangkat Adat (Kalimantan Tengah) Paman dari garis keturunan ibu (Sumatera Barat) Kelompok kaum/keturunan/keluarga (Maluku) Kelompok kecil adat berdasarkan wilayah atau desa (Sumatera Barat) Unit pemerintahan terendah setingkat dengan desa (Maluku) Garis keturunan tertua yang memegang gelar keturunan (Sumatera Barat) Di Maluku berarti pemimpin desa/pemimpin adat Perangkat dewan adat (di Maluku) Ilmu hitam Sanksi-sanksi berdasar adat, terkait upaya pemeliharaan lingkungan (Maluku) Kelompok suku/marga/kaum di Maluku Pengurus adat yang menyediakan informasi kepada masyarakat (Maluku) Tokoh/pimpinan agama Islam, biasanya mengasuh pesantren (NTB) vi

9 Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan proses peradilan non-negara (non-state justice) di tingkat desa, dengan fokus utama pada inklusifitas sosial dan perspektif dari pihak-pihak yang terpinggirkan. Laporan ini juga dimaksudkan untuk memahami dinamika perubahan di masyarakat dan bagaimana menerjemahkannya dalam sebuah kerangka kerja yang mempertahankan kekuatan dan mengatasi kelemahan peradilan non-negara. Laporan ini terdiri dari 34 kajian kasus etnografi yang dikumpulkan dari lima provinsi di Indonesia selama lebih dari 18 bulan, serta data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi Hal ini merupakan masalah krusial bagi agenda pembangunan Indonesia. Sistem peradilan yang berjalan baik merupakan faktor penting dalam menjaga ketertiban sosial dan untuk menjamin kepastian hukum yang mendasari pertumbuhan ekonomi, serta memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat miskin. Kesimpulan utama Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. Peradilan informal merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin. Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi. Namun juga memiliki kelemahan yang signifikan. Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks, dan ada keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak di atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal, serta dikombinasikan dengan tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas, bisa menciptakan kesewenang-wenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang menentukan proses dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa. Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. Sistem politik dan demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagai pihak di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan inklusif. Kelompok masyarakat pro-reformis ini layak didukung. Kenyataan keadilan di Indonesia dijalankan bukan di ruang sidang di kota-kota besar, tapi di balai desa di penjuru nusantara. Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah peradilan non-negara merupakan bentuk utama dalam penyelesaian sengketa. Dalam konteks Indonesia, peradilan non-negara atau peradilan informal pada dasarnya adalah penyelesaian sengketa di-tingkat lokal arbitrase dan mediasi yang dilakukan oleh kepala desa, para pemuka adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama kadang-kadang didasarkan pada tradisi, namun sering pula hanya berdasarkan pertimbangan subyektif para pemimpin warga tanpa dasar yang jelas atau mengacu kepada hukum negara maupun hukum adat. vii

10 Ringkasan Eksekutif Pesan penting kedua adalah bagaimana berjalannya non-state justice akan sangat berdampak pada stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini, jenis sengketa yang paling sering dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah tindak pidana, sengketa tanah, kekerasan dalam rumah tangga, warisan, perkawinan, dan perceraian. Individu dan komunitas yang tidak mampu menyelesaikan sengketa tersebut mengalami dampak sosio-ekonomi yang besar. Efektivitas peradilan informal menentukan apakah suatu konflik bisa diselesaikan secara damai atau justru berkembang mengarah pada kekerasan. Konflik lahan seringkali tercatat sebagai masalah yang paling sulit dipecahkan dan yang paling mungkin memicu kekerasan. Tabel 1: Konflik regional berdasarkan jenis konflik Tipe Konflik Indonesia Sumatera Jawa/Bali Kalimantan Sulawesi NTB/NTT Maluku Pidana Umum 16.4% 15.6% 16.0% 10.9% 16.9% 24.2% 18.6% Sengketa Tanah/Gedung 13.3% 9.6% 9.2% 14.2% 17.5% 23.3% 19.5% Perselisihan Keluarga 10.9% 8.3% 11.0% 8.0% 9.8% 17.3% 15.3% Penyalahgunaan Wewenang 2.8% 1.7% 3.0% 2.4% 2.3% 4.0% 4.8% KDRT 7.6% 5.1% 6.2% 5.2% 4.1% 13.8% 19.8% Sengketa Pemilu 3.2% 1.3% 4.2% 1.8% 2.0% 2.6% 8.8% SARA 2.0% 1.2% 1.7% 1.2% 3.4% 1.9% 3.9% Secara keseluruhan, penyelesaian perselisihan informal bukan merupakan suatu sistem yang menyeluruh dan koheren, namun merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang berpengaruh. Di beberapa lokasi penelitian, majelis adat setempat dengan struktur dan norma yang jelas sudah terbentuk. Akan tetapi, secara umum lebih sering dijumpai proses tersebut yang dijalankan oleh para kepala desa atau para pemimpin agama setempat yang berpengaruh. Mereka biasanya menyelesaikan sengketa berdasarkan konsep keadilan lokal, atau pemikiran subyektif atas apa yang dianggap pantas, tanpa mengacu kepada hukum negara, agama atau adat. Pada kenyataannya, norma sosial dan kekuasaan yang biasanya menentukan hasil penyelesaian perselisihan di tingkat lokal. Jadi, pada umumnya peradilan non-negara merupakan suatu lingkungan tanpa hukum ( delegalized environment ). Hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fleksibel. Tetapi tanpa ada struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang yang sangat luas. Dimana norma sosial yang dominan, hubungan sosial dan relasi kuasa akan menjadi faktor penentu. Akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berkuasa melewati jalan yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi jalan yang penuh hambatan. Pemulihan harmoni masyarakat merupakan tujuan utama yang melandasi penyelesaian sengketa oleh peradilan non-negara. Akan tetapi, tujuan untuk mempertahankan kerukunan sering disalahgunakan, menjadi diartikan sama dengan upaya untuk menjaga status quo. Pencapaian keharmonisan lebih mengutamakan hubungan komunal, dengan mengorbankan hak asasi dan keadilan individu. Sebaliknya, sistem peradilan formal sering mengutamakan keadilan pribadi diatas kepentingan bersama. Keadaan ini menciptakan kondisi dimana ketika mencari keadilan baik kepentingan individu ataupun kelompok, sama-sama tidak terlayani dengan baik. Tujuan untuk mempertahankan harmoni juga melandasi sanksi yang dikenakan oleh sistem non-state justice. Sanksi untuk sengketa pidana maupun perdata biasanya diukur dengan uang, menggabungkan unsur hukuman dengan ganti rugi atas kerugian materiil. Penelitian di lapangan juga menemukan beberapa kejadian hukuman fisik, termasuk cambukan dan pemukulan, yang secara hukum di luar wewenang para pelaku nonstate justice. viii

11 Ringkasan Eksekutif Kekuatan dan Kelemahan Untuk sebagian besar kasus kecil dan ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan efektif. Dari empat belas kasus kecil yang tercatat dalam penelitian ini, sebelas kasus diselesaikan tanpa kesulitan. Secara keseluruhan, peradilan non-negara populer, mencerminkan kekuatannya. Para pelaku non-state justice memiliki legitimasi dan otoritas lokal, yang tidak selalu dimiliki oleh para hakim dan polisi. Masyarakat mencari bantuan dari para aktor non-state justice justru karena mereka memiliki legitimasi sosial di lingkungan kampung. Lagipula, prosedur dan substansinya sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan kerukunan. Tujuannya bersifat menghindari konflik dan bersifat restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan sangat murah. Sifat-sifat tersebut sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama lain secara ekonomi dan sosial. Akibatnya masyarakat puas dengan para pelaku peradilan informal 69 persen responden menyatakan kepuasannya pada aktor non-state justice dibandingkan dengan 58 persen responden puas dengan pelaku peradilan formal. Akan tetapi, penelitian ini menemukan beberapa kekurangan yang signifikan dalam sistem peradilan non-negara. Ketika kasus yang dihadapi semakin rumit, pihak dari luar desa turut campur tangan atau ketika kepentingan perempuan yang dipertaruhkan, peradilan informal mulai terpecah. Tidak adanya norma dan struktur yang jelas dan tidak adanya pertanggungjawaban keatas maupun kebawah mengakibatkan terjadinya kesewenang-wenangan. Hal yang mendasari kekuatan peradilan informal adalah otoritas sosial, namun pelaksanaannya tanpa kontrol sekaligus merupakan kelemahan terbesarnya. Kelemahan tersebut biasanya dieksploitasi oleh pihak yang kuat sehingga merugikan pihak yang lemah. Perempuan kurang terwakili dalam lembaga penyelesaian sengketa di pedesaan. Dari dua pelaku peradilan informal yang paling populer kepala desa dan kepala dusun hanya 3 persen dan 1 persen perempuan. Oleh karena itu, masalah hukum yang menyangkut kepentingan perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi secara serius. Persengketaan antar etnis sulit untuk dipecahkan. Khususnya dalam mekanisme tradisional berbasis adat, pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu merupakan kaum elit dari suku asli setempat. Kelompok minoritas, terutama di daerah pasca konflik, secara konsisten cenderung memilih pengadilan formal, karena dinilai relatif netral dan tidak mengandung prasangka. Sengketa antar kelompok masyarakat juga merupakan masalah yang berat.. Para aktor non-state justice jarang mampu menerapkan kewenganan mereka melampaui batas wilayah atau sosial. Dalam kasus yang diteliti, lembaga desa tidak mampu memecahkan sengketa dimana perusahaan swasta yang sering didukung oleh pemerintah turut terlibat. Kasus-kasus ini biasanya mengenai hak atas tanah dan kekayaan di dalamnya, yang terbukti secara konsisten paling sulit dipecahkan. Ketidakberdayaan ini dapat memicu konflik horizontal di tingkat desa. Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan dengan kewenangan yurisdiksi, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kemungkinan penyalahgunaan dan manipulasi. Polisi menentukan dan memilih apakah akan melakukan mediasi atau penuntutan atas suatu kasus, tanpa prosedur resmi. Pengadilan wajib mempertimbangkan hasil penyelesaian ix

12 Ringkasan Eksekutif sengketa informal, akan tetapi hakim sering mengabaikan kewajiban ini atau bingung tentang yang mana yang merupakan proses hukum lokal yang sah dan yang tidak. Ketidakpastian tersebut membuat pihak yang lemah dan tidak berpendidikan, yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami atau bergerak di antara beberapa sistem rentan dieksploitasi. Kegagalan dalam mendefinisikan persinggungan tersebut juga berarti bahwa para pelaku non-state justice seringkali memediasikan tindak pidana berat, seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Hal ini sering dilakukan dengan persetujuan atau dukungan dari pihak kepolisian setempat. Kesenjangan Kebijakan Meskipun pentingnya untuk menjaga stabilitas sosial dan kesejahteraan ekonomi serta kepopulerannya di tingkat lokal, peradilan non-negara sangat diabaikan oleh pembuat kebijakan. Program reformasi hukum dan peradilan dari pemerintah dan donor hampir selalu hanya memperhatikan lembaga negara. Cetak Biru Mahkamah Agung dan program reformasi Kejaksaan Agung, berbagai macam komisi tingkat nasional yang baru dibentuk, dan upaya reformasi hukum nasional didukung oleh bantuan donor sebesar lebih dari $60 juta untuk meningkatkan kualitas keadilan di Indonesia. Prakarsa tersebut penting, akan tetapi mengingat bahwa sebagian besar orang Indonesia tergantung pada peradilan informal, kebijakan dan upaya reformasi hukum harus memberikan fokus yang seimbang terhadap sistem tersebut. Sebuah strategi reformasi hukum yang menyeluruh harus menyoroti peradilan informal apabila strategi tersebut ingin mencakup sistem yang merupakan satu-satunya pengalaman keadilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pemerintah saat ini kurang memperhatikan masalah ini. Kebijakan dan peraturan perundang-undangan pemerintah pusat penuh dengan pernyataan umum tentang pentingnya mengakui dan mendukung kewenangan lembaga desa untuk menyelesaikan sengketa. Namun, pernyataan tersebut memerlukan penjelasan tambahan agar menjadi berarti. Pemerintah kota/kabupaten memiliki peluang dengan adanya otonomi daerah. Proses desentralisasi telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur bentuk dan struktur pemerintahan desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal tersebut memungkinkan terbentuknya struktur baru untuk mengatasi konflik antar etnis, meningkatkan keterwakilan perempuan, dan mengatasi sengketa antar masyarakat. Akan tetapi, tidak ditemukan contoh pengaturan kembali atas lembaga tersebut selama penelitian lapangan. Faktanya, di Sumatera Barat, Maluku, dan Kalimantan Tengah, kewenangan tersebut telah digunakan untuk menghidupkan kembali struktur pemerintahan berdasarkan hukum adat. Upaya untuk kembali ke cara lama dimaknai untuk menegaskan kembali identitas budaya asli. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaktifan kembali lembaga adat kemungkinan tidak akan dapat mengatasi masalah utama yang telah diidentifikasi terkait kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan kaum minoritas. Beberapa unsur masyarakat madani mendesak diadakannya pengakuan menyeluruh atas mekanisme peradilan informal. Akan tetapi, desakan tersebut mengabaikan tidak adanya standar minimum, tidak adanya pengawasan dan kelemahan mendasar dalam pelaksanaan peradilan informal yang telah diidentifikasi dalam peneilitian ini. x

13 Ringkasan Eksekutif Peluang untuk Perubahan Otonomi daerah merupakan sebuah peluang untuk perubahan. Meskipun tidak ditemukan contoh reformasi yang substantif di tingkat daerah, perbincangan dengan ratusan pejabat pemerintah, anggota parlemen, aktivis, pemuka desa dan anggota masyarakat biasa selama pelaksanaan penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pihak-pihak yang mendukung perubahan. Pihak-pihak tersebut dapat dan harus didukung untuk mengadvokasikan peraturan daerah yang mendukung sistem peradilan informal yang lebih inklusif dan akuntabel. Perubahan yang inovatif di tingkat akar rumput telah teridentifikasi. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi dalam meningkatkan kesadaran hukum dan mobilisasi masyarakat untuk mengubah prosedur dan struktur adat. Persatuan desa Perekat Ombara di Lombok Barat memiliki pandangan yang progresif tentang adat yang mengakui bahwa adat istiadat setempat perlu beradaptasi dengan realitas modern, termasuk keterwakilan perempuan. Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah terbukti membuka berbagai pilihan dan membuat sistem formal lebih mudah diakses oleh semua pihak. Dengan mengurangi monopoli para pelaku peradilan non-negara, kesadaran akan hak dapat memberdayakan pihak yang terpinggirkan untuk mendapatkan keadilan yang lebih baik. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa prakarsa pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput juga dapat mendorong upaya reformasi institusional yang sistematik. Rekomendasi Pentingnya peradilan informal berarti bahwa strategi yang menyeluruh untuk mendukung penegakan hukum di Indonesia harus mempertimbangkan hal-hal di luar pengadilan. Strategi reformasi hukum dan peradilan yang berbasis pada pengacara, litigasi dan institusi formal semata tidak menjangkau masyarakat miskin di pedesaan. Namun demikian, merancang suatu strategi menyeluruh terhambat oleh banyaknya ragam pelaku, lembaga dan proses yang terlibat. Upaya pembaharuan tersebut kemungkinan betentangan dengan norma sosial dan struktur kekuasaan yang telah baku dan norma tersebut tidak dapat dengan mudah dihapuskan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan atau pernyataan kebijakan baru. Memang dapat dikatakan bahwa begitu rumitnya peradilan informal sehingga seolah-olah tidak ada yang dapat dilakukan. Terdapat dua alasan pembenar untuk menerapkan pendekatan tidak melakukan apaapa. Pertama, memberikan dukungan kepada peradilan non-negara akan hanya memberikan peradilan yang buruk bagi masyarakat miskin. Dengan demikian, sumberdaya harus diarahkan untuk menjadikan sistem formal berjalan lebih efektif. Alasan kedua adalah bahwa peradilan informal terlalu rumit dan melekat secara sosial dan oleh karena itu bukan sasaran yang tepat untuk kegiatan intervensi dari pihak luar. Pihak lainnya memiliki sikap yang berbeda, dengan beranggapan bahwa praktik lokal merupakan hal yang ideal dan mendesak adanya pengakuan menyeluruh dari negara atas mekanisme peradilan informal. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, karena mengabaikan tidak adanya standar minimum dan tidak adanya pengawasan efektif, yang diidentifikasikan sebagai suatu kelemahan dalam studi ini. Di tengah-tengah, terdapat sudut pandang yang lebih realistis; sebuah titik keseimbangan. Peradilan informal merupakan cara utama untuk menyelesaikan sengketa. Peradilan informal telah terbukti sangat andal. Oleh karena itu, sistem informal seharusnya menjadi unsur penting yang dipertimbangkan dalam setiap program yang mendukung penegakan hukum. Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa masalah yang serius terkait dengan peradilan informal yang perlu ditangani oleh pemerintah dan masyarakat madani. xi

14 Ringkasan Eksekutif Laporan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membangun titik keseimbangan antara praktik peradilan non-negara yang berlaku saat ini dan sistem peradilan formal. Pendekatan ini berupaya untuk mengawinkan aksesibilitas sosial, kewenangan dan legitimasi proses hukum informal dengan akuntabilitas kepada masyarakat dan negara. Titik keseimbangan ini berupaya untuk mengakomodasikan berbagai konteks sosial budaya, adat istiadat dan kebiasaan namun secara bersamaan menetapkan prinsip umum untuk melindungi pihak yang terpinggirkan. Dengan berdasar pada UUD 1945, prinsip tersebut antara lain adalah: (i) keterwakilan dengan basis yang luas; (ii) pertanggungjawaban publik dan transparansi; (iii) anti-diskriminasi; (iv) kesetaraan di depan hukum; dan (v) kebebasan dari penyiksaan. Rekomendasi tersebut tidak bertujuan untuk menciptakan peradilan informal yang ideal atau sempurna, tetapi untuk mengatasi dua kelemahan utama: (i) mengatasi kesewenang-wenangan dan menyeimbangkan otoritas sosial dengan akuntabilitas sosial; dan (ii) meningkatkan kinerja peradilan non-negara dalam melayani perempuan dan kelompok minoritas. Pembentukan titik keseimbangan tersebut memerlukan gabungan perubahan di tingkat kebijakan, peraturan perundang-undangan dan akar rumput. Perubahan tersebut harus memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelaksanaan peradilan dan menetapkan standar minimum yang jelas melalui reformasi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tindakan yang direkomendasikan terdiri atas empat tingkatan. 1. Pertama, lakukan kegiatan di tingkat akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi. 2. Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di tingkat menengah untuk mengembangkan kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal. 3. Prioritas ketiga di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka pilihan dan memperluas bayangan hukum. 4. Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah perubahan kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i) pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif sehingga sesuai dengan standar konstitusi. xii

15 Ringkasan Eksekutif Prioritas tersebut dituangkan dalam tabel di bawah ini. Tingkat Akar Rumput/ Masyarakat Lembaga Desa dan Pelaku Peradilan informal Tingkat Kabupaten/Kota Tingkat Nasional Tindakan Prioritas Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh masyarakat Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan nonnegara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional Mendukung klarifikasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifikasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a vis pengadilan Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas) di Departemen Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini). Rekomendasi dalam laporan ini mengkerangkakan sebuah kerangka kerja yang pragmatis untuk mencapai perubahan mendasar yang dapat secara bertahap meningkatkan keadilan bagi pihak yang terpinggirkan. Berbagai elemen dari kerangka kerja tersebut akan dapat diberlakukan hanya di beberapa lokasi saja, sehingga tindakan harus disesuaikan dengan kondisi setempat dan didasarkan pada kenyataan yang ada. Rekomendasi yang luas yang telah diidentifikasi disini dapat melengkapi reformasi tingkat nasional dengan cara memfokuskan bantuan pada tingkat yang paling membutuhkannya, sehingga memungkinkan masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk menyelesaikan sengketa mereka dan mendukung upaya reformasi Indonesia. xiii

16 Pengantar Pengantar Studi Kasus 1: Perkelahian di pasar dalam bayangan konflik etnis Marhat adalah seorang penjual ikan yang sukses di Pasar Induk Kuala Kapuas, di tepi sungai Kapuas, Kalimantan Tengah. Dia besar di daerah tersebut, tapi berasal dari suku Banjar. Kombit adalah seorang petugas di pasar dan berasal dari suku Dayak. Upah dari pekerjaannya rendah dan dia hidup bersama keluarganya di komplek perumahan sederhana di daerah pinggiran kota. Kombit dan Marhat memiliki hubungan yang tidak baik. Dalam beberapa kesempatan, Kombit telah memperingatkan Marhat untuk berhenti berdagang di wilayah terlarang di pasar tersebut. Kesal dengan peringatan tersebut, suatu hari Marhat membentak dan mendorong jatuh Kombit. Mereka berkelahi dan melukai lengan Kombit. Kombit melaporkan kejadian itu ke atasannya, Ramses, yang kemudian melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Ramses khawatir bahwa peristiwa itu diantara dua pihak yang berbeda suku. Dia tahu beberapa stafnya terlibat dalam konflik etnis di Kalimantan Tengah yang memakan ribuan korban di tahun 2001 dan oleh karena itu, penting menangani kekerasan antaretnis di pasar dengan tegas. Dia mengamati bahwa kejadian di tahun 2001 itu merupakan akibat serangkaian sengketa kecil yang tidak terselesaikan; yang perlahan-lahan meledak. Ramses dan Kombit memilih untuk menyelesaikan masalah dengan mendatangi polisi, karena seperti kata Ramses, hukum polisi lebih dikenal disini...damang [tokoh adat] tidak terlalu berwibawa di daerah ini. Segera setelah kasus tersebut dilaporkan, Kombit dan Marhat dipanggil polisi untuk memberikan kesaksian. Penyelidikan berjalan berbulan-bulan, karena Marhat menyuap polisi untuk menutup kasus. Setelah beberapa waktu, Marhat melihat Kombit tetap berupaya menyelesaikan kasus dan dia minta kasus ditarik dan diserahkan kepada damang. Akhirnya Marhat berhasil meyakinkan Kombit dan Ramses akan penyesalannya yang dalam dan keinginannya untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan di luar pengadilan. Beberapa teman Marhat dari PERKEBAN (Asosiasi Masyarakat Suku Banjar) juga mengancam Kombit dengan kekerasan jika dia tidak menarik tuntutan di polisi. Karena faktor tersebut dan ditambah dengan frustasi terhadap lamanya proses hukum, Kombit dan Ramses setuju untuk menyerahkan kasus tersebut pada damang. Ramses secara khusus merasa tidak mempunyai pilihan lain. Secara hukum nasional, saya tidak puas, katanya. Setelah proses pengumpulan data dan pertimbangan yang dalam dengan Dewan Adat, Damang memutuskan total kompensasi dan denda sebesar Rp. 6 juta, termasuk biaya kasus Rp Kedua pihak menandatangani persetujuan ini, tapi Marhat hanya membayar Rp.1,5 juta. Tidak ada tindak lanjut untuk memenuhi persetujuan. Damang hanya bersikap pasif. Bagaimana bisa saya menyelesaikannya? ujarnya. Kombit tidak puas, tapi seperti kata Ramses, dianggap lunas saja. Kasus ini menunjukkan masalah yang biasa dihadapi rakyat Indonesia ketika berupaya menyelesaikan masalah hukum. Sekilas masalah ini terlihat sederhana, tapi penyelidikan mendalam membuktikan adanya penyuapan, intimidasi, kelambanan polisi dan bayangan kekerasan suku. Proses resolusi bolak-balik antara pelaku keadilan formal dan informal, dan ketika penyelesaian telah didapat, pelaku penyelesaian sengketa tidak memiliki keinginan atau kemampuan untuk menegakkan perjanjian perdamaian. Terpaksa mengikuti proses yang tidak diinginkan, resolusi hanya menyebabkan pihak yang lemah kecewa, sehingga sangat memungkinkan masalah ini akan terjadi lagi. Ketika akses terhadap keadilan menjadi sangat penting untuk kerukunan sosial dan kesejahteraan masyarakat, tindakan apa yang harus dilakukan untuk menangani kelemahan dan mengatasi ketidaksamaan yang ada? Melalui penyelidikan konteks sosial dan politik, studi kasus dan pengumpulan data survei, laporan ini mempertimbangkan masalah tersebut dan berusaha mengajukan beberapa solusi. xiv

17 Bagian I: Pendahuluan Foto : Taufik Rinaldi Bagian I: Pendahuluan [ Negara ] adalah korup terpisah dan jauh dari masyarakat, yang melihat, tanpa adanya alternatif yang dapat berjalan, ke cara lama yang menjamin keberlangsungan. Namun cara lama bukan seperti dahulu lagi, dilemahkan oleh migrasi tenaga kerja, industrialisasi parsial, urbanisasi dan lebih umum lagi oleh kapitalisme. H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World 1 Jika kita mengetahui bagaimana memanfaatkan aspek positif dari keadilan tradisional dan mengidentifikasi kelemahannya sebagai mekanisme dengan nilai-nilainya, keadilan tradisional (dengan kata lain, keadilan yang diterapkan masyarakat) akan memainkan peranan penting dalam mencegah masalah kecil berkembang menjadi konflik besar, termasuk konflik dalam keluarga atau didalam dusun diantara satu dengan yang lain 12 Xanana Gusmao, Perdana Menteri Timor Leste 2 Berfungsinya sistem peradilan dengan baik sangat penting dalam memelihara ketertiban sosial, menjamin kepastian hukum yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan untuk memajukan dan memberikan perlindungan hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat 1 H. Patrick Glenn ( 2000) Legal Traditions of the World, Oxford: Oxford University Press, hal Jose Kay Rala Xanana Gusmao, Pidato Pembukaan Presiden, yang disampaikan pada saat Konferensi Internasional Penyelesaian Konflik Tradisional dan Keadilan Tradisional di Timor-Leste, Dili, 27 Juni

18 Bagian I: Pendahuluan miskin. Warga negara merasa sektor keadilan berjalan lambat, korup dan berjarak. 3 Pemerintah sendiri mengakui adanya kelemahan tersistem. 4 Upaya pembaharuan hukum untuk mengatasi kelemahan tersebut sudah cukup kuat dalam mendiagnosa tetapi lamban dalam perkembangannya. Tetapi penciptaan keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara secara eksklusif. Kebanyakan orang Indonesia mencari penyelesaian masalah hukum mereka melalui sektor informal atau sistem keadilan nonnegara. Keadilan non-negara sering dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa, tapi dalam kenyataannya merupakan media utama bagi sebagian besar warga miskin. Barangkali sebanyak 90 persen dari perselisihan ditangani oleh insititusi non-negara. 5 Dalam konteks Indonesia, peradilan non-negara adalah penyelesaian perselisihan di tingkat lokal arbitrasi dan mediasi yang dilakukan oleh kepala desa, pemimpin adat, tokoh masyarakat dan pemuka agama, terkadang berdasarkan tradisi, namun tidak jarang perselisihan ini diselesaikan secara subyektif oleh pemimpin komunitas tanpa mengacu kepada hukum negara atau hukum adat. Untuk kepentingan laporan ini, peradilan non-negara atau peradilan informal didefinisikan sebagai semua bentuk penyelesaian sengketa di luar proses ajudikasi pengadilan formal. 6 Ini termasuk sistem hukum adat sebagai salah satu bagiannya. A. Pentingnya Peradilan Non-Negara di Indonesia Seperti digambarkan di kasus yang di atas, peradilan informal penting untuk beberapa alasan. Sebagai alat utama untuk menyelesaikan perselisihan, efektivitasnya menentukan apakah konflik dapat dipecahkan dengan damai atau meledak menjadi kekerasan. Ketika sistem formal lemah dan rentan penyuapan, apabila sistem peradilan non-negara tidak berfungsi, alternatif penyelesaian lain adalah kekerasan atau pengabaian konflik. Hal ini juga bisa mengarah menjadi kekerasan di kemudian hari. 7 Ketidakadilan dan pengabaian konflik atas akses terhadap sumber daya alam selama era Orde Baru merupakan dua diantara beberapa penyebab kekerasan sosial yang 3 Asia Foundation (2001) Citizens Perceptions of the Indonesian Justice Sector, Jakarta: Asia Foundation. Bagan mengenai sistem hukum formal adalah di Lampiran 3. 4 Sebagai contoh, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan yang disampaikan dalam pertemuan Consultative Group on Indonesia pada tanggal 14 Juni 2006, Orang-orang belum melihat keadilan nyata dikarenakan oleh persepsi bahwa lembaga yudikatif yang korup telah merasuk kedalam sistem dan menyebar keseluruh sektor. 5 Lihat Stephen Golub (2003) Beyond Rule of Law Orthodoxy: the Legal Empowerment Alternative, Working Paper No. 14, Carnegie Endowment for International Peace: Washington DC dan Chidi Anselm Odinkalu (2005) Poor Justice or Justice for the Poor? A View from Africa, yang dipresentasikan pada World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember Menurut Asia Foundation (2001), di atas n.3, dari orang Indonesia yang telah benar-benar mengalami sebuah persengketaan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, 57 persen mengejar penyelesaian di luar sistem formal, 18 persen menggunakan sistem formal dan 32 persen tidak melakukan apapun. Keseganan terhadap litigasi juga merupakan hal yang umum di negara-negara maju. Di Australia, sebagai contoh, hanya 6 persen dari sengketa komersiil yang sampai di pengadilan: Australian Law Reform Commission (1998), Issues Paper 25, Review of the Adversarial System of Litigation, Canberra: Commonwealth of Australia. Michelson mengutip riset [yang] menyatakan sekitar 15 persen sengketa di Amerika Serikat, Wales dan Inggris masuk kedalam sistem hukum formal: Ethan Michelson ( 2007) Climbing the Dispute Pagoda: Grievances and Appeals to the Official Justice System in Rural China. 72 American Sociological Review 459, Ini tidak menunjukkan bahwa ada perbedaan yang jelas antara sistem negara dan peradilan non-negara atau formal dan informal. Beberapa proses informal juga mengikuti proses formal dan dapat melibatkan anggota-anggota aparat negara (terutama polisi dan pegawai pemerintah daerah). Lagipula, penyelesaian sengketa informal kadang-kadang mempergunakan peraturan dan sumber yang lain dari sistem hukum formal. 7 Pengabaian konflik di permukaan tampak tenang dan damai, namun ada gunung berapi yang tersembunyi dibawah permukaan. Thomas Zitelmann (2005) The Cambodian Conflict Structure. Conflict about land in a wider perspective. GTZ: Phnom Penh. 2

19 Bagian I: Pendahuluan terjadi di Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah lain di Indonesia pada masa setelah reformasi. 8 Penyelesaian masalah yang efektif juga sangat krusial bagi kesejahteraan masyarakat miskin. Laporan ini meneliti sejumlah kasus yang menggarisbawahi hubungan antara keadilan dengan kemiskinan keluarga di pedesaan secara melanggar hukum diambil lahannya oleh perusahaan perkebunan di Sumatera Barat; anak yang diadopsi yang tidak diberikan warisan di Jawa Timur; perempuan yang bercerai tidak bisa mendapatkan haknya atas harta gono-gini di Kalimantan Tengah. Semuanya tergantung pada sistem keadilan informal untuk menjamin hak ekonominya. Kegagalan yang terjadi pada kasus-kasus tersebut membuat mereka harus menghadapi kenyataan terpinggirkan secara ekonomi dan sosial. Popularitas keadilan non-negara adalah respon alami atas ketidakmampuan negara memenuhi permintaan masyarakat untuk mendapatkan keadilan. 9 Tapi itu juga merefleksikan karakteristik di dalamnya yang justru cocok dengan kondisi lokal. Peradilan non-negara melekat dalam realitas politik dan sosial di tingkat lokal. Pelaksana keadilan di luar negara mempunyai legitimasi dan otoritas yang tidak selalu dimiliki oleh polisi atau hakim. Prosedur dan substansi sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan pentingnya harmoni. Tujuannya bersifat menghindari konflik dan restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan sangat murah. Sifat-sifat tersebut sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama lain secara ekonomi dan sosial. Tetapi ada masalah dengan praktik non-state justice pada saat ini. Yang paling mendasar, peradilan informal mengabaikan kepentingan kelompok minoritas dan perempuan. Banyak pelaku peradilan non-negara di tingkat desa kurang mampu menyelesaikan masalah. Ketidakseimbangan kekuasaan menghalangi perlakuan yang sama dan mengakibatkan pihak yang lemah sering terpaksa menerima penyelesaian yang tidak diinginkan atau tidak mampu menerapkan putusan yang telah disepakati. Hal ini menyebabkan banyak konflik yang hanya diselesaikan secara parsial, dengan kemungkinan bisa muncul lagi dalam bentuk kekerasan. Lagipula, persinggungan yang kurang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan dengan yurisdiksi kewenangan masing-masing, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka peluang terjadinya manipulasi dalam menyelesaikan konflik. Oleh karena itu, terlihat adalah, meskipun diluar kewenangannya kasus pidana berat dapat dimediasikannya pada tingkat lokal, bahkan seringkali justru memperkuat struktur kekuasaan yang ada diatas tercapainya keadilan untuk para korban. Namun, meski non-state justice sangat penting untuk stabilitas, keamanan dan kesejahteraan warga miskin, sangat mengagetkan ketika tidak banyak dokumentasi mengenai bagaimana masyarakat menggunakan sistem peradilan informal untuk mencari keadilan di Indonesia. Bahkan sedikit kebijakan pemerintah yang ada yang dimaksudkan untuk membuat sistem ini lebih adil dan inklusif secara sosial. Hal ini apabila dibandingkan dengan program reformasi hukum dan peradilan pemerintah dan lembaga donor yang lebih terfokus pada institusi negara. Ini terjadi karena pengadilan, kejaksaan dan kepolisian lebih mudah dilihat, dijangkau dan dimengerti. Paling tidak untuk organisasi donor, lembaga ini juga jauh lebih dikenal. Ini juga disebabkan cara kerja peradilan non-negara kurang dipahami. Perumusan kebijakan yang tepat untuk keadilan informal sangat kompleks karena diversitas institusi, norma dan proses dalam sistem tersebut. Sehingga, strategi komprehensif untuk reformasi hukum dan peradilan harus mengangkat peradilan non-negara apabila 8 Pada puncaknya, konflik sosial mempengaruhi 7 dari [pada masa itu] 32 propinsi di Indonesia. Menurut pengamatan Jakarta Post, Konflik antar suku di Maluku berakar dari pemerintahan yang lemah, kesenjangan antara rakyat kaya dan miskin yang semakin merenggang, dan ketidakadilan. Jakarta Post, Maluku, Kalimantan Strife Lingering, 1 May Untuk informasi tambahan, lihat International Crisis Group (2001) Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan, Asia Report No 19; dan International Crisis Group (2000) Indonesia s Maluku Crisis: the Issues, Indonesia Briefing Paper, 19 July. 9 Hal ini yang oleh Faundez disebut sebagai pemerintahan yang belum mampu (governance deficit). Lihat Julio Faundez (2006) Should Justice Reform Projects Take Non-State Justice Seriously? Perspectives from Latin America. Makalah dipaparkan di World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember

20 Bagian I: Pendahuluan bercita-cita menjangkau sistem yang menjadi satu-satunya pengalaman keadilan untuk sebagian besar warga Indonesia. Laporan ini bertujuan untuk memberikan kontribusi kecil dalam membantu mengisi kesenjangan informasi dan kebijakan ini. Penelitian ini dilakukan secara eksplisit untuk mengidentifikasi kerangka kerja untuk memperkuat inklusivitas sosial dan efektifitas kerja sistem peradilan non-negara. Secara spesifik, tujuan dari laporan ini adalah: Mendokumentasikan proses, preferensi dan praktik sistem peradilan non-negara di Indonesia, dengan perhatian khusus pada inklusifitas sosial dari proses ini dengan fokus pada pengalaman kelompok minoritas dan perempuan Meneliti prakarsa dan inovasi lokal untuk pembaharuan peradilan non-negara Mengembangkan sebuah kerangka kerja yang memadukan sistem peradilan non-negara yang menghormati tradisi lokal tetapi didasarkan pada standar Undang Undang Dasar Republik Indonesia Fokus pada inklusifitas sosial berdasarkan asumsi bahwa bias gender merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan; 10 dan bahwa diskriminasi etnis adalah inti dari konflik sosial yang melanda Indonesia sejak jatuhnya rezim Soeharto. Memahami bagaimana peradilan informal mempertahankan bias gender dan diskriminasi etnis dan pada saat yang sama bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi adalah salah satu hasil utama yang diharapkan dari studi ini. B. Pendekatan Kebijakan Pemerintah Terhadap Non-State Justice di Indonesia Sebagaimana yang berlaku di hampir sebagian besar negara berkembang, sistem hukum di Indonesia adalah pluralistik. Yaitu bahwa aturan dan institusi hukum berasal dari dua atau lebih tradisi hukum. Tantangan kebijakan untuk memadukan non-state justice dalam kerangka kerja hukum nasional bukanlah suatu hal yang baru. Bahkan, sepanjang sejarah kolonialisme dan setelah kemerdekaan, pemerintah terus bergulat dengan pertanyaan bagaimana mendekati peradilan informal dan mengakomodasi sistem hukum yang beragam. Ada empat pendekatan umum untuk menjangkau non-state justice. 11 Abolisi adalah ketika negara bersikeras terhadap keseragaman atau penyatuan hukum dan menghapuskan sistem peradilan non-negara. Pendekatan ini sering didasarkan kecenderungan peradilan non-negara bertentangan dengan hak asasi manusia. Pada sisi ekstrim yang lain, penyatuan penuh (full incorporation) adalah pendekatan dimana peradilan non-negara secara penuh terintegrasi dengan sistem hukum negara, dengan peran masing-masing yang jelas. Di bawah pendekatan kemandirian (non-incorporation), komunitas lokal diberikan wewenang untuk menerapkan dan mengikuti nilai, norma dan kebiasaan lokal. Pada pendekatan ini, peradilan formal dan informal berdampingan/ hidup bersama tapi beroperasi secara mandiri, dengan batasan yurisdiksi yang ketat diantara keduanya. Pendekatan ini sering digunakan untuk mengakomodasi hukum tradisional di dalam komunitas masyarakat asli. Terakhir, usaha pendekatan penyatuan parsial (partial incorporation) berusaha untuk menggabungkan keuntungan dan kekurangan dari peradilan formal dan informal. Kedua sistem bekerja secara independen, tetapi sistem keadilan informal mendapat pengakuan, dampingan dan pengawasan dari negara. Model terakhir ini merupakan kompromi antara penyatuan penuh dan kemandirian. 10 Sebagai contoh, diperkirakan bahwa Indonesia mengalami kerugian sebesar $2.4 milyar per tahun, dikarenakan oleh ketidaksetaraan di tempat kerja: lihat Bappenas/World Bank/AusAID/ADB/DFID (2007) Gender in CDD Projects: Implications for PNPM. 11 Connolly, B. (2005) Non-State Justice Systems and the State: Proposals for a Recognition Typology, 38 Connecticut Law Review

Ringkasan Eksekutif. vii

Ringkasan Eksekutif. vii Ringkasan Eksekutif Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan proses peradilan non-negara (non-state justice) di tingkat desa, dengan fokus utama pada inklusifitas sosial dan perspektif

Lebih terperinci

Bagian I: Pendahuluan

Bagian I: Pendahuluan Foto : Taufik Rinaldi Bagian I: [ Negara ] adalah korup terpisah dan jauh dari masyarakat, yang melihat, tanpa adanya alternatif yang dapat berjalan, ke cara lama yang menjamin keberlangsungan. Namun cara

Lebih terperinci

Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran. Bagian IV: A. Kesimpulan

Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran. Bagian IV: A. Kesimpulan Foto : Taufik Rinaldi Bagian IV: Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah mendokumentasikan proses peradilan non-negara di tingkat desa terutama dari segi inklusifitas sosial

Lebih terperinci

Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia

Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia MIGRANT WORKERS ACCESS TO JUSTICE SERIES Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia RINGKASAN EKSEKUTIF Bassina Farbenblum l Eleanor Taylor-Nicholson l Sarah Paoletti Akses

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia XVIII Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (3) Bab I, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan kembali: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Artinya, Negara

Lebih terperinci

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA Oleh: Arrista Trimaya * Naskah diterima: 30 Januari 2015; disetujui: 12 Februari 2015 Menteri

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.170, 2008 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PAPUA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERADILAN ADAT DI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa pemberian Otonomi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental manusia melekat pada setiap orang tanpa kecuali, tidak dapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN AGAMA TUAL TUAL, PEBRUARI 2012 Halaman 1 dari 14 halaman Renstra PA. Tual P a g e KATA PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

- 9 - No. Permasalahan Tujuan Tantangan Indikator Keberhasilan Fokus

- 9 - No. Permasalahan Tujuan Tantangan Indikator Keberhasilan Fokus - 9 - Strategi 1: Penguatan Institusi Pelaksana RANHAM Belum optimalnya institusi pelaksana RANHAM dalam melaksanakan RANHAM. Meningkatkan kapasitas institusi pelaksana RANHAM dalam rangka mendukung dan

Lebih terperinci

Lampu Kuning Negara Hukum Indonesia

Lampu Kuning Negara Hukum Indonesia Ringkasan Eksekutif Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia (Indonesia Rule of Law Perception Index) Indonesian Legal Roundtable 2012 Lampu Kuning Negara Hukum Indonesia Akhir-akhir ini eksistensi Negara

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

Pembangunan dan Perdamaian Berkelanjutan (PPB)

Pembangunan dan Perdamaian Berkelanjutan (PPB) Pembangunan dan Perdamaian Berkelanjutan (PPB) Menuju Dialog Pembangunan untuk Perdamaian 1 Proses PPB: Tinjauan (1) Prakarsa bersama Pemerintah Indonesia, UNDP dan Pemerintah Inggris (DFiD). Dilaksanakan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Majelis Umum, Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 [1] Mengikuti perlunya penerapan secara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia

Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Oleh: Chitrawati Buchori and Lisa Cameron Maret 2006 Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Kemajuan signifikan yang mengarah pada pencapaian keseimbangan

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM BAB III PEMBANGUNAN HUKUM A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang kedua, yaitu mewujudkan supremasi

Lebih terperinci

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1035, 2017 OMBUDSMAN. Laporan. Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian. Pencabutan. PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENERIMAAN,

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

Akses Terhadap Keadilan dalam Rencana Pembangunan Indonesia

Akses Terhadap Keadilan dalam Rencana Pembangunan Indonesia Akses Terhadap Keadilan dalam Rencana Pembangunan Indonesia Tujuan Akses thd Keadilan melindungi dan memperkuat mereka yang miskin, lemah dan tertindas memberi mereka pintu untuk bisa masuk ke dalam pengadilan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA A. KONDISI UMUM Penghormatan, pengakuan, dan

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. BAB I PENDAHULUAN Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, terusmenerus, dan terpadu dengan menekankan pendekatan

Lebih terperinci

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Bapak Presiden SMU PBB, Saya ingin menyampaikan ucapan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang

SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang Pedoman Pasal Tentang Ketentuan Pasal 50 Huruf a dalam Persaingan Usaha KEPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR : 253/KPPU/Kep/VII/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 50 HURUF a UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa umat manusia berkedudukan

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa arsitek dalam mengembangkan diri memerlukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

4. Metoda penerapan Konvensi No.111

4. Metoda penerapan Konvensi No.111 Diskriminasi dan kesetaraan: 4. Metoda penerapan Konvensi No.111 Kesetaraan dan non-diskriminasi di tempat kerja di Asia Timur dan Tenggara: Panduan 1 Tujuan belajar Mengidentifikasi kebijakan dan tindakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa umat manusia berkedudukan

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA A. KONDISI UMUM Penghormatan, Pengakuan, dan Penegakan atas Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam tahun 2005 mencatat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan No.179, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ORGANISASI. Arsitek. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal

BAB I PENDAHULUAN. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum tingkat pelayanan publik di Indonesia saat ini masih rendah. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal yang menunjukkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages Baseline Study Report Commissioned by September 7, 2016 Written by Utama P. Sandjaja & Hadi Prayitno 1 Daftar Isi Daftar Isi... 2 Sekilas Perjalanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.59, 2008 OTONOMI. Pemerintah. Pemilihan. Kepala Daerah. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XI/2013 Tentang Nota Kesepakatan Bersama Tentang Pengurangan Masa Tahanan Bagi Tindak Pidana Umum, Pemeriksaan Cepat dan Restorative Justice I. PEMOHON Fahmi Ardiansyah

Lebih terperinci

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017 Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid 14-15 November 2017 Kondisi kekerasan seksual di Indonesia Kasus kekerasan terhadap perempuan

Lebih terperinci

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU No.547, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DPR-RI. Kode Etik. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI POLEWALI MANDAR BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Kerangka Acuan Call for Proposals : Voice Indonesia

Kerangka Acuan Call for Proposals : Voice Indonesia Kerangka Acuan Call for Proposals 2016-2017: Voice Indonesia Kita berjanji bahwa tidak akan ada yang ditinggalkan [dalam perjalanan kolektif untuk mengakhiri kemiskinan dan ketidaksetaraan]. Kita akan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 2 K-189: Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa umat manusia berkedudukan

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI) NO 1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM *

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM * MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM * DPR-RI dan Pemerintah telah menyetujui RUU Desa menjadi Undang- Undang dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 18 Desember

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Jenis Kasus : A. LEMBAR FAKTA Kekerasan terhadap Perempuan di wilayah konflik Kekerasan dalam Rumah Tangga Lain-lain : 2. Deskripsi Kasus : 1 3. Identitas Korban : a. Nama : b. Tempat lahir : c. Tanggal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Penandatanganan MoU

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.727, 2012 LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Tata Cara. Pendampingan. Saksi. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui, menghormati dan melindungi

Lebih terperinci

RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RESUME RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Apa latar belakang perlunya parameter gender dalam pembentukan peraturan perundangundangan. - Bahwa masih berlangsungnya

Lebih terperinci

K E P E N D U D U K A N

K E P E N D U D U K A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG K E P E N D U D U K A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk kelancaran, ketertiban

Lebih terperinci

Deklarasi Dhaka tentang

Deklarasi Dhaka tentang Pembukaan Konferensi Dhaka tentang Disabilitas & Manajemen Risiko Bencana 12-14 Desember 2015, Dhaka, Bangladesh Deklarasi Dhaka tentang Disabilitas dan Manajemen Risiko Bencana, 14 Desember 2015 diadopsi

Lebih terperinci