BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. saling berhubungan. Sedangkan menurut Daryanto (1998), sosial merupakan sesuatu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. saling berhubungan. Sedangkan menurut Daryanto (1998), sosial merupakan sesuatu"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sosial Budaya Pengertian Sosial Budaya Menurut Enda (2010), sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Sedangkan menurut Daryanto (1998), sosial merupakan sesuatu yang menyangkut aspek hidup masyarakat. Namun jika di lihat dari asal katanya, sosial berasal dari kata socius yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) di artikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Menurut Koentjoroningrat (1981), budaya berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di biasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekerti. Sedangkan menurut Larry, dkk kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang di miliki dan di pertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi. Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang di aturkan atau di ajarkan manusia kepada generasi berikutnya (Taylor, 1989) sedangkan menurut Sir Eduarel Baylor (1871) dalam Andrew dan Boyle (1995), budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mengandung pengetahuan, kepercaayaan seni, moral,

2 hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota komunikasi setempat. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, religius, dan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Kondisi sosial budaya (adat istiadat) dan kondisi lingkungan (kondisi geografis) berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi. Situasi budaya dalam hal ini adat istiadat saat ini memang tidak kondusif untuk help seeking behavior dalam masalah kesehatan reproduksi di Indonesia (Muhammad, 1996). Hal ini dikemukakan berdasarkan realita, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa menganggap bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak memerlukan antenal care. Hal ini tentu berkaitan pula tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya antenal care dan pemeliharaan kesehatan reproduksi lainnya Pembagian Budaya Menurut pandangan antropologi tradisional, budaya di bagi menjadi dua yaitu: 1. Budaya Material Budaya material dapat beruapa objek, seperti makanan, pakaian, seni, benda benda kepercayaan. 2. Budaya Non Material Mencakup kepercayaan, pengetahuan, nilai, norma, dan sebagainya.

3 a. Kepercayaan Menurut Rousseau yang di kutip Andi (2006), kepercayaan adalah bagian psikologis terdiri dari keadaan pasrah untuk menerima kekurangan berdasarkan harapan positif dari niat atau perilaku orang lain. Sedangkan menurut Robinson yang di kutip Lendra (2006) kepercayaan adalah harapan seseorang, asumsi-asumsi atau keyakinan akan kemungkinan tindakan seseorang akan bermanfaat, menguntungkan atau setidaknya tidak mengurangi keuntungan yang lainnya (Lendra, 2004). b. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia di peroleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2003). c. Sikap Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakans reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

4 d. Nilai Nilai adalah merupakan suatu hal yang nyata yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah. Kimball Young mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak di sadari tentang apa yang di anggap penting dalam masyarakat. Sedangkan norma adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Emil Durkheim mengatakan bahwa norma adalah sesuatu yang berada di luar individu, membatasi mereka dan mengendalikan tingkah laku mereka. Menurut konsep budaya Lainingen ( ) karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut : a. Budaya adalah pengalaman yang bersifat univerbal sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis. b. Budaya bersifat stabil, tetapi juga di namis karena budaya tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan. c. Budaya di isi dan tentukan oleh kehidupan manusia sendiri tanpa di sadari Unsur Budaya Adapun unsur-unsur dari budaya adalah : a. Sistem religi Terdiri dari sistem kepercayaan kesusastraan suci, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan, ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan hidup.

5 b. Sistem dan organisasi masyarakat Terdiri dari sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan-perkumpilan dan sistem kenegaraan. c. Sistem pengetahuan Terdiri dari pengetahuan tentang sekitar alam, pengetahuan tentang alam flora, pengetahuan tentang zat-zat bahan mentah, pengetahuan tentang tubuh manusia, dan pengetahuan tentang ruang, waktu dan bilangan. d. Bahasa Terdiri dari bahasa lisan dan tulisan. e. Kesenian Terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis/gambar, seni rias, seni vocal, seni instrumenseni kesusastraan dan seni drama. f. Mata pencaharian Terdiri dari berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam di lading, bercocok tanam menetap, peternakan, perdagangan. g. Teknologi dan peralatan Terdiri dari alat-alat produktif, alat-alat distribusi dan transport, wadah-wadah atau tempat untuk menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata.

6 Wujud Budaya J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan : yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud kebudayaan : a. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (2007) memberikan penjelasannya sebagai berikut: a. Wujud ide Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, di pegang ataupun di foto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga di sebut adat istiadat. b. Wujud perilaku Wujud tersebut di namakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-

7 aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa. c. Wujud artefak Wujud ini di sebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa di raba, di lihat dan di dokumentasikan Sistem Sosial Budaya Pengertian sistem menurut Tatang M. Amirin Sistem berasal dari bahasa Yunani yang berarti : a. Suatu hubungan yang tersusun atas sebagian bagian. b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen komponen secara teratur. Sosial berarti segala sesuatu yang beralian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyaakat dari orang atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nila-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Budaya berarti cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang didalamnya tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materil maupun yang psikologis, adil, dan spiritual. Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep serta keyakinan. Dengan demikian sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa Indonesia

8 lebih sering disebut sebagai adat istiadat (Koentjoaraningrat, 1990). Dalam arti lain, sistem sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah asumsi-asumsi dasar dalam kehidupan masyarakat. Pemberian makna konsep sistem sosial budaya dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem sosial budaya itu sendiri tetapi memberikan eksplanasi deskripsinya melalui kenyataan di dalam kehidupan masyarakat (Anonim 2010) Kesehatan Reproduksi Sejarah Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut dalam konferensiinternasional tentang kependudukan dan pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir pada tahun Hal ini penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi (Widyastuti 2009). Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser kearah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.

9 Paradigma baru ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran perempuan sebagai subyek dalam ber KB. Perubahan pendekatan juga terjadi dalam penangan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan reproduksi usia lanjut, yang di bahas dalam konteks kesehatan dan hak reproduksi. Dengan paradigma baru ini di harapkan kestabilan pertumbuhan penduduk akan dapat di capai lebih baik Pengertian Kesehatan Reproduksi Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memberikan batasan : kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya. Sedangkan menurut Depkes RI (2000), kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sesudah menikah. Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi (Notoatmodjo 2007).

10 Dalam Konfrensi kependudukan di Kairo 1994, di susun pula defenisi kesehatan reproduksi yang di landaskan kepada defenisi sehat menurut WHO : keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan social, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit di segala hal yang berkaitan dengan system reproduksi, fungsinya, maupun proses reproduksi itu sendiri (Widyastuti 2009, Suyono 1997) Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi dalam Siklus Kehidupan Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi yang tercantum dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia (2005) meliputi: 1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir 2. Keluarga berencana 3. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) termasuk IMS-HIV/AIDS 4. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi 5. Kesehatan reproduksi remaja 6. Pencegahan dan penganan infertilitas 7. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut seperti kanker, osteoporosis, dementia dan lain-lain. 2.3 Hak Reproduksi Wanita Pengertian Hak Reproduksi Wanita Hak adalah sesuatu yang benar, sungguh-sungguh, kepunyaan atau mempunyai wewenang yang dapat dipergunakan (Daryanto, 1998). Sedangkan

11 menurut Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Reproduksi berasal dari kata re = kembali dan produksi = membuat atau menghasilkan, jadi reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup. Hak reproduksi wanita secara umum diartikan sebagai hak yang di miliki oleh individu dalam hal ini perempuan yang berkaitan dengan keadaan reproduksinya (Palu, 2008). Hak-hak reproduksi wanita merupakan hak asasi manusia. Baik dalam International Conference on Population and Development (ICPD) 1994 di Kairo maupun Fourth World Conference on Women ( FWCW) 1995 di Beijing yang mengakui hak-hak reproduksi sebagai bagian yang tak terpisahkan dan mendasar dari kesehatan reproduksi dan seksual (Febrina 2010). Perkembangan hak asasi perempuan Pemerintah Indonesia yang sebelumnya meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang-Undang No. 7/1984 bertanggung jawab secara simultan melaksanakan peraturan-peraturan di bawah tersebut. Hak-hak tersebut lebih ke arah hak-hak sipil dan hak politis misalnya hak untuk hidup, bebas dari tekanan, bersuara dan mendapat informasi. Sedangkan hak- hak ekonomi, social dan budaya misalnya mendapat pendidikan, berkerja dan standart hidup yang sehat, baik fisik dan mental (Winkjosastro 2006). Winkjosastro 2006 menuliskan dalam setiap hak, pemerintah mempunyai tiga tingkat peraturan :

12 1) Menghormati Hak Asasi manusia (HAM) yang berarti pemerintah tidak melakukan kekerasan. 2) Melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) yang berarti pemerintah membuat suatu hukum yang mengatur mekanisme untuk melindungi dari kekerasan. 3) Memenuhi Hak Asasi manusia (HAM) yang berarti pemerintah mengambil suatu tindakan yang bertahap ditempatkan dalam suatu peraturan yang prosedural (sesuai prosedur) dalam suatu institusi Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita Berdasarkan Undang- Undang No. 7/ 1984 dan dokumen di Kairo dapat disimpulkan, hak reproduksi (dan implikasinya pada kesehatan reproduksi) yang termasuk di dalam hak reproduksi adalah : a. Hak semua pasangan dan individual untuk memutuskan dan bertanggung jawab terhadap jumlah, jarak dan waktu untuk mempunyai anak serta hak atas informasi yang berkaitan dengan hal tersebut. b. Hak untuk mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik serta hak untuk mendapatkan pelayanan dan informasi agar hal tersebut dapat terwujud. c. Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan reproduksi yang bebas dari diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan ( 2007). Berdasarkan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo 1994, ditentukan ada 12 hak-hak reproduksi. Namun demikian, hak

13 reproduksi bagi wanita yang paling dominan dan secara sosial dan budaya dapat diterima di Indonesia mencakup 12 hak, yaitu: 1. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. Setiap wanita berhak mendapatkan informasi dan pendidikan yang jelas dan benar tentang berbagai aspek terkait dengan masalah kesehatan reproduksi. Contohnya: seorang wanita harus mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. 2. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi. Setiap wanita memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan kehidupan reproduksinya termasuk perlindungan dari resiko kematian akibat proses reproduksi. Contoh: seorang wanita yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan harus tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik agar proses kehamilan dan kelahirannya dapat berjalan dengan baik. 3. Hak untuk kebebasan berfikir tentang kesehatan reproduksi. Setiap wanita berhak untuk berpikir atau mengungkapkan pikirannya tentang kehidupan yang diyakininya. Perbedaan yang ada harus diakui dan tidak boleh menyebabkan terjadinya kerugian atas diri yang bersangkutan. Orang lain dapat saja berupaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut namun tidak dengan pemaksaan akan tetapi dengan melakukan upaya advokasi dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Contoh: seseorang dapat saja mempunyai pikiran bahwa banyak anak menguntungkan bagi dirinya dan keluarganya. Bila ini terjadi maka orang tersebut tidak boleh serta merta

14 dikucilkan atau dijauhi dalam pergaulan. Upaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut boleh dilakukan sepanjang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan setelah mempertimbangkan berbagai hal sebagai dampak dari advokasi dan KIE yang dilakukan petugas. 4. Hak untuk hidup (hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses melahirkan) Setiap perempuan yang hamil dan akan melahirkan berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam arti mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik sehingga terhindar dari kemungkinan kematian dalam proses kehamilan dan melahirkan tersebut. Contoh: Pada saat melahirkan seorang perempuan mempunyai hak untuk mengambil keputusan bagi dirinya secara cepat terutama jika proses kelahiran tersebut berisiko untuk terjadinya komplikasi atau bahkan kematian. Keluarga tidak boleh menghalangi dengan berbagai alasan. 5. Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran Setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang di milikinya serta jarak kelahiran yang di inginkan. Contoh: Dalam konteks program KB, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan tidak boleh melakukan pemaksaan jika seseorang ingin memiliki anak dalam jumlah besar. Yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya mengenai dampak negatif dari memiliki anak jumlah besar dan dampak positif dari memiliki jumlah anak sedikit. Jika pun klien berkeputusan untuk

15 memiliki anak sedikit, hal tersebut harus merupakan keputusan klien itu sendiri. 6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi. Hak ini terkait dengan adanya kebebasan berpikir dan menentukan sendiri kehidupan reproduksi yang dimiliki oleh seseorang. Contoh: Dalam konteks adanya hak tersebut, maka seseorang harus dijamin keamanannya agar tidak terjadi pemaksaaan atau pengucilan atau munculnya ketakutan dalam diri individu karena memiliki hak kebebasan tersebut. 7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasaan, penyiksaan dan pelecehan seksual. Wanita berhak mendapatkan perlindungan dari kemungkinan berbagai perlakuan buruk di atas karena akan sangat berpengaruh pada kehidupan reproduksi. Contoh: Perkosaan terhadap wanita misalnya dapat berdampak pada munculnya kehamilan yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan maupun oleh keluarga dan lingkungannya. Penganiayaan atau tindakan kekekerasan lainnya dapat berdampak pada trauma fisik maupun psikis yang kemudian dapat saja berpengaruh pada kehidupan reproduksinya. 8. Hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi Setiap wanita berhak mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terkait dengan kesehatan reproduksi, serta mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya dan kemudahan akses

16 untuk mendapatkan pelayanan informasi tentang Kesehatan Reproduksi Wanita Contoh: Jika petugas mengetahui tentang Kesehatan Reproduksi Wanita, maka petugas berkewajiban untuk memberi informasi kepada wanita, karena mungkin pengetahuan tersebut adalah hal yang paling baru untuk wanita 9. Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya terkait dengan informasi pendidikan dan pelayanan. Setiap individu harus dijamin kerahasiaan kehidupan kesehatan reproduksinya terkait dengan informasi pendidikan dan pelayanan misalnya informasi tentang kehidupan seksual, masa menstruasi dan lain sebagainya. Contoh: Petugas atau seseorang yang memiliki informasi tentang kehidupan reproduksi seseorang tidak boleh membocorkan atau dengan sengaja memberikan informasi yang dimilikinya kepada orang lain. Jika informasi dibutuhkan sebagai data untuk penunjang pelaksanaan program, misalnya data tentang prosentase pemakaian alat kontrasepsi masih tetap dimungkinkan informasi tersebut dipublikasikan sepanjang tidak mencantumkan indentitas yang bersangkutan. 10. Hak membangun dan merencanakan keluarga Setiap individu dijamin haknya : kapan, dimana, dengan siapa, serta bagaimana ia akan membangun keluarganya. Tentu saja kesemuanya ini tidak terlepas dari norma agama, sosial dan budaya yang berlaku (ingat tentang adanya kewajiban yang menyertai adanya hak reproduksi). Contoh :

17 Seseorang akan menikah dalam usia yang masih muda, maka petugas tidak bisa memaksa orang tersebut untuk membatalkan pernikahannya. Yang bisa di upayakan adalah memberitahu orang tersebut tentang peraturan yang berlaku di Indonesia tentang batas usia terendah untuk menikah dan yang penting adalah memberitahu tentang dampak negatif dari menikah dan hamil pada usia muda. 11. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi. Setiap orang tidak boleh mendapatkan perlakuan diskriminatif berkaitan dengan kesehatan reproduksi karena ras, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, keyakinan/agamanya dan kebangsaannya. Contoh: Orang tidak mampu harus mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas (bukan sekedar atau asal-asalan) yang tentu saja sesuai dengan kondisi yang melingkupinya. Demikian pula seseorang tidak boleh mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi hanya karena yang bersangkutan memiliki keyakinan berbeda dalam kehidupan reproduksi. Misalnya seseorang tidak mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan secara benar, hanya karena yang bersangkutan tidak ber-kb atau pernah menyampaikan suatu aspirasi yang berbeda dengan masyarakat sekitar. Pelayanan juga tidak boleh membedakan apakah seseorang tersebut perempuan atau laki-laki. Hal ini disebut dengan diskriminasi gender.

18 12. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat atau aspirasinya baik melalui pernyataan pribadi atau pernyataan melalui suatu kelompok atau partai politik yang berkaitan dengan kehidupan reproduksi. Contoh: seseorang berhak menyuarakan penentangan atau persetujuan terhadap aborsi baik sebagai individu maupun bersama dengan kelompok. Yang perlu diingatkan adalah dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi tersebut harus memperhatikan azas demokrasi dan dalam arti tidak boleh memaksakan kehendak dan menghargai pendapat orang lain serta taat kepada hukum dan peraturan peraturan yang berlaku Penentuan Jarak Kehamilan Penentuan jarak kehamilan adalah upaya untuk menetapkan atau member batasan sela antara kehamilan yang lalu dengan kehamilan yang akan datang (Alwi, 2005). Penentuan jarak kehamilan merupakan salah satu cara untuk menentukan berapa jarak yang akan direncanakan diantara kehamilan satu dengan yang lain (Dwijayanti, 2005). Pengaturan jarak kehamilan merupakan salah satu usaha agar pasangan dapat lebih menerima dan siap untuk memiliki anak. Perencanaan pasangan kapan untuk memiliki anak kembali, menjadi hal penting untuk dikomunikasikan (Masyhuri, 2007). Keinginan keluarga untuk memiliki anak sangat erat kaitannya dengan pandangan masing-masing keluarga tentang pandangan masing-masing keluarga tentang nilai anak (value of children). Semakin tinggi tanggung jawab

19 keluarga terhadap nilai anak maka semakin tinggi pula dorongan keluarga untuk merencanakan jumlah anak ideal (BKKBN, 2007). Menentukan jarak kehamilan tidak semua pasangan usia subur mengetahui secara jelas manfaatnya buat kehidupan jangka panjang yang lebih baik. Maka yang paling penting dalam hal ini adalah meningkatkan peran suami istri dalam memahami betul manfaat menentukan jarak kehamilan. Dimana, terdapat keadaan bahwa jarak kehamilan yang diinginkan sebagian besar wanita di negara berkembang tersebut tidak selalu terpenuhi. Hal itu diakibatkan beberapa faktor yang mungkin sangat kompleks sifatnya seperti faktor sosial budaya serta pengambilan keputusan yang dilakukan tidak oleh istri, akan tetapi oleh anggota keluarga lainnya seperti suami atau ibu mertua. Kejadian ini masih terjadi di Indonesia, terutama di beberapa daerah pedalaman yang masih kuat nilai-nilai tradisionalnya. Padahal tertulis dalam hak-hak reproduksi yang mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang dimiliki serta jarak kehamilan yang diinginkan (Diana, 2007). Dalam merencanakan dan mengatur jarak kehamilan, perencanaan pasangan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari segi kematangan ekonomi, umur pasangan, pengaruh sosial budaya, lingkungan, pekerjaan maupun status kesehatan pasangan (Susan, 2006). Faktor usia juga merupakan salah satu faktor dalam menentukan jarak kehamilan dimana pada saat merencanakan kehamilan yang harus dihindari antara lain empat T yaitu (Manuaba, 1998) : 1. Terlalu muda untuk hamil (< 20 tahun) 2. Terlalu tua untuk hamil (> 35 tahun)

20 3. Terlalu sering hamil (anak > 3 orang berisiko tinggi) 4. Terlalu dekat jarak kehamilannya (< 2 tahun) Oleh karena faktor usia, di Indonesia wanita di atas usia 30 tahun banyak yang memilih jarak pendek untuk melahirkan anak sebelum mereka berumur 35 tahun ke atas (Yolan, 2007). Faktor usia merupakan faktor penting dalam menentukan jarak kehamilan, terutama bagi wanita bila berusia 38 tahun dan masih menginginkan 2 orang anak maka tidak bisa hamil dengan jarak umur tiga tahun antara yang satu dengan yang lain, bila usia dibawah 30 tahun dan tidak mempunyai masalah kesehatan yang membahayakan kehamilan maka masih mempunyai kesempatan untuk mengatur jarak kehamilan (Dwijayanti, 2005). Keberhasilan beberapa negara maju yang wanitanya berpendidikan lebih tinggi cenderung menggunakan kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan. Karena umumnya mereka menyadari perlunya mengatur jarak kehamilan (Diana, 2007). Peningkatan partisipasi pasangan di bidang pendidikan akan berdampak pada pembatasan jumlah dan jarak anak yang dilahirkan, terutama disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup berumah tangga (Bappenas, 2007). Aspek ekonomi juga faktor yang tak kalah penting, jika tidak direncanakan terutama soal penyiapan dananya, bisa juga berakibat fatal. Salah satu keuntungan dalam mengatur penentuan jarak kehamilan adalah dari segi ekonomi sosial yaitu meningkatkan derajat kualitas hidup perempuan secara menyeluruh (Diana, 2007). Study menunjukkan pada umumnya pasangan yang tidak mau mempunyai anak

21 beralasan bahwa mereka tidak cukup mampu menyediakan dukungan yang layak untuk membesarkan anak sebagaimana mestinya. Dengan persiapan mental maupun ekonomi dari pasangan akan mempermudah pasangan untuk menentukan jarak kehamilan (Zeverina, 2007) Perencanaan Kehamilan yang Sehat Perencanaan berkeluarga yang optimal melalui perencanaan kehamilan yang aman, sehat dan diinginkan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya menurunkan angka kematian maternal. Menjaga jarak kehamilan tak hanya menyelamatkan ibu dan bayi dari sisi kesehatan, namun juga memperbaiki kualitas hubungan psikologis keluarga (Sugiri, 2007). Salah satu perencanaan kehamilan antara lain dengan mengikuti program Keluarga Berencana (KB). KB memberi kepada pasangan pilihan tentang kapan sebaiknya mempunyai anak, berapa jumlahnya, jarak antar anak yang satu dengan yang lain, dan kapan sebaiknya berhenti mempunyai anak (Yolan, 2007) Fase-Fase dalam Mengatur Kehamilan Dalam mengatur jarak kehamilan kita dapat menggunakan kontrasepsi sesuai dengan fase-fase berikut ini yaitu (Manuaba, 1998) : 1. Fase menunda kehamilan Pada fase ini, pasangan dapat memilih metode kontrasepsi antara lain : - Metode sederhana yaitu dengan menggunakan kondom, pantang berkala,pemakaian spermisid, dan senggama terputus

22 - Pil KB yaitu pil progestin atau pil kombinasi - Suntikan KB yaitu suntikan progestin atau suntikan kombinasi 2. Fase menjarangkan kehamilan - Metode sederhana yaitu dengan menggunakan kondom, pantang berkala, pemakaian spermisida, dan senggama terputus - Metode mekanis yaitu Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) - Metode MKE kecuali kontap 3. Fase mengakhiri kehamilan - Metode MKE termasuk kontap - Metode sederhana 2.6. Efek Jarak Kehamilan Terlalu Dekat pada Anak Jarak kehamilan atau kelahiran yang berdekatan juga dapat memicu pengabaian pada anak pertama secara fisik maupun psikis, yang dapat menimbulkan rasa cemburu akibat ketidak siapan berbagi kasih sayang dari orang tuanya (Yolan, 2007). Banyak kakak-beradik dengan jarak kehamilan atau kelahiran terlalu pendek menimbulkan sikap iri atau cemburu. Seperti kakak tidak gembira atas kehadiran si kecil, justru sering menganggapnya musuh karena merampas jatah kasih sayang orang tuanya (Diana, 2007). Persiapan secara mental untuk si kakak sangat penting dilakukan oleh orang tuanya terutama si ibu agar nantinya tidak merasa tersisih, yaitu dengan cara (Yanti, 2007):

23 1. Menjelaskan padanya secara natural bahwa kehadiran adiknya nanti tidak akan membuat perhatian orangtua padanya berkurang bahkan mungkin akan semakin sayang. 2. Semakin besar usia anak maka akan semakin mudah bagi orangtua untuk menjelaskannya. Ia mungkin tertarik dengan penjelasan mengenai apa yang akan terjadi dengan tubuh ibu dan apa yang ada dalam perut ibu nantinya. 3. Berjanji pada si kakak bahwa kelak ia akan dilibatkan saat orangtua akan memilih nama untuk si adik juga pada saat akan membelikan perlengkapan untuk si adik serta saat mengasuhnya. 2.7 Faktor yang Mendasari Penentuan Jarak Kehamilan pada Pasangan Usia Subur (PUS) Umur Terkejar oleh faktor usia, di Indonesia wanita di atas usia 30 tahun banyak yang memilih jarak pendek untuk melahirkan anak sebelum mereka berusia 35 tahun keatas (Yolan, 2007). Faktor usia merupakan faktor penting dalam menentukan jarak kehamilan, terutama bagi wanita bila berusia 38 tahun dan masih menginginkan 2 orang anak maka tidak bisa hamil dengan jarak umur tiga tahun antara yang satu dengan yang lain, bila usia dibawah 30 tahun dan tidak mempunyai masalah kesehatan yang membahayakan kehamilan maka masih mempunyai kesempatan untuk mengatur jarak kehamilan (Dwijayanti, 2005).

24 Berdasarkan hasil penelitian Amiruddin (2006) dari 70 responden mayoritas responden berumur tahun memilih jarak kehamilan 2-5 tahun sebanyak 51 orang (72,8%) dan hanya 9 orang (12,8%) yang memilih jarak kehamilan <2 tahun Pendidikan Pendidikan adalah proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran. Tingkat pendidikan yang tinggi menjadi dasar keberhasilan dalam bisnis atau bidang profesi, yang akan membuka jalan bagi individu bersangkutan untuk menjalin hubungan dengan orang yang statusnya lebih tinggi. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan hidup manusia akan semakin berkualitas (Hurlock, 1999). Beberapa negara maju yang wanitanya berpendidikan lebih tinggi cenderung menggunakan kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan. Karena umumnya mereka menyadari perlunya mengatur jarak kehamilan (Diana, 2007). Peningkatan partisipasi pasangan di bidang pendidikan akan berdampak pada pembatasan jumlah dan jarak anak yang dilahirkan, terutama disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup berumah tangga (Bappenas, 2007). Menurut Lukman (2008) juga umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya Ekonomi Study menunjukkan pada umumnya pasangan yang tidak mau mempunyai anak beralasan bahwa mereka tidak cukup mampu menyediakan dukungan yang layak untuk membesarkan anak sebagaimana mestinya. Dengan persiapan mental

25 maupun ekonomi dari pasangan akan mempermudah pasangan untuk menentukan jarak kehamilan (Zeverina, 2007). Salah satu keuntungan dalam mengatur jarak kehamilan adalah dari segi ekonomi sosial yaitu meningkatkan derajat kualitas hidup perempuan secara menyeluruh. Selain kesehatan dan kejiwaan, aspek ekonomi juga tak kalah penting. Jika tidak direncanakan terutama soal penyiapan dananya bisa juga berakibat fatal (Diana, 2007). Oleh karena itu persiapan pasangan baik dari segi fisik maupun psikis sangatlah penting untuk menentukan jarak kehamilan pada pasangan usia subur Sosial Budaya Budaya merupakan pelaksanaan norma-norma kelompok tertentu yang dipelajari dan ditanggung bersama. Yang termasuk di dalamnya adalah pemikiran, penuntun, keputusan dan tindakan atau perilaku seseorang. Selain itu nilai budaya adalah merupakan suatu keinginan individu atau cara bertindak yang dipilih atau pengetahuan terhadap sesuatu yang dibenarkan sepanjang waktu sehingga mempengaruhi tindakan dan keputusan (Leiningger, 2005). Pengaruh sosial budaya juga terlibat dalam perilaku perawatan keluarga yang memiliki anak. Mempunyai anak merupakan pengalaman hidup yang kritis dan penuh dengan kepercayaan dan praktek-praktek tradisional (Alfonso, 1979 dalam Bobac dan Jansen, 1997). Dalam perencanan kehamilan keputusan pasangan dapat dipengaruhi oleh budaya yang ada, seperti pengambilan keputusan dalam menentukan jumlah anak dan jarak antara kehamilan yang dilakukan tidak oleh istri, akan tetapi oleh anggota keluarga lainnya seperti suami atau ibu mertua. Kejadian ini masih terjadi di

26 Indonesia terutama di beberapa daerah pedalaman yang masih kuat nilai tradisionalnya (Diana, 2007) Sumber Informasi Sumber informasi adalah segala sesuatu yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi (Alwi, 2005). Dengan memberikan informasi tentang bagaimana cara hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Selanjutnya dengan pengetahuan yang dimilikinya akan menimbulkan kesadaran masyarakat dan akhirnya akan menyebabkan orang berprilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu (Notoatmodjo, 2003). Menurut Nugraha (2007) salah satu faktor yang mendasari pasangan memilih jarak anak yang dekat adalah karena kurangnya informasi tentang dampak jarak kehamilan yang terlalu dekat. Dengan pengetahuan dan informasi tentang kehamilan yang aman akan memudahkan pasangan untuk mengambil keputusan kapan saat yang tepat untuk menentukan berapa jumlah anak serta jarak kehamilan yang aman (Yanti, 2007) Status Kesehatan Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Hanafiah, 1999). Status kesehatan sangat mempengaruhi perilaku dan tindakan seseorang sehari-hari. Pasangan yang tidak mempunyai masalah kesehatan yang

27 membahayakan kehamilan maka masih mempunyai kesempatan untuk mengatur jarak kehamilan (Dwijayanti, 2005). Dari beberapa faktor yang mendasari penentuan jarak kehamilan diatas, yang akan dibahas oleh peneliti adalah faktor yang mendasari penentuan jarak kehamilan berdasarkan umur, pendidikan dan ekonomi Pelayanan Kesehatan Reproduksi Pelayanan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan perempuan dan laki-laki berhubungan dengan masalah seksualitas dan penjarangan kehamilan. Tujuan dari program-program yang terkait serta konfigurasi dari pelayanan tersebut harus menyeluruh, dan mengacu kepada program Keluarga Berencana (KB) yang konvensional serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Komponen yang termasuk di dalam kesehatan reproduksi adalah: 1. Konseling tentang seksualitas, kehamilan, alat kontrasepsi, aborsi, infertilitas, infeksi dan penyakit; 2. Pendidikan seksualitas dan jender; 3. Pencegahan, skrining dan pengobatan infeksi saluran reproduksi, penyakit menular seksual (PMS), termasuk HIV/AIDS dan masalah kebidanan lainnya; 4. Pemberian informasi yang benar sehingga secara sukarela memilih alat kontrasepsi yang ada; 5. Pencegahan dan pengobatan infertilitas; 6. Pelayanan aborsi yang aman;

28 7. Pelayanan kehamilan, persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan pasca kelahiran; dan 8. Pelayanan kesehatan untuk bayi dan anak-anak. Kualitas pelayanan merupakan prioritas dan ini harus didukung dengan: 1. Menerapkan metode yang kompeten dengan standar yang tinggi (maintaining high standards of technical competence); 2. Melayani klien dengan rasa hormat dan bersahabat; 3. Merancang pelayanan agar dapat memenuhi kebutuhan klien; 4. Menyediakan pelayanan lanjutan Pasangan Usia Subur Pengertian Pasangan Usia Subur Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, yang istrinya berumur antara 15 sampai dengan 49 tahun, dan secara operasional termasuk pula pasangan suami istri yang istrinya berumur kurang dari 15 tahun dan telah haid atau istri berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih haid Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesehatan Reproduksi Secara garis besar faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan reproduksi dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi :

29 a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil). b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain). c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli kebebasannya secara materi). d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual). Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan, pendidikan, sosial dam pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi (Harahap 2008) Masalah Kesehatan Reproduksi Menurut program kerja WHO ke IX ( ), masalah kesehatan reproduksi ditinjau dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi :

30 a. Praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi, genital, diskriminasi nilai anak). b. Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja, kekerasan/pelecehan seksual dan tindakan seksual yang tidak aman). c. Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-kb, biasanya terkait dengan isu aborsi tidak aman. d. Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan, persalian dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi lahir rendah. e. Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual. f. Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular seksual. g. Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ reproduksi. h. Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan lainnya. Masalah kesehatan reproduksi mencakup area yang jauh lebih luas, dimana masalah tersebut dapat kita kelompokkan sebagai berikut : 1. Masalah reproduksi a. Kesehatan, morbiditas (gangguan kesehatan) dan kematian perempuan yang berkaitan dengan kehamilan. Termasuk didalamnya juga masalah

31 gizi dan anemia dikalangan perempuan, penyebab serta komplikasi dari kehamilan, masalah kemandulan dan ketidaksuburan. b. Peranan atau kendali sosial budaya terhadap masalah reproduksi. Maksudnya bagaimana pandangan masyarakat terhadap kesuburan dan kemandulan, nilai anak dan keluarga, sikap masyarakat terhadap perempuan hamil. c. Intervensi pemerintah dan negara terhadap masalah reproduksi. Misalnya program KB, undang-undang yang berkaitan dengan masalah genetik, dan lain sebagainya. d. Tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, serta terjangkaunya secara ekonomi oleh kelompok perempuan dan anakanak. e. Kesehatan bayi dan anak-anak terutama bayi dibawah umur lima tahun. f. Dampak pembangunan ekonomi, industrialisasi dan perubahan lingkungan terhadap kesehatan reproduksi. 2. Masalah gender dan seksualitas a. Pengaturan negara terhadap masalah seksualitas. Maksudnya adalah peraturan dan kebijakan negara mengenai pornografi, pelacuran dan pendidikan seksualitas. b. Pengendalian sosio -budaya terhadap masalah seksualitas, bagaimana normanorma sosial yang berlaku tentang perilaku seks, homoseks, poligami, dan perceraian.

32 c. Seksualitas dikalangan remaja. d. Status dan peran perempuan. e. Perlindungan terhadap perempuan pekerja. 3. Masalah kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan a. Kencenderungan penggunaan kekerasan secara sengaja kepada perempuan, perkosaan, serta dampaknya terhadap korban. b. Norma sosial mengenai kekerasan dalam rumah tangga, serta mengenai berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan. c. Sikap masyarakat mengenai kekerasan perkosaan terhadap pelacur. d. Berbagai langkah untuk mengatasi masalah- masalah tersebut. 4. Masalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual a. Masalah penyakit menular seksual yang lama, seperti sifilis, dan gonorhea. b. Masalah penyakit menular seksual yang relatif baru seperti chlamydia, dan herpes. c. Masalah HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acguired immunodeficiency Syndrome). d. Dampak sosial dan ekonomi dari penyakit menular seksual. e. Kebijakan dan progarm pemerintah dalam mengatasi maslah tersebut (termasuk penyediaan pelayanan kesehatan bagi pelacur/pekerja seks komersial). f. Sikap masyarakat terhadap penyakit menular seksual.

33 5. Masalah pelacuran a. Demografi pekerja seksual komersial atau pelacuran. b. Faktor-faktor yang mendorong pelacuran dan sikap masyarakat terhadapnnya. c. Dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, baik bagi pelacur itu sendiri maupun bagi konsumennya dan keluarganya. 6. Masalah sekitar teknologi a. Teknologi reproduksi dengan bantuan (inseminasi buatan dan bayi tabung). b. Pemilihan bayi berdasarkan jenis kelamin (gender fetal screening). c. Pelapisan genetik (genetic screening). d. Keterjangkauan dan kesamaan kesempatan. e. Etika dan hukum yang berkaitan dengan masalah teknologi reproduksi ini (Febrina, 2010) Jarak Kehamilan Kehamilan merupakan saat yang paling tepat untuk saling berbagi dan merencanakan apa yang akan dilakukan sebagai calon orangtua. Upaya perencanaan dalam keluarga yakni menentukan jumlah anak dan jarak kehamilannya merupakan hal yang umum dilakukan, terutama oleh keluarga muda baik diperkotaan maupun di pedesaan. Kesadaran akan pentingnya perencanaan keluarga ini biasanya dikaitkan dengan konsep perencanaan keluarga, pasangan muda dianggap lebih siap baik secara

34 mental, spiritual maupun finansial dalam menata masa depan anak-anak mereka. Tentu saja pandangan ini masih bisa di pertanyakan mengingat penataan masa depan keluarga sangat berkaitan dengan banyak faktor (Sugiri, 2007). Di masyarakat masih berlaku kebiasaan dimana sebagian besar suami-istri hanya berbincang tentang ukuran keluarga ketika ingin menambah jumlah anak, tetapi tidak detail hingga menyentuh masalah kesiapan istri untuk menerima kehamilan baru (Rahima, 2003). Secara medis, rahim sebenarnya sudah siap untuk hamil kembali tiga bulan setelah melahirkan. Namun berdasarkan catatan statistik penelitian bahwa jarak kelahiran yang aman antara anak satu dengan lainnya adalah 27 sampai 32 bulan. Pada jarak ini si ibu akan memiliki bayi yang sehat serta selamat saat melewati proses kehamilan (Agudelo, 2007). Penelitian The Demographic and Health Survey, menyebutkan bahwa anak anak yang dilahirkan 2-5 tahun setelah kelahiran anak sebelumnya, memiliki kemungkinan hidup sehat 2,5 kali lebih tinggi daripada yang berjarak kelahiran kurang dari 2 tahun, maka jarak kehamilan yang aman adalah 2-5 tahun (Yolan, 2007) Risiko dalam Menentukan Jarak Kehamilan a. Wanita yang melahirkan dengan jarak yang sangat berdekatan (< 2 tahun) akan mengalami resiko antara lain (Yolan, 2007) : b. Resiko perdarahan trimester III c. Plasenta previa d. Anemia

35 e. Ketuban pecah dini f. Endometriosis masa nifas g. Kematian saat melahirkan h. Kehamilan dengan jarak yang terlalu jauh juga dapat menimbulkan resiko tinggi antara lain persalinan lama. Dengan adanya resiko dalam menentukan jarak kehamilan maka diperlukan penelitian tentang hubungan umur, pendidikan maupun ekonomi terhadap penentuan jarak kehamilan Landasan Teori Sesungguhnya, hak asasi perempuan merupakan bagian dari hak asasi manusia, oleh karena itu penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB, maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik termasuk keluarga atau orangorang di sekitarnya (Abdullah, 2001). Lawrence Green seperti dikutip Notoatmojo (2003) menyatakan, terdapat 3 faktor yang mendasari perilaku pasien yaitu presdiposing, enabling, dan reinforcing. Faktor predisposing meliputi pengetahuan dan sikap pasien yang merupakan kognitif domain yang mendasari terbentuknya perilaku baru. Hal lain dari faktor ini adalah tradisi, kepercayaan, sistem nilai, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi. Faktor enabling mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan, berupa peraturan prosedur tetap dan kesempatan pemberian informasi. Dalam

36 penelitian ini, dipakai salah satu faktor dari ketiga faktor tersebut yang mempengaruhi pemenuhan hak-hak reproduksi wanita usia subur, yaitu predisposing, yaitu pengetahuan, sikap, nilai dan kepercayaan. Komponen budaya merupakan komponen yang paling langsung berpengaruh terhadap pemenuhan hak - hak reproduksi wanita. Komponen ini yang kompleks yang ada di dalamnya terkandung nilai, pengetahuan, kepercayaan dan sikap yang berkaitan dengan pemenuhan hak - hak reproduksi wanita dari beberapa faktor. Model Teori Perilaku menurut Lawrence Green (1980) sebagai berikut : Faktor Predisposing - Pengetahuan - Sikap - Nilai - Kepercayaan Faktor Enabling - Ketersediaan fasilitas, sarana/prasana Pemenuhan hak-hak Reproduksi wanita pada pasangan usia subur Faktor Responsing - Dukungan keluarga dan informasi - Informasi petugas kesehatan Gambar 2.1. Konsep Landasan Teori

37 2.13. Kerangka Konsep Penelitian ini : Kerangka konsep dalam peneltian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut Variabel Independen Variabel Dependen Karakteristik ibu pada pasangan usia subur : - Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Jumlah anak Sosial Budaya: - Pengetahuan - Sikap - Nilai - Kepercayaan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita Pasangan Usia Subur : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan Gambar 2.2 di atas, didapat variabel independen dalam penelitian ini adalah sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai dan kepercayaan), sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah pemenuhan hak-hak reproduksi wanita (Menentukan jumlah anak,jarak kelahiran, dan pemenuhan hak mendapat pelayanan kesehatan reproduksi (alat kontasepsi))

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penentuan jarak kehamilan adalah upaya untuk menetapkan atau memberi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penentuan jarak kehamilan adalah upaya untuk menetapkan atau memberi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penentuan Jarak Kehamilan Penentuan jarak kehamilan adalah upaya untuk menetapkan atau memberi batasan sela antara kehamilan yang lalu dengan kehamilan yang akan datang (Alwi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesehatan Reproduksi 2.1.1 Pengertian Kesehatan Reproduksi Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas

Lebih terperinci

Peran dan Tanggung Jawab Perawat dalam Pencapaian Kesehatan Perempuan. Setyowati

Peran dan Tanggung Jawab Perawat dalam Pencapaian Kesehatan Perempuan. Setyowati Peran dan Tanggung Jawab Perawat dalam Pencapaian Kesehatan Perempuan Setyowati Perempuan sebagai anggota keluarga dalam menerima pelayanan kesehatan karena dia harus berperan dalam keluarga Anak tumbuh

Lebih terperinci

ISU KESEHATAN REPRODUKSI

ISU KESEHATAN REPRODUKSI MAKALAH ISU KESEHATAN REPRODUKSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Maternitas Disusun oleh : EKO BETHAVIA S. NIM : 2011.032 AKADEMI KEPERAWATAN KABUPATEN SUBANG Jl. Brigjen Katamso No

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengetahuan 1.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari Tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA. By : Basyariah Lubis, SST, MKes

KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA. By : Basyariah Lubis, SST, MKes KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA By : Basyariah Lubis, SST, MKes Pengertian Kesehatan reproduksi remaja adalah kondisi kesehatan pada remaja khususnya menyangkut masalah kesehatan reproduksi manusia yang kesiapannya

Lebih terperinci

Konsep & Ruang Lingkup KESEHATAN REPRODUKSI

Konsep & Ruang Lingkup KESEHATAN REPRODUKSI KESEHATAN REPRODUKSI Windhu Purnomo Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR 2006 Konsep & Ruang Lingkup KESEHATAN REPRODUKSI Windhu Purnomo FKM Unair 2006 1 Definisi Kesehatan Reproduksi (Konperensi Kependudukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan

Lebih terperinci

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, tetapi meliputi aspek mental

Lebih terperinci

Dasar Kesehatan Reproduksi PERTEMUAN 2 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

Dasar Kesehatan Reproduksi PERTEMUAN 2 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes Dasar Kesehatan Reproduksi PERTEMUAN 2 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan mengenai dasar kesehatan reproduksi 1. Defenisi 2. Sasaran

Lebih terperinci

JENDER DAN KESEHATAN REPRODUKSI. Pile Patiung, SE

JENDER DAN KESEHATAN REPRODUKSI. Pile Patiung, SE JENDER DAN KESEHATAN REPRODUKSI Pile Patiung, SE DASAR PEMIKIRAN CEDAW 1984 ICPD CAIRO 1994 KONFERENSI WANITA SEDUNIA DI BEIJING 1995 KONDISI KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA HAM DAN HAK-HAK REPRODUKSI

Lebih terperinci

MATA KULIAH. Kesehatan Reproduksi WAKTU DOSEN TOPIK. Konsep Kesehatan Reproduksi. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes

MATA KULIAH. Kesehatan Reproduksi WAKTU DOSEN TOPIK. Konsep Kesehatan Reproduksi. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes MATA KULIAH WAKTU DOSEN IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes TOPIK Konsep Konsep 1 SUB TOPIK 1. Definisi kesehatan reproduksi 2. Ruang lingkup kesehatan reproduksi dalam siklus kehidupan. 3. Hak-hak reproduksi. OBJEKTIF

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian No.169, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Reproduksi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara berkembang, remaja merupakan bagian terbesar dalam populasi. Data demografi menunjukkan

Lebih terperinci

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun adalah suatu periode masa

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI I. UMUM Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI. Fatmalina Febry, SKM.,M.Si Gizi Masyarakat FKM Universitas Sriwijaya

KESEHATAN REPRODUKSI. Fatmalina Febry, SKM.,M.Si Gizi Masyarakat FKM Universitas Sriwijaya KESEHATAN REPRODUKSI Fatmalina Febry, SKM.,M.Si Gizi Masyarakat FKM Universitas Sriwijaya Definisi Kespro Suatu Keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh tidak sematamata bebas dari penyakit

Lebih terperinci

2 Pemahaman kesehatan reproduksi tersebut termasuk pula adanya hak-hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif

2 Pemahaman kesehatan reproduksi tersebut termasuk pula adanya hak-hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KESEHATAN. Reproduksi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (International Conference on Population and Development) tanggal 5 sampai

BAB I PENDAHULUAN. (International Conference on Population and Development) tanggal 5 sampai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development) tanggal 5 sampai 13 September 1994 di

Lebih terperinci

Sgmendung2gmail.com

Sgmendung2gmail.com Sgmendung2gmail.com sgmendung@yahoo.co.id PUSDIKLAT KEPENDUDUKAN DAN KB BKKBN 2011 Menjelaskan Konsep Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) Menjelaskan masalah-masalah dalam memenuhi hak-hak reproduksi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan system dan fungsi, serta proses

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA ELATAN NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA ELATAN NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA ELATAN NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN Menimbang: a. bahwa pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk mengatur fertilitas mempunyai pengaruh yang bermakna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk mengatur fertilitas mempunyai pengaruh yang bermakna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah di dunia yang sedang berkembang sudah terbukti dengan jelas, kemampuan untuk mengatur fertilitas mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap mortalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-Undang Nomor 10

BAB I PENDAHULUAN. Program Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-Undang Nomor 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 merupakan salah satu program pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Program keluarga berencana merupakan salah satu program pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Program keluarga berencana merupakan salah satu program pembangunan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program keluarga berencana merupakan salah satu program pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan keluarga Indonesia yang sejahtera. Peran program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 248,8 juta jiwa dengan pertambahan penduduk 1,49%. Lajunya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 248,8 juta jiwa dengan pertambahan penduduk 1,49%. Lajunya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kependudukan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara termasuk Indonesia. Saat ini penduduk Indonesia kurang lebih berjumlah 248,8 juta jiwa dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROGRAM KELUARGA BERENCANA. a. Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan. b. Mendapat kelahiran yang memang diinginkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROGRAM KELUARGA BERENCANA. a. Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan. b. Mendapat kelahiran yang memang diinginkan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROGRAM KELUARGA BERENCANA Menurut WHO (world Health Organization) Expert Committee Tahun 1970 keluarga berencana adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi kesehatan reproduksi yang dianut saat ini merupakan gambaran dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi kesehatan reproduksi yang dianut saat ini merupakan gambaran dari BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesehatan Reproduksi Defenisi kesehatan reproduksi yang dianut saat ini merupakan gambaran dari pengertian yang disepakati dalam International Conference on Population and Development

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kontrasepsi 2.1.1 Definisi Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah dan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Millenium Development Goals atau disingkat MDG s dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang merupakan paradigma pembangunan global

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Persepsi berasal dari bahasa lathin, persipere: menerima, perceptio:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Persepsi berasal dari bahasa lathin, persipere: menerima, perceptio: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.1.1 Definisi Persepsi berasal dari bahasa lathin, persipere: menerima, perceptio: pengumpulan, penerimaan, pandangan, dan pengertian. Persepsi adalah kesadaran intuitif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program keluarga berencana merupakan salah satu program pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan keluarga Indonesia yang sejahtera. Sesuai dengan

Lebih terperinci

Kesehatan Reproduksi Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi. Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi melipui :

Kesehatan Reproduksi Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi. Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi melipui : Kesehatan Reproduksi Sehat adalah suatu keadaan sejahtera isik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan system reproduksi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (usia tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61 persen dari jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. (usia tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61 persen dari jumlah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang WHO (2005) menyatakan sekitar seperlima penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19 tahun, dan 900 juta berada di negara berkembang. Berdasarkan data Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO 1948), Undang-Undang Dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO 1948), Undang-Undang Dasar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah Hak Fundamental setiap warga. Hal ini telah ditetapkan oleh Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO 1948), Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H

Lebih terperinci

KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN REPRODUKSI

KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN REPRODUKSI KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN REPRODUKSI I. Pendahuluan Salah satu tujuan dari membentuk keluarga agar mempunyai keturunan yang sehat jasmani dan rohani. Orang tua menginginkan anaknya sehat jasmani,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pesat baik fisik, psikologis maupun intelektual. Pola karakteristik pesatnya tumbuh kembang ini

Lebih terperinci

PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN DAN HAK-HAK REPRODUKSI BAGI REMAJA INDONESIA

PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN DAN HAK-HAK REPRODUKSI BAGI REMAJA INDONESIA PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN DAN HAK-HAK REPRODUKSI BAGI REMAJA INDONESIA JAKARTA, 2008 http://ceria.bkkbn.go.id (website) ceria@bkkbn.goi.id (email) KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap bayi premature (lahir muda) makin dapat diselamatkan dari kematian,

BAB I PENDAHULUAN. terhadap bayi premature (lahir muda) makin dapat diselamatkan dari kematian, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk setelah perang dunia kedua sangat cepat meningkat, oleh karena penemuan dalam bidang kesehatan diantaranya usia harapan hidup makin panjang, angka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang. pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan kegiatan yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang. pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan kegiatan yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Posyandu 1. Pengertian Pos Pelayanan Terpadu atau yang sering disebut dengan Posyandu adalah suatu forum komunikasi, alih teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat yang dilakukan

Lebih terperinci

GASTER, Vol. 8, No. 1 Februari 2011 ( ) KAJIAN PERSEPSTIF GENDER PERAN PRIA DALAM PENGGUNAAN KONTRASEPSI

GASTER, Vol. 8, No. 1 Februari 2011 ( ) KAJIAN PERSEPSTIF GENDER PERAN PRIA DALAM PENGGUNAAN KONTRASEPSI GASTER, Vol. 8, No. 1 Februari 2011 (647-655) KAJIAN PERSEPSTIF GENDER PERAN PRIA DALAM PENGGUNAAN KONTRASEPSI Maryatun Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Surakarta Abstrak : Rendahnya Peran serta

Lebih terperinci

Minggu ke 9 HAK-HAK REPRODUKSI DAN KESEHATAN REPRODUKSI

Minggu ke 9 HAK-HAK REPRODUKSI DAN KESEHATAN REPRODUKSI Minggu ke 9 HAK-HAK REPRODUKSI DAN KESEHATAN REPRODUKSI Defmisi dan Cakupan Makna kesehatan dalam undang-undang pokok kesehatan nomor 32, tahun 1992 adalah meliputi kesehatan badan, rohaniah ( mental)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berbeda-beda yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap Angka Kematian Bayi

BAB 1 PENDAHULUAN. berbeda-beda yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap Angka Kematian Bayi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara di dunia memiliki konsep pemeriksaan kehamilan yang berbeda-beda yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia. Hal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia. Hal tersebut menjadi perhatian khusus internasional mengingat risiko yang timbul akibat pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penurunan AKI dan AKB. Untuk itu dibutuhkan tenaga bidan yang

BAB I PENDAHULUAN. penurunan AKI dan AKB. Untuk itu dibutuhkan tenaga bidan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tenaga bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan utama sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan dalam upaya percepatan penurunan AKI dan AKB. Untuk itu dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak persoalan, terutama di negara berkembang. Salah satunya adalah Negara

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak persoalan, terutama di negara berkembang. Salah satunya adalah Negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemenuhan hak-hak reproduksi wanita di dunia pada masa sekarang ini masih banyak persoalan, terutama di negara berkembang. Salah satunya adalah Negara Indonesia, di

Lebih terperinci

PERTEMUAN MINGGU KE 5

PERTEMUAN MINGGU KE 5 PERTEMUAN MINGGU KE 5 WUJUD KEBUDAYAAN Talcott Parsons bersama A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda). Diantaranya adalah keguguran,persalinan premature, BBLR, kelainan

BAB I PENDAHULUAN. muda). Diantaranya adalah keguguran,persalinan premature, BBLR, kelainan I.I Latar belakang BAB I PENDAHULUAN Pernikahan dini adalah pernikahan pada remaja dibawah usia 20 tahun yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Masa remaja juga merupakan masa yang rentan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu masa transisi antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Remaja dalam beberapa literatur biasanya merujuk pada usia 10-19 tahun. Badan Koordinasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and Development (ICPD) di Kairo (1994), adalah tentang seksual dan

BAB I PENDAHULUAN. and Development (ICPD) di Kairo (1994), adalah tentang seksual dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu isu terpenting tentang kesehatan reproduksi yang dibacakan dalam konferensi kependudukan sedunia Internasional Conference Population and Development (ICPD)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah; BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Perkawinan Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah; sedangkan menurut Purwadarminta (1979), kawin adalah perjodohan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM SEX EDUCATION Editor : Nurul Misbah, SKM ISU-ISU SEKSUALITAS : Pembicaraan mengenai seksualitas seringkali dianggap sebagai hal yang tabu tidak pantas dibicarakan dalam komunitas umum bersifat pribadi

Lebih terperinci

BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Pernikahan anak menjadi salah satu persoalan sosial di Kabupaten Gunungkidul. Meskipun praktik pernikahan anak di Kabupaten Gunungkidul kian menurun di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. telah disepakati dalam Dokument Millennium Declaration yang dituangkan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. telah disepakati dalam Dokument Millennium Declaration yang dituangkan sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komitment internasional untuk mewujudkan sasaran pembangunan global telah disepakati dalam Dokument Millennium Declaration yang dituangkan sebagai MDGs (Millenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa,

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa, 10 BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa, terutama kapasitas reproduksi yaitu perubahan alat kelamin dari tahap anak ke dewasa. Masa remaja yang

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB SUAMI PADA KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB DI KELUARGA. Suami yang ideal bagi keluarga muslim adalah suami yang bertaqwa

TANGGUNG JAWAB SUAMI PADA KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB DI KELUARGA. Suami yang ideal bagi keluarga muslim adalah suami yang bertaqwa TANGGUNG JAWAB SUAMI PADA KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB DI KELUARGA 1. Pendahuluan Kaum laki-laki (suami) adalah pelindung bagi wanita (isteri) oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (suami)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan hingga saat ini juga masih mengalami hambatan hambatan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan hingga saat ini juga masih mengalami hambatan hambatan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meskipun program KB dinyatakan cukup berhasil di Indonesia, namun dalam pelaksanaan hingga saat ini juga masih mengalami hambatan hambatan. Dari hasil penelitian diketahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan telah, sedang dan akan dilaksanakan untuk mengatasi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan telah, sedang dan akan dilaksanakan untuk mengatasi masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah penduduk merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu masalah kependudukan yang dihadapi Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang muncul di seluruh dunia, di samping isu tentang global warning, keterpurukan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang muncul di seluruh dunia, di samping isu tentang global warning, keterpurukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu permasalahan global yang muncul di seluruh dunia, di samping isu tentang global warning, keterpurukan ekonomi, masalah

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang :

Lebih terperinci

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN KB VASEKTOMI TERHADAP PENGETAHUAN SUAMI DI DESA SOCOKANGSI KECAMATAN JATINOM KABUPATEN KLATEN

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN KB VASEKTOMI TERHADAP PENGETAHUAN SUAMI DI DESA SOCOKANGSI KECAMATAN JATINOM KABUPATEN KLATEN PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN KB VASEKTOMI TERHADAP PENGETAHUAN SUAMI DI DESA SOCOKANGSI KECAMATAN JATINOM KABUPATEN KLATEN SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Pernikahan Usia Dini/ Usia Muda a. Pengertian Pernikahan usia muda adalah pernikahan yang dilakukan pada wanita dengan usia kurang dari 16 tahun dan pada

Lebih terperinci

MODUL PENGAJARAN MENJAGA JARAK KEHAMILAN DAN MEMILIH ALAT KONTRASEPSI YANG TEPAT

MODUL PENGAJARAN MENJAGA JARAK KEHAMILAN DAN MEMILIH ALAT KONTRASEPSI YANG TEPAT MODUL PENGAJARAN MENJAGA JARAK KEHAMILAN DAN MEMILIH ALAT KONTRASEPSI YANG TEPAT MENJAGA JARAK KEHAMILAN DAN MEMILIH ALAT KONTRASEPSI YANG I. MENJAGA JARAK KEHAMILAN A. Penentuan Jarak Kehamilan TEPAT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kualitas pelayanan kesehatan. Kematian ibu masih merupakan masalah besar yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kualitas pelayanan kesehatan. Kematian ibu masih merupakan masalah besar yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Angka kematian merupakan barometer status kesehatan, terutama kematian ibu dan kematian bayi. Tingginya angka kematian tersebut menunjukkan rendahnya kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Perilaku seksual dapat diwujudkan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keadaan stagnan yang ditandai dengan tidak meningkatnya beberapa indikator

BAB 1 PENDAHULUAN. keadaan stagnan yang ditandai dengan tidak meningkatnya beberapa indikator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Pelayanan Keluarga Berencana (KB) di Indonesia mengalami suatu keadaan stagnan yang ditandai dengan tidak meningkatnya beberapa indikator pelayanan KB yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penduduk Indonesia sebanyak jiwa dan diproyeksikan bahwa jumlah ini

I. PENDAHULUAN. penduduk Indonesia sebanyak jiwa dan diproyeksikan bahwa jumlah ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk salah satu negara sedang berkembang yang tidak luput dari masalah kependudukan. Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kependudukan telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia sejak ditandatanganinya deklarasi mengenai kependudukan oleh para pemimpin dunia termasuk presiden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi kearah

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi kearah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melalui kesepakatan International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 terjadi perubahan paradigma baru Program Keluarga Berencana Nasional (KBN).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mendorong semua lapisan masyarakat untuk masuk kedalam

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mendorong semua lapisan masyarakat untuk masuk kedalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dan informasi yang saat ini semakin cepat dan berkembang mendorong semua lapisan masyarakat untuk masuk kedalam system dunia yang mengglobal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa dimana anak sudah meninggalkan masa kanakkanaknya menuju dunia orang dewasa. Literatur mengenai remaja biasanya merujuk pada kurun usia 10-19

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Notoatmodjo (2007) masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa dewasa dan relatif belum mancapai tahap kematangan mental sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. masa dewasa dan relatif belum mancapai tahap kematangan mental sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja didefinisikan sebagai kondisi sehat yang menyangkut sistem fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja (Admin, 2008).

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI. Dr. Tri Niswati Utami, M.Kes

KESEHATAN REPRODUKSI. Dr. Tri Niswati Utami, M.Kes KESEHATAN REPRODUKSI Dr. Tri Niswati Utami, M.Kes Introduction Kespro keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit dan kecacatan, dalam semua hal yang berkaitan

Lebih terperinci

Volume 2 / Nomor 2 / November 2015 ISSN :

Volume 2 / Nomor 2 / November 2015 ISSN : HUBUNGAN PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI PASANGAN USIA SUBUR DENGAN PEMILIHAN KONTRASEPSI KELUARGA BERENCANA DI KECAMATAN SERENGAN Devi Pramita Sari APIKES Citra Medika Surakarta ABSTRAK Pasangan Usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, manusia untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh para pelayanan yang sensitif terhadap kebutuhan remaja. Seringnya pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. oleh para pelayanan yang sensitif terhadap kebutuhan remaja. Seringnya pelayanan BAB I PENDAHULUAN Pentingnya tahap remaja dalam perkembangan hidup seorang individu telah menyita perhatian internasional. Tahap remaja secara tradisional dikenal sebagai periode yang relatif bebas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang merupakan salah satu faktor yang memiliki peran besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesuai Undang undang No.17 Tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesuai Undang undang No.17 Tahun 2007 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak dasar atau hak fundamental warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesuai Undang undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON

KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON Disusun oleh: Nama : NIP : LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan satu periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan (Luthfiyah,

BAB I PENDAHULUAN. insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan (Luthfiyah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan dini merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan (Luthfiyah, 2008:56). Pola pikir zaman primitif dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja atau young people adalah anak yang berusia tahun (World

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja atau young people adalah anak yang berusia tahun (World BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja atau young people adalah anak yang berusia 10-19 tahun (World Health Organization, 2011). Pada periode ini manusia mengalami masa transisi dengan kebutuhan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kepadatan kependudukan di Indonesia merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kepadatan kependudukan di Indonesia merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kepadatan kependudukan di Indonesia merupakan salah satu masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak. Tidak hanya pemerintah, masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada konferensi kependudukan dunia, yang dilangsungkan di Cairo tahun 1994, sebanyak 179 negara peserta menyetujui bahwa pemberdayaan perempuan, pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah anak dalam keluarga (WHO, 2009). Program KB tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. jumlah anak dalam keluarga (WHO, 2009). Program KB tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga Berencana (KB) merupakan tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk mendapatkan objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,

Lebih terperinci

FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI INTRA UTERINE DEVICE

FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI INTRA UTERINE DEVICE FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI INTRA UTERINE DEVICE (IUD) DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS SIMPANG TIGA KABUPATEN PIDIE. TAHUN 2013 Nurbaiti Mahasiswi Pada STIKes U Budiyah Banda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang digunakan dengan jangka panjang, yang meliputi IUD, implant dan kontrasepsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang digunakan dengan jangka panjang, yang meliputi IUD, implant dan kontrasepsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Alat kontrasepsi jangka panjang (MKJP) adalah alat kontrasepsi yang digunakan untuk menunda, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan kesuburan, yang digunakan dengan

Lebih terperinci

Perempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women

Perempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women Perempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women Stand Alone Goal Prinsip Stand Alone Goal: 1. Kesetaraan Gender 2. Hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. 3. Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan hasil kesepakan International Conference On Population and

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan hasil kesepakan International Conference On Population and BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Keluarga Berencana merupakan program yang mendunia, hal ini sejalan dengan hasil kesepakan International Conference On Population and Development (ICPD) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada pertemuan International Conference on Population

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada pertemuan International Conference on Population BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada pertemuan International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo, 1994, yang diadakan oleh WHO dan lembaga dunia lainnya, diperoleh kesepakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) (1970, dalam Suratun, 2008)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) (1970, dalam Suratun, 2008) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO (World Health Organization) (1970, dalam Suratun, 2008) mengatakan bahwa program keluarga berencana merupakan suatu tindakan yang membantu pasangan suami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di dunia termasuk di Indonesia. Kebutuhan akan adanya program penanggulangan IMS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dihasilkan dalam International Conference of Population Development (ICPD) Cairo

BAB 1 PENDAHULUAN. dihasilkan dalam International Conference of Population Development (ICPD) Cairo BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan lingkungan strategis baik nasional, regional maupun internasional, telah memberi pengaruh pada program keluarga berencana nasional di Indonesia. Perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Kesehatan Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Perilaku Semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo, 2005) Lawrence Green

Lebih terperinci