Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan"

Transkripsi

1 2016 August Mellaz Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan Teori, Prinsip, Praktek Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat P a g e

2 Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan Teori, Prinsip, Praktek Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan Menjelang pembahasan dalam rangka perubahan rancangan undang-undang pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD 2014 (Pemilu Legislatif), beberapa isu mengemuka dalam perdebatan, antara lain; Ambang Batas Perwakilan (parliamentary threshold), Alokasi Kursi dan Besaran Daerah Pemilihan (district magnitude), dan Formula Perolehan Suara-Kursi partai politik (electoral formula). Ketiga isu tersebut, dipahami sebagai instrumen atau perangkat teknis pemilu yang berkaitan secara langsung dalam konversi suara partai politik menjadi kursi perwakilan. Khusus pada isu alokasi kursi daerah pemilihan. Saat ini proposal yang berkembang terkait alokasi kursi daerah pemilihan, adalah penurunan besaran alokasi kursi setiap daerah pemilihan antara; 3-6, 3-8, dan 3-10 kursi. Beberapa argumen yang mengemuka pada isu penurunan besaran magnitude daerah pemilihan, didasarkan pada keinginan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan sekaligus menciptakan stabilitas pemerintahan, memperkuat basis legitimasi wakil dan mendekatkannya dengan pemilih. Pada sisi lain, muncul pertanyaan, apakah sistem kepartaian yang ada dianggap sudah sangat meluas atau ekstrim. Pertanyaan berikutnya, jika alokasi kursi daerah pemilihan diturunkan, apakah tidak membawa dampak pada perubahan peta daerah pemilihan. Hal ini beranjak dari pembentukan daerah pemilihan di Indonesia, yang secara tradisi berbasis wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan). Meski banyak pihak memahami betapa penting pengaruh daerah pemilihan dan keterwakilan, namun studi ataupun kajian tentang daerah pemilihan sangatlah sedikit, jika tidak boleh dikatakan diabaikan. Untuk itu, pengalaman lebih dari dua ratus tahun di Amerika Serikat dan sebagian Eropa Barat dalam kurun waktu hampir satu abad, layak untuk dijadikan salah satu rujukan. 1 Pada sebagian besar Negara-negara di dunia, konsep keterwakilan selalu dikaitkan dengan wilayah teritorial. Sedangkan factor-faktor non teritorial yang turut diperhatikan, diantaranya; basis pemilih parpol, kelas sosial ataupun berbasis pendapatan, kepercayaan dan etnik, maupun kelompok-kelompok asosiasi. 2 Setidaknya ditemukan tiga dimensi penting yang mendasari basis penentuan daerah pemilihan; pertama, homogenitas. Didefinisikan sebagai seberapa tinggi tingkat kesamaan pandangan kelompok masyarakat atau konstituen. Baik pandangan politik atau ideologi, tata cara dan praktek kehidupan sehari-hari yang berpengaruh terhadap respon bersama atas suatu isu. Kedua, stabilitas. Tingkat kemapanan keanggotaan konstituen, dimana pilihannya terhadap partai atau kandidat tidak sering berubah dari satu perode pemilu ke periode pemilu yang lain. Model konstituensi di Amerika Serikat memiliki tingkat stabilitas yang lebih permanen, sedangkan model sistem proporsional biasanya cenderung berubah. Ketiga, voluntary. Permisif tidaknya pemilih atau basis konstituen terhadap masuk dan keluarnya partai-partai baru. Dengan kata lain, dari sisi pemilih, apakah pemilih memiliki keleluasaan untuk diwakili oleh partai-partai baru atau oleh partai-partai lama. Sedangkan dari sisi partai, apakah peluang keluar masuknya partai-partai baru atau kandidat besar atau kecil. 3 Di tengah perdebatan antar partai politik yang saat ini sedang menyusun perubahan undang-undang pemilu, catatan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan. Setidaknya pada beberapa hal, perlu ada kerangka yang sama dalam 1 Andrew Rehfeld, The Concept of Constituency: Political Representation, Democratic Legitimacy, and Institutional Design, Cambridge University Press, 2005, hlm Ibid, hlm Op.cit, Andrew Rehfeld, hlm P a g e

3 memandang daerah pemilihan. Baik pada sisi konsep, prinsip-prinsip utama dan praktek yang ada, baik di Indonesia maupun perbandingannya dengan negara-negara lain yang menerapkannya. Kerangka Konsep Proses pembentukan peta daerah pemilihan dan alokasi kursi daerah pemilihan - Pembentukan daerah pemilihan dan alokasi kursi daerah pemilihan di Indonesia terjadi pada setiap periode pemilu legislative berdasarkan undang-undang pemilu legislatif, yaitu 5 tahun sekali. - Pada Negara lain seperti Amerika Serikat, proses tersebut berlangsung sekali dalam 10 tahun sesuai dengan periode sensus sebagaimana diatur dalam konstitusi. 4 - Sebelum dilakukan pembentukan peta daerah pemilihan, terlebih dahulu ditentukan alokasi kursi DPR ke tingkat provinsi/negara bagian berdasarkan undang-undang. Setelah itu lembaga legislative Negara bagian membentuk peta daerah pemilihan. 5 Namun pada beberapa Negara bagian di Amerika seperti Iowa dan New Jersey, pembentukan peta daerah pemilihan dilakukan oleh komisi independen. 6 - Di Inggris dan Jerman pembentukan daerah pemilihan dilakukan oleh komisi Independen. 7 Visibilitas Penurunan Alokasi Kursi Daerah Pemilihan Isu penurunan (pengurangan alokasi kursi daerah pemilihan) bukan sekedar masalah bisa atau tidak. Sejauh pembuat undang-undang meniatkan hal itu dan riil politik menginginkannya, tentu hal tersebut bisa terjadi. Sebelum membahas feasibility pengurangan alokasi kursi daerah pemilihan, seharusnya pembuat undang-undang menyepakati terlebih dahulu apakah alokasi kursi DPR RI 560 kursi ke tingkat provinsi sudah tepat atau tidak. Prinsip-prinsip dan formula alokasi yang digunakan apakah sudah jelas. Selain itu, data kependudukan apa yang akan digunakan untuk alokasi kursi DPR ke tingkat provinsi. Setelah isu alokasi kursi DPR ke tingkat provinsi bisa disepakati, maka relevan untuk membicarakan visibilitas penurunan jumlah alokasi kursi daerah pemilihan. Menurut saya, kita harus menuntaskan segala potensi terjadinya malapportionment atau pembagian secara tidak adil kursi perwakilan berdasarkan jumlah penduduk. Hal ini tidak hanya terjadi pada alokasi kursi DPR, tetapi juga terjadi pada alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kemudian beberapa prinsip penting yang hendaknya dipegang dan dipakai oleh para pembuat undang-undang dalam proposal pembentukan dan pengurangan alokasi kursi daerah pemilihan, antara lain; 8 1. Daerah pemilihan merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous district) 2. Kesetaraan populasi (equal population) 4 Michel L. Balinsky and Peyton Young, Fair Representation: Meeting The Ideal of One Man, One Vote, second edition, Brookings Institution Press, Washington DC, 2001, hlm. 5 5 Thomas L. Brunel, Redistricting and Representation: Why Competitive Elections are Bad for America, Routledge, 2008, hlm. 3 6 Ibid 7 Gianfranco Baldini dan Adriano Pappalardo, Elections, Electoral Systems and Volatile Voters, Palgrave Macmillan, 2009, hlm Op.cit Thomas Brunell, hlm P a g e

4 3. Menjaga kesamaan kepentingan dari komunitas (preserving communities of interest) 4. Menjaga keutuhan wilayah politik/administrasi (preserving political subdivision), dan 5. Kekompakan daerah pemilihan (compactness) Sebenarnya ada satu lagi prinsip, yaitu perlindungan terhadap petahana (protecting of incumbent). Prinsip ini ditemui dalam konteks pembentukan daerah pemilihan di Amerika Serikat yang menerapkan satu distrik satu wakil (single member district). 9 Hal ini juga terjadi di Indonesia terutama akibat perubahan alokasi kursi dan peta daerah pemilihan pada pemilu Namun, situasi ini masih menimbulkan pertanyaan, apakah sesuai dengan konteks Indonesia yang menerapkan distrik berwakil banyak (multi member district). Beberapa prinsip di atas, selain memiliki tingkat prioritas yang lebih tinggi dibanding yang lain, juga seringkali saling bertentangan. Oleh karena itu, pilihan-pilihan yang hendak diprioritaskan, akan memberi dampak pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Diantara prinsip-prinsip di atas, yang paling ketat adalah daerah pemilihan hendaknya merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous district). 10 Jika dilihat prakteknya, maka gabungan antara Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur sebagai daerah pemilihan untuk DPR, menjadi contoh kongkrit pelanggaran atas prinsip ini. Pertentangan antara satu prinsip dengan prinsip yang lain biasanya muncul dalam pembentukan daerah pemilihan. Misalnya, prinsip kesetaraan populasi. Jika ketentuan ini yang hendak disasar -dalam rangka menciptakan kesetaraan populasi antar daerah pemilihanbiasanya akan bertentangan dengan prinsip menjaga keutuhan wilayah administrasi. Oleh karena itu, ketentuan wilayah administrasi biasanya ditanggalkan, jika tidak maka ketidaksetaraan atau deviasi yang terjadi. Bisa saja, karena alasan keutuhan wilayah administrasi maka deviasi -akibat ketidaksetaraan populasi- diberikan toleransi. Namun, toleransi terhadap deviasi karena alasan menjaga keutuhan suatu wilayah, biasanya akan mengundang munculnya berbagai praktek gerrymandering. 11 Konsekuensi-konsekuensi ini haruslah sepenuhnya dipahami oleh pembuat undang-undang. Jika memang niat menurunkan district magnitude, katakanlah antara 3-6 atau 3-8, dan sekaligus keutuhan wilayah hendak dijaga. Maka perlu diketahui terlebih dahulu secara pasti jatah kursi tiap-tiap kabupaten/kota di dalam suatu provinsi. Dari perhitungan terhadap 499 kabupaten/kota sesuai data sensus BPS 2010, setidaknya ada dua Kabupaten yaitu, 9 Ibid, hlm Ibid, hlm Praktik ini dikaitkan dengan pembuatan peta atau garis daerah pemilihan yang tidak seimbang dan bertujuan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini partai tertentu. Lebih lanjut lihat Michael D. McDonald dan Richard L. Engstrom Detecting Gerrymandering, dalam Political Gerrymandering and The Court, Bernard Grofman (ed), Agathon Press, New York, 1990, hlm Sedangkan istilahnya diambil dari nama Elbrigde Gerry, Gubernur Negara Bagian Massachusetts Lebih lanjut lihat Gary W. Cox dan Jonathan N. Katz dalam Elbridge Gerry Salamander The Electoral Consequences of the Reapportionment Revolution, Cambridge University Press, 2004, hlm Istilah ini juga muncul di Irlandia era perdana Menteri James Tully (Fine Gael), maka disebut sebagai Tullymandering. Hanya saja berbeda dengan Elbridge Gerry yang diuntungkan, justru James Tully malah dirugikan, meski maunya diuntungkan. Lihat Op.cit, Gianfranco Baldini dan Adriano Pappalardo, hlm P a g e

5 Kabupaten Bogor berhak menerima alokasi kursi untuk DPR sebanyak 11 kursi. Sedangkan untuk Kabupaten Bandung berhak setidaknya 7 kursi. Pada sisi lain, gabungan daerah pemilihan untuk Malang Raya di Jawa Timur (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) berhak menerima 8 kursi. Setelah mengetahui berapa alokasi kursi tiap-tiap kabupaten/kota, baru penentuan daerah pemilihan berdasarkan prinsip-prinsip utama dapat diputuskan. Beberapa konsekuensi yang akan muncul; jika alokasi kursi per daerah pemilihan ditentukan antara 3-8, maka Kabupaten Bogor mau tidak mau haruslah dipecah. Jika alokasi daerah pemilihan antara 3-6, selain kabupaten Bogor, kabupaten Bandung juga harus menerima konsekuensinya karena berhak mendapatkan 7 kursi. Sedangkan pada daerah pemilihan Malang Raya, konsekuensi akan muncul, karena Kabupaten Malang berhak mendapatkan alokasi kursi tidak kurang dari 6. Sedangkan Kota Malang berhak atas 2 kursi dan Kota Batu nol. Beranjak dari informasi dan konsekuensi yang akan muncul, sekarang tinggal pembuat undang-undang saja, apakah konsekuensi tersebut bisa ditempuh (memecah wilayah administrasi). Atau masihkah ada alternative lain? Misalnya, menggabungkan beberapa wilayah ditingkat kecamatan misalnya untuk kasus kabupaten Bogor yang berbatasan terdekat dengan kota Bogor dapat digabungkan. Hal ini beranjak dari pertimbangan, pada sebagian kecamatan-kecamatan di kabupaten Bogor yang berdekatan atau berbatasan secara langsung dengan kota Bogor diasumsikan memiliki kedekatan budaya (kultur urban dsb) atau dengan kata lain memiliki ciri dan kepentingan yang sama meski secara administrative berbeda. Hal ini juga berlaku untuk daerah pemilihan Malang Raya. Sebenarnya, isu alokasi kursi daerah pemilihan dan pembentukan daerah pemilihan harus diakui merupakan isu yang relative baru. Bandingkan dengan Negara seperti amerika serikat yang memiliki pengalaman lebih dari dua ratus tahun, dimana kajian ini menjadi disiplin ilmu tersendiri dan bahkan melibatkan berbagai putusan dari pengadilan, baik tingkat Negara bagian hingga federal. Putusan-putusan pengadilan berbagai tingkatan ini pada akhirnya membantu memberikan tafsir bagi otoritas pembuat kebijakan dalam penentuan dan pembentukan peta daerah pemilihan. Blok Sensus atau Alternatif Lain sebagai Basis Pembentukan Daerah Pemilihan Blok sensus memang bukan sebuah konsep yang paripurna dan paling tepat. Namun, model blok sensus menyediakan gambaran alternative yang perlu disesuaikan jika turut dilibatkan dalam isu pembentukan daerah pemilihan. Di Indonesia sendiri, blok sensus di Indonesia merupakan wilayah kerja petugas pencacah guna mendapatkan informasi utuh atau 100%. Blok sensus di Indonesia sendiri populasinya bisa antara 100 orang atau 200 rumah yang berada dalam wilayah administrasi setingkat desa. Sehingga dalam suatu wilayah administrasi misalnya setingkat kabupaten/kota, blok sensus tentu saja bisa terdiri dari ribuan. Tetapi yang paling penting prinsipnya, yaitu equal population. Sejauh literature yang tersedia, seperti di Amerika Serikat misalnya, isu alokasi kursi untuk legislative beranjak dari data sensus yang dilakukan tiap sepuluh tahun sekali. Dimana setahun setelah sensus, maka alokasi kursi dan sekaligus pembentukan daerah pemilihan dilakukan. Hal ini akan berlangsung dalam dua periode pemilu. Meskipun penentuan alokasi 5 P a g e

6 kursi ditetapkan oleh lembaga legislative (kongres atau senat bisa mengajukan proposalnya) dan pembentukan peta daerah pemilihan oleh semacam komisi boundaries (districting). Namun memperlihatkan gejala kuat peran dari badan sensus dan termasuk konsep-konsepnya menjadi pegangan dan informasi yang penting, dalam penentuan peta daerah pemilihan. Isu alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan di Indonesia masih relative isu baru. Oleh karena itu, justru hal ini memberikan peluang bagi masuknya para ahli; statistik, matematik, informasi teknologi, ilmuwan politik, para ahli pemetaan dan sebagainya untuk dilibatkan dalam membahas isu ini. Dengan keterlibatan para ahli tersebut, maka berbagai prinsip pembentukan daerah pemilihan dapat diterjemahkan, dan diimplementasikan dengan lebih terukur. Keinginan ini berangkat dari harapan yang sederhana, dengan membuka informasi semacam ini, diharapkan ada kesadaran bahwa persoalan pemilu bukan melulu ranah para individu yang studi tentang ilmu politik ataupun para politisi. Demikian juga, diharapkan para ilmuwan politik juga mulai mengenal aspek-aspek teknis semacam ini. Problematika Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan di Indonesia Selama ini banyak pihak yang menganggap bahwa persoalan alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan hanyalah masalah politik. Oleh karena itu, penentuannya semata-mata menjadi otoritas lembaga-lembaga politik, dalam hal ini DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang. Meskipun khusus untuk pemilu 2004, pembentukan daerah pemilihan diserahkan ke KPU, sedangkan pada pemilu 2009 menjadi lampiran undangundang. Jika diperhatikan, secara relative apa yang dihasilkan KPU 2004 terkait dengan pembentukan daerah pemilihan lebih baik, meski bukan tanpa masalah. Pada sisi alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan, masalah yang paling banyak muncul antara lain; - Malapportionment 12 (beberapa provinsi mendapatkan kursi perwakilan melebihi jumlah penduduknya) misalnya; Sulawesi Selatan, Sumatera Barat. Sedangkan Riau dan Kepulauan Riau mendapatkan kursi keterwakilan kurang dari jumlah penduduk yang seharusnya. - Masalah lain adalah apa yang disebut dengan tidak terjaganya kekompakan dan keutuhan daerah pemilihan (misalnya gabungan antara Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur yang harus melewati Kabupaten Bogor). - Kesetaraan populasi (alokasi kursi daerah pemilihan di dalam satu provinsi yang sama berjarak terlalu besar). Misalnya; tahun 2004 alokasi kursi daerah pemilihan dalam satu provinsi yang sama ada yang 6, sedang daerah pemilihan sebelahnya 12. Tahun 2009, ada yang 7 dan daerah pemilihan sebelahnya 10. Apakah mungkin jarak ini diperpendek misalnya 8 dan 9 kursi. - Paling banyak, terutama untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah melebihi ketentuan 3-12 kursi, atau seharusnya mendapatkan lebih dari 12 kursi tetapi harus dipaksa 12 (misalnya daerah pemilihan DPRD Kota Probolinggo). 12 Berasal dari istilah apportionment atau pembagian atau alokasi kursi perwakilan (DPR) berdasarkan jumlah populasi secara adil. Oleh karena itu malapportionment diartikan kesalahan alokasi atau pembagian yang tidak menghormati jumlah pupulasi (penduduk) yang seharusnya. Bisa diukur dari ratio jumlah penduduk dibanding dengan jumlah kursi perwakilan yang diterima apakah seimbang atau tidak. Lebih lanjut Op. cit lihat Michel Balinsky dan Peyton Young, hlm P a g e

7 - Gerrymandering, misalnya mencampur wilayah perkotaan dengan wilayah kabupaten. Namun hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut dan mendalam. Apakah situasi ini dalam konteks Indonesia cenderung menguntungkan salah satu partai atau tidak. Persoalan ketimpangan harga kursi antara 2004 dengan Saya melihat bahwa ketentuan harga kursi DPR pada pemilu 2004 antara 325 ribu dan 425 ribu yang diputuskan undangundang menjadi problem utama. Hal ini saya kira sudah tuntas dikupas oleh Pipit R. Kartawidjaja dan Sidik Pramono dalam buku Akal-Akalan Daerah Pemilihan. Dalam buku tersebut diperlihatkan bahwa betapa KPU masa itu kesulitan untuk mengimplementasikan ketentuan harga kursi DPR. Begitu masuk pemilu 2009, masalah yang muncul pada pemilu 2004 tidak pernah dilakukan evaluasi dalam rangka perbaikan. Bahkan, sejauh yang saya tahu data kependudukan apa yang jadi dasar untuk alokasi kursi juga tidak muncul pada saat itu. Selain itu, apa metode alokasi kursi yang dipakai tidak juga jelas. Misalnya, bagaimana mungkin penduduk Riau yang lebih banyak daripada Sumatera Barat, tetapi alokasi kursi DPR untuk Sumatera Barat lebih besar dibanding Riau. Kemudian faktor-faktor politis lebih mengemuka ketika alokasi kursi dilakukan, misalnya untuk Sulawesi Selatan yang dimekarkan dengan Sulawesi Barat. Dimana sebagian penduduk Sulawesi Selatan ikut ke provinsi baru, namun tidak demikian dengan alokasi kursinya. Pada beberapa Negara yang menggunakan prinsip one person, one vote, one value memang ada ada toleransi atas adanya deviasi. Misalnya 10% jarak antara yang tertinggi dan terendah di Inggris, dan 15% untuk daerah pemilihan di Jerman. Sedangkan di Amerika, deviasi bisa diterima, namun dasarnya haruslah sangat kuat. Misalnya deviasi bisa diterima alasan menjaga kepentingan komunitas agar tetap utuh menjadi prinsip. 13 Tetapi toleransi semacam ini melibatkan putusan pengadilan (kasus di amerika serikat) atau melibatkan putusan otoritas pembentuk daerah pemilihan (election boundary commission di Inggris). Meski kasus-kasus ini muncul banyak di Negara-negara yang menerapkan prinsip equal population, bukan berarti prinsip tersebut tidak dapat diterapkan di Indonesia. Equal population untuk di Indonesia, mungkin tidak dimaksudkan untuk menilai dari sisi keadilan murni - oleh karena bisa jadi konsensus semacam menjaga keutuhan wilayah administrasi merupakan prinsip yang juga ingin dijaga. 14 Jika dua faktor ini (batas toleransi dan batas administrative) bisa dijaga, tentu akan lebih bagus. Tetapi yang lebih penting untuk saat ini adalah, perlunya suatu evaluasi dan perbaikan terkait dengan beberapa persoalan yang muncul dalam alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan. Misalnya malapportionment. Kaitan Aspek Daerah Pemilihan dengan Perangkat Teknis Pemilu Lainnya Berapa idealnya alokasi kursi daerah pemilihan, tentu bergantung tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri. Yang hendak menjadi tekanan adalah, kita tidak bisa melihat district magnitude per se tanpa melibatkan faktor atau instrumen pemilu lainnya. 13 Deviasi di Amerika Serikat semakin jarang terjadi, bahkan tahun 2002 peta daerah pemilihan Pennsylvania dibatalkan dan harus dilakukan alokasi baru, karena muncul deviasi meski hanya 19 orang atau kurang dari,003 persen. Op.cit Andrew Rehfeld, hlm Konsensus ini dapat berupa alokasi kursi minimal dari Negara bagian/propvinsi untuk perwakilan di DPR. Misalnya Amerika Serikat menjamin satu kursi untuk Negara bagian. Kanada menjamin jumlah kursi perwakilan minimal untuk provinsi sebanyak jumlah senator. Prancis, memberikan jaminan dua kursi perwakilan tingkat nasional untuk setiap departemen. Sedangkan untuk Indonesia, diberikan jaminan minimal tiga kursi perwakilan di DPR untuk provinsi yang jumlah penduduknya kurang atau provinsi baru. Lebih lanjut lihat, op.cit Michel Balinsky dan Peyton Young, hlm P a g e

8 Misalnya perangkat teknis tentang formula perhitungan dan ambang batas hendaknya juga turut diperhatikan. Karena, ketiga perangkat teknis tersebut turut dilibatkan sebagai proposal pada revisi undang-undang pemilu. Tiga instrumen tersebut merupakan perangkat teknis pemilu yang secara langsung berpengaruh dalam mengubah suara parpol menjadi kursi. Perubahan pada salah satu atau ketiganya akan memberikan dampak pada tujuan-tujuan pemilu; misalnya proporsional hasil dan sekaligus derajat keterwakilan lebih tinggi dari sebuah pemilu; pembentukan sistem kepartaian dan sekaligus tendensi pemerintahan yang lebih efektif. Persoalan district magnitude antara 3-6, 3-8, dan 3-10 juga memiliki berbagai konsekuensi. Masalahnya, apakah kita semua dapat memahami bahwa konsekuensi itu ada dan dapat menerimanya. Apakah prinsip-prinsip yang ada dapat dijaga dan dapat menjadi konsensus bersama diantara pembuat undang-undang. Kesimpulan dan Rekomendasi Isu alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan merupakan isu yang relative baru di Indonesia dan masih terbatas sebagai konsumsi para politisi. Oleh karena banyak dimensi yang penting dalam pembahasannya, maka perlu dibuka ruang bagi keterlibatan para ahli dan kalangan professional dalam membicarakan isu ini. Penggunaan basis data kependudukan untuk alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sebaiknya menggunakan data sensus terakhir. Begitu juga dengan pembentukan peta daerah pemilihan, sebaiknya mengikuti periode sensus setiap 10 tahun sekali. Sehingga sekali alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan dilakukan, maka bisa digunakan untuk dua kali periode pemilu. Peran DPR dan Pemerintah sebagai pembuat undang-undang, mungkin dapat berhenti pada ketentuan tentang alokasi kursi untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dan menetapkan prinsip-prinsip penting yang menjadi dasar pada pembentukan daerah pemilihan. Sedangkan untuk pembentukan peta daerah pemilihan bisa dimandatkan kepada KPU dan jajarannya. 8 P a g e

Problematika Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan. Pemilu Indonesia 1

Problematika Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan. Pemilu Indonesia 1 Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat Info.spdindonesia@gmail.com +6281218560749 www.spd-indonesia.com Problematika Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan Pemilu Indonesia

Lebih terperinci

Problematika Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan. Diskusi Media Minggu, 9 Oktober 2016 Bakoel Koffie Cikini

Problematika Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan. Diskusi Media Minggu, 9 Oktober 2016 Bakoel Koffie Cikini Problematika Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan Diskusi Media Minggu, 9 Oktober 2016 Bakoel Koffie Cikini Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan Pemilu Pemilu Alokasi kursi dan Pembentukan

Lebih terperinci

PEMANDANGAN UMUM FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA DPR RI TERHADAP KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR/DPRD DAN DPD

PEMANDANGAN UMUM FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA DPR RI TERHADAP KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR/DPRD DAN DPD PEMANDANGAN UMUM FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA DPR RI TERHADAP KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR/DPRD DAN DPD Disampaikan oleh juru bicara FKB DPR RI : Dra. Bariyah Fayumi, Lc Anggota

Lebih terperinci

Prinsip Penataan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi KIP Kota Banda Aceh. Indra Milwady, S.Sos Banda Aceh, 20 Desember 2017

Prinsip Penataan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi KIP Kota Banda Aceh. Indra Milwady, S.Sos Banda Aceh, 20 Desember 2017 Prinsip Penataan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi KIP Kota Banda Aceh Indra Milwady, S.Sos Banda Aceh, 20 Desember 2017 Penentuan Dapil anggota Legislatif Di dalam UU Nomor 7 tahun 2017 diatur : Dapil

Lebih terperinci

Demokrat Peduli, Serap Aspirasi, dan Beri Solusi Untuk Kesejahteraan Rakyat

Demokrat Peduli, Serap Aspirasi, dan Beri Solusi Untuk Kesejahteraan Rakyat PANDANGAN FRAKSI FRAKSI PARTAI DEMOKRAT DPR RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DALAM PEMBICARAAN TINGKAT II (PENGAMBILAN KEPUTUSAN) PADA RAPAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi kesinambungan dibandingkan dengan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. sistem-sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di kedua Pemilu itu

BAB V PENUTUP. sistem-sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di kedua Pemilu itu BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Pembahasan dalam bab sebelumnya (Bab IV) telah diuraikan beberapa ketentuan pokok dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD 2009 dan 2014

Lebih terperinci

Penataan Ulang Dapil

Penataan Ulang Dapil Penataan Ulang Dapil Dengan sedikit perubahan pada tahun 2008, daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD yang ada sekarang ini tidak hanya sudah berlaku selama tiga kali pemilu (2004, 2009, dan 2014), tetapi

Lebih terperinci

DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF

DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF Susilo Imam Santosa I Ketut Suardita Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Constitutionally Indonesia adopted a presidential

Lebih terperinci

BAB II TINAJAUAN UMUM TENTANG PEMILU DAN KONSEPS DASAR PEMBENTUKAN PARLIAMENTERY THRESHOLD DI INDONESIA

BAB II TINAJAUAN UMUM TENTANG PEMILU DAN KONSEPS DASAR PEMBENTUKAN PARLIAMENTERY THRESHOLD DI INDONESIA BAB II TINAJAUAN UMUM TENTANG PEMILU DAN KONSEPS DASAR PEMBENTUKAN PARLIAMENTERY THRESHOLD DI INDONESIA 2.1 Pemilihan Umum Legislatif Dalam sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan yang demokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk rakyat (Abraham Lincoln). Demokrasi disebut juga pemerintahan rakyat

BAB I PENDAHULUAN. untuk rakyat (Abraham Lincoln). Demokrasi disebut juga pemerintahan rakyat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abraham Lincoln). Demokrasi disebut juga pemerintahan rakyat sebagai bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat info.spdindonesia@gmail.com +621 3906072 www.spd-indonesia.com Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia

Lebih terperinci

Penyelenggara Pemilu Harus Independen

Penyelenggara Pemilu Harus Independen Penyelenggara Pemilu Harus Independen SALAH satu hasil studi banding Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu DPR ke Meksiko dan Jerman ialah keinginan sejumlah anggota untuk menempatkan anggota partai sebagai

Lebih terperinci

MENETAPKAN ARENA PEREBUTAN KURSI DPRD

MENETAPKAN ARENA PEREBUTAN KURSI DPRD MENETAPKAN ARENA PEREBUTAN KURSI DPRD Penerapan Prinsip-Prinsip Pemilu Demokratis dalam Pembentukan Daerah Pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Pemilu 2014 PENULIS KHOIRUNNISA AGUSTYATI, LIA

Lebih terperinci

RELASI ANTARA SISTEM PEMILU + SISTEM KEPARTAIAN+ LATAR BELAKANG SOSIAL+ JARAK IDEOLOGI = POLITICAL ORDER ( STABILITAS POLITIK). ADA DUA TESIS UTAMA

RELASI ANTARA SISTEM PEMILU + SISTEM KEPARTAIAN+ LATAR BELAKANG SOSIAL+ JARAK IDEOLOGI = POLITICAL ORDER ( STABILITAS POLITIK). ADA DUA TESIS UTAMA RELASI ANTARA SISTEM PEMILU + SISTEM KEPARTAIAN+ LATAR BELAKANG SOSIAL+ JARAK IDEOLOGI = POLITICAL ORDER ( STABILITAS POLITIK). ADA DUA TESIS UTAMA 1. LATAR BELAKANG SOSIAL PLURAL + SISTEM PROPOSIONAL+

Lebih terperinci

TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG VERIFIKASI PARTAI POLITIK

TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG VERIFIKASI PARTAI POLITIK Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Gd. Nusantara I Lt. 2 Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta Pusat - 10270 c 5715409 d 5715245 m infosingkat@gmail.com BIDANG HUKUM KAJIAN SINGKAT TERHADAP ISU AKTUAL DAN

Lebih terperinci

Perolehan Suara Menjadi Kursi

Perolehan Suara Menjadi Kursi Cara Penghitungan Perolehan Suara Menjadi Kursi DPR dan DPRD Pemilu 2014 Cara Penghitungan Perolehan Suara Menjadi Kursi DPR dan DPRD Pemilu 2014 Indonesian Parliamentary Center (IPC) 2014 Cara Penghitungan

Lebih terperinci

Jurnal Saintech Vol No.02-Juni 2016 ISSN No

Jurnal Saintech Vol No.02-Juni 2016 ISSN No PENTINGNYA PEMBENAHAN DAERAH PEMILIHAN Oleh : Benyamin Pinem, ST.,MM Ketua KPU Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara Abstract The purpose of this research is to : 1) maximizing the representation candidate

Lebih terperinci

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat Info.spdindonesia@gmail.com +621 3906072 www.spd-indonesia.com Pandangan SPD terhadap RUU Penyelenggaraan Pemilu Pilihan Sistem Pemilu;

Lebih terperinci

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH Policy Brief [05] Kodifikasi Undang-undang Pemilu Oleh Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu MASALAH Demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan yang terbaik, namun demokrasi adalah bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

Evaluasi Rencana Penambahan Jumlah Kursi DPR

Evaluasi Rencana Penambahan Jumlah Kursi DPR Evaluasi Rencana Penambahan DPR Oleh: Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Pendahuluan Salah satu isu krusial yang kini tengah dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan

Lebih terperinci

PEMILU. Oleh : Nur Hidayah

PEMILU. Oleh : Nur Hidayah PEMILU Oleh : Nur Hidayah A. PENGERTIAN PEMILU Merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada demokrasi perwakilan. Pemilu diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu (Budiardjo, 2009:461). Pemilihan umum dilakukan sebagai

Lebih terperinci

ALOKASI KURSI DPR 560 KE PROVINSI DAN PEMBENTUKAN DAERAH PEMILIHAN 3-6 KURSI, 3-8 KURSI, DAN 3-10 KURSI

ALOKASI KURSI DPR 560 KE PROVINSI DAN PEMBENTUKAN DAERAH PEMILIHAN 3-6 KURSI, 3-8 KURSI, DAN 3-10 KURSI ALOKASI KURSI DPR 560 KE PROVINSI DAN PEMBENTUKAN DAERAH PEMILIHAN 3-6 KURSI, 3-8 KURSI, DAN 3-10 KURSI BERDASARKAN PRINSIP KESETARAAN SUARA [PASAL 27 AYAT (1) UUD 1945] DAN BERBASIS DATA SENSUS PENDUDUK

Lebih terperinci

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat info.spdindonesia@gmail.com +621 3906072 www.spd-indonesia.com Pandangan Kritis Sindikasi Pemilu dan Demokrasi SPD Terhadap Revisi Undang-undang

Lebih terperinci

Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia

Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia Sindikasi Pemilu dan Demokrasi SPD Diskusi Media, 18 September 2016 Bakoel Koffie Cikini Pengantar Pembahasan RUU Penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENJELASAN PEMERINTAH ATAS RUU TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DPRD, DAN RUU TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SELASA, 10 JULI 2007

PENJELASAN PEMERINTAH ATAS RUU TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DPRD, DAN RUU TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SELASA, 10 JULI 2007 PENJELASAN PEMERINTAH ATAS RUU TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DPRD, DAN RUU TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SELASA, 10 JULI 2007 PANDANGAN DAN PENDAPAT FRAKSI-FRAKSI TERHADAP PANDANGAN DAN

Lebih terperinci

SISTEM PEMILU DI JERMAN

SISTEM PEMILU DI JERMAN SISTEM PEMILU DI JERMAN Jerman merupakan demokrasi parlementer berbentuk negara federasi. Organ konstitusi yang sangat dikenal masyarakat adalah Parlemen Federal, Bundestag. Anggotanya dipilih langsung

Lebih terperinci

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (3)

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (3) Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Caleg Terpilih (3) Oleh MIFTAKHUL HUDA* Sebelumnya telah dikemukakan Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Caleg Terpilih (1) untuk Pemilu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Founding fathers bangsa Indonesia telah memberikan ketegasan di dalam perumusan dasar pembentukan negara dimana Indonesia harus dibangun dan dikelola salah satunya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi. Hasil Pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang sering kali diperdebatkan. Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh perempuan dalam partai

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN PDIP PPP PD

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN PDIP PPP PD DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN POIN NO.DIM RUU FRAKSI USULAN PERUBAHAN SISTEM PEMILU 59 (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi,

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110,111,112,113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Lebih terperinci

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati, PANDANGAN FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR RI TERHADAP PENJELASAN PEMERINTAH ATAS RUU TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DPRD, DAN RUU TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Disampaikan Oleh : Pastor

Lebih terperinci

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 Disampaikan pada acara Round Table Discussion (RTD) Lemhannas, Jakarta, Rabu 12 Oktober

Lebih terperinci

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1)

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1) Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Caleg Terpilih (1) Oleh MIFTAKHUL HUDA* Lebih mudah cara menghitung perolehan kursi bagi partai politik (parpol) peserta pemilu 2014 dan penetapan calon

Lebih terperinci

Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia. Oleh Syamsuddin Haris

Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia. Oleh Syamsuddin Haris Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia Oleh Syamsuddin Haris Apa Masalah Pemilu-pemilu Kita? (1) Pemilu-pemilu (dan Pilkada) semakin bebas, demokratis, dan bahkan langsung,

Lebih terperinci

Dampak Pembagian Daerah Pemilihan dalam Mewujudkan Pemilu Demokratis di Dapil III Jawa Barat (Kota Bogor Dan Kabupaten Cianjur)

Dampak Pembagian Daerah Pemilihan dalam Mewujudkan Pemilu Demokratis di Dapil III Jawa Barat (Kota Bogor Dan Kabupaten Cianjur) 198 Dampak Pembagian Daerah Pemilihan dalam Mewujudkan Pemilu Demokratis di Dapil III Jawa Barat (Kota Bogor Dan Kabupaten Cianjur) Kalimah Wasis Lestari Email : kwlestari@gmail.com ABSTRAK Pembagian daerah

Lebih terperinci

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008 PEMILIHAN UMUM R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008 Sub Pokok Bahasan Memahami Sistem Pemilu dalam Ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH A. KONDISI UMUM Keberhasilan menempatkan proses pembangunan kelembagaan politik demokrasi pada jalur dan arah yang benar selama tahun 2004 dan 2005

Lebih terperinci

dilaksanakan asas langusng, umum,bebas, rahasia, jujur dan adil. 2

dilaksanakan asas langusng, umum,bebas, rahasia, jujur dan adil. 2 41 BAB III SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA DALAM PENGUATAN KEANGGOTAAN DPR RI A. Sistem Proporsional Terbuka Menurut Farrel, sistem proporsional selalu diasosiasikan dengan nama 4 empat orang, yaitu

Lebih terperinci

Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum

Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum Cecep Hidayat cecep.hidayat@ui.ac.id - www.cecep.hidayat.com Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Materi Bahasan Definisi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA TANJUNGBALAI. NOMOR: 5 /Kpts/KPU /2015

KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA TANJUNGBALAI. NOMOR: 5 /Kpts/KPU /2015 KEPUTUSAN NOMOR: 5 /Kpts/KPU-002.434894/2015 TENTANG PENETAPAN JUMLAH MINIMAL PEROLEHAN KURSI DAN AKUMULASI PEROLEHAN SUARA SAH PARTAI POLITIK ATAU GABUNGAN PARTAI POLITIK SEBAGAI SYARAT PENDAFTARAN BAKAL

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 111 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 111 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 111 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua I. PARA PEMOHON Ahmad Yani, S.H., M.H. Drs. H. Zainut Tauhid Sa adi

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu

Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu Oleh: Hardinata Abstract In the culture of Elections in Indonesia, one of new challenge for Indonesia is the Regional Election directly initiated

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pemilu merupakan salah satu arena ekspresi demokrasi yang dapat berfungsi sebagai medium untuk meraih kekuasaan politik. Karenanya, berbagai partai politik

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji:

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji: Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-VI/2008 tanggal 30 Desember 2009 atas Undang-undang 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

Isu Krusial RUU Pemilu 1. Bayu Dardias

Isu Krusial RUU Pemilu 1. Bayu Dardias Isu Krusial RUU Pemilu 1 Bayu Dardias bayudardias@ugm.ac.id http://bayudardias.staff.ugm.ac.id Pemilu pada dasarnya adalah setumpuk hal ihwal teknis yang berusaha untuk mentransfer suara pemilih menjadi

Lebih terperinci

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS Anang Dony Irawan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya Jl. Sutorejo No. 59 Surabaya 60113 Telp. 031-3811966,

Lebih terperinci

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 S T U D I K A S U S Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 F R A N C I S I A S S E S E D A TIDAK ADA RINTANGAN HUKUM FORMAL YANG MENGHALANGI PEREMPUAN untuk ambil bagian dalam

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. Universitas Indonesia. Pembubaran partai..., Muchamad Ali Safa at, FH UI., 2009.

BAB VII PENUTUP. Universitas Indonesia. Pembubaran partai..., Muchamad Ali Safa at, FH UI., 2009. BAB VII PENUTUP 7.1. KESIMPULAN 1. Pembubaran partai politik pada setiap periode diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali pada masa Orde Baru yang tidak mengenal pembubaran partai politik.

Lebih terperinci

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Apakah Sistem Demokrasi Pancasila Itu? Tatkala konsep

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULA DA SARA

BAB V KESIMPULA DA SARA 152 BAB V KESIMPULA DA SARA 5.1 Kesimpulan Bertitik tolak dari uraian dalam bab III dan IV yang merupakan analisa terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU No. 10 tahun 2008 dan

Lebih terperinci

Implication, the Application, the system of general election, direct election. By: Bustanuddin, S.H., LL.M. Abstrac

Implication, the Application, the system of general election, direct election. By: Bustanuddin, S.H., LL.M. Abstrac 1 Implikasi Penerapan Sistem Pemilihan Umum Tertentu Terhadap Hasil Pemilihan Umum Di Indonesia By: Bustanuddin, S.H., LL.M. Abstrac General Election is a mean of transferring power in a state. The system

Lebih terperinci

PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM KEPARTAIAN : SUATU STUDI TERHADAP PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) DALAM PEMILU LEGISLATIF DPRD KOTA MEDAN 2004

PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM KEPARTAIAN : SUATU STUDI TERHADAP PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) DALAM PEMILU LEGISLATIF DPRD KOTA MEDAN 2004 PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM KEPARTAIAN : SUATU STUDI TERHADAP PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) DALAM PEMILU LEGISLATIF DPRD KOTA MEDAN 2004 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi S-1 di

Lebih terperinci

Pengantar Ketua KPU. Assalamu alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Pengantar Ketua KPU. Assalamu alaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Pengantar Ketua KPU Assalamu alaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan YME, karena modul yang sudah lama digagas ini akhirnya selesai juga disusun dan diterbitkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbincangan yang hangat, sebab dalam Undang-Undang ini mengatur sistem

BAB I PENDAHULUAN. perbincangan yang hangat, sebab dalam Undang-Undang ini mengatur sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakanng Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi perbincangan yang hangat, sebab dalam Undang-Undang ini mengatur sistem Pemilihan Umum Indonesia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, hal tersebut sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun

Lebih terperinci

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei Sejak reformasi dan era pemilihan langsung di Indonesia, aturan tentang pemilu telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Saat ini, empat UU Pemilu yang berlaku di Indonesia kembali dirasa perlu untuk

Lebih terperinci

Isu-isu Krusial Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu

Isu-isu Krusial Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu 2016 Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Serial Paper Catatan Kritis Isu-isu Krusial Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat info.spdindonesia@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

MEMBACA TEKS UNDANG-UNDANG PEMILU NO 8 TH 2012-DIANALISIS DARI KONTEKS LAHIRNYA UU TERSEBUT, KEPENTINGAN APA DAN SIAPA YANG IKUT MENENTUKAN LAHIRNYA

MEMBACA TEKS UNDANG-UNDANG PEMILU NO 8 TH 2012-DIANALISIS DARI KONTEKS LAHIRNYA UU TERSEBUT, KEPENTINGAN APA DAN SIAPA YANG IKUT MENENTUKAN LAHIRNYA MEMBACA TEKS UNDANG-UNDANG PEMILU NO 8 TH 2012-DIANALISIS DARI KONTEKS LAHIRNYA UU TERSEBUT, KEPENTINGAN APA DAN SIAPA YANG IKUT MENENTUKAN LAHIRNYA UU PEMILU? SETTING SOSIAL- POLITIK KETIKA UU DIPRODUKSI?

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut.

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut. BATAS PENCALONAN PRESIDEN DALAM UU NO. 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah Diterima: 2 Oktober 2017, Disetujui: 24 Oktober 2017 RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang disetujui

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG 1 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN PENETAPAN JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPRD

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM DAN PENGGANTIAN CALON TERPILIH

Lebih terperinci

PENDAPAT FRAKSI PARTAI BINTANG REFORMASI TERHADAP TENTANG RUU TENTANG PEMILU DPR, DPD, DAN DPRD DAN RUU PEMILU PRESIDEN

PENDAPAT FRAKSI PARTAI BINTANG REFORMASI TERHADAP TENTANG RUU TENTANG PEMILU DPR, DPD, DAN DPRD DAN RUU PEMILU PRESIDEN PENDAPAT FRAKSI PARTAI BINTANG REFORMASI TERHADAP TENTANG RUU TENTANG PEMILU DPR, DPD, DAN DPRD DAN RUU PEMILU PRESIDEN Disampaikan dalam Rapat Pansus Tanggal : 12 Juli 2007 Juru Bicara : H. RUSMAN HM.

Lebih terperinci

SEJARAH PEMILU DUNIA

SEJARAH PEMILU DUNIA SEJARAH PEMILU DUNIA PENGERTIAN PAKAR Secara etimologis kata Demokrasi terdiri dari dua kata Yunani yaitu damos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti kedaulatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat serta utusan daerah dan golongan

I. PENDAHULUAN. ini merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat serta utusan daerah dan golongan BAB I I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Lebih terperinci

Mengawal Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

Mengawal Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Mengawal Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Nico Harjanto, PhD Rajawali Foundation Disampaikan pada Diskusi Bulanan FORMAPPI bertema Mengawal Proporsional Terbuka pada hari Kamis, 12 Januari 2012 Varian

Lebih terperinci

Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004

Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004 Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004 Paparan untuk Sidang Para Uskup Konferensi Waligereja Indonesia Jakarta, 4 November 2003 Yanuar Nugroho yanuar-n@unisosdem.org n@unisosdem.org

Lebih terperinci

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Gender menjadi aspek dominan dalam politik, dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalamnya. Hubungan gender dengan politik

Lebih terperinci

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1 Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)

Lebih terperinci

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG Oleh : Nurul Huda, SH Mhum Abstrak Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tidak lagi menjadi kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 48 partai politik peserta Pemilu Sistem multipartai ini

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 48 partai politik peserta Pemilu Sistem multipartai ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang telah mengalami beberapa masa kepemimpinan yang memiliki perbedaan karakteristik perlakuan hak politik setiap warga negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi I. PEMOHON Habel Rumbiak, S.H., Sp.N, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

CARA MENGALOKASI KURSI PARLEMEN. Pipit Rochijat Kartawidjaja 1

CARA MENGALOKASI KURSI PARLEMEN. Pipit Rochijat Kartawidjaja 1 1 Materi ceramah di Bawaslu, 22 Maret 2016: CARA MENGALOKASI KURSI PARLEMEN Pipit Rochijat Kartawidjaja 1 1. Metoda Kuota Hare/Hamilton Dengan Sisa Suara Terbanyak Guna menghitung pengalokasian, baik kursi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam masyarakat politik. Masyarakat yang semakin waktu mengalami peningkatan kualitas tentu

Lebih terperinci

USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1

USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1 USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1 USULAN UMUM: MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIAL 1. Pilihan politik untuk kembali pada sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan menduduki lembaga perwakilan rakyat, serta salah

Lebih terperinci

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan RZF / Kompas Images Selasa, 6 Januari 2009 03:00 WIB J KRISTIADI Pemilu 2009 sejak semula dirancang untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Pertama, menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan dihayati sehingga perbincangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan dihayati sehingga perbincangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata demokrasi sudah dimengerti begitu saja dalam banyak perbincangan. Namun apa dan bagaimana sebenarnya makna dan hakekat substansi demokrasi mungkin belum

Lebih terperinci

BAB II PELAKSANA PENGAWASAN

BAB II PELAKSANA PENGAWASAN - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum tentang Pengawasan Penataan Daerah Pemilihan dan Alokasi

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

SISTEM PEMILIHAN UMUM

SISTEM PEMILIHAN UMUM SISTEM PEMILIHAN UMUM Sistem pemilihan umum dapat dibedakan menjadi dua macam: pemilihan mekanis dan pemilihan organis Dalam sistem mekanis, partai politik mengorganisir pemilihan-pemilihan dan partai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah organisasi yang tidak berpenghasilan tetapi justru mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. sebuah organisasi yang tidak berpenghasilan tetapi justru mengeluarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan aktor yang menarik dalam pemerintahan, menarik dalam hal status, fungsi, dan koordinasi partai terhadap aktor-aktor lainnya. Peran partai

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada 1. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 Mahkamah

Lebih terperinci

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU SEKILAS PEMILU 2004 Pemilihan umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

ISU KRUSIAL SISTEM PEMILU DI RUU PENYELENGGARAAN PEMILU

ISU KRUSIAL SISTEM PEMILU DI RUU PENYELENGGARAAN PEMILU ISU KRUSIAL SISTEM PEMILU DI RUU PENYELENGGARAAN PEMILU SISTEM PEMILU Adalah konversi suara menjadi kursi yg dipengaruhi oleh beberapa variabel teknis pemilu Besaran Daerah Pemilihan Metode Pencalonan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN 1 PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN NUR MOH. KASIM JURUSAN ILMU HUKUM ABSTRAK Fitri Lameo.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. langsung, kebebasan berekspresi secara terbuka, berasosiasi, sampai kebebasan

I. PENDAHULUAN. langsung, kebebasan berekspresi secara terbuka, berasosiasi, sampai kebebasan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Peristiwa besar di tahun 1998 telah menciptakan beberapa perubahan yang signifikan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Pasal 1 Ayat 2 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. mana semua warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan Pasal 1 Ayat 2 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. mana semua warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. 1 Karena konsepsi demokrasilah yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN JUMLAH DAN TATA CARA PENGISIAN KEANGGOTAAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN JUMLAH DAN TATA CARA PENGISIAN KEANGGOTAAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN JUMLAH DAN TATA CARA PENGISIAN KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA YANG BARU DIBENTUK Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi di Indonesia merupakan salah satu dari nilai yang terdapat dalam Pancasila sebagai dasar negara yakni dalam sila ke empat bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat

Lebih terperinci

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Sri Budi Eko Wardani PUSKAPOL - Departemen Ilmu Politik FISIP UI Lembaga Administrasi Negara, 21 Desember 2016 2 Partisipasi Perempuan di Ranah Politik

Lebih terperinci

Menggugat (Praktik) Representasi Politik

Menggugat (Praktik) Representasi Politik RESENSI Menggugat (Praktik) Representasi Politik IKHSAN DARMAWAN* 1 Departemen Ilmu Politik FISIP UI Email: ikhsan_darmawan@yahoo.com Tormey, Simon, 2015. The End of Representative Politics. Cambridge:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan

BAB I PENDAHULUAN. 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Lebih terperinci