RINGKASAN HASIL KAJIAN PLATFORM KOMPETISI PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RINGKASAN HASIL KAJIAN PLATFORM KOMPETISI PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI"

Transkripsi

1 RINGKASAN HASIL KAJIAN PLATFORM KOMPETISI PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI (Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika) 1 Abstrak Dengan ditetapkannya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, praktik monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap diakhiri. Melanjuti UU tersebut, pemerintah telah melakukan terminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom dan PT Indosat, serta menetapkan kebijakan duopoli yang mereposisi keduanya sebagai penyelenggara penuh (full network and service provider). Struktur duopoli dirancang sebagai transisi dari monopoli menuju kompetisi. Secara umum, kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan sektor dalam melaksanakan duopoli dan mengevaluasi kesiapan sektor dalam menghadapi kompetisi penuh. Dengan demikian, kajian ini merupakan titik awal bagi persiapan pelaksanaan kompetisi dalam lingkungan multi operator. Data diperoleh dari analisa perangkat kebijakan dan regulasi, serta diskusi dengan Ditjen Pos dan Telekomunikasi, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha, penyelenggara terkait, dan komunitas telekomunikasi. Selanjutnya, analisa dan penyusunan rekomendasi dilakukan dengan memperhatikan aspek teknologi, kebijakan kompetisi, dan kelembagaan regulasi. Dari aspek teknis, perbedaan teknologi yang digunakan oleh penyelenggara bukan merupakan suatu masalah. Hal ini dimungkinkan karena berbagai teknologi tersebut mengacu pada suatu standar sehingga integrasi, interkoneksi, dan interoperasi antarsistem tetap dapat dilakukan. Dari aspek kebijakan, perangkat yang ada saat ini cenderung memperkuat posisi penyelenggara eksisting (incumbent). Oleh karena itu, pemerintah harus mencabut regulasi yang membatasi ruang gerak pemain baru, serta melengkapi peraturan yang mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat. Dari aspek kelembagaan regulasi, pemerintah perlu memperkuat BRTI baik struktur organisasi maupun kewenangan. Untuk mengakomodasi masuknya pemain baru, disusun tiga pilihan tahapan migrasi, yaitu (1) incumbent menjual sebagian perusahaan divisi regional kepada pemain baru; (2) incumbent menyewakan fasilitas akses lokal (local loop) ke pemain baru; dan (3) incumbent menjual jaringan sambungan telepon ke pemain baru. Selanjutnya, ketiga pilihan tersebut dapat dilanjutkan melalui skenario (1) free fight dengan mempertahankan integrasi vertikal; (2) model utilitas untuk mengefisienkan biaya internal perusahaan; atau (3) competitive-cooperative melalui pemilahan (unbundling) bisnis vertikal. Dari ketiga model tersebut, model ketiga dinilai paling optimal. 1. Latar Belakang Selama satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran paradigma dalam perekonomian dunia yaitu beralihnya masyarakat industri menjadi masyarakat informasi yang dipicu oleh kemajuan teknologi dan globalisasi. Dalam era informasi, dimana informasi mempunyai nilai ekonomi, kemampuan untuk mendapatkan, memanfaatkan dan mengolah informasi mutlak dimiliki suatu bangsa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus mewujudkan daya saing bangsa. Berkaitan dengan hal tersebut, Indonesia masih belum mempunyai kesiapan dan kemampuan yang memadai sehingga menyebabkan semakin lebarnya kesenjangan digital (digital divide) dengan negara lain. 1 gumilang@bappenas.go.id, mtayyiba@bappenas.go.id, rudy@bappenas.go.id 1

2 Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan digital adalah terbatasnya ketersediaan infrastruktur telekomunikasi. Selama lima tahun ( ), pembangunan infrastruktur telekomunikasi mengalami peningkatan sebesar 16,18% yang terdiri dari penambahan 1,79 juta satuan sambungan (ss) telepon tetap --yaitu dari 8,36 juta menjadi 10,15 juta-- dan penambahan 16,43 juta pelanggan telepon bergerak --dari 2,22 juta orang menjadi 18,65 juta. Bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya, ketersediaan infrastruktur telekomunikasi Indonesia sangat tertinggal. Tingkat penetrasi (teledensity) 2 layanan telepon tetap, telepon bergerak dan pengguna internet Indonesia hingga tahun 2003 masing-masing baru mencapai 3,65%; 5,52%; dan 3,77%. Pada tahun yang sama, rata-rata negara Asia telah mencapai 13,64%; 15,03%; dan 6,74%. Terjadinya bottleneck dalam penyediaan fasilitas telekomunikasi, khususnya sambungan tetap, pada dasarnya disebabkan oleh penyelenggaraan yang masih berbentuk monopoli. Pada sistem monopoli, pemenuhan kebutuhan infrastruktur telekomunikasi sulit dilakukan terutama karena terbatasnya kemampuan penyelenggara. Tidak terpenuhinya target pembangunan baru sebanyak 4 juta ss hingga tahun 2004 sebagaimana ditetapkan dalam pokok-pokok kesepakatan antara pemerintah dengan PT Telkom dan PT Indosat pada tahun 2000, menjadikan pembangunan sambungan tetap semakin tertinggal. Pada saat yang sama, perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat dan dinamis telah menciptakan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan telekomunikasi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Bila awalnya telekomunikasi dipandang sebagai bagian dari barang publik (public goods), kini secara umum telekomunikasi telah menjadi komoditas perdagangan yang mempunyai nilai komersial tinggi, walaupun peran dan bantuan pemerintah masih dibutuhkan dalam penyediaan fasilitas telekomunikasi di daerah-daerah perintisan, pedalaman dan daerahdaerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Selain itu, pemerintah yang semula juga berfungsi sebagai operator yang memiliki, membangun dan menyelenggarakan telekomunikasi, kini bergeser perannya menjadi pembuat kebijakan dan regulator. Demikian pula halnya dengan struktur pasar yang semula berbentuk monopoli kini telah berubah ke bentuk kompetisi. Untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaran telekomunikasi serta untuk mengantisipasi tuntutan pasar yang lebih global dan kompetitif, pemerintah melakukan penataan ulang penyelenggaraan telekomunikasi. Tidak seperti penyelenggaraan telekomunikasi bergerak yang dirancang untuk dilakukan secara kompetisi, pada awalnya penyelenggaraan telekomunikasi tetap sambungan lokal dilakukan secara eksklusif oleh PT Telkom hingga tahun 2010, sedangkan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) dilakukan secara eksklusif masing-masing oleh PT Telkom dan PT Indosat hingga tahun 2005 dan Dengan diberlakukannya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi pada tahun 2000, praktik monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap harus diakhiri. Menindaklanjuti UU Telekomunikasi tersebut, pemerintah melakukan reposisi dan restrukturisasi BUMN penyelenggara telekomunikasi sebagai salah satu bagian terpenting dari proses restrukturisasi sektor. Langkah ini dilakukan melalui peniadaan kepemilikan bersama (joint ownership) dan kepemilikan silang (cross ownership) oleh PT Telkom dan PT Indosat dalam suatu perusahaan afiliasi bidang telekomunikasi. Pemerintah juga telah melakukan terminasi dini atas hak eksklusivitas PT Telkom dan PT Indosat sebagai penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal, SLJJ dan SLI. Selain itu, pemerintah juga menetapkan kebijakan duopoli yang mereposisi kedua penyelenggara tersebut menjadi penyelenggara penuh (full network and 2 Tingkat penetrasi (teledensity) merupakan persentase jumlah pelanggan suatu jasa telekomunikasi di satu negara terhadap jumlah penduduk negara tersebut. 2

3 service provider) dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap. Kebijakan duopoli bertujuan untuk meningkatkan penetrasi akses dan layanan telekomunikasi sambungan tetap kepada masyarakat. Sebagai konsekuensi dari terminasi dini dan kebijakan duopoli, pemerintah harus menyediakan dana kompensasi sebesar Rp 300 miliar (merupakan selisih antara kompensasi yang dibayar pemerintah kepada PT Telkom sebesar Rp 478 miliar dan kompensasi yang didapat pemerintah dari PT Indosat sebesar Rp 178 miliar). Sejak diberlakukannya duopoli pada penyelenggaraan sambungan lokal pada 1 Agustus 2002 serta SLJJ dan SLI pada 1 Agustus 2003, pelaksanaan duopoli dapat dikatakan belum berjalan efektif. Sejauh ini belum terdapat penambahan sambungan baru yang berarti, penambahan layanan dan pilihan bagi masyarakat, serta persaingan harga. Bahkan yang terjadi kemudian adalah perselisihan antaroperator akibat tindakan antikompetisi penyelenggara eksisting (incumbent), seperti yang terjadi pada kasus pemblokiran akses PT Indosat dan penggantian warung telekomunikasi menjadi warung Telkom. Struktur duopoli memang dirancang sejak awal sebagai transisi dari penyelenggaraan yang berbentuk monopoli menuju kompetisi. Oleh karena itu, efektivitas duopoli pada dasarnya memberikan gambaran akan kemampuan sektor (pemerintah, badan regulasi, dan penyelenggara) telekomunikasi nasional untuk melakukan kompetisi. Bercermin dari pelaksanaan duopoli yang kurang optimal, pemerintah perlu segera menyusun platform kompetisi jangka panjang dan tahapan (migrasi) kompetisi. Format kompetisi sangat diperlukan sebagai landasan bagi pengembangan penyelenggaraan telekomunikasi selanjutnya, sedangkan migrasi diperlukan guna memberikan kesempatan bagi pemerintah, para penyelenggara dan calon penyelenggara untuk mempersiapkan diri dalam rangka menghadapi kompetisi baik dari aspek regulasi, teknis maupun finansial (investasi). Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan dan kebutuhan akan infrastruktur, kemampuan daya beli masyarakat, serta karakteristik demografi dan geografi setiap daerah berbeda-beda. Kawasan bisnis dan industri tentunya memiliki kebutuhan, potensi, dan kemampuan pasar yang berbeda dengan kawasan pertanian, begitu pula dengan kebutuhan di wilayah perkotaan dan perdesaan. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, perlu disusun suatu bentuk kompetisi yang sesuai dan bermanfaat bagi masyarakat pengguna dan tentunya bagi sektor. Pada kenyataannya, hingga saat ini belum terdapat konsep kompetisi jangka panjang dan skenario migrasi dari duopoli hingga terwujudnya kompetisi. Tidak adanya konsep dimaksud dikhawatirkan akan menyebabkan disorientasi dalam pembangunan telekomunikasi sehingga investasi yang dilakukan tidak optimal. 2. Tujuan Untuk menetapkan arah dan menyusun suatu kebijakan, diperlukan evaluasi terhadap pelaksanaan dan efektivitas kebijakan sebelumnya. Sebagai transisi dari bentuk monopoli ke kompetisi, pemerintah menetapkan kebijakan duopoli dengan mereposisi PT Telkom dan PT Indosat menjadi penyelenggara penuh. Untuk mereposisi kedua penyelenggara tersebut, pemerintah harus membayar sejumlah kompensasi kepada PT Telkom yang dibayarkan melalui APBN. Bercermin dari kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu perubahan kebijakan dapat membawa risiko finansial terhadap pemerintah. Untuk meminimalisasi risiko tersebut, diperlukan suatu rancangan yang jelas, konsisten dan terarah sebagai landasan bagi pembangunan sektor selanjutnya. Praktik duopoli ini pada prinsipnya dapat dijadikan sebagai uji kemampuan/latihan bagi pelaksanaan kompetisi penuh (multi operator). Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan duopoli tersebut yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas kebijakan serta sebagai masukan bagi penyusunan kebijakan 3

4 selanjutnya. Secara umum, studi ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan dan kesiapan sektor dalam menghadapi kompetisi. Secara khusus, studi ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan mengevaluasi berbagai skenario migrasi dari duopoli menuju kompetisi penuh, serta (2) menyusun rekomendasi terkait dengan persiapan penyusunan platform kompetisi penuh (jangka panjang). Sesuai dengan tujuan awal kebijakan duopoli, ruang lingkup studi dibatasi pada penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap. Kajian dilakukan dengan mengevaluasi efektivitas pelaksanaan kebijakan duopoli sekaligus mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan untuk menghadapi kompetisi penuh, baik dari aspek teknologi, kebijakan maupun kelembagaan regulasi. Output utama yang dihasilkan adalah evaluasi dan rekomendasi untuk penyusunan kebijakan dalam rangka mempersiapkan platform kompetisi penuh. Adapun sasaran akhir yang hendak dicapai melalui studi ini adalah agar Bappenas khususnya Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika mendapatkan gambaran utuh untuk menetapkan arah dan kebijakan pembangunan sektor telekomunikasi setelah dihapuskannya bentuk monopoli. Gambaran ini juga sangat terkait dengan perencanaan pembangunan sektor, terutama perencanaan pembiayaan. Dengan dilakukannya liberalisasi sektor telekomunikasi, kemampuan pembangunan, serta kinerja dan efisiensi penyelenggara diharapkan akan meningkat. Dengan demikian, beban pembiayaan pemerintah (APBN) akan berkurang sejalan dengan meningkatnya peran swasta dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi. 3. Metodologi 3.1 Kerangka Analisis Peranan sektor telekomunikasi yang besar membuat kinerja sektor ini berkaitan erat dengan kinerja perekonomian suatu negara. Pada tahap awal pembangunan, sektor telekomunikasi tergolong sebagai monopoli alamiah (natural monopoly) mengingat besarnya modal yang diperlukan. Skala ekonomi yang besar, tingginya kepekaan terhadap masalah politik dan militer, serta besarnya masalah eksternalitas menjadikan sektor telekomunikasi digolongkan sebagai salah satu jenis pelayanan publik yang pembangunannya dilaksanakan oleh pemerintah. Seiring dengan semakin tingginya peran swasta dalam pembangunan telekomunikasi, pemerintah mulai mendorong dan mempercepat proses privatisasi dan pembukaan pasar agar menjadi lebih kompetitif. Pilihan kebijakan oleh pemerintah suatu negara dalam melakukan reformasi sektor telekomunikasi, termasuk strategi implementasinya, sangat spesifik dan bergantung pada kondisi negara masing-masing. Kompetisi bukanlah suatu tujuan akhir, tetapi merupakan cara untuk menciptakan penyelenggaraan telekomunikasi yang efisien. Seperti halnya sebuah utopia, pasar kompetisi sempurna sulit ditemui. Pada umumnya, sektor telekomunikasi, termasuk di negara maju, tetap didominasi oleh beberapa perusahaan besar saja. Liberalisasi pasar memang dapat memfasilitasi terjadinya kompetisi, tetapi hal tersebut tidak terjadi secara serta merta. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan intervensi apabila hasil dari kebijakan kompetisi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Secara rinci, kerangka dasar intervensi pemerintah dalam pengaturan kompetisi ditampilkan dalam Gambar 1. 4

5 Gambar 1. Kerangka Dasar Kebijakan Kompetisi Telekomunikasi Perilaku Antikompetisi: Harga mematikan pesaing Tingginya biaya pengalihan Penolakan interkoneksi Diskriminasi harga akses Kualitas koneksi untuk pesaing rendah Kekuatan Monopoli Inefisiensi Ekonomi: Pemborosan sumberdaya Harga terlalu tinggi Kualitas dan kuantitas layanan terlalu rendah Efek distribusi ke konsumen Menghambat inovasi dan investasi Karakteristik Teknologi dan Konsumen: Monopoli alami Efek jaringan Biaya-biaya pengalihan (switching costs) Isu-isu Kebijakan Risiko Kegagalan Regulasi: Instrumen second-best Asimetris informasi dan ketidakpastian Cakupan pengaturan Berlawanan dengan tujuan kebijakan sosial Permainan dalam regulasi Cakupan Pengaturan: Untuk siapa? (perusahaan incumbent atau seluruhnya) Pasar apa? (fixed atau mobile) Kapan? (berapa lama) Kriteria Untuk Penetapan Pengaturan: Memaksimumkan kesejahteraan sosial Isu-isu distribusional Dapatkah regulasi mempertahankan konvergensi Berangkat dari asumsi adanya pelanggaran atau tidak? Konsekuensi dari Kegagalan Regulasi: Rendahnya efisiensi investasi Harga terlalu rendah atau terlalu tinggi (tidak efisien) Mendorong perilaku antikompetisi Menciptakan insentif bagi kualitas pelayanan yang buruk Instrumen Kebijakan: Tidak melakukan apa-apa Kepemilikan pemerintah Pengaturan harga Pemantauan harga Pengaturan akses Pemisahan vertikal Undang-undang antimonopoli Sumber: Productivity Commission (2001) -- diadaptasi Pengelolaan, Proses dan Kelembagaan: Peraturan umum atau spesifik? Undang-undang pidana, perdata atau birokrasi? Transparansi, review, dan penutupan Komitmen penuh atau fleksibel Mempercepat pengambilan keputusan Pengumpulan informasi Penargetan dan efisiensi Prinsip keadilan Untuk menghasilkan transisi yang halus ke arah kompetisi, diperlukan beberapa indikator untuk mengukur efektivitas kebijakan yang ditetapkan, yaitu (1) keberadaan badan regulasi; (2) pemberian izin (lisensi); (3) penetapan interkoneksi; dan (4) penetapan harga dan tarif. Disamping itu, tingkat keberhasilan kompetisi juga dilihat dari indikator pasar, seperti pangsa pasar, penyebaran konsentrasi dan geografi, hambatan untuk masuk pasar (barrier to entry), perilaku kompetisi, dan halangan untuk memilih penyedia jasa. 5

6 Salah satu permasalahan utama dalam reformasi telekomunikasi adalah lambatnya kemajuan pembangunan regulasi. Reformasi pada tatanan regulasi pada prinsipnya diharapkan dapat meningkatkan efektivitas regulasi publik pada perusahaan monopoli yang telah diprivatisasi, khususnya terkait dengan masalah harga dan tarif, kewajiban penyedia jasa, dan interkoneksi. Oleh karena itu, diperlukan pemisahan fungsi kebijakan dan regulasi dari fungsi operasi. Pemisahan fungsi kebijakan dan regulasi dari fungsi operasi yang menandai peralihan struktur sektor telekomunikasi dari bentuk monopolistik menjadi struktur pasar yang lebih kompetitif diantaranya dapat diamati dari bertambahnya otoritas regulasi telekomunikasi. Sejak tahun 1990, otoritas regulasi telekomunikasi berkembang dari 12 menjadi 90 buah di seluruh dunia. Pembentukan otoritas regulasi telekomunikasi merupakan suatu hal yang penting untuk menjaga kelancaran transisi peran pemerintah dari pembuat kebijakan dan regulasi sekaligus pemilik dan pelaku pembangunan menjadi pembuat kebijakan dan regulasi, yang selanjutnya hanya menjadi pembuat kebijakan. Lisensi --indikator kedua-- pada prinsipnya merupakan pemberian otoritas kepada entitas tertentu untuk menyediakan jasa atau fasilitas operasi telekomunikasi. Oleh karena itu, pemberian lisensi harus dilakukan secara transparan dan tidak diskriminatif kepada pihak yang memang dinilai berkemampuan. Lisensi tersebut harus memberikan gambaran yang jelas kepada semua pihak (pengguna jasa, penyedia jasa lain, dan pemerintah) tentang hak dan kewajiban penerima lisensi. Dengan demikian, kepastian usaha dan kepentingan pengguna jasa mempunyai kepastian hukum dan menjadi terlindungi. Disamping badan regulasi dan lisensi, interkoneksi juga merupakan faktor penting dalam pengembangan strategi kompetisi di sektor telekomunikasi. Interkoneksi memungkinkan seorang pengguna jasa untuk berkomunikasi dengan pengguna jasa lain yang menggunakan penyedia jasa berbeda. Kebijakan interkoneksi yang tidak tepat akan menghambat transisi sektor ke arah kompetisi. Oleh karena itu, kebijakan interkoneksi harus memperhatikan kerangka dan prosedur, isu komersial, serta isu teknis dan operasional. Indikator kompetisi selanjutnya adalah kebijakan harga. Regulasi ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi, baik efisiensi alokatif (harga jasa merefleksikan kelangkaan relatifnya), efisiensi produktif (input yang efisien untuk tingkat output tertentu dan output yang diproduksi seefisien mungkin dengan meminimasi penggunaan input), dan efisiensi dinamis (sumberdaya berubah sejalan dengan pergantian waktu sampai pada tingkat tertinggi penggunaannya). Keterkaitan dan dinamika indikator kompetisi tersebut di atas sangat ditentukan oleh struktur industri yang merupakan muara interaksi antara pemerintah, badan regulasi, penyelenggara, dan masyarakat pengguna. Dengan demikian, untuk menciptakan kompetisi yang efektif, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap struktur industri yang ada dan menyusun platform baru apabila struktur yang ada sekarang dinilai tidak optimal mendukung pelaksanaan kompetisi. Tinjauan terhadap struktur industri dilakukan dengan mengacu pada aspek teknologi, aspek kebijakan, dan aspek kelembagaan regulasi. 3.2 Metode Pelaksanaan Kajian Untuk memberikan gambaran atas pelaksanaan duopoli yang berlangsung saat ini serta rekomendasi bagi penyusunan kebijakan kompetisi, pada kajian dilakukan identifikasi dan pemetaan berbagai isu strategis terkait dengan struktur dan kondisi pasar sektor telekomunikasi di Indonesia, seperti hambatan masuk pasar, penguasaan dan dominasi pasar, serta penggunaan fasilitas esensial dalam industri telekomunikasi. Identifikasi tersebut difokuskan pada proses pengakhiran monopoli dan transformasi peran pemerintah dalam implementasi kebijakan. 6

7 Metodologi pelaksanaan kajian meliputi: (1) Pengumpulan dan evaluasi literatur, seperti peraturan perundang-undangan, kebijakan sektor, dan konsep terkait lainnya; (2) Pengumpulan data, seperti infrastruktur eksisting dan hambatan masuk pasar; (3) Analisis pasar, kelembagaan dan skenario migrasi; serta (4) Penyusunan rekomendasi. 3.3 Data Pengambilan data dilakukan baik melalui analisis kebijakan, regulasi dan kelembagaan yang ada (studi literatur) maupun wawancara, diskusi dan pengisian kuesioner yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan operator. 4. Hasil Kajian dan Analisis Dengan mengacu pada indikator umum kompetisi 3, dapat dikatakan bahwa struktur duopoli saat ini tidak mendukung kompetisi secara optimal. Saat ini peran dan wewenang BRTI masih sangat terbatas sehingga pengawasan terhadap pelaksanaan kompetisi tidak optimal. Selain itu, pemberian lisensi juga masih kurang transparan dan efektif. Perhitungan dan teknis pelaksanaan interkoneksi masih belum jelas, sedangkan perhitungan dan penetapan harga dan tarif yang mencerminkan harga pokok produksi juga belum dilakukan sehingga masih terdapat praktik subsidi silang antarlayanan, seperti subsidi silang SLJJ untuk lokal. Disamping itu, struktur duopoli hingga saat ini juga belum mendorong pembangunan sambungan baru, penambahan layanan, dan persaingan harga. Bercermin dari kondisi tersebut di atas, perlu dicari platform baru yang mampu mendukung terciptanya kompetisi yang setara dalam lingkungan multi operator. Penyusunan platform kompetisi dilakukan melalui evaluasi terhadap aspek teknologi, aspek kebijakan, dan aspek kelembagaan regulasi. Selanjutnya, dari hasil evaluasi tersebut diidentifikasi beberapa alternatif sebagai pentahapan menuju kompetisi penuh. 4.1 Aspek Teknologi Pada prinsipnya, perbedaan teknologi yang digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi sambungan tetap --teknologi Public Switch Telephony Network (PSTN) yang berbasis jaringan suara (circuit switch) dan teknologi berbasis protokol internet (Internet Protocol atau IP)-- bukan merupakan suatu masalah. Teknologi yang beragam tersebut mengacu kepada standar perangkat dan protokol yang sama sehingga memungkinkan terjadinya interkoneksi dan interoperasi antarsistem dengan tetap menjaga kualitas layanan sebagaimana dipersyaratkan. Dengan demikian, perubahan dari bentuk monopoli/duopoli ke bentuk kompetisi tidak mengalami kesulitan teknis. Hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah membangun sistem otentikasi, otorisasi dan akunting (authentication, authorization, accounting atau AAA) yang merupakan sistem penanganan pelanggan termasuk pembayaran (billing). Dalam lingkungan multi operator, sistem ini harus mampu melayani pelanggan secara terpadu untuk menerima layanan dari berbagai penyedia jasa. Sistem ini diantaranya bertujuan untuk memberikan kejelasan dan transparansi dalam perhitungan trafik. Trafik merupakan isu yang sensitif (berpotensi menimbulkan konflik) dalam penyelenggaraan multi operator. Dengan demikian, sistem ini perlu dibangun sebelum kompetisi dilaksanakan. Dalam perspektif teknologi, liberalisasi sektor telekomunikasi Indonesia terjadi bersamaan dengan terjadinya perubahan fundamental dalam pemilihan teknologi, yaitu beralihnya teknologi PSTN ke seluler, dan menuju era Next Generation Network (NGN) 3 Sebagaimana dijelaskan dalam Kerangka Analisis 7

8 yang berbasis IP. Teknologi IP merupakan teknologi masa depan yang mampu menyelenggarakan multi layanan (suara, data, dan gambar) sekaligus dapat mengakomodasi sistem telekomunikasi multi operator. Untuk mendukung peralihan teknologi tersebut, diperlukan pembaharuan (upgrading) infrastruktur eksisting, yaitu pembaharuan jaringan PSTN dengan jaringan serat optik berbasis IP, pembaharuan jaringan akses pita lebar (broadband) berbasis IP, penggantian sentral dengan softswitch, dan penggantian terminal telepon pengguna dengan terminal berkemampuan multimedia. 4.2 Aspek Kebijakan Kompetisi Permasalahan utama dalam proses liberalisasi terkait erat dengan karakteristik pasar yang cenderung memperkuat posisi incumbent. Luasnya jaringan, besarnya aset dan pengalaman yang dimiliki incumbent; serta tingginya sunk cost 4 dan investasi awal pembangunan jaringan menyebabkan tingginya hambatan masuk bagi pemain baru. Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan yang diarahkan untuk (1) meningkatkan kompetisi, seperti pengaturan untuk penomoran, interkoneksi, dan kebebasan pengguna jasa mengakses jaringan dan jasa telekomunikasi yang tersedia; dan (2) mengatasi permasalahan kekuatan pasar (market power), seperti pengaturan harga. Di satu sisi, kesalahan regulasi kompetisi dapat menyebabkan distori dalam investasi, inovasi dan penetapan harga. Di sisi lain, ketidaksempurnaan regulasi berpotensi menghapuskan manfaat kompetisi itu sendiri. Berdasarkan pengalaman internasional, pengaturan suatu penyelenggaraan yang bersifat kompetitif sebaiknya dilakukan seperlunya (necessary). Oleh karena itu, penetapan kebijakan dan regulasi kompetisi harus dilakukan setelah pemerintah mengetahui perlu atau tidaknya suatu intervensi dilakukan. Terkait dengan hal tersebut, pada kajian ini dilakukan analisis terhadap regulasi dan kondisi kompetisi sektor telekomunikasi saat ini dengan mengacu kepada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Analisis dilakukan dengan menggunakan dua konsep dasar anti-monopoli, yaitu definisi pasar (market definition) dan penguasaan (dominance). Definisi pasar dapat dikategorikan berdasarkan dua dimensi, yaitu dimensi produk dan geografis dengan memperhatikan kondisi permintaan dan kemungkinan adanya substitusi produk. Pada prinsipnya, konsep substitusi dapat diuji secara hipotesis dengan mengubah harga. Jika perubahan harga menyebabkan pengguna mengalihkan konsumsinya dari produk X ke produk Y, maka produk Y tersebut termasuk dalam pasar produk X. Saat ini analisis substitusi sulit dilakukan karena kelompok jasa telekomunikasi dibedakan berdasarkan teknologi sehingga pemisahan sistem yang bersifat overlap dan interkoneksi menjadi tidak jelas. Untuk komunikasi suara, jasa telekomunikasi dibedakan menjadi komunikasi suara sambungan tetap (PSTN), aplikasi tetap nir kabel (Fixed Wireless Applications), dan sambungan bergerak (mobile communications). Kesulitan yang sama juga terjadi dalam menentukan cakupan geografis dari pasar produk yang bersangkutan. Dalam sektor telekomunikasi, dimana jaringan dapat saling berinterkoneksi dan menyebar melampaui batas geografis, penentuan batas-batas geografis menjadi sulit. Walaupun definisi pasar sulit dilakukan, kurang efektifnya pelaksanaan kompetisi terlihat sangat nyata karena adanya integrasi vertikal jaringan dan jasa. Walaupun pemerintah telah memberikan izin penyelenggaraan sambungan lokal dan SLJJ kepada PT Indosat, tidak dapat dipungkiri bahwa PT Telkom masih menjadi pemegang posisi 4 Investasi pembangunan infrastruktur bersifat irreversible. Bahkan untuk beberapa jenis investasi, seperti penanaman kabel bawah tanah, pemulihan biaya tidak dimungkinkan. 8

9 dominan. Sebagaimana diketahui bahwa infrastruktur yang dimiliki oleh PT Telkom merupakan tulang punggung infrastruktur telekomunikasi Indonesia. Terbatasnya kemampuan PT Indosat sebagai pemain baru untuk membangun infrastruktur dan menciptakan basis pelanggan yang signifikan, serta adanya hambatan bagi pemain baru untuk mengakses fasilitas yang dimiliki oleh incumbent menjadikan kompetisi kurang efektif. Regulasi yang ada saat ini menjamin bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat memanfaatkan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara lain melalui interkoneksi. Pada UU Telekomunikasi bahkan telah diamanatkan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara lain dan berkewajiban untuk menyediakan interkoneksi apabila diminta. Pada UU juga ditegaskan bahwa interkoneksi dilakukan berdasarkan prinsip pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan persaingan usaha sehat yang tidak saling merugikan. Berdasarkan peraturan tersebut, interkoneksi harus dimanfaatkan secara optimal untuk memfasilitasi masuknya pemain baru. Dengan demikian, keterbatasan kemampuan untuk membangun jaringan tidak menutup kesempatan pemain baru untuk menciptakan basis pelanggan. Kondisi ini pada akhirnya akan memberikan pilihan kepada masyarakat. Untuk menciptakan interkoneksi yang adil, proses pengalihan trafik dan perhitungan tarif harus dilakukan secara transparan tanpa diskriminasi 5. Pada kenyataannya, interkoneksi belum berjalan karena belum adanya regulasi teknis yang mengatur pelaksanaan interkoneksi, seperti cost accounting standard, reference interconnection offer, dan interconnection dispute resolution. Selain terbatasnya akses pemain baru untuk memanfaatkan infrastruktur incumbent, permasalahan lain yang menghambat pelaksanaan kompetisi telekomunikasi Indonesia, yaitu pricing strategy yang dilakukan oleh incumbent dengan melakukan subsidi silang antarproduk untuk menekan biaya produksi. Bercermin dari kondisi saat ini, masih terdapat beberapa peraturan yang harus segera diselesaikan pemerintah untuk mendukung pelaksanaan kompetisi yang efektif, seperti interkoneksi, penomoran, Sistem Kliring Trafik Telekomunikasi, dan competitive safeguard (larangan pengalihan trafik, larangan penguasaan pasar, dan anti-dumping). 4.3 Aspek Kelembagaan Regulasi Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya persaingan yang sehat, tidak saja diperlukan tata aturan yang jelas dan disepakati oleh para pihak terkait, tetapi juga badan regulasi yang kuat dan mempunyai kewenangan penuh dalam mengawasi jalannya kompetisi tersebut. Keberadaan badan regulasi dalam penyelenggaraan telekomunikasi menjadi sangat penting mengingat tingginya sensitivitas sektor terhadap perubahan regulasi (mempunyai risiko regulasi yang tinggi). Oleh karena itu, badan regulasi haruslah bersifat independen, yaitu tidak berpihak terhadap penyelenggara tertentu dan terbebas dari tekanan politik. Dengan demikian, independensi yang dimaksudkan tidak harus diartikan sebagai pemisahan badan tersebut dari pemerintah. Melalui Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 Tahun 2003, BRTI dibentuk untuk menjamin adanya transparansi, independensi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Sesuai dengan UU Telekomunikasi dan Keputusan Menteri tersebut, BRTI mempunyai tugas pengaturan, pengawasan, dan pengendalian 5 Umumnya pemilik jaringan juga menyelenggarakan jasa telekomunikasi. Dikhawatirkan pemilik jaringan akan mendahulukan trafik yang berasal dari dirinya sendiri dan menyulitkan penyampaian trafik yang berasal dari penyelenggara lain. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa interkoneksi harus dilakukan tanpa memandang kepemilikan trafik. 9

10 terhadap penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi. Adapun fungsi penetapan kebijakan akan tetap dilaksanakan oleh pemerintah. Berdasarkan peraturan, BRTI mempunyai ruang gerak yang luas. Pada kenyataannya, dengan masih tercampurnya struktur BRTI dengan pemerintah (Ditjen Postel), kewenangan badan tersebut menjadi kurang jelas. Hal ini tercermin dari bentuk keputusan BRTI yang harus dituangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan BRTI tidak dapat menjalankan tugasnya secara optimal. Untuk itu perlu dilakukan penguatan BRTI dengan melengkapi kewenangan eksekusi disamping kewenangan untuk menyusun dan menetapkan peraturan. 4.4 Skenario Pentahapan Menuju Kompetisi Penuh Sebagai persiapan menuju kompetisi penuh, dari aspek teknis perlu dilakukan pembaharuan infrastruktur yang ada saat ini (PSTN) ke NGN melalui tiga tahapan, yaitu (1) fase duopoli, dimana PT Telkom dan PT Indosat berkompetisi dalam penyelenggaraan telepon tetap; (2) fase persiapan menuju kompetisi penuh; dan (3) fase kompetisi penuh. Dalam melakukan pentahapan, terdapat empat aspek teknis yang perlu ditangani, yaitu (1) infrastruktur transport, pensinyalan (signaling) dan jaringan; (2) layanan, seperti telepon, fax, internet; (3) manajemen sistem, seperti penetapan tarif, kinerja, efisiensi, dan pertumbuhan yang berkelanjutan; dan (4) layanan pelanggan (sistem AAA). Pentahapan dari masing-masing aspek dapat dilihat pada Tabel 1 hingga Tabel 4 berikut ini. Tabel 1. Pentahapan Aspek Teknis Infrastruktur Fase Aspek Teknis Infrastruktur Transport Dan Pensinyalan Fase 1 (Duopoli) Integrasi infrastruktur dengan PSTN sebagai induk jaringan, E1/T1 sebagai standar transport, serta SS7/R2/ISDN sebagai protokol pensinyalan Pembuatan gerbang (gateway) transport dan gateway pensinyalan bagi peralatan yang berbeda teknologi dengan PSTN Fase 2 (Transisi) Pengenalan NGN pada operator sambungan tetap yang meliputi pengenalan NGN pada transmisi, akses, dan terminal pengguna NGN dan PSTN menjadi setara, dengan interkoneksi melalui gateway transport dan pensinyalan Fase 3 (Kompetisi Penuh) NGN menjadi induk infrastruktur transmisi dan sentral Integrasi dengan nir kabel 4G Teknologi lama menjadi anak jaringan NGN dan di-phased-out Jaringan inti menjadi utilitas, dan jaringan akses menjadi kompetisi Tabel 2. Pentahapan Aspek Teknis Layanan Telekomunikasi Fase Aspek Teknis Layanan Fase 1 (Duopoli) Telepon lokal dan fax dengan layanan tambahan koneksi ke SLI, SLJJ, seluler, dan internet teleponi (Voice over Internet Protocol) Layanan internet dial-up, dengan modem array di setiap sentral Layanan instant messaging (SMS) Fase 2 (Transisi) Pengenalan server layanan Penyediaan telepon dengan pilihan berbagai tingkat layanan (quality of service atau QoS) Penyediaan internet berkecepatan tinggi Fase 3 (Kompetisi Penuh) Infrastruktur terpadu dengan multi layanan Penyediaan telepon dengan berbagai pilihan QoS dan rute secara terintegrasi (dari sisi pengguna jasa) Internet, multimedia messaging, multimedia dan broadband 10

11 Fase Tabel 3. Pentahapan Aspek Teknis Manajemen Teknis Aspek Manajemen Sistem Fase 1 (Duopoli) Efisiensi dan kinerja jaringan diawasi oleh masing-masing operator Masing-masing operator memiliki pencatat pulsa dan billing Tarif diberlakukan sesuai regulasi tarif lokal, SLJJ, dan SLI, dengan konsep distribusi pendapatan berbasis persentase yang proporsional dari distance-equivalent-resources dan QoS yang digunakan dalam layanan tersebut Diterapkan sistem clearing house Fase 2 (Transisi) Penyiapan koordinasi manajemen Penyiapan pemilahan (unbundling) antara bisnis jaringan inti, bisnis akses, bisnis layanan, dan bisnis customer service Penyiapan operator baru berbasis NGN Fase 3 (Kompetisi Penuh) Penggunaan full NGN sebagai sistem managemen jaringan terpadu Infrastruktur terpadu, kompetisi di jaringan akses, layanan pelanggan terpadu, dan kompetisi di layanan Operator-operator baru beroperasi Tabel 4. Pentahapan Aspek Teknis Layanan Pelanggan Fase Aspek Layanan Pelanggan Fase 1 (Duopoli) Operator lokal memiliki pelanggan masing-masing dengan nomor telepon unik Fasilitas layanan pelanggan masih terpisah Fase 2 (Transisi) Penyiapan managemen layanan pelanggan terpadu Fase 3 (Kompetisi Penuh) Sistem AAA yang mendukung multi operator, multi QoS, dan memudahkan pengguna Berbagai pengalaman internasional membuktikan bahwa dalam periode transisi dari monopoli menuju kompetisi, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan dari perusahaan incumbent untuk melanjutkan dominasinya sehingga besar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan (abuse) posisi dominan. Oleh karena itu, diperlukan intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan kompetisi, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun restrukturisasi dan reposisi incumbent. Untuk menentukan kebijakan pro-kompetisi, dilakukan beberapa tahapan analisis, yaitu (1) analisis pasar berdasarkan produk dan geografis penduduk; (2) analisis hambatan masuk pasar; dan (3) analisis dominasi perusahaan dalam pasar termasuk proses penggabungan antarperusahaan yang berpotensi menimbulkan dominasi dalam pasar. Kajian ini juga dilakukan dengan memperhatikan akses pemanfaatan fasilitas esensial. Dengan menggunakan pendekatan analisis pasar berdasarkan produk, pelaksanaan duopoli/kompetisi tidak dapat berjalan efektif mengingat incumbent --dalam hal ini PT Telkom-- telah mempunyai infrastruktur dan fasilitas pendukung penyelenggaraan telekomunikasi lokal dan SLJJ yang menghubungkan seluruh daerah di Indonesia, sedangkan PT Indosat sebagai pemain baru hanya memiliki infrastruktur penyelenggaraan SLI yang berbentuk gerbang (gateway) internasional. Untuk mencapai posisi yang sama dengan incumbent, pemain baru memerlukan waktu dan investasi yang besar. Berdasarkan kondisi tersebut, ekstensifikasi model duopoli secara geografis perlu dipertimbangkan. Secara konseptual, kombinasi pendekatan produk dan geografis dapat memberikan perimbangan kekuatan yang lebih merata antara incumbent dan pemain baru. Kombinasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Alternatif pertama: incumbent (PT Telkom) menjual sebagian perusahaan divisi regional kepada pemain baru. Keuntungan utama alternatif ini adalah terdapatnya 11

12 perimbangan kekuatan yang proporsional antara incumbent dan pesaingnya. Jika sebelumnya incumbent menguasai sentral telepon lokal dan regional, maka dengan diberlakukannya model ini dominasi incumbent menjadi hilang. Keuntungan lainnya adalah dapat dihindarinya tindakan dumping oleh incumbent melalui penentuan tarif yang sangat murah. Hal yang perlu diperhatikan dalam alternatif pertama ini adalah potensi sengketa ketenagakerjaan akibat restrukturisasi karyawan. Penilaian terhadap nilai intrinsik dan ekstrinsik perusahaan merupakan salah satu potensi sengketa yang terjadi dalam pengambilalihan perusahaan divisi regional. Selain itu, pilihan area strategis, yaitu pilihan divisi regional yang akan dikelola oleh incumbent dan oleh pesaing, juga berpotensi menimbulkan sengketa. Alternatif kedua: incumbent menyewakan fasilitas akses lokal (local loop) ke pemain baru. Dengan model ini, perusahaan pesaing tidak perlu membangun fasilitas sentral lokal dan regional, tetapi cukup menyediakan akses langsung ke pelanggan. Penggunaan alternatif kedua memerlukan biaya relatif lebih rendah dibandingkan dengan alternatif pertama. Jika pada alternatif pertama perusahaan pesaing harus mengeluarkan dana untuk mengambil alih perusahaan divisi regional, maka pada alternatif kedua perusahaan pesaing hanya mengeluarkan biaya dalam bentuk penyewaan fasilitas akses lokal dan pengadaan kabel telepon tetap. Selain itu, melalui pendekatan ini sengketa ketenagakerjaan dapat dihindari. Hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi alternatif ini adalah potensi hambatan yang berasal dari incumbent seperti harga sewa dan biaya interkoneksi yang tinggi. Selain itu, model ini juga kurang mendorong peningkatan penetrasi layanan. Mengingat perusahaan pesaing menyewa fasilitas sentral dari incumbent, maka kompetisi antarperusahaan hanya terjadi pada daerah yang sudah memiliki fasilitas sentral yang berkapasitas cukup besar, sehingga tidak membuka daerah baru. Alternatif ketiga: incumbent menjual jasa jaringan sambungan telepon ke pemain baru. Penjualan kepada perusahaan pesaing bertujuan untuk menciptakan alternatif produk kepada pengguna jasa. Melalui model ini, persaingan antara incumbent dengan perusahaan pesaing terjadi pada inovasi dan teknologi dalam memberikan pelayanan. Keuntungan alternatif ini adalah kecilnya kemungkinan terjadi sengketa tenaga kerja dan rendahnya biaya investasi perusahaan pesaing. Adapun dari sisi pengguna jasa, alternatif ketiga ini memberikan keuntungan dalam bentuk tarif yang kompetitif. Hal yang harus diperhatikan adalah biaya penjualan jasa jaringan telepon kepada perusahaan pesaing. Harga penjualan harus dirumuskan secara proporsional dengan tetap memperhatikan investasi, termasuk sunk cost peralatan dan jaringan, yang telah dilakukan incumbent dan kemampuan perusahaan pesaing. Oleh karena itu, penetapan harga penjualan sebaiknya dilakukan berdasarkan biaya (cost-base). Sebagaimana alternatif kedua, model ini juga tidak mendorong peningkatan penetrasi layanan. Mengingat perusahaan pesaing membeli jasa jaringan dari incumbent, maka pembangunan fasilitas sentral lebih dibebankan kepada incumbent. Mengingat besarnya investasi awal pembangunan infrastruktur, kompetisi tidak dapat berjalan setara tanpa adanya insentif bagi pemain baru. Penataan ulang perusahaan incumbent sebagaimana dijelaskan dalam ketiga alternatif tersebut diharapkan dapat menjadi langkah awal pelaksanaan kompetisi yang setara. Selanjutnya, ketiga pilihan tersebut dapat dilanjutkan/dipertahankan melalui tiga model sebagai berikut. Pertama: model free fight dengan mempertahankan integrasi vertikal. Masing-masing operator bersaing bebas dalam segala aspek --baik infrastruktur inti, jaringan akses, maupun layanan-- dengan mempertahankan integrasi bisnis secara vertikal. Model ini di satu sisi akan menyebabkan duplikasi infrastruktur, namun di sisi lain akan 12

13 mendorong tingkat penetrasi sekaligus memberikan berbagai macam pilihan kepada pengguna. Model ini menuntut kemampuan finansial yang kuat dari pemain baru untuk mencapai skala ekonomi tertentu sehingga kualitas layanan yang diberikan dapat tetap terjaga. Kedua: model utilitas. Asumsi yang digunakan pada model ini adalah layanan telekomunikasi merupakan kebutuhan dasar (utility). Oleh karena itu, masing-masing operator menyelenggarakan telekomunikasi berdasarkan peraturan yang kaku (rigid). Pada model ini kompetisi antaroperator terjadi hanya sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi internal perusahaan. Pengguna jasa tidak lagi mendapatkan inovasi baru dari para operator. Ketiga: model competitive-cooperative melalui pemilahan (unbundling) bisnis vertikal. Pada model ini dilakukan fragmentasi dan pemilahan bisnis vertikal. Bisnis yang dikerjasamakan terdiri dari bisnis infrastruktur inti dan bisnis layanan pelanggan, sedangkan bisnis jaringan akses, jaringan pelanggan, dan jasa merupakan bisnis yang dikompetisikan. Dari ketiga model tersebut, model competitive-cooperative dinilai sebagai model yang sesuai. Perbandingan ketiga model (skenario) tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Analisa Komparatif Antarskenario Skenario Indikator Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Biaya Tinggi Sedang Rendah Risiko kegagalan Tinggi Tinggi Rendah Output/outcome Rendah Sedang Tinggi Manfaat ekonomi Rendah Rendah Tinggi Kelayakan Rendah Sedang Tinggi Keterangan: penilaian rendah, sedang dan tinggi diberikan dengan membandingkan ketiga skenario tersebut. 5. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.1 Kesimpulan Beberapa kesimpulan dari kajian ini adalah sebagai berikut. 1. Pilihan kebijakan dalam meliberalisasi penyelenggaraan telekomunikasi sangat spesifik dan bergantung pada kondisi negara masing-masing. Model utilitas dan model kompetisi yang diterapkan secara ekstrim tidak selalu efektif. Pola utilitas pada negara yang masih berkembang seperti Indonesia ternyata menimbulkan stagnasi baik dari segi tingkat penetrasi maupun kualitas layanan. Sebaliknya, pola kompetisi bebas ternyata hanya dapat diterapkan pada segmen masyarakat mampu. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan dalam menentukan bentuk dan pentahapan kompetisi yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan nasional. 2. Pada prinsipnya perbedaan teknologi yang digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi tetap (teknologi PSTN maupun berbasis IP) bukan merupakan suatu masalah. Teknologi yang beragam tersebut tetap dapat saling berintegrasi serta melakukan interkoneksi dan interoperasi dengan tetap menjaga kualitas layanan sebagaimana dipersyaratkan. Dengan demikian, perubahan dari bentuk monopoli/duopoli ke bentuk kompetisi tidak mengalami kesulitan teknis. 13

14 3. Teknologi yang optimal untuk sambungan tetap (fixed line) di era kompetisi adalah teknologi NGN. Transisi menuju NGN dilakukan secara bertahap, yaitu (i) melakukan integrasi pada tahap PSTN; (ii) memperkenalkan NGN sehingga sistem ini akan berdampingan (co-exist) dengan PSTN; dan (iii) menggunakan NGN sebagai platform integrasi multi operator. Bersamaan dengan migrasi teknologi, perlu dikembangkan sistem AAA yang dapat mengakomodasi pelanggan dari multi operator. 4. Permasalahan utama dalam proses liberalisasi adalah karakteristik pasar yang cenderung memperkuat posisi incumbent. Luasnya jaringan, besarnya aset dan pengalaman yang dimiliki incumbent; tingginya sunk cost dan investasi awal pembangunan jaringan; serta adanya integrasi vertikal jasa jaringan menyebabkan tingginya hambatan masuk bagi pemain baru. Kebijakan kompetisi yang berlaku saat ini belum mampu menciptakan kompetisi yang setara. Dengan demikian, dari aspek kebijakan, untuk mendorong masuknya pemain baru, pemerintah harus mencabut regulasi yang membatasi ruang gerak pemain baru, serta melengkapi peraturan yang mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat. 5. Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya persaingan yang sehat dibutuhkan tata aturan main yang jelas dan disepakati oleh para pihak terkait. Selain itu, juga diperlukan suatu badan regulasi yang kuat dan mempunyai kewenangan penuh dalam mengawasi jalannya kompetisi tersebut. Mengingat saat ini struktur dan konfigurasi keanggotaan BRTI masih tercampur dengan pemerintah, batas kewenangan keduanya menjadi kurang jelas. Pada akhirnya, BRTI tidak dapat menjalankan tugasnya secara optimal. Oleh karena itu, BRTI perlu diperkuat. 6. Mengingat struktur industri telekomunikasi Indonesia masih terintegrasi secara vertikal, maka sulit bagi pemain baru untuk bersaing dengan incumbent. Untuk mengakomodasi masuknya pemain baru, pada kajian ditawarkan tiga pilihan sebagai tahapan migrasi, yaitu (i) incumbent menjual sebagian perusahaan divisi regional kepada pemain baru; (ii) incumbent menyewakan fasilitas akses lokal ke pemain baru; dan (iii) incumbent menjual jasa jaringan ke pemain baru. Selanjutnya, ketiga pilihan tersebut dapat dilanjutkan melalui skenario (i) free fight dengan mempertahankan integrasi vertikal; (ii) utilitas untuk mengefisienkan biaya internal perusahaan; atau (iii) competitive-cooperative melalui fragmentasi dan pemilahan bisnis vertikal. 5.2 Rekomendasi Pada saat pembangunan infrastruktur telekomunikasi sambungan tetap terlihat stagnan karena masih digunakannya sistem monopoli, penambahan jumlah penyelenggara merupakan solusi yang tepat untuk meningkatkan pembangunan baru. Pemerintah telah menetapkan kebijakan duopoli yang merupakan transisi dari monopoli menuju kompetisi penuh, namun pada kenyataannya kebijakan ini juga belum cukup efektif untuk mendorong tingkat penetrasi ataupun menciptakan kompetisi yang setara sebagaimana menjadi tujuan awal kebijakan ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembukaan pasar (liberalisasi) lebih lanjut dengan mengakhiri sistem duopoli. Walau demikian, perlu dipahami bahwa pembukaan pasar tidak serta merta mewujudkan kompetisi. Banyak hal yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu, seperti peraturan pelaksanaan kompetisi dan format kompetisi itu sendiri. Mengingat adanya keterbatasan kemampuan pemain baru, 14

15 maka untuk menciptakan kompetisi diperlukan pentahapan. Berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa hal yang kami rekomendasikan sebagai tindak lanjut persiapan pelaksanaan kompetisi penuh. 1. Melengkapi peraturan pendukung pelaksanaan kompetisi Melalui peraturan interkoneksi dan penomoran, pemerintah dapat menciptakan kondisi open access yang mengharuskan pemilik jaringan eksisting untuk memberikan interkoneksi kepada pemain baru secara adil dan tanpa diskriminasi sesuai dengan tarif dan kualitas yang telah ditentukan. Kondisi ini juga memungkinkan para penyelenggara baru untuk mengakses fasilitas yang selama ini hanya dinikmati oleh incumbent. Keadaan ini diharapkan tidak saja menghilangkan hambatan masuk dan memberikan kesempatan bagi pemain baru untuk berkembang, tetapi juga meningkatkan efisiensi penyelenggara. Efisiensi ini diharapkan akan memberikan pilihan kepada masyarakat dan menurunkan harga jual layanan. 2. Menetapkan format kompetisi jangka panjang Pada proses pelaksanaan kajian, diidentifikasi permasalahan utama dalam liberalisasi sektor telekomunikasi yaitu struktur industri yang terintegrasi secara vertikal. Struktur industri vertikal ini terbukti menciptakan hambatan masuk yang tinggi sehingga sulit mewujudkan kompetisi yang setara. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terhadap kemungkinan mengubah struktur industri. Selanjutnya, pemerintah menetapkan format kompetisi sesuai dengan struktur industri yang optimal untuk mendukung terlaksananya kompetisi. Segera mengakhiri duopoli setelah peraturan pendukung kompetisi dan format kompetisi ditetapkan. 3. Memperkuat BRTI BRTI perlu segera ditransformasi menjadi badan regulasi yang independen dengan (1) memberikan landasan hukum yang lebih kuat; (2) memisahkan fungsi regulasi dari fungsi pembuat kebijakan (pemerintah) sehingga terdapat pemisahan kewenangan yang jelas, termasuk mengatur kewenangan dengan KPPU; (3) melengkapi BRTI dengan kewenangan eksekusi peraturan yang disusunnya; dan (4) memperkuat staf BRTI karena apabila BRTI dipisahkan dari pemerintah maka diperlukan peningkatan kuantitas dan kualitas staf. 4. Meningkatkan kesiapan penyelenggara telekomunikasi Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa perubahan kebijakan dapat membawa risiko finansial kepada pemerintah seperti pembayaran kompensasi kepada PT Telkom sebagai konsekuensi terminasi dini hak eksklusivitas dan penetapan duopoli. Oleh karena itu, terlebih dahulu diperlukan sosialisasi kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemerintah. Sosialisasi ini diharapkan akan memberikan kesempatan bagi para penyelenggara telekomunikasi untuk mempersiapkan diri baik secara teknis maupun finansial. Sosialisasi ini juga diharapkan dapat memberikan kejelasan rencana pembangunan telekomunikasi bagi para investor. Pemerintah perlu menyusun rencana induk pengembangan infrastruktur telekomunikasi nasional terutama tatanan infrastruktur yang mendorong terjadinya integrasi berbagai jaringan, teknologi dan aplikasi. 5. Untuk mengantisipasi meningkatnya pemanfaatan aplikasi nir kabel, pemerintah harus mengalokasikan spektrum frekuensi secara lebih efisien dan transparan. Untuk 15

Paradigma baru di bisnis telekomunikasi ini sudah barang tentu juga akan berimbas pada kebijakan dan strategi perusahaan itu sendiri.

Paradigma baru di bisnis telekomunikasi ini sudah barang tentu juga akan berimbas pada kebijakan dan strategi perusahaan itu sendiri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan perubahan lingkungan ekonomi global, liberalisasi dan laju kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika yang berlangsung sangat dinamis, telah mendorong

Lebih terperinci

Peluang dan Hambatan Bisnis Industri Telekomunikasi di Era Konvergensi

Peluang dan Hambatan Bisnis Industri Telekomunikasi di Era Konvergensi Peluang dan Hambatan Bisnis Industri Telekomunikasi di Era Konvergensi Rakornas Telematika dan Media 2008 Kamar Dagang Dan Industri Indonesia Jakarta, 23 Juni 2008 Latar Belakang Resiko-resiko yang Mungkin

Lebih terperinci

STT Telematika Telkom Purwokerto

STT Telematika Telkom Purwokerto PENERAPAN JARINGAN MULTI SERVICE ACCESS NETWORK UNTUK MENDUKUNG NGN Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Besar pada mata kuliah Kinerja Telekomunikasi prodi S1 Teknik Telekomunikasi. Oleh : Lina Azhari

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN FASTEL USO WHITE PAPER PELUANG USAHA DI BIDANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PEMBANGUNAN FASTEL USO WHITE PAPER PELUANG USAHA DI BIDANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI T PEMBANGUNAN FASTEL USO WHITE PAPER PELUANG USAHA DI BIDANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI DIREKTORAT JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI DIREKTORAT TELEKOMUNIKASI Kata Pengantar Dokumen white paper ini merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 33 TAHUN 2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 33 TAHUN 2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 33 TAHUN 2004 TENTANG PENGAWASAN KOMPETISI YANG SEHAT DALAM PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP DAN PENYELENGGARAAN JASA TELEPONI DASAR MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

FTP Nasional 2000 I - i Pendahuluan

FTP Nasional 2000 I - i Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1 TUJUAN... 1 2 LATAR BELAKANG... 1 3 FORMAT DAN JENIS FTP... 2 4 RUANG LINGKUP FTP NASIONAL... 2 5 JARINGAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL... 3 6 ANTISIPASI DAN ASUMSI KONDISI LINGKUNGAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Layanan jasa telekomunikasi di Indonesia telah disediakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Layanan jasa telekomunikasi di Indonesia telah disediakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Layanan jasa telekomunikasi di Indonesia telah disediakan oleh perusahaan milik negara mulai tahun 1961. Pengembangan dan modernisasi atas infrastruktur telekomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perbandingan antara NGN dengan PSTN dan Internet [ 1] Analisa penerapan enum, Nurmaladewi, FT UI, Gunawan Wibisono

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perbandingan antara NGN dengan PSTN dan Internet [ 1] Analisa penerapan enum, Nurmaladewi, FT UI, Gunawan Wibisono BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Teknologi informasi dan komunikasi (infokom) saat ini berkembang makin pesat yang didorong oleh perkembangan internet protocol (IP) dengan berbagai aplikasi baru dan

Lebih terperinci

Kerangka Kebijakan Pengembangan Dan Pendayagunaan Telematika Di Indonesia

Kerangka Kebijakan Pengembangan Dan Pendayagunaan Telematika Di Indonesia Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor : 6 tahun 2001 Tanggal : 24 april 2001 Kerangka Kebijakan Pengembangan Dan Pendayagunaan Telematika Di Indonesia Pendahuluan Pesatnya kemajuan teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Objek Studi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Objek Studi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Objek Studi Peningkatan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) atau dikenal pula dengan nama Information and Communication Technology (ICT), khususnya melalui

Lebih terperinci

2017, No b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika te

2017, No b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika te No.233, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KOMINFO. Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2017

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI PEMANFAATAN INFRASTRUKTUR NON-TELEKOMUNIKASI SECARA LUAS DALAM PENYEDIAAN JASA TELEKOMUNIKASI

KAJIAN POTENSI PEMANFAATAN INFRASTRUKTUR NON-TELEKOMUNIKASI SECARA LUAS DALAM PENYEDIAAN JASA TELEKOMUNIKASI LAPORAN PEKERJAAN SWAKELOLA KAJIAN POTENSI PEMANFAATAN INFRASTRUKTUR NON-TELEKOMUNIKASI SECARA LUAS DALAM PENYEDIAAN JASA TELEKOMUNIKASI Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian Negara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan telekomunikasi (infocomm) serta penyedia jasa dan jaringan

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan telekomunikasi (infocomm) serta penyedia jasa dan jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. merupakan perusahaan penyelenggara informasi dan telekomunikasi (infocomm) serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA

PERSAINGAN USAHA DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA PERSAINGAN USAHA DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA Latar belakang Perkembangan berbagai aspek kehidupan dan sektor ekonomi di dunia dewasa ini terasa begitu cepat, kecepatan perubahan tersebut sering

Lebih terperinci

Menyikapi Restrukturisasi Dan Privatisasi Industri Telekomunikasi

Menyikapi Restrukturisasi Dan Privatisasi Industri Telekomunikasi Menyikapi Restrukturisasi Dan Privatisasi Industri Telekomunikasi Menjelang tutup tahun 2002, sektor telekomunikasi Indonesia ditandai dengan peristiwa divestasi saham pemerintah di Indosat yang menimbulkan

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Regulasi Indonesia untuk Penyelenggaraan IMS

Analisis Kebijakan Regulasi Indonesia untuk Penyelenggaraan IMS Analisis Kebijakan Regulasi Indonesia untuk Penyelenggaraan IMS Pendahuluan Banyak pendapat yang menghendaki penyempurnaan Regulasi Telekomunikasi di Indonesia. Dengan makin berkembangnya teknologi telekomunikasi,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : PM. TAHUN 2005 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : PM. TAHUN 2005 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : PM. TAHUN 2005 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG KERANGKA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN TELEMATIKA DI INDONESIA

LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG KERANGKA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN TELEMATIKA DI INDONESIA LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG KERANGKA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN TELEMATIKA DI INDONESIA Pendahuluan Pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi,

Lebih terperinci

3 BAB III PERUMUSAN MASALAH

3 BAB III PERUMUSAN MASALAH 3 BAB III PERUMUSAN MASALAH 3.1 Alasan Pemilihan Masalah Untuk Dipecahkan 3.1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi menuntut adanya kesiapan setiap perusahaan untuk meningkatkan kualitas layanan dan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA YANG BERDAYA SAING TINGGI

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA YANG BERDAYA SAING TINGGI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA YANG BERDAYA SAING TINGGI Gumilang Hardjakoesoema

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian dunia ditandai oleh semakin

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian dunia ditandai oleh semakin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian dunia ditandai oleh semakin cepatnya arus komunikasi sebagai konsekuensi dari liberalisasi dan globalisasi dunia. Liberalisasi

Lebih terperinci

Source situs kominfo/dowdloaded by mandor/170707/distributed to all daerahs & ham concern by 1

Source situs kominfo/dowdloaded by mandor/170707/distributed to all daerahs & ham concern by  1 Perubahan Esensi Pengaturan Interkoneksi, USO, Tarif, Perizinan, Sertifikasi Perangkat, Penyadapan Informasi, Pencabutan Izin dan Kewajiban Denda serta Penyiaran Di Dalam Rancangan Perubahan Atas Peraturan

Lebih terperinci

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation-PSO) sampai saat ini belum berjalan dengan baik. Secara umum permasalahan tersebut antara lain adalah belum adanya persepsi yang sama tentang

Lebih terperinci

FLEXI DAN MIGRASI FREKUENSI

FLEXI DAN MIGRASI FREKUENSI BAB 2. FLEXI DAN MIGRASI FREKUENSI 2.1 TELKOM FLEXI PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) merupakan perusahaan penyelenggara informasi dan telekomunikasi (InfoComm) serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN TELEMATIKA DI INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN TELEMATIKA DI INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN TELEMATIKA DI INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis daya saing..., 1 Rani Nur'aini, FT UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Analisis daya saing..., 1 Rani Nur'aini, FT UI, 2009 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manfaat kompetisi yang semakin ketat di sektor telekomunikasi kini mulai dirasakan oleh masyarakat luas. Persaingan teknologi dan persaingan bisnis antar-operator telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, baik jasa maupun

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, baik jasa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, baik jasa maupun dagang, bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau laba usaha sebesarbesarnya. Laba merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk menyampaikan informasi. Teknologi telekomunikasi. berkomunikasi, berikut perkembangan teknologi telekomunikasi:

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk menyampaikan informasi. Teknologi telekomunikasi. berkomunikasi, berikut perkembangan teknologi telekomunikasi: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan semakin derasnya arus globalisasi, yang didalamnya dituntut adanya pertukaran informasi yang semakin cepat antar daerah dan negara, membuat peranan telekomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa tahun kemudian atau di tahun 1970-an, fakta

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa tahun kemudian atau di tahun 1970-an, fakta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berawal dari tahun 1959, pemerintah Indonesia dengan konfrontasi politiknya mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan milik Belanda. Namun yang terjadi setelah mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Kondisi Umum Industri Telekomunikasi di Indonesia. baik untuk mendukung kegiatan pemerintahan, pendidikan, bisnis, kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN Kondisi Umum Industri Telekomunikasi di Indonesia. baik untuk mendukung kegiatan pemerintahan, pendidikan, bisnis, kesehatan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Kondisi Umum Industri Telekomunikasi di Indonesia Telekomunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, baik untuk mendukung kegiatan pemerintahan,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Studi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Studi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Studi Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam beberapa tahun terakhir telah mendukung perkembangan kegiatan pemasaran dan mendorong percepatan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (PT Telkom Access)

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (PT Telkom Access) BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (PT Telkom Access) PT Telekomunikasi indonesia, Tbk. ( Telkom, Perseroan, atau Perusahaan ) yang menyediakan layanan telekomunikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan bisnis interkoneksi, TELKOM merujuk kepada regulasi diantaranya adalah UU no.36 tahun 1999, Keputusan Menteri (KM) atau Peraturan Menteri (PerMen),

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan

Lebih terperinci

2011, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunika

2011, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunika No.652, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. ICT-Fund. Pemanfaatan. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 21/PER/M.KOMINFO/10/2011

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peluang bisnis di sektor telekomunikasi pada tahun 2008 semakin. menjanjikan setelah tahun 2007 mengalami pertumbuhannya yang membaik.

I. PENDAHULUAN. Peluang bisnis di sektor telekomunikasi pada tahun 2008 semakin. menjanjikan setelah tahun 2007 mengalami pertumbuhannya yang membaik. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peluang bisnis di sektor telekomunikasi pada tahun 2008 semakin menjanjikan setelah tahun 2007 mengalami pertumbuhannya yang membaik. Seperti yang diungkapkan oleh Utoyo

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN UMUM Bahwa tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak pasti dan turbulen baik dari sisi teknologi, regulasi, pasar maupun

I. PENDAHULUAN. tidak pasti dan turbulen baik dari sisi teknologi, regulasi, pasar maupun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lanskap bisnis telekomunikasi mengalami perubahan yang sangat cepat, tidak pasti dan turbulen baik dari sisi teknologi, regulasi, pasar maupun persaingan. Dari sisi teknologi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.217, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKOMINFO. Sanksi Administratif. Denda. Penyelenggara Telekomunikasi. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11

Lebih terperinci

7. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/04/05 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika;

7. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/04/05 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika; 6. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 04 Tahun 2001 tentang Fundamental Technical Plan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 43/PER/M. KOMINFO/12/2007;

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/P/M.KOMINFO/7/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia teknologi komunikasi informasi di Indonesia sekarang ini memasuki babak baru dengan kehadiran teknologi IP (Internet Protocol). Perkembangan teknologi IP diharapkan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Profil Perusahaan PT. TELKOM CDC PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., yang selanjutnya disebut TELKOM atau Perseroan, merupakan perusahaan informasi dan komunikasi (InfoCom)

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis kebijakan pajak..., Wiwiet Septiana Rosario, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis kebijakan pajak..., Wiwiet Septiana Rosario, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan semakin derasnya arus globalisasi dimana didalamnya dituntut adanya pertukaran informasi yang semakin cepat antar daerah dan negara membuat

Lebih terperinci

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN

Lebih terperinci

Kebijakan Tarif Telekomunikasi

Kebijakan Tarif Telekomunikasi Kebijakan Tarif Telekomunikasi oleh Hery Nugroho hery@brti.or.id Jakarta, 15 Juni 2007 1. Fair 2. Toward Cost Prinsip Dasar Regulasi tarif 3. Attract Investment 4. Rules by International Organizations

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelengaraan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN BERGERAK SELULAR DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/12/PBI/2017 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/12/PBI/2017 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/12/PBI/2017 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan teknologi

Lebih terperinci

Keputusan Menteri tentang penyelenggaraan NAP (Netwok Access Point) dan ISP (Internet Service Provider) Oleh: Yudha Febi Irawan

Keputusan Menteri tentang penyelenggaraan NAP (Netwok Access Point) dan ISP (Internet Service Provider) Oleh: Yudha Febi Irawan Keputusan Menteri tentang penyelenggaraan NAP (Netwok Access Point) dan ISP (Internet Service Provider) Oleh: Yudha Febi Irawan 55408110018 Dosen: DR. Ir Iwan Krisnadi MBA Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/12/PBI/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/12/PBI/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/12/PBI/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem

Lebih terperinci

TANTANGAN INDONESIA PADA ERA BROADBAND ICT

TANTANGAN INDONESIA PADA ERA BROADBAND ICT Ditjen SDPPI Kementerian Kominfo TANTANGAN INDONESIA PADA ERA BROADBAND ICT DR.Ir. ISMAIL, MT. Direktur Jenderal SDPPI Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF JASA TELEKOMUNIKASI YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN BERGERAK SELULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI - 1 - KONSULTASI PUBLIK PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan peluang-peluang baru bagi pemain industri telekomunikasi baik

I. PENDAHULUAN. memberikan peluang-peluang baru bagi pemain industri telekomunikasi baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Telekomunikasi merupakan salah satu industri yang paling kompetitif di Indonesia. Industri telekomunikasi nasional mengalami pertumbuhan pesat seiring dengan pertumbuhan

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, Konsultasi Publik RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYEDIAAN LAYANAN APLIKASI DAN/ATAU KONTEN MELALUI INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Pendekatan Untuk Pemeringkatan Perusahaan Telepon Seluler*

Pendekatan Untuk Pemeringkatan Perusahaan Telepon Seluler* Fitur Pemeringkatan ICRA Indonesia November 2014 Pendekatan Untuk Pemeringkatan Perusahaan Telepon Seluler* Metodologi pemeringkatan ICRA Indonesia untuk perusahaan penyedia layanan telekomunikasi seluler

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bisnis, teknologi dan gaya hidup manusia saat ini. Teknologi-teknologi baru di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. bisnis, teknologi dan gaya hidup manusia saat ini. Teknologi-teknologi baru di bidang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Telekomunikasi dan jaringan komputer telah berdampak sangat luas dalam bisnis, teknologi dan gaya hidup manusia saat ini. Teknologi-teknologi baru di bidang telekomunikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi dan teknologi informasi menciptakan ancaman sekaligus peluang bagi suatu negara. Dalam abad ini, informasi merupakan senjata ampuh yang paling

Lebih terperinci

BAB 1 BAB 1. PENDAHULUAN

BAB 1 BAB 1. PENDAHULUAN BAB 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini persaingan bisnis di sektor telekomunikasi semakin ketat baik dari lingkungan bisnis jasa maupun industri telekomunikasi. Munculnya operatoroperator

Lebih terperinci

Bagaimana ber-internet di tengah mahalnya Tarif Telepon?

Bagaimana ber-internet di tengah mahalnya Tarif Telepon? Bagaimana ber-internet di tengah mahalnya Tarif Telepon? Penggunaan Internet makin hari makin menjadi kebutuhan bagi sementara anggota masyarakat. Namun mahalnya tarif telekomunikasi khususnya telepon

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan dapat dilakukan tidak hanya secara langsung tetapi juga. mendukung hal tersebut adalah jaringan komputer.

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan dapat dilakukan tidak hanya secara langsung tetapi juga. mendukung hal tersebut adalah jaringan komputer. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuh pesatnya teknologi informasi pada saat ini membuat ruang gerak suatu komunikasi menjadi lebih bebas dan fleksibel. Pada masa lampau suatu komunikasi biasa dilakukan

Lebih terperinci

Next Generation Network (NGN) Pertemuan XIII

Next Generation Network (NGN) Pertemuan XIII Next Generation Network (NGN) Pertemuan XIII Konsep Next Generation Network (NGN) merepresentasikan sintesis dari dua teknologi besar yang telah berkembang sebelumnya itu, yaitu teknologi Public Switched

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 05 /PER/M.KOMINFO/I/2006 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 05 /PER/M.KOMINFO/I/2006 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 05 /PER/M.KOMINFO/I/2006 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang

Lebih terperinci

Powered by TeUinSuska2009.Wordpress.com. Upload By - Vj Afive -

Powered by  TeUinSuska2009.Wordpress.com. Upload By - Vj Afive - Powered by http:/ TeUinSuska2009.Wordpress.com Upload By - Vj Afive - Arsitektur Jaringan Secara Umum Jaringan Telekomunikasi terdiri dari : User Terminal / CPE(perangkat penghubung antara user dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada masa persaingan bebas ini, ketika semua aspek kehidupan. terus berkembang, konsumen semakin membutuhkan jasa telekomunikasi

I. PENDAHULUAN. Pada masa persaingan bebas ini, ketika semua aspek kehidupan. terus berkembang, konsumen semakin membutuhkan jasa telekomunikasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa persaingan bebas ini, ketika semua aspek kehidupan terus berkembang, konsumen semakin membutuhkan jasa telekomunikasi yang dapat mendukung aktivitasnya. Menurut

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PT. HUTCHISON 3 INDONESIA EXECUTIVE SUMMARY

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PT. HUTCHISON 3 INDONESIA EXECUTIVE SUMMARY DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PT. HUTCHISON 3 INDONESIA EXECUTIVE SUMMARY Pendahuluan Dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Telekomunikasi dan Informasi No. 08/Per/M.KOMINFO/02/2006 tahun 2006,

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG Suatu perusahaan didirikan untuk menghasilkan laba yang optimal, dengan adanya laba yang diperoleh tersebut, perusahaan akan memiliki kemampuan untuk berkembang dan mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi telekomunikasi yang paling populer dan pesat perkembangannya pada saat ini adalah seluler, mobilitas merupakan keunggulan utama teknologi ini dibandingkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Regulasi Penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia dimulai dengan aturan monopoli, yang diatur oleh UU (undang undang) no 5 tahun1964 [1]. Kemudian pada tahun 1999

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 UMUM Untuk menganalisa data ataupun subjek dalam penelitian ini, sesuai dengan metode yang dipakai oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode benchmarking,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PER/M.KOMINFO/10/2011 TENTANG PEMANFAATAN PEMBIAYAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (ICT FUND) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi sekarang ini, telekomunikasi memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam kehidupan manusia. Melalui teknologi komunikasi, manusia

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2008 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN PENTARIFAN JASA MULTIMEDIA DAN JASA NILAI TAMBAH TELEKOMUNIKASI DALAM KERANGKA MEKANISME PASAR DENGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.23 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.23 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA ====================== KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.23 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK MENTERI PERHUBUNGAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini membuat persoalan manajemen semakin kompleks, apalagi dengan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. ini membuat persoalan manajemen semakin kompleks, apalagi dengan kondisi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, juga dengan banyaknya perusahaan sejenis yang muncul membuat persaingan usaha menjadi semakin pesat. Hal ini

Lebih terperinci

MASUKAN PUSAT KEBIJAKAN INDUSTRI DAN REGULASI TELEKOMUNIKASI ITB ATAS RPM LELANG 2100 MHZ DAN 2300 MHZ

MASUKAN PUSAT KEBIJAKAN INDUSTRI DAN REGULASI TELEKOMUNIKASI ITB ATAS RPM LELANG 2100 MHZ DAN 2300 MHZ No. : Perihal : T.1/Pikerti/2017 Tanggapan - Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Mengenai Tata Cara Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 2.1 GHz dan 2.3 GHz Untuk

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK

Lebih terperinci

FTP NASIONAL BARU

FTP NASIONAL BARU FTP NASIONAL BARU - 2007 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Telekomunikasi sebagai infrastruktur penting bagi masyarakat dan negara sehingga penguasaannya oleh negara tetap dipertahankan Industri telekomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan antara perusahaan sejenis pada umumnya merupakan kekuatan terbesar

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan antara perusahaan sejenis pada umumnya merupakan kekuatan terbesar BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Persaingan antara perusahaan sejenis pada umumnya merupakan kekuatan terbesar dalam lima kekuatan kompetitif. Strategi yang dijalankan oleh suatu perusahaan dapat berhasil

Lebih terperinci

Tanggapan BRTI terhadap masukan dan saran terhadap RPM Interkoneksi

Tanggapan BRTI terhadap masukan dan saran terhadap RPM Interkoneksi Tanggapan BRTI terhadap masukan dan saran terhadap RPM Interkoneksi No. Saran dan masukan I. ATSI pada rapat tanggal 8 Desember 2005 berpendapat bahwa lebih baik pada konsep RPM Interkoneksi hasil pembahasan

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan komunikasi. Saat ini layanan sistem pembayaran yang melibatkan

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan komunikasi. Saat ini layanan sistem pembayaran yang melibatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menghasilkan inovasi-inovasi baru hampir diseluruh sektor perekonomian. Perkembangan sistem pembayaran merupakan

Lebih terperinci

Persaingan Usaha dan Konsolidasi Industri. Oleh : Agus Priyanto, M.Kom

Persaingan Usaha dan Konsolidasi Industri. Oleh : Agus Priyanto, M.Kom Persaingan Usaha dan Konsolidasi Industri Oleh : Agus Priyanto, M.Kom Perangkat Regulasi Pendukung Konsep dasar persaingan telekomunikasi Perilaku Pasar Indikator perilaku pasar adalah penetapan harga,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Melalui pembahasan dari Bab I sampai dengan pembahasan Bab IV dan sejumlah 5 (lima) pertanyaan yang dilampirkan pada rumusan masalah, maka kami dapat memberikan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN TARIF TELEKOMUNIKASI TERHADAP IKLIM USAHA WARTEL DI INDONESIA. Jakarta, 15 Juni 2007

KEBIJAKAN TARIF TELEKOMUNIKASI TERHADAP IKLIM USAHA WARTEL DI INDONESIA. Jakarta, 15 Juni 2007 KEBIJAKAN TARIF TELEKOMUNIKASI TERHADAP IKLIM USAHA WARTEL DI INDONESIA Jakarta, 15 Juni 2007 Landasan Hukum Definisi Wartel Definisi APWI Sejarah APWI Apa yang dilakukan APWI Eksistensi Wartel secara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 21 / PER/M.KOMINFO / 12 / 2010 TENTANG PENYEDIAAN NUSANTARA INTERNET EXCHANGE UNTUK LAYANAN INTERNET PADA WILAYAH PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI

Lebih terperinci

STRATEGI REGULASI. Maintenance & Operation Management System

STRATEGI REGULASI. Maintenance & Operation Management System STRATEGI REGULASI Maintenance & Operation Management System Regulasi Infrastruktur/Utilitas di Indonesia Apa itu regulasi infrastruktur? Mengapa perlu regulasi sekarang? Dasar-dasar desain Regulasi Peran

Lebih terperinci