Tanggapan BRTI terhadap masukan dan saran terhadap RPM Interkoneksi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tanggapan BRTI terhadap masukan dan saran terhadap RPM Interkoneksi"

Transkripsi

1 Tanggapan BRTI terhadap masukan dan saran terhadap RPM Interkoneksi No. Saran dan masukan I. ATSI pada rapat tanggal 8 Desember 2005 berpendapat bahwa lebih baik pada konsep RPM Interkoneksi hasil pembahasan sahid. Disamping itu ATSI melalui suratnya nomor : 016/ATSI/JSS/XI/2006 tanggal 14 November 2005 kepada menkominfo menyampaikan tanggapan terhadap RPM Interkoneksi yaitu : 1. Tetap mempertahankan RPM Interkoneksi versi sahid. Tanggapan 1. Perubahan RPM Interkoneksi hasil pembahasan di Hotel Sahid hanya melakukan perubahan drafting legal untuk memperjelas esensi dari pengaturannya, untuk memperjelas maksud dari perubahan drafting legal tersebut diberikan penjelasan sebagai berikut : a. Pasal 5 diubah untuk mempertegas defenisi dari layanan originasi, siapa penyelenggara yang menyediakannya dan apa saja jenis layanannya. Pada ayat (1) defenisi originasi disebutkan merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari satu penyelenggara kepada penyelenggara lain. - Dengan defenisi ini dimaksudkan untuk tidak membatasi originasi hanya pembangkitan panggilan dengan menggunakan kode akses oleh penyelenggara jasa. Hal ini disebabkan tidak menutup kemungkinan ke depan originasi juga disediakan bagi penyelenggara jaringan oleh penyelenggara jaringan. Dengan prinsip pengaturan RPM

2 Interkoneksi yang mengedepankan kesepakatan antar penyelenggara, kondisi tersebut sangat terbuka untuk diterapkan. - Lebih lanjut tentang defenisi dan jenis layanan originasi masih dapat dijabarkan oleh penyelenggara dalam Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) kepada BRTI sesuai dengan kondisi call scenario yang diperlukan dalam memberikan satu jenis layanan. Hal ini membuka ruang seluas-luasnya bagi para penyelenggara untuk menyusun skema originasi dalam perspektif bisnisnya. Defenisi dan skema originasi ini nantinya akan dievaluasi dan diterminasi oleh BRTI dengan masukan dan saran dari publik. - Dengan pola tersebut maka tercipta transparansi dan non diskriminasi, dimana defenisi dan jenis dari skema originasi yang disampaikan oleh para penyelenggara dengan batasan defenisi umum dalam RPM Interkoneksi, akan terbuka untuk umum dan diberlakukan sama terhadap semua pencari akses atau penyelenggara yang meminta interkoneksi. Pada ayat (2) mempertegas penyelenggara apa saja yang menyediakan layanan originasi, yaitu para penyelenggara yang mampu melakukan originasi yaitu penyelenggara yang mempunyai jaringan akses. Penyelenggara jarak jauh dan SLI sebagaimana diusulkan tidak dikategorikan sebagai penyelenggara yang mampu menyediakan originasi (Usulan ATSI relevan untuk ditampung); Pada ayat (3) menjelaskan jenis layanan originasi yang disediakan oleh para penyelenggara pada ayat (2). - Dalam terminologi dapat diartikan bahwa satu penyelenggara dapat menyediakan salah satu jenis atau semua jenis layanan originasi. - Penyelenggara jaringan tetap lokal akan menyediakan

3 ... originasi lokal, atau originasi jarak jauh apabila juga menyelenggarakan jaringan tetap jarak jauh (masih jaringan milik penyelenggara yang sama) atau originasi internasioanl; - Penyelenggara jaringan bergerak selular akan menyediakan layanan originasi lokal atau originasi jarak jauh atau originasi internasional atau originasi selular apabila menerapkan single rate origination; - Penyelenggara jaringan bergerak satelit akan menyediakan layanan originasi satelit; - Originasi selular didefenisikan sebagai pembangkitan panggilan dari jaringan bergerak selular. Dengan defenisi tersebut dan pengkategorian yang berbeda dari originasi lokal dan jarak jauh, maka originasi selular adalah single rate origination. - Originasi selular memang tidak direkomendasikan dalam perhitungan OVUM, hal ini disebabkan dalam prakteknya jenis originasi ini belum ada (routing factor belum ada). Akan tetapi originasi selular diperkenalkan sebagai suatu semangat untuk mendorong dan memposisikan penyelenggara selular ke bentuk asalnya sebagai jaringan overlay secara national coverage. Dengan mempertimbangkan kemampuan dari masing-masing penyelenggara selular yang berbeda dalam mengadopsi jenis originasi tersebut, maka RPM Interkoneksi membuka kebebasan bagi penyelenggara selular untuk memilih ketiga jenis originasi yang dapat disediakan dalam DPI-nya dengan defenisi dan skema yang jelas. Pada prinsipnya adalah jenis originasi yang disediakan harus transparan dan non diskriminatif. - Dalam formula perhitungan yang ditetapkan, tidak menutup kemungkinan penyelenggara selular menambak routing faktor untuk jenis layanan ini. Bobot routing faktornya, harus

4 diproyeksikan dengan perencanaan yang rasional. - Pada prinsipnya jenis originasi selular ini tidak dipraktekkan pada saat ini akibat dari perbedaan tarif retail antara layanan selular dan layanan PSTN. Mengingat perkembangan teknologi kedepan, dan tarif yang cenderung menurun, diperkirakan perbedaan tersebut tidak akan ada lagi. Dengan demikian mengingat layanan selular dan layanan PSTN berkompetisi dalam segmen yang sama yaitu layanan teleponi, maka originasi selular akan sangat mungkin dipraktekkan. - Tujuan lain dari diperkenalkannya originasi selular ini adalah untuk mengantisipasi ke depan, dimana para penyelenggara baru menjadikannya sebagai entry to market strategy. Hal tersebut tidak tertutup kemungkinannya, akibat pada pasar yang cenderung oligopoli, penyelenggara baru harus mempraktekkan pola usaha yang berbeda. b. Pasal 6 menetapkan bahwa layanan transit jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. merupakan layanan transit dengan menggunakan 1 (satu) atau lebih sentral atau trunk dengan jaringan transmisi milik penyelenggara jaringan tetap jarak jauh Secara de facto penyediaan layanan transit dapat disediakan oleh penyelenggara yang mempunyai link transmisi dan sentral gerbang. Tetapi ketentuan yang berlaku layanan transit hanya disediakan oleh penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. - Kondisi eksisting adalah tidak kompetitifnya penyediaan transit dari sisi biaya transit. Hal ini yang menyebabkan pemanfaatan idle capacity tidak optimal, bahkan terjadi inefisiensi, akibat penyelenggara cenderung membangun link transmisi untuk menciptakan direct connection. Akan tetapi kondisi seharusnya sudah dapat diatasi dengan telah terdapatnya lebih dari satu

5 ... penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. - Untuk menghindari hal tersebut, maka mekanismenya dalam RPM Interkoneksi, BRTI akan mengevaluasi besaran biaya transit dari penyelenggara jaringan tetap jarak jauh dengan pendapatan usaha di atas 25% dari total pendapatan industri ( dari segmentasi layanan). Dengan demikian layanan transit yang disediakan benar-benar dari biaya yang efisien dan efektif serta kompetitif. - Pertimbangan lain pembatasan penyediaan transit ini adalah bahwa pada kondisi eksisting dengan topologi dan kapasitas jaringan yang dimiliki penyelenggara jaringan tetap jarak jauh dapat memenuhi kebutuhan transit, penyelenggara lain yang mempunyai kemampuan untuk menyediakan transit dapat menawarkanya sebagai layanan sirkit sewa. c. Pasal 7 diubah dari versi terakhir dari hotel sahid untuk memperjelas maksud dan defenisi dari layanan terminasi, siapa penyelenggara yang menyediakan layanan terminasi dan jenis layanan terminasi. Pada ayat (2) mempertegas penyelenggara apa saja yang menyediakan layanan terminasi, yaitu para penyelenggara yang mampu melakukan terminasi yaitu penyelenggara yang mempunyai jaringan akses. Penyelenggara jarak jauh sebagaimana diusulkan tidak dikategorikan sebagai penyelenggara yang mampu menyediakan terminasi; Pada ayat (3) menjelaskan jenis layanan terminasi yang disediakan oleh para penyelenggara pada ayat (2). - Terminasi selular didefenisikan sebagai pembangkitan panggilan dari jaringan bergerak selular. Dengan defenisi tersebut dan pengkategorian yang berbeda dari terminasi lokal dan jarak jauh, maka terminasi selular adalah single rate termination. - Terminasi selular memang tidak direkomendasikan dalam

6 perhitungan OVUM, hal ini disebabkan dalam prakteknya jenis terminasi ini belum ada (routing factor belum ada). Akan tetapi terminasi selular diperkenalkan sebagai suatu semangat untuk mendorong dan memposisikan penyelenggara selular ke bentuk asalnya sebagai jaringan overlay secara national coverage. Dengan mempertimbangkan kemampuan dari masing-masing penyelenggara selular yang berbeda dalam mengadopsi jenis terminasi tersebut, maka RPM Interkoneksi membuka kebebasan bagi penyelenggara selular untuk memilih ketiga jenis terminasi yang dapat disediakan dalam DPI-nya dengan defenisi dan skema yang jelas. Pada prinsipnya adalah jenis terminasi yang disediakan harus transparan dan non diskriminatif. - Dalam formula perhitungan yang ditetapkan, tidak menutup kemungkinan penyelenggara selular menambak routing faktor untuk jenis layanan ini. Bobot routing faktornya, harus diproyeksikan dengan perencanaan yang rasional. - Pada awalnya dengan memperhatikan kemampuan pengembangan jaringan oleh penyelenggara selular, diberikan kebijakan dalam mengembangkan jaringannya dimungkinkan secara bertahap. Hal ini mengakibatkan penyelenggara selular diposisikan untuk menyediakan layanan terminasi lokal dan terminasi jarak jauh. Memperhatikan bahwa pengembangan jaringan yang dilakukan oleh penyelenggara selular kedepan, akan menjadi jaringan yang overlay secara nasional maka penyelenggara selular sudah dimungkinkan menerapkan single rate termination. Beberapa negara sudah menerapkan single rate termination pada penyelenggaraan jaringan bergerak selular, seperti Inggris dan Australia. - Tujuan lain dari diperkenalkannya terminasi selular ini adalah untuk mengantisipasi ke depan, dimana para penyelenggara

7 baru menjadikannya sebagai entry to market strategy. Hal tersebut tidak tertutup kemungkinannya, akibat pada pasar yang cenderung oligopoli, penyelenggara baru harus mempraktekkan pola usaha yang berbeda. d. Pasal 11 diubah untuk memperbaiki bahwa yang membayar biaya transit bukan hanya penyelenggara jaringan asal, akan tetapi terdapat dua skema yaitu : Biaya transit dibebankan kepada penyelenggara asal apabila panggilan interkoneksi diterminasikan oleh penyelenggara jaringan asal kepada penyelenggara jaringan tujuan Biaya transit dibebankan kepada penyelenggara tujuan apabila panggilan interkoneksi dioriginasikan dari penyelenggara jaringan asal; Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang bagi para penyelenggara untuk menawarkan penyediaan transit berdasarkan element network dan nilai ekonomisnya. 2. Prinsip ex-ante regulation, dimana defenisi yang disampaikan harus dengan jelas tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda dan menimbulkan perselisihan ke depan. 2. Pada dasarnya sebagaimana diuraikan di atas, maka defenisi dan konsep pembebanan yang disampaikan dalam batang tubuh RPM Interkoneksi disusun sebagai batasan umum bagi para penyelenggara untuk lebih mendetailkannya berdasarkan praktek bisnis yang dijalankan. Dengan demikian para penyelenggara diberi ruang untuk melakukan penjabaran defenisi bukan interpretasi terhadap defenisi dan konsep pembebanan. Konsep yang telah dijabarkan akan ditawarkan kepada BRTI untuk dievaluasi berdasarkan pertimbangan kepentingan pengguna, industri dan para penyelenggara sendiri. Dengan konsep tersebut dimana, penjabaran defenisi dari layanan beserta konsep pembebanan yang ditawarkan penyelenggara akan transparan dan berlaku kepada semua pihak, sehingga secara ex-ante

8 akan meminimalkan perselisihan yang terjadi. 3. Non-diskrimanatory pada jenis biaya interkoneksi dari struktur jaringan atau elemen jaringan yang sama. 3. Dalam rekomendasi yang disampaikan oleh konsultan OVUM memang terdapat perbedaan perhitungan biaya interkoneksi untuk satu layanan interkoneksi yang menggunakan elemen jaringan yang sama. Hal ini disebabkan dua hal, yaitu : Hirarki POI yang berbeda dari struktur jaringan yang ada, untuk selular interkoneksi pada jaringan tetap berada pada level trunk, sedangkan untuk interkoneksi untuk jaringan tetap lokal dengan jaringan tetap lokal dapat berada pada tandem sampai dengan lokal exchange. Dengan demikian untuk jenis terminasi lokal terdapat perbedaan elemen jaringan yang digunakan. Pada pendefenisian routing faktor atau representasi dari jenis-jenis layanan interkoneksi, dibagi berdasarkan tipe panggilan yaitu Mobile, Fixed dan Satellite. Selanjutnya porsi dari masing-masing tipe panggilan menjadi faktor pembagi dalam biaya elemen jaringan. Dengan demikian semakin besar porsinya maka semakin kecil biaya per unit. Dalam jumlah subcriber yang berbeda dari masing-masing tipe panggilan maka porsi ketiga type panggilan tersebut dipastikan tidak akan berimbang. Dengan demikian untuk setiap jenis layanan interkoneksi dari masing-masing tipe panggilan akan berbeda; Dengan menetapkan besaran biaya interkoneksi acuan, dimana masingmasing penyelenggara harus mengusulkan besaran biaya interkoneksinya, maka para penyelenggara ditantang untuk menetapkan besaran biaya interkoneksi yang non diskriminatif. Hal ini disebabkan besaran biaya interkoneksi acuan hanya akan digunakan dalam hal biaya interkoneksi yang diusulkan di atas dari besaran acuan. Penetapan besaran biaya interkoneksi acuan sebagai besaran

9 4. Penyediaan POI dengan sifat any technical possibility. maksimum adalah suatu kebijakan untuk mendorong penyediaan interkoneksi dihasilkan dari suatu penyelenggaraan efisien dan penyediaannya secara kompetitif. Dimana biaya interkoneksi yang efisien akan mendorong pertumbuhan ke arah penyedia interkoneksi yang efisien tersebut. 4. Ketentuan dalam FTP memang ditetapkan bahwa sifat penyediaan POI adalah any technical possibility. Sebagai ketentuan teknis maka ketentuan tersebut perlu di atur dalam suatu ketentuan tentang tata cara penetapannya. Hal ini dimaksud dengan POI yang terlalu banyak juga tidak efisien, ataupun secara teknis (interoperability) belum memungkinkan. Dalam kondisi tersebut dibutuhkan parameter untuk menilai kalayakan suatu POI sekaligus mendorong pertumbuhan dan pemerataan akses. Bagi penyelenggara yang membutuhkan POI dari suatu penyelenggara harus mencapai pertumbuhan akses dan trafik tertentu. RPM Interkoneksi merupakan bagian dari kelanjutan ketetapan teknis dalam FTP, dimana dalam RPM Interkoneksi diatur keharusan para penyelenggara menawarkan jumlah dan lokasi POI. Berdasarkan masukan dari publik, BRTI akan melakukan evaluasi dan determinasi sendiri dalam hal jumlah dan lokasi POI dari suatu penyelenggara dengan parameter tersebut di atas. Determinasi akan dilakukan sejauh mana pertumbuhan jaringan overlay antar operator pada daerah tersebut dengan hirarki lengkap (full hierarchi) atau tidak parsial, pertumbuhan pelanggan dan trafik yang dikomitmenkan. Informasi penting dalam dalam penilaian kelayanan membangun suatu POI akan sangat tergantung kepada keterbukaan informasi oleh para penyelenggara. Dengan mekanisme ini maka terhindar suatu penyelenggara menjadikan penyelenggara lain sebagai perluasan network-nya (network

10 externalities) dengan cakupan area layanan yang sama dan mengikat secara hukum. Dalam hal penyelenggara menerapkan network externalities kepada penyelenggara yang cakupan areanya sama, maka perbedaan tarif retail sebagai akibat ketidakhadirannya disuatu daerah akan menjadi beban bagi penyelenggara tersebut untuk masuk kepada pasar di daerah tertentu. Dengan demikian ada 3 parameter utama dalam menentukan pembukaan suatu POI yaitu : 1. Keberadaan hirarki jaringan dari penyelenggara yang berinterkoneksi pada suatu daerah dengan cakupan area yang mengikat dalam perizinannya; Dengan demikian tidak mungkin membuka POI apabila semisal para penyelenggara STBS hanya mempunyai BTS dengan jumlah terbatas pada titik interkoneksi tertentu; Dengan demikian suatu penyelenggara yang menerapkan penyelenggara lain sebagai perluasan network-nya (network externalities) dapat teratasi. Hal ini sesuai dengan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan akses; 2. Kapasitas terpasang yang disediakan oleh para penyelenggara dalam suatu area tertentu. Kondisi ini diperhitungkan dari prosentase terhadap populasi atas suatu cakupan area pembebanan yang dikomitmenkan; 3. Proyeksi pertumbuhan trafik yang dikomitmenkan masing-masing penyelenggara dalam satu titik interkoneksi tertentu. Atau advanced capacity order (ADO) dari masing-masing penyelenggara; Ketentuan ADO mengikat dalam penyusunan DPI. Parameter di atas akan segera ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menuangkannya dalam bentuk regulasi, sehingga secara langsung para penyelenggara mempunyai kewajiban untuk menyediakan titik interkoneksi apabila telah memenuhi parameter.

11 II. PT. Telkom pada pembahasan di sahid dan dipertegas dengan penyampaian masukan setelah pertemuan 7 Desember 2005 memberi masukan sebagai berikut : Posisi Telkom no. 1 Pasal 1 Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda. 1. Defenisi ini sesuai dengan ketentuan dalam UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, sehingga tidak dapat diubah. (Masukan PT. Telkom diterima) Pertimbangan : Konsisten dengan : a. PP 52 tahun 2000 Pasal 1 butir 12 : Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan dari penyelenggara jaringan yang berbeda b. KM 4. tahun 2001, Bab 2 : Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan dari penyelenggara jaringan yang berbeda c. Dalam penjelasan PP No. 52/2000 Pasal 24 : dipertegas bahwa ketersambungan adalah tersambungnya perangkat jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi seperti server,

12 simpul jasa (node) dan router. Dengan demikian bukan merupakan interkoneksi tetapi akses kepada layanan Posisi Telkom no. 2 Pasal 1 ayat 11 Transit adalah penyaluran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan melalui penyelenggara jaringan tetap pihak ketiga. Pertimbangan : Konsisten dengan prinsip prinsip interkoneksi pada KM 4. tahun 2001 (FTP Nasional 2000) : - Tabel 1 pada BAB III butir 3.3 tentang Interkoneksi Fisik yang mengatur layanan transit dapat diselenggarakan oleh : a. Jaringan Tetap Lokal untuk panggilan lokal antar Jaringan Tetap Lokal. b. Jaringan Tetap Jarak Jauh untuk seluruh jenis panggilan. - BAB V tentang Rencana Routing pada butir : Transit dapat dilakukan apabila routing langsung tidak tersedia yaitu melalui jaringan SLJJ yang dipilih oleh STBS asal bila pelanggan memutar dengan prefix nasional 2. Pada dasarnya transit adalah penyaluran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan. Penyediaan layanan transit secara de facto dan teknis tidak dapat dibatasi hanya kepada satu penyelenggara saja, sehingga dengan demikian dalam defenisi umum batasan tersebut tidak dicantumkan. Akan tetapi dalam ketentuan yang berlaku, yang sewaktu-waktu dapat diubah, memang penyediaan layanan transit hanya dibatasi disediakan oleh penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. Ketentuan pembatasan ini selanjutnya dicantumkan atau dituangkan dalam batang tubuh, yaitu ketentuan siapa yang menjadi penyelenggara transit jarak jauh.pada prinsipnya RPM Interkoneksi adalah penjabaran dari ketentuan dalam PP 52/2000. Ketentuan PP 52/2000 bahwa interkoneksi disediakan berdasarkan permintaan telah dijabarkan dalam RPM Interkoneksi secara detail, yaitu dalam kerangka penawaran interkoneksi, permintaan, negosiasi dan kesepakatan interkoneksi.

13 Posisi Telkom no. 3 Pasal 2 1. Interkoneksi antar penyelenggara jaringan wajib dilaksanakan untuk menjamin agar pengguna dari penyelenggara jaringan yang berbeda dapat saling mengadakan telekomunikasi satu sama lain 2. Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak secara transparan dan tidak diskriminatif 3. Pasal 2 ditujukan untuk menegaskan bahwa interkoneksi dilaksanakan bukan untuk kepentingan dari para penyelenggara akan tetapi kepentingan dari para pengguna untuk dapat mengakses jasa telekomunikasi baik yang disediakan oleh penyelenggara jaringan maupun oleh penyelenggara jasa. Pada ayat (2) ditegaskan dalam menjamin pemberian akses terhadap jasa telekomunikasi tersebut, penyelenggara jaringan wajib menyediakan interkoneksi berdasarkan permintaan sebagaimana ditegaskan dalam PP 52/2000;. Pertimbangan : Agar konsisten dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi (UU No. 36/1999 dan PP No. 52/2000) sesuai Posisi Telkom (1) Posisi Telkom no.4 Pasal 3 (1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan layanan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya. 4. Masukan diterima, untuk tidak bertentangan dengan PP 52/2000, RPM telah diupdate sehingga ketentuan ini dimuat dalam Pasal 2 ayat (2), sedangkan Pasal 3 baru hanya memuat ketentuan tentang ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi; Pertimbangan : Konsisten dengan posisi Telkom (1) dan (3)

14 Posisi Telkom no Sda Ayat (2) dihapus Pertimbangan : Konsisten dengan posisi Telkom (1) dan (3). Posisi Telkom no sda Ayat (3) dihapus Pertimbangan : Konsisten dengan posisi Telkom (1) dan (3). Posisi Telkom no. 7 Layanan interkoneksi dari pelaksanaan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat terdiri dari : a. Layanan transit; b. Layanan terminasi. Pertimbangan : 7. Tanggapan terhadap usulan ini adalaha sebagai berikut : Jenis Interkoneksi Sesuai dengan ketentuan dalam PP 52/2000 dimana interkoneksi didefenisikan sebagai : keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara telekomunikasi yang berbeda. Pengertian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Konsisten dengan posisi Telkom (1) dan (3) serta ketentuan pada pasal 23 ayat (3) PP 52/2000, dimana biaya interkoneksi dikenakan kepada

15 penyelenggara jaringan telekomunikasi asal Selanjutnya ditetapkan bahwa : Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin tersedianya interkoneksi. Dengan demikian interkoneksi sebagaimana diuraikan di atas adalah bersifat wajib bagi semua penyelenggara jaringan. Dari tingkatan tersebut dijelaskan bagaimana interkoneksi terjadi dari mulai tingkatan fisik sampai dengan layanan. Kemudian PP 52/2000 juga mengatur keterhubungan jaringan dengan perangkat jasa yaitu : Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif. Dengan menggunakan konsep sebagaimana digambarkan di atas, maka keterhubungan antara jaringan dengan perangkat dapat digambarkan sebagai berikut :

16 Dengan demikian RPM Interkoneksi sebagai penjabaran ketentuan dalam PP 52/2000 harus menjabarkan ketentuan tentang kedua jenis konsep interkoneksi di atas. Jenis layanan interkoneksi. Pendekatan terhadap jenis layanan interkoneksi dapat dilakukan dari sisi tanggung jawab terhadap layanan atau panggilan dan dari sisi pembebanannya. PP 52/2000 dari sisi pembebanannya mengatur sebagai : Biaya interkoneksi dikenakan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi asal. Konsep pembebanan ini dapat di gambarkan sebagai berikut :

17 Dengan demikian jenis layanan interkoneksi adalah layanan transit dan terminasi, dimana layanan transit adalah biaya yang dikenakan kepada jaringan asal atas pemamfaatan jaringan transit dari penyelenggara lain dan layanan terminasi adalah biaya yang dikenakan kepada jaringan asal atas pengakhiran suatu panggilan oleh penyelenggara lain. Kemudian PP 52/2000 juga mengatur keterhubungan jaringan dengan perangkat jasa yaitu : Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif sebagaimana dijelaskan di atas. Pada prakteknye pembebanan dari ketersambungan jaringan dan perangkat ini di gambarkan sebagai berikut :

18 Dengan demikian jenis layanan interkoneksi adalah layanan originasi dan terminasi, dimana layanan originasi adalah biaya yang dikenakan kepada penyelenggara jasa atas pemanfaatan jaringan asal dari penyelenggara lain dan layanan terminasi adalah biaya yang dikenakan kepada penyelenggara jasa atas pengakhiran suatu panggilan oleh penyelenggara lain. Dengan demikian secara implisit ketentuan dalam PP 52/2000 dan berdasarkan praktek yang sudah terjadi yang perlu diregulasi, maka dari sisi pembebanan terdapat tiga jenis layanan interkoneksi yaitu originasi, transit dan terminasi. Dari sisi tanggung jawab terhadap layanan atau panggilan yang de facto dilapangan dipraktekkan, maka jenis layanan interkoneksi akan sangat tergantung kepada posisi dari penyelenggara yang mempunyai tanggung jawab terhadap layanan atau panggilan dalam struktur jaringan interkoneksi. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :

19 Dalam kasus di atas, akibat tanggung jawab panggilan ada pada penyelenggara jaringan asal, maka penyelenggara tersebut dibebankan biaya transit dan biaya terminasi;

20 Dalam kasus di atas, akibat tanggung jawab panggilan ada pada penyelenggara jaringan transit, maka penyelenggara tersebut dibebankan biaya terminasi dan originasi;

21 Dalam kasus di atas, akibat tanggung jawab panggilan ada pada penyelenggara jaringan akhir, maka penyelenggara tersebut dibebankan biaya originasi dan transit; Dengan demikian sisi posisi tanggung jawab terhadap layanan atau panggilan yang secara de facto di lapangan terdapat tiga jenis layanan interkoneksi yaitu originasi, transit dan terminasi. Memperhatikan pembatasan dalam aturan dalam PP 52 yang menetapkan biaya interkoneksi dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi asal, maka RPM Interkoneksi dalam Batang Tubuhnya tidak mengatur pembebanan biaya interkoneksi dan diserahkan kepada para penyelenggara untuk menawarkannya dalam DPI-nya yang akan dievaluasi oleh BRTI. Dengan demikian jenis layanan interkoneksi didefenisikan dari persfektif pembangkitan dan pengakhiran layanan interkoneksi yaitu berorientasi kepada proses penyediaan interkoneksi yang berbasis elemen jaringan dan biaya. Batang Tubuh RPM Interkoneksi dengan demikian akan mengatur dengan sudut pandang sebagai berikut :

22 Dari dua jenis interkoneksi di yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu interkoneksi antar penyelenggara jaringan dan ketersambungan jaringan dengan perangkat penyelenggara jasa, maka jenis interkoneksi yang dicakup dalam RPM Interkoneksi ada dua kategori yaitu : 1. Kategori wajib Yang termasuk dalam kategori ini, sebagaimana ditunjukkan dalam kotak wajib dalam gambar adalah interkoneksi antar penyelenggara jaringan dan interkoneksi antar penyelenggara jaringan dengan penyelenggara jasa, dimana kategori sebagai penyelenggara jasa diakibatkan izin penyelenggara jaringan yang dimiliki. 2. Kategori yang harus dicantumkan dalam DPI Yang termasuk dalam kategori ini jenis interkoneksi selain

23 kategori wajib, semisal adalah ketersambungan penyelenggara jaringan dengan perangkat penyelenggara jasa. Semangat dari pengaturan cakupan dari jenis interkoneksi tersebut adalah untuk menciptakan non-diskriminasi, transparansi dan equal treatment dalam penyediaan interkoneksi, sebagaimana diamanatkan oleh PP 52/2000. Jenis layanan interkoneksi Dari diagram yang menggambarkan cakupan dari jenis layanan interkoneksi di atas dan paparan tentang jenis dari interkoneksi pada PP 52/2000 dan de facto di lapangan, maka satu penyelenggara tidak dapat menyediakan ketiga jenis interkoneksi. Oleh sebab itu penyelenggara dengan kategori interkoneksi yang wajib mencakup salah satu dari ketiga jenis layanan interkoneksi yang ada, yaitu originasi, transit dan terminasi. Ketentuan ini tidak bertentangan dengan PP 52/2000 akibat penyelenggara masih dapat hanya menyediakan layanan transit dan terminasi yang harus dijelaskan dalam DPI. Sedangkan layanan originasi tetap harus dikategori yang harus dicantumkan dalam DPI dengan defenisi dan bentuk yang jelas. Sedangkan layanan interkoneksi yang harus dicantumkan dalam DPI dapat terdiri dari atau mencakup salah satu dari layanan originasi atau terminasi. Posisi Telkom no.8 8. Tanggapan terhadap butir ini telah diuraikan pada tanggapan butir 7 Pasal 5 ayat (1).. (9) seluruhnya dihapus.

24 Pertimbangan : Konsisten dengan posisi Telkom (1) dan (3) dan ketentuan pada pasal 23 ayat (3) ) PP 52/2000, dimana biaya interkoneksi dikenakan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi asal Posisi Telkom no. 9 Layanan transit sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf b. merupakan penyediaan jaringan untuk keperluan penyaluran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan panggilan interkoneksi 9. Penghapusan atau elemen jaringan pada ayat tersebut tidak akan mengakomodasikan layanan transit yang disediakan tanpa adanya jaringan transmisi dalam menyalurkan trafik Pertimbangan : Konsisten dengan posisi Telkom (2) Posisi Telkom no Usulan diterima (2) Layanan transit terdiri dari layanan transit : a. lokal; atau b. jarak jauh Pertimbangan : Pasal 6 ayat (2) ini dari tata urut ayat tidak mencerminkan konsistensi materi tentang layanan transit, sehingga diusulkan diubah menjadi sebagaimana posisi (10) tersebut diatas

25 Posisi Telkom no. 11 Layanan transit lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. adalah layanan transit dengan menggunakan 1 (satu) sentral atau lebih yang diselenggarakan oleh penyelenggara jaringan tetap lokal untuk transit antar jaringan tetap lokal atau penyelenggara jaringan tetap jarak jauh untuk seluruh jaringan. 11. Dalam ketentuan FTP yang berlaku untuk transit lokal tidak dibatasi hanya diselenggarakan oleh penyelenggara jaringan tetap lokal. Pertimbangan : Konsisten dengan posisi Telkom (2) Posisi Telkom no. 12 Layanan transit jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. adalah layanan transit dengan menggunakan 2 (dua) sentral atau lebih beserta dengan jaringan transmisi yang diselenggarakan oleh penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. Pertimbangan : Konsisten dengan posisi Telkom (2) 12. Tanggapan terhadap masukan ini telah dijelaskan pada butir 2. Sebagai tambahan pembatasan penyediaan transit hanya disediakan oleh penyelenggara jaringan tetap jarak jauh adalah kebijakan yang ditempuh oleh regulator dengan alur pikir sebagai berikut: Secara de facto penyediaan layanan transit dapat disediakan oleh penyelenggara yang mempunyai link transmisi dan sentral gerbang. Tetapi ketentuan yang berlaku layanan transit hanya disediakan oleh penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. Kondisi eksisting adalah tidak kompetitifnya penyediaan transit dari sisi biaya transit. Hal ini yang menyebabkan pemanfaatan idle capacity tidak optimal, bahkan terjadi inefisiensi, akibat penyelenggara cenderung membangun link transmisi untuk menciptakan direct connection. Akan tetapi kondisi seharusnya sudah dapat diatasi dengan telah terdapatnya lebih dari satu penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. Untuk menghindari hal tersebut, maka mekanismenya dalam RPM Interkoneksi, BRTI akan mengevaluasi besaran biaya transit dari

26 penyelenggara jaringan tetap jarak jauh dengan pendapatan usaha di atas 25% dari total pendapatan industri. Dengan demikian layanan transit yang disediakan benar-benar dari biaya yang efisien dan efektif serta kompetitif. Pertimbangan lain pembatasan penyediaan transit ini adalah bahwa pada kondisi eksisting dengan topologi dan kapasitas jaringan yang dimiliki penyelenggara jaringan tetap jarak jauh dapat memenuhi kebutuhan transit, penyelenggara lain yang mempunyai kemampuan dalam menyediakan transit dapat menawarkannya sebagai layanan sirkit sewa. Posisi Telkom no. 13 Pengakhiran panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat oleh penyelenggara jaringan : a. tetap lokal; b. tetap jarak jauh; c. tetap internasional; d. bergerak selular; atau e. bergerak satelit, Pertimbangan : Jaringan tetap internasional diperlukan untuk menterminasikan panggilan internasional dari penyelenggara jaringan domestik ke negara tujuan (konsisten dengan Pasal 7 ayat (3) dan ayat (6) Posisi Telkom no Pengakhiran panggilan interkoneksi hanya dapat dilakukan oleh penyelenggara yang menpunyai jaringan akses. Dalam hal pengakhiran panggilan tersebut melibatkan jaringan milik penyelenggara jaringan jarak jauh dan internasional, maka posisi dari penyelenggara jaringan tetap jarak jauh dan internasional adalah sebagai penyelenggara transit. Bandingkan dengan defenisi terminasi, terminasi internasional tidak disediakan oleh penyelenggara SLI tetapi penyelenggara jartap lokal dan selular. Terminasi jarak jauh juga disediakan oleh penyelenggara jartap lokal, selular apabila menerapkan multi POC dalam area pelayanannya. Terminasi jarak jauh juga disediakan oleh penyelenggara jartap lokal yang juga menyelenggarakan jartap jarak jauh, sehingga terminasi masih pada pengawasan dari pemilik jaringan yang sama. 14. Tanggapan terhadap butir ini telah diuraikan pada tanggapan butir 7 (2) Jenis biaya interkoneksi mencakup salah satu

27 atau kombinasi dari : a. Biaya transit; b. Biaya terminasi. Pertimbangan : Konsisten dengan tidak ada layanan originasi Posisi Telkom (7) Posisi Telkom no Tanggapan terhadap butir ini telah diuraikan pada tanggapan butir 7 Pasal 10 dihapus Pertimbangan : Konsisten dengan tidak ada layanan originasi, sesuai Posisi TELKOM (7) Posisi Telkom no Tanggapan terhadap masukan ini telah dijelaskan pada butir 13. Biaya terminasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) huruf c terdiri dari: a. lokal; b. jarak jauh; c. internasional; d. bergerak selular; e. bergerak satelit Pertimbangan : Konsisten dengan posisi Telkom (13)

28 Posisi Telkom no. 17 Biaya interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara tujuan panggilan kepada penyelenggara asal panggilan. Pertimbangan : Konsisten dengan tidak adanya layanan originasi sesuai posisi Telkom (7) dan Pasal 12 ayat (2) Posisi Telkom no Tanggapan terhadap butir ini telah diuraikan pada tanggapan butir 7 BUNYI pasal 23 adalah : 18. Tanggapan terhadap butir ini telah diuraikan pada tanggapan butir 7 Ayat (2), (3), (4) dan (5) dihapus Pertimbangan : Konsisten dengan tidak adanya layanan originasi sesuai posisi Telkom (7) dan Pasal 12 ayat (2) Posisi Telkom no Tanggapan terhadap butir ini telah diuraikan pada tanggapan butir 7 Besaran biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan secara transparan dan tidak diskriminatif Pertimbangan : Konsisten dengan tidak adanya layanan originasi sesuai posisi Telkom (7) dan Pasal 12 ayat (2)

29 Posisi Telkom no. 20 (1) DPI milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha (operating revenue) 25% atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara telekomunikasi, wajib mendapatkan persetujuan dari BRTI Pertimbangan : Fairness antara penyelenggara jartap dan jarber mengingat posisi penyelenggara jarber sudah lebih dominan dibandingkan dengan penyelenggara jartap 20. Mengingat bahwa industri telekomunikasi tidak dibangun dari jenis penyelenggaraan jaringan yang sama dan kebutuhan interkoneksi juga terdapat pada masing-masing jenis penyelenggaraan jaringan. Dengan demikian permintaan interkoneksi tidak ditujukan hanya kepada satu jenis penyelenggara jaringan, akan tetapi kepada seluruh jenis penyelenggara jaringan. Untuk menciptakan transparansi dan non diskriminasi dalam penyediaan interkoneksi, maka kewajiban untuk mempublikasikan DPI diberikan kepada setiap penyelenggara yang pendapatan usahanya 25% atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara telekomunikasi, untuk masing-masing jenis penyelenggaraan jaringan III. Mobile 8 menyampaikan masukannya pada tanggal 9 Desember 2005 dengan materi saran dan masukan sebagai berikut : 1. Untuk tercapainya efisiensi industri, Pemerintah dimohon untuk menegaskan penyelenggaraan POI dengan cara menetapkan kota-kota yang harus ada POI (Point of Interconnection). Sedangkan di luar kota-kota yang ditetapkan pemerintah perlu menetapkan kriterianya, misalnya besaran trafik, jumlah penduduk atau kriteria lainnya. Hal ini perlu dilakukan agar terjadinya Law Enforcement dalam penyelenggaraan POI dan tidak adanya kesenjangan tariff ritel antar daerah satu dengan daerah lainnya. 1. Ketentuan dalam FTP memang ditetapkan bahwa sifat penyediaan POI adalah any technical possibility. Sebagai ketentuan teknis maka ketentuan tersebut perlu di atur dalam suatu ketentuan tentang tata cara penetapannya. Hal ini dimaksud dengan POI yang terlalu banyak juga tidak efisien. Dalam tersebut dibutuhkan parameter untuk menilai kalayakan suatu POI sekaligus mendorong pertumbuhan dan pemerataan akses. Bagi penyelenggara yang membutuhkan POI dari suatu penyelenggara harus mencapai pertumbuhan akses dan trafik tertentu. RPM Interkoneksi merupakan bagian dari kelanjutan ketetapan teknis dalam FTP, dimana dalam RPM Interkoneksi diatur keharusan para penyelenggara menawarkan jumlah dan lokasi POI dalam DPI-nya.

30 Berdasarkan masukan dari publik, BRTI akan melakukan evaluasi dan determinasi sendiri dalam hal jumlah dan lokasi POI dari suatu penyelenggara dengan parameter tersebut di atas. Informasi penting dalam dalam penilaian kelayanan membangun suatu POI akan sangat tergantung kepada keterbukaan informasi oleh para penyelenggara. Dengan mekanisme ini maka terhindar suatu penyelenggara menjadikan penyelenggara lain sebagai perluasan network-nya (network externalities) dengan cakupan area layanan yang sama dan mengikat secara hukum. Dalam hal penyelenggara menerapkan network externalities kepada penyelenggara yang cakupan areanya sama, maka perbedaan tarif retail sebagai akibat ketidakhadirannya disuatu daerah akan menjadi beban bagi penyelenggara tersebut untuk masuk kepada pasar di daerah tertentu. Dengan demikian ada 3 parameter utama dalam menentukan pembukaan suatu POI yaitu : Keberadaan hirarki jaringan dari penyelenggara yang berinterkoneksi pada suatu daerah dengan cakupan area yang mengikat dalam perizinannya; Dengan demikian tidak mungkin membuka POI apabila semisal para penyelenggara STBS hanya mempunyai BTS dengan jumlah terbatas pada titik interkoneksi tertentu; Dengan demikian suatu penyelenggara yang menerapkan penyelenggara lain sebagai perluasan network-nya (network externalities) dapat teratasi; Kapasitas tersedia dari subcriber yang disediakan oleh para penyelenggara dalam suatu area tertentu. Kondisi ini diperhitungkan dari prosentase terhadap populasi atas suatu cakupan area pembebanan yang dikomitmenkan Proyeksi pertumbuhan trafik yang dikomitmenkan masing-masing penyelenggara dalam satu titik interkoneksi tertentu. Atau advanced capacity order (ADO) dari masing-masing

31 penyelenggara; Ketentuan ADO mengikat dalam penyusunan DPI. 2. Biaya Terminasi Selular tetap mengacu pada hasil studi Cost Based oleh Ovum dimana dibedakan antara lokal dan jarak jauh. Hal ini sesuai dengan realita bahwa biaya komponen jaringan antara terminasi selular local dan jarak jauh berbeda. Di sisi lain juga terjadi inkonsistensi dalam perhitungan cost based yakni terminating dari PSTN ke Selular dan dari Selular ke Selular terjadi perbedaan harga, dimana secara network element sama. 2. Dalam rekomendasi yang disampaikan oleh konsultan OVUM memang terdapat perbedaan perhitungan biaya interkoneksi untuk satu layanan interkoneksi yang menggunakan elemen jaringan yang sama. Hal ini disebabkan dua hal, yaitu : Hirarki POI yang berbeda dari struktur jaringan yang ada, semisal untuk selular interkoneksi pada jaringan tetap berada pada level trunk, sedangkan untuk interkoneksi untuk jaringan tetap lokal dengan jaringan tetap lokal dapat berada pada tandem sampai dengan lokal exchange. Dengan demikian untuk jenis terminasi lokal terdapat perbedaan elemen jaringan yang digunakan. Pada pendefenisian routing faktor atau representasi dari jenis-jenis dari layanan interkoneksi, dibagi berdasarkan tipe panggilan yaitu Mobile, Fixed dan Satellite. Selanjutnya porsi dari masing-masing tipe panggilan menjadi faktor pembagi dalam biaya elemen jaringan. Dengan demikian semakin besar porsinya maka semakin kecil biaya per unit. Dalam jumlah subcriber yang berbeda dari masing-masing tipe panggilan maka porsi ketiga dipastikan tidak akan balance. Dengan demikian untuk setiap jenis layanan interkoneksi dari masing-masing tipe panggilan akan berbeda; Dengan menetapkan besaran biaya interkoneksi acuan, dimana masingmasing penyelenggara harus mengusulkan besaran biaya interkoneksinya, maka para penyelenggara ditantang untuk menetapkan besaran biaya interkoneksi yang non diskriminatif. Hal ini disebabkan besaran biaya interkoneksi acuan hanya akan digunakan dalam hal biaya interkoneksi yang diusulkan di atas dari besaran acuan. Penetapan besaran biaya interkoneksi acuan sebagai besaran

32 maksimum adalah suatu kebijakan untuk mendorong penyediaan interkoneksi dihasilkan dari suatu penyelenggaraan efisien dan penyediaannya secara kompetitif. Dimana biaya interkoneksi yang efisien akan mendorong pertumbuhan ke arah penyedia interkoneksi yang efisien tersebut. 3. Mengingat di dalam RPM tidak dicantumkan harga interkoneksi secara eksplisit maka Pemerintah dimohon agar benar-benar mengontrol harga interkoneksi yang ditetapkan oleh operator dominan dalam DPI (Dokumen Penawaran Interkoneksi) agar tidak terjadi excessive price. 3. Mekanisme kontrol yang akan ditetapkan adalah besaran rekomendasi dari OVUM akan menjadi harga maksimum atau ceiling price. Hal ini sebagai suatu kebijakan untuk mendorong penyediaan interkoneksi beserta layanannya secara kompetitif. Besaran biaya interkoneksi ini akan menjadi penentu dalam arah trafik, dimana semakin efisien biaya interkoneksi dari suatu penyelenggara, arah trafik incoming akan semakin banyak. 4. Pemerintah dimohon untuk menyiapkan perangkat escape clause jika sampai terjadi ketidaksepakatan antar operator dalam penyelenggaraan interkoneksi sesuai PM Interkoneksi yang baru. 5. Pemerintah dimohon untuk tidak melakukan pengaturan dalam penentuan POC retail operator selular. Dikarenakan penerapan POC retail operator selular adalah merupakan marketing strategy dan merupakan bisnis supply and demand yang terjadi di pasar. Produk ritel penekanannya bukanlah pada cost, 4. Dengan prinsip yang mengedepankan kesepakatan antar penyelenggara, maka RPM Interkoneksi juga diatur Tata Cara Penyelesaian Peselisihan. Kerangka ini telah mengatur suatu escape clause dari masing-masing tingkatan perselisihan dalam tingkatan proses proses permintaan interkoneksi. Tata Cara Penyelesaian Peselisihan merupakan lampiran dari RPM Interkoneksi dan bagian yang tidak terpisahkan; 5. Pada dasarnya RPM Interkoneksi dan RPM Tata Cara Penetapan Tarif Perubahan Jasa Teleponi Dasar Melalui jaringan Bergerak Satelit akan menerapkan konsisten POC retail dan POC Interkoneksi, bukan pengaturan penentuan PO. Hal ini sebagai akibat perubahan tarif retail dibatasi dengan batasan bawah yaitu besaran interkoneksi. Hal ini dimaksudkan untuk mengindari cross subsidy dari panggilan interkoneksi kepada tarif pungut.

33 akan tetapi sejauh mana produk tersebut bisa menciptakan value bagi penggunanya. Sehingga produk ritel yang mahal harganya belum tentu tidak laku, demikian pula sebaliknya. 6. Pemerintah dimohon untuk membuat Timeframe untuk rencana implementasi RPM Interkoneksi dan perubahannya. Hal ini perlu dilakukan karena semua pihak yang terkait dalam Interkoneksi menyadari bahwa untuk mencapai tahap kesempurnaan PM Interkoneksi diperlukan tahapan dan proses yang harus dilalui dan direncanakan dengan matang. Kedua adalah asumsi penetapan tarif retail tidak berdasarkan cost dapat dihindari, dengan mensinkronkan biaya interkoneksi sebagai tarif wholesale dan tarif retail. Dengan demikian diharapkan penyelenggara yang menjadi market leader adalah penyelenggara yang menerapkan efisiensi. Dengan batasan tarif retail tidak boleh dibawah dari harga wholesalenya maka penyelenggara masih diberikan ruang untuk mengatur strategi usaha dan pola permintaan. Pola ini hanya berlaku bagi penyelenggara yang pendapatan usahanya lebih dari 25% dari total pendapatan industri untuk masing-masing segmen layanan atau jenis layanan. Hal ini dimaksudkan penyelenggara tersebut tidak menerapkan predatory pricing, sebaliknya penyelenggara kecil dan penyelenggara baru dipaksa masuk ke pasar dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dari penyelenggara tersebut. Dengan demikian industri akan diarahkan kepada tingkatan efisiensi yang lebih maju. 6. Tahapan penyempurnaan RPM Interkoneksi dan besaran acauan dapat digambarkan dalam skenario sebagai berikut :

34 Pada tahun 2006 akan dilakukan penyempurnaan seluruh lampiran RPM dan perhitungan ulang besaran biaya interkoneksi sebagai besaran biaya interkoneksi acuan bagi BRTI untuk masa implementasi tahun Sedangkan dengan masa implementasi awal Januari 2006 maka diharapkan rejim cost based akan efektif per Juni Dibuka kemungkinan untuk penyelenggara transit tidak terbatas oleh jaringan tetap jara jauh akan tetapi dimungkinkan penyelenggara jaringan lain yang secara teknis dan ekonomis memungkinkan. Hal ini perlu dilakukan agar terjadi kompetisi yang lebih sehat dan pada akhirnya terjadi efisiensi industri. 7. Pembatasan penyediaan transit dijelaskan dalam alur pikir sebagai berikut : Secara de facto penyediaan layanan transit dapat disediakan oleh penyelenggara yang mempunyai link transmisi dan sentral gerbang. Tetapi ketentuan yang berlaku layanan transit hanya disediakan oleh penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. Kondisi eksisting adalah tidak kompetitifnya penyediaan transit dari sisi biaya transit. Hal ini yang menyebabkan pemanfaatan idle capacity tidak optimal, bahkan terjadi inefisiensi, akibat penyelenggara cenderung membangun link transmisi untuk menciptakan direct connection. Akan tetapi kondisi seharusnya sudah dapat di atasi dengan telah terdapatnya lebih dari satu penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. Untuk menghindari hal tersebut, maka mekanismenya dalam RPM Interkoneksi, BRTI akan mengevaluasi besaran biaya transit dari penyelenggara jaringan tetap jarak jauh dengan pendapatan usaha di atas 25% dari total pendapatan industri. Dengan demikian layanan transit yang disediakan benar-benar dari biaya yang efisien dan efektif dan kompetitif.

35 Pertimbangan lain pembatasan penyediaan transit ini adalah bahwa pada kondisi eksisting dengan topologi dan kapasitas jaringan yang dimiliki penyelenggara jaringan tetap jarak jauh dapat memenuhi kebutuhan transit, penyelenggara lain yang mempunyai kemampuan untuk menyediakan layanan transit dapat menawarkannya sebagai layanan sirkit sewa. IV. PT. Exelcomindo menyampaikan saran dan masukannya melalui surat nomor : 019/RA/COAF/XII/2005 tanggal 9 Desember 2005 dengan materi sebagai berikut : 1. Perlunya intervensi regulator dalam mencapai kepastian hukum dalam setiap klausul B to B apabila terjadi perselisihan berkepanjangan 1. Dengan prinsip yang mengedepankan kesepakatan antar penyelenggara, maka RPM Interkoneksi juga diatur Tata Cara Penyelesaian Peselisihan. Kerangka ini telah mengatur suatu escape clause dari masing-masing tingkatan perselisihan dalam tingkatan proses proses permintaan interkoneksi. Tata Cara Penyelesaian Peselisihan merupakan lampiran dari RPM Interkoneksi dan bagian yang tidak terpisahkan; 2. Tersedianya kapasitas di kalangan operator seluler dapat menjadi alternatif bagi para penyelenggara telekomunikasi untuk memanfaatkannya. Dimungkinkannya transit lokal dan jarak jauh melalui jaringan bergerak selular merupakan faktor sangat penting dalam menciptakan efisiensi industri melalui kompetisi yang memberikan keuntungan bagi masyarakat. 2. Pembatasan penyediaan transit dijelaskan dalam alur pikir sebagai berikut : Secara de facto penyediaan layanan transit dapat disediakan oleh penyelenggara yang mempunyai link transmisi dan sentral gerbang. Tetapi ketentuan yang berlaku layanan transit hanya disediakan oleh penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. Kondisi eksisting adalah tidak kompetitifnya penyediaan transit dari

36 (Mohon dapat dilihat kembali perubahan FTP KM 28/2004) sisi biaya transit. Hal ini yang menyebabkan pemanfaatan idle capacity tidak optimal, bahkan terjadi inefisiensi, akibat penyelenggara cenderung membangun link transmisi untuk menciptakan direct connection. Akan tetapi kondisi seharusnya sudah dapat di atasi dengan telah terdapatnya lebih dari satu penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. Untuk menghindari hal tersebut, maka mekanismenya dalam RPM Interkoneksi, BRTI akan mengevaluasi besaran biaya transit dari penyelenggara jaringan tetap jarak jauh dengan pendapatan usaha di atas 25% dari total pendapatan industri. Dengan demikian layanan transit yang disediakan benar-benar dari biaya yang efisien dan efektif dan kompetitif. Pertimbangan lain pembatasan penyediaan transit ini adalah bahwa pada kondisi eksisting dengan topologi dan kapasitas jaringan yang dimiliki penyelenggara jaringan tetap jarak jauh dapat memenuhi kebutuhan transit, penyelenggara lain yang mempunyai kemampuan untuk menyediakan layanan transit dapat menawarkannya sebagai layanan sirkit sewa. 3. Penetapan aturan yang pasti mengenai persyaratan dibukanya POI sampai pada level yang terendah sepanjang secara teknologi dimungkinkan, termasuk kerangka waktunya. 3. Ketentuan dalam FTP memang ditetapkan bahwa sifat penyediaan POI adalah any technical possibility. Sebagai ketentuan teknis maka ketentuan tersebut perlu di atur dalam suatu ketentuan tentang tata cara penetapannya. Hal ini dimaksud dengan POI yang terlalu banyak juga tidak efisien. Dalam tersebut dibutuhkan parameter untuk menilai kalayakan suatu POI sekaligus mendorong pertumbuhan dan pemerataan akses. Bagi penyelenggara yang membutuhkan POI dari suatu penyelenggara harus mencapai pertumbuhan akses dan trafik tertentu. RPM Interkoneksi merupakan bagian dari kelanjutan ketetapan teknis dalam FTP, dimana dalam RPM Interkoneksi diatur keharusan para

37 penyelenggara menawarkan jumlah dan lokasi POI dalam DPI-nya. Berdasarkan masukan dari publik, BRTI akan melakukan evaluasi dan determinasi sendiri dalam hal jumlah dan lokasi POI dari suatu penyelenggara dengan parameter tersebut di atas. Informasi penting dalam dalam penilaian kelayanan membangun suatu POI akan sangat tergantung kepada keterbukaan informasi oleh para penyelenggara. Dengan mekanisme ini maka terhindar suatu penyelenggara menjadikan penyelenggara lain sebagai perluasan network-nya (network externalities) dengan cakupan area layanan yang sama dan mengikat secara hukum. Dalam hal penyelenggara menerapkan network externalities kepada penyelenggara yang cakupan areanya sama, maka perbedaan tarif retail sebagai akibat ketidakhadirannya disuatu daerah akan menjadi beban bagi penyelenggara tersebut untuk masuk kepada pasar di daerah tertentu. Dengan demikian ada 3 parameter utama dalam menentukan pembukaan suatu POI yaitu : Keberadaan hirarki jaringan dari penyelenggara yang berinterkoneksi pada suatu daerah dengan cakupan area yang mengikat dalam perizinannya; Dengan demikian tidak mungkin membuka POI apabila semisal para penyelenggara STBS hanya mempunyai BTS dengan jumlah terbatas pada titik interkoneksi tertentu; Dengan demikian suatu penyelenggara yang menerapkan penyelenggara lain sebagai perluasan network-nya (network externalities) dapat teratasi; Kapasitas tersedia dari subcriber yang disediakan oleh para penyelenggara dalam suatu area tertentu. Kondisi ini diperhitungkan dari prosentase terhadap populasi atas suatu cakupan area pembebanan yang dikomitmenkan Proyeksi pertumbuhan trafik yang dikomitmenkan masing-masing penyelenggara dalam satu titik interkoneksi tertentu. Atau

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : PM. TAHUN 2005 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : PM. TAHUN 2005 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : PM. TAHUN 2005 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 08/Per/M.KOMINF/02/2006 TENTANG INTERKONEKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan

Lebih terperinci

Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel) EXECUTIVE SUMMARY

Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel) EXECUTIVE SUMMARY Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel) EXECUTIVE SUMMARY Pendahuluan Dengan ditetapkannya PM No. 08/Per/M.KOMINFO/02/2006 tahun 2006 serta berdasarkan Keputusan Dirjen

Lebih terperinci

Kebijakan Tarif Telekomunikasi

Kebijakan Tarif Telekomunikasi Kebijakan Tarif Telekomunikasi oleh Hery Nugroho hery@brti.or.id Jakarta, 15 Juni 2007 1. Fair 2. Toward Cost Prinsip Dasar Regulasi tarif 3. Attract Investment 4. Rules by International Organizations

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PT. HUTCHISON 3 INDONESIA EXECUTIVE SUMMARY

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PT. HUTCHISON 3 INDONESIA EXECUTIVE SUMMARY DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PT. HUTCHISON 3 INDONESIA EXECUTIVE SUMMARY Pendahuluan Dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Telekomunikasi dan Informasi No. 08/Per/M.KOMINFO/02/2006 tahun 2006,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN BERGERAK SELULAR DENGAN

Lebih terperinci

Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) PT. Telekomunikasi Selular EXECUTIVE SUMMARY

Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) PT. Telekomunikasi Selular EXECUTIVE SUMMARY Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) PT. Telekomunikasi Selular EXECUTIVE SUMMARY Pendahuluan Dengan ditetapkannya PM No. 08/Per/M.KOMINFO/02/2006 tahun 2006, maka Telkomsel sebagai salah satu operator

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR :12/Per/M.KOMINFO/02/2006 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF PERUBAHAN JASA TELEPONI DASAR JARINGAN BERGERAK SELULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

7. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/04/05 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika;

7. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/04/05 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika; 6. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 04 Tahun 2001 tentang Fundamental Technical Plan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 43/PER/M. KOMINFO/12/2007;

Lebih terperinci

8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8/P./M.Kominfo/2/2006 tentang Interkoneksi;

8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8/P./M.Kominfo/2/2006 tentang Interkoneksi; 7. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3/P./M.Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan pada Beberapa Keputusan/ Peraturan Menteri Perhubungan yang Mengatur Materi Muatan Khusus di

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2007 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF JASA TELEKOMUNIKASI YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN BERGERAK SELULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2008 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN PENTARIFAN JASA MULTIMEDIA DAN JASA NILAI TAMBAH TELEKOMUNIKASI DALAM KERANGKA MEKANISME PASAR DENGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan bisnis interkoneksi, TELKOM merujuk kepada regulasi diantaranya adalah UU no.36 tahun 1999, Keputusan Menteri (KM) atau Peraturan Menteri (PerMen),

Lebih terperinci

Interkoneksi Dan Dampaknya Terhadap Bisnis Telekomunikasi

Interkoneksi Dan Dampaknya Terhadap Bisnis Telekomunikasi Interkoneksi Dan Dampaknya Terhadap Bisnis Telekomunikasi Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi Mahasiswa S3, Strategic Managament, FEUI Perdebatan mengenai syarat dan kondisi interkoneksi berakhir sudah.

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 73/ DIRJEN/ 2006 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 73/ DIRJEN/ 2006 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 73/ DIRJEN/ 2006 TENTANG TATA CARA PENETAPAN PENYELENGGARA JARINGAN TELEKOMUNIKASI DENGAN PENDAPATAN USAHA (OPERATING REVENUE) 25% ATAU LEBIH

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG C: DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI DAN HARGA

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG C: DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI DAN HARGA DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG C: DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI DAN HARGA PT. XL AXIATA, Tbk 2014 DAFTAR ISI 1. TITIK INTERKONEKSI... 4 2. DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI... 5 3. XL100 - LAYANAN

Lebih terperinci

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG C: DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG C: DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG C: DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI DAFTAR ISI 1. Daftar Layanan Interkoneksi Gabungan... 3 2. Daftar Layanan Interkoneksi Penyelenggara

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 116/DIRJEN/2007 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 116/DIRJEN/2007 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 116/DIRJEN/2007 TENTANG TATA CARA EVALUASI USULAN JENIS LAYANAN SEWA JARINGAN DAN BESARAN TARIF SEWA JARINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG C: DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG C: DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG C: DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI DAFTAR ISI 1. Daftar Layanan Interkoneksi Gabungan... 3 2. Daftar Layanan Interkoneksi Penyelenggara

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : /DIRJEN/ 2007 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : /DIRJEN/ 2007 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : /DIRJEN/ 2007 TENTANG TATA CARA EVALUASI USULAN JENIS LAYANAN SEWA JARINGAN DAN BESARAN TARIF SEWA JARINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 279/DIRJEN/ 2006 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 279/DIRJEN/ 2006 TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 279/DIRJEN/ 2006 TENTANG PERSETUJUAN TERHADAP DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI MILIK PENYELENGGARA JARINGAN TELEKOMUNIKASI DENGAN PENDAPATAN USAHA

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI (DPI) MILIK PT. INDOSAT

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI (DPI) MILIK PT. INDOSAT LAMPIRAN 3 : Keputusan Direktur Jendral Pos dan Telekomunikasi Nomor 278/DIRJEN/2006 Tentang Persetujuan terhadap Dokumen Penawaran Interkoneksi Milik Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Dengan Pendapatan

Lebih terperinci

Source situs kominfo/dowdloaded by mandor/170707/distributed to all daerahs & ham concern by 1

Source situs kominfo/dowdloaded by mandor/170707/distributed to all daerahs & ham concern by  1 Perubahan Esensi Pengaturan Interkoneksi, USO, Tarif, Perizinan, Sertifikasi Perangkat, Penyadapan Informasi, Pencabutan Izin dan Kewajiban Denda serta Penyiaran Di Dalam Rancangan Perubahan Atas Peraturan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Regulasi Penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia dimulai dengan aturan monopoli, yang diatur oleh UU (undang undang) no 5 tahun1964 [1]. Kemudian pada tahun 1999

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI YANG DITAWARKAN

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI YANG DITAWARKAN DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI YANG DITAWARKAN PT. XL AXIATA, Tbk 2014 DAFTAR ISI 1. TITIK INTERKONEKSI YANG DITAWARKAN... 1 2. DAFTAR LAYANAN INTERKONEKSI... 2 3. XL100 - LAYANAN

Lebih terperinci

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG E: DEFINISI DAN INTERPRETASI

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG E: DEFINISI DAN INTERPRETASI PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG E: DEFINISI DAN INTERPRETASI 1. Area Pelayanan adalah suatu wilayah yang diidentifikasikan sebagai satu kesatuan pelayanan di

Lebih terperinci

RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : TAHUN 2002 T E N T A N G BIAYA INTERKONEKSI ANTAR PENYELENGGARA JARINGAN TELEKOMUNIKASI

RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : TAHUN 2002 T E N T A N G BIAYA INTERKONEKSI ANTAR PENYELENGGARA JARINGAN TELEKOMUNIKASI RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : TAHUN 2002 T E N T A N G BIAYA INTERKONEKSI ANTAR PENYELENGGARA JARINGAN TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG E: DEFINISI DAN INTERPRETASI

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG E: DEFINISI DAN INTERPRETASI DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG E: DEFINISI DAN INTERPRETASI PT. XL AXIATA,Tbk 2014 DAFTAR ISI 1. A H... 1 2. I P... 3 3. Q Z... 7 Dokumen Pendukung E : Definisi Dan Interpretasi Hal ii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, baik jasa maupun

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, baik jasa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, baik jasa maupun dagang, bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau laba usaha sebesarbesarnya. Laba merupakan

Lebih terperinci

Diskusi MASTEL : Kebijakan Tarif Telekomunikasi dan Pengaruhnya Terhadap Iklim Usaha Telekomunikasi di Indonesia

Diskusi MASTEL : Kebijakan Tarif Telekomunikasi dan Pengaruhnya Terhadap Iklim Usaha Telekomunikasi di Indonesia Diskusi MASTEL : Kebijakan Tarif Telekomunikasi dan Pengaruhnya Terhadap Iklim Usaha Telekomunikasi di Indonesia XL Conference Room, 15 Juni 2007 Gedung Sentra Mulia, Kuningan Jakarta Diskusi dibuka oleh

Lebih terperinci

2017, No b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika te

2017, No b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika te No.233, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KOMINFO. Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2017

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS 5 FORCES PORTER DAN STRATEGI SWOT

BAB 4 ANALISIS 5 FORCES PORTER DAN STRATEGI SWOT BAB 4 ANALISIS 5 FORCES PORTER DAN STRATEGI SWOT 4.1 ANALISIS 5 FORCES PORTER Dalam menentukan strategi diperlukan analisis untuk mendapatkan gambaran dan bukti bukti dari hasil analisa tersebut, bukti

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN FASTEL USO WHITE PAPER PELUANG USAHA DI BIDANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PEMBANGUNAN FASTEL USO WHITE PAPER PELUANG USAHA DI BIDANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI T PEMBANGUNAN FASTEL USO WHITE PAPER PELUANG USAHA DI BIDANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI DIREKTORAT JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI DIREKTORAT TELEKOMUNIKASI Kata Pengantar Dokumen white paper ini merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 33 TAHUN 2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 33 TAHUN 2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 33 TAHUN 2004 TENTANG PENGAWASAN KOMPETISI YANG SEHAT DALAM PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP DAN PENYELENGGARAAN JASA TELEPONI DASAR MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISA ASPEK REGULASI DAN ASPEK TEKNIS

BAB 3 ANALISA ASPEK REGULASI DAN ASPEK TEKNIS 20 BAB 3 ANALISA ASPEK REGULASI DAN ASPEK TEKNIS Pada pembahasan ini dianalisa mulai analisa aspek regulasi dan produk. Karena tender lisensi layanan dikeluarkan oleh pemerintah, maka produk yang ada harus

Lebih terperinci

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG E: DEFINISI DAN INTERPRETASI

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG E: DEFINISI DAN INTERPRETASI PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG E: DEFINISI DAN INTERPRETASI 1. Area Pelayanan adalah suatu wilayah yang diidentifikasikan sebagai satu kesatuan pelayanan di

Lebih terperinci

PENGANTAR TELEKOMUNIKASI

PENGANTAR TELEKOMUNIKASI JARINGAN BACKBONE DAN PENOMORAN PENGANTAR TEKOMUNIKASI SUSMINI INDRIANI STARININGATI, M.T KONFIGURASI UMUM JARTEL HIRARKI SENTRAL Jaringan telepon membutuhkan interkoneksi antar sentral untuk merutekan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perbandingan antara NGN dengan PSTN dan Internet [ 1] Analisa penerapan enum, Nurmaladewi, FT UI, Gunawan Wibisono

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perbandingan antara NGN dengan PSTN dan Internet [ 1] Analisa penerapan enum, Nurmaladewi, FT UI, Gunawan Wibisono BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Teknologi informasi dan komunikasi (infokom) saat ini berkembang makin pesat yang didorong oleh perkembangan internet protocol (IP) dengan berbagai aplikasi baru dan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M.KOMINFO/ / TENTANG

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M.KOMINFO/ / TENTANG Draft Keduabelas Revisi Peraturan enteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 22/PER/.KOINO/10/2005 Tanggal: 6 Januari 2011 RANCANGAN PERATURAN ENTERI KOUNIKASI DAN INORATIKA NOOR: /PER/.KOINO/ / TENTANG

Lebih terperinci

TATACARA PELAKSANAAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TERHADAP PENERAPAN TARIF PUNGUT LAYANAN JASA TELEKOMUNIKASI MELALUI JARINGAN BERGERAK SELULER

TATACARA PELAKSANAAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TERHADAP PENERAPAN TARIF PUNGUT LAYANAN JASA TELEKOMUNIKASI MELALUI JARINGAN BERGERAK SELULER Lampiran IV : Peraturan Menteri Komunikasi dan nformatika Nomor : 09/PER/M.KOMINFO/ 04/2008 Tanggal : 7 April 2008 TATACARA PELAKSANAAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TERHADAP PENERAPAN TARIF PUNGUT LAYANAN

Lebih terperinci

BAB 2 INTERKONEKSI ANTAR PENYELENGGARA JARINGAN

BAB 2 INTERKONEKSI ANTAR PENYELENGGARA JARINGAN BAB 2 INTERKONEKSI ANTAR PENYELENGGARA JARINGAN 2.1 INTERKONEKSI Interkoneksi, suatu istilah yang saat ini sudah sering terdengar di dalam dunia telekomunikasi, interkoneksi itu sendiri didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI KELAYAKAN BISNIS DAN BISNIS SLJJ

BAB 2 STUDI KELAYAKAN BISNIS DAN BISNIS SLJJ 7 BAB 2 STUDI KELAYAKAN BISNIS DAN BISNIS SLJJ 2.1 Pengertian Studi Kelayakan Bisnis Studi kelayakan bisnis merupakan penelitian terhadap rencana bisnis yang menganalisa layak atau tidak layak bisnis dibangun,

Lebih terperinci

BAB 2 COST BASED INTERKONEKSI

BAB 2 COST BASED INTERKONEKSI BAB 2 COST BASED INTERKONEKSI 2.1 Deskripsi Umum Interkoneksi Interkoneksi sesuai UU RI nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi sebagaimana juga tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

Lebih terperinci

Penyelenggara Jaringan Tetap (Fixed) Penyelenggara Jaringan Bergerak Selular (Mobile) Penyelenggara Jaringan Bergerak Satelit

Penyelenggara Jaringan Tetap (Fixed) Penyelenggara Jaringan Bergerak Selular (Mobile) Penyelenggara Jaringan Bergerak Satelit 202, No.772 12 LAPIRAN I PERATURAN ENTERI KOUNIKASI DAN INORATIKA REPUBLIK INDONESIA NOOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARI ATAS PENERIAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI PUNGUTAN BIAYA HAK PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA ASPEK PASAR DAN ASPEK KEUANGAN

BAB 4 ANALISA ASPEK PASAR DAN ASPEK KEUANGAN 42 BAB 4 ANALISA ASPEK PASAR DAN ASPEK KEUANGAN Hal yang paling penting dari suatu uji kelayakan suatu bisnis adalah aspek pasar. Karena aspek pasar sangat berperan dalam penjualan, dimana penjualan adalah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 T E N T A N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 T E N T A N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 T E N T A N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI UMUM Penyelenggaraan telekomunikasi yang mempunyai peranan penting dan startegis

Lebih terperinci

N O T A D I N A S /PUU/SJ.4/HK.02.01/03/2017

N O T A D I N A S /PUU/SJ.4/HK.02.01/03/2017 Nomor: N O T A D I N A S /PUU/SJ.4/HK.02.01/03/2017 Kepada Yth : Kepala Biro Hukum D a r i : Kabag PUU Perihal : Penyempurnaan format drafting Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S PERATURAN PEMERINTAH R.I NO. 52 TAHUN 2000 T E N TA N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PENJELASAN A T A S PERATURAN PEMERINTAH R.I NO. 52 TAHUN 2000 T E N TA N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PENJELASAN A T A S PERATURAN PEMERINTAH R.I NO. 52 TAHUN 2000 T E N TA N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI UMUM Penyelenggaraan Telekomunikasi yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam kehidupan

Lebih terperinci

DAFTAR JENIS LAYANAN INTERKONEKSI DAN KETERSAMBUNGAN

DAFTAR JENIS LAYANAN INTERKONEKSI DAN KETERSAMBUNGAN 13 2013, No.123 LAPIRAN I PERATURAN ENTERI KOUNIKASI DAN INORATIKA REPUBLIK INDONESIA NOOR 45 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARI ATAS PENERIAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI KONTRIBUSI KEWAJIBAN PELAYANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG \ SALINAN PERATURAN ENTERI KOUNIKASI DAN INORATIKA NOOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARI ATAS PENERIAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI PUNGUTAN BIAYA HAK PENYELENGGARAAN TELEKOUNIKASI DENGAN RAHAT

Lebih terperinci

FTP Nasional 2000 I - i Pendahuluan

FTP Nasional 2000 I - i Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1 TUJUAN... 1 2 LATAR BELAKANG... 1 3 FORMAT DAN JENIS FTP... 2 4 RUANG LINGKUP FTP NASIONAL... 2 5 JARINGAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL... 3 6 ANTISIPASI DAN ASUMSI KONDISI LINGKUNGAN...

Lebih terperinci

Pemahaman Interkoneksi. Agus Priyanto

Pemahaman Interkoneksi. Agus Priyanto Pemahaman Interkoneksi Agus Priyanto Definisi Interkoneksi antar jaringan adalah keterhubungan langsung antara dua jaringan yang dikelola oleh penyelenggara yang berbeda. Hal hal yang menyangkut dengan

Lebih terperinci

Peluang dan Hambatan Bisnis Industri Telekomunikasi di Era Konvergensi

Peluang dan Hambatan Bisnis Industri Telekomunikasi di Era Konvergensi Peluang dan Hambatan Bisnis Industri Telekomunikasi di Era Konvergensi Rakornas Telematika dan Media 2008 Kamar Dagang Dan Industri Indonesia Jakarta, 23 Juni 2008 Latar Belakang Resiko-resiko yang Mungkin

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKSI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO)PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI ( DPI TELKOM )

KEPUTUSAN DIREKSI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO)PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI ( DPI TELKOM ) KEPUTUSAN DIREKSI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO)PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI ( DPI TELKOM ) PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk 2012 LAMPIRAN : Keputusan Direktur Jendral

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelengaraan

Lebih terperinci

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PERJANJIAN POKOK INTERKONEKSI

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PERJANJIAN POKOK INTERKONEKSI PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PERJANJIAN POKOK INTERKONEKSI DAFTAR ISI Bab I Ketentuan Umum... 6 Pasal 1. Definisi... 6 Pasal 2. Struktur Perjanjian... 12 Pasal 3. Lingkup Perjanjian...

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 28 TAHUN 2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 28 TAHUN 2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS NASIONAL 2000 (FUNDAMENTAL

Lebih terperinci

DAFTAR ISI RENCANA PENOMORAN

DAFTAR ISI RENCANA PENOMORAN DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1 TUJUAN... 1 2 LATAR BELAKANG...1 3 FORMAT DAN JENIS FTP...2 4 RUANG LINGKUP FTP NASIONAL...2 5 JARINGAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL...3 6 ANTISIPASI DAN ASUMSI KONDISI LINGKUNGAN...5

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI (DPI) REFERENCE INTERCONNECT OFFER (RIO) TELKOMSEL

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI (DPI) REFERENCE INTERCONNECT OFFER (RIO) TELKOMSEL Lampiran II : Keputusan Direktur Jenderal Pos & Telekomunikasi Nomor : 205 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Terhadap Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) Milik Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PENERAPAN ENUM DI INDONESIA

BAB IV ANALISA PENERAPAN ENUM DI INDONESIA BAB IV ANALISA PENERAPAN ENUM DI INDONESIA 4.1. IMPLIKASI ENUM TERHADAP REGULASI PENOMORAN Penomoran yang digunakan saat ini adalah berdasarkan pada KM No.4 tahun 2001 yaitu FTP Nasional 2000 dimana konsep

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan

Lebih terperinci

Tariff Regulation Benefit for Indonesia Market or Industry? Mastel Forum Jakarta - June 14 th 2007

Tariff Regulation Benefit for Indonesia Market or Industry? Mastel Forum Jakarta - June 14 th 2007 Tariff Regulation Benefit for Indonesia Market or Industry? Mastel Forum Jakarta - June 14 th 2007 Perbandingan Tarif Telepon di Antara Beberapa Negara yang Memiliki Pendapatan Per Kapita Sama N E G A

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 43/P/M.KOMINFO/12/ 2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 43/P/M.KOMINFO/12/ 2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 43/P/M.KOMINFO/12/ 2007 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM.4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS NASIONAL

Lebih terperinci

Sentral Telepon. Syah Alam, M.T STTI JAKARTA

Sentral Telepon. Syah Alam, M.T STTI JAKARTA Sentral Telepon Syah Alam, M.T STTI JAKARTA Brief History Sentral manual Sentral Otomatis Step-by-step Exchange (Strowger Exchange) Crossbar Exchange Stored Program Controlled (SPC) Exchange Digital Exchange

Lebih terperinci

PERTEMUAN 7 (STRUKTUR JARINGAN) POKOK BAHASAN

PERTEMUAN 7 (STRUKTUR JARINGAN) POKOK BAHASAN PERTEMUAN 7 (STRUKTUR JARINGAN) POKOK BAHASAN Topologi Jaringan MEA Hirarkhi Jaringan Telepon TUJUAN DAN INSTRUKSIONA KHUSUS Membahas berbagai topologi jaringan Menjelaskan hirarkhi jaringan telepon Menjelaskan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2012 TENTANG SALINAN PERATURAN ENTERI KOUNIKASI DAN INORATIKA REPUBLIK INDONESIA NOOR 45 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARI ATAS PENERIAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI KONTRIBUSI KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL/UNIVERSAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan

Lebih terperinci

TENTANG TATACARA PENETAPAN TARIF JASA TELEPONI DASAR YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN TETAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG TATACARA PENETAPAN TARIF JASA TELEPONI DASAR YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN TETAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI W KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: 15 /PER/M.KOM NFO/ 4 t2004 TENTANG TATACARA PENETAPAN TARIF JASA TELEPONI DASAR YANG DISALURKAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perluasan coverage atau jangkauan dari suatu operator seluler dapat

BAB I PENDAHULUAN. Perluasan coverage atau jangkauan dari suatu operator seluler dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perluasan coverage atau jangkauan dari suatu operator seluler dapat dilakukan tidak hanya pada cakupan nasional dengan membangun BTS (Base Transmission Station) yang

Lebih terperinci

MASUKAN PUSAT KEBIJAKAN INDUSTRI DAN REGULASI TELEKOMUNIKASI ITB ATAS RPM LELANG 2100 MHZ DAN 2300 MHZ

MASUKAN PUSAT KEBIJAKAN INDUSTRI DAN REGULASI TELEKOMUNIKASI ITB ATAS RPM LELANG 2100 MHZ DAN 2300 MHZ No. : Perihal : T.1/Pikerti/2017 Tanggapan - Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Mengenai Tata Cara Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 2.1 GHz dan 2.3 GHz Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis daya saing..., 1 Rani Nur'aini, FT UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Analisis daya saing..., 1 Rani Nur'aini, FT UI, 2009 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manfaat kompetisi yang semakin ketat di sektor telekomunikasi kini mulai dirasakan oleh masyarakat luas. Persaingan teknologi dan persaingan bisnis antar-operator telah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG B: PENAGIHAN DAN PEMBAYARAN PT. XL AXIATA, Tbk 2014 DAFTAR ISI 1. PEREKAMAN INFORMASI TAGIHAN... 1 2. PERTUKARAN INFORMASI TAGIHAN... 4 3. PENAGIHAN...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri telekomunikasi di Indonesia saat ini merupakan salah satu industri yang sangat berkembang dan masih sangat berpotensi di tahun-tahun ke depan, khususnya

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI (DPI) MILIK PT. TELKOMSEL

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI (DPI) MILIK PT. TELKOMSEL LAMPIRAN 2 : Keputusan Direktur Jendral Pos dan Telekomunikasi Nomor 278/DIRJEN/2006 Tentang Persetujuan terhadap Dokumen Penawaran Interkoneksi Milik Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Dengan Pendapatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2001 T E N T A N G PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2001 T E N T A N G PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2001 T E N T A N G PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 06 / P/ M. Kominfo / 5 / 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 06 / P/ M. Kominfo / 5 / 2005 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 06 / P/ M. Kominfo / 5 / 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM.4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia modern telah menjadikan keberadaan telepon seluler sebagai bagian yang tidak terpisahkan bagi kehidupan manusia di mana dan kapan saja. Hingga akhir tahun 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan antara perusahaan sejenis pada umumnya merupakan kekuatan terbesar

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan antara perusahaan sejenis pada umumnya merupakan kekuatan terbesar BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Persaingan antara perusahaan sejenis pada umumnya merupakan kekuatan terbesar dalam lima kekuatan kompetitif. Strategi yang dijalankan oleh suatu perusahaan dapat berhasil

Lebih terperinci

KEBIJAKAN TARIF TELEKOMUNIKASI TERHADAP IKLIM USAHA WARTEL DI INDONESIA. Jakarta, 15 Juni 2007

KEBIJAKAN TARIF TELEKOMUNIKASI TERHADAP IKLIM USAHA WARTEL DI INDONESIA. Jakarta, 15 Juni 2007 KEBIJAKAN TARIF TELEKOMUNIKASI TERHADAP IKLIM USAHA WARTEL DI INDONESIA Jakarta, 15 Juni 2007 Landasan Hukum Definisi Wartel Definisi APWI Sejarah APWI Apa yang dilakukan APWI Eksistensi Wartel secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mengatur telekomunikasi di Indonesia dengan Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mengatur telekomunikasi di Indonesia dengan Undang-undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pemerintah mengatur telekomunikasi di Indonesia dengan Undang-undang khusus telekomunikasi No 36 tahun 1999. Didalan UU ini diatur juga mengenai penyelenggaraan interkoneksi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : /PER/M.KOMINFO/ /2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 84 TAHUN 2002 TENTANG KLIRING TRAFIK TELEKOMUNIKASI DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan bisnis bergerak (nirkabel) di Indonesia pada dasarnya dibedakan atas jasa full mobility, yang seringkali disebut sebagai bisnis celullar, dan jasa limited

Lebih terperinci

DRAFT PERJANJIAN POKOK INTERKONEKSI

DRAFT PERJANJIAN POKOK INTERKONEKSI DRAFT PERJANJIAN POKOK INTERKONEKSI Daftar Isi PERJANJIAN POKOK INTERKONEKSI A. Perjanjian Pokok B. Dokumen Pendukung A Perencanaan dan Operasi : 1. Ketentuan Informasi Jaringan 2. Ketentuan tentang Sentral

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR... TAHUN... TENTANG

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR... TAHUN... TENTANG RANCANGAN PERATURAN ENTERI KOUNIKASI DAN INORATIKA NOOR... TAHUN... TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARI ATAS PENERIAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI PUNGUTAN BIAYA HAK PENYELENGGARAAN TELEKOUNIKASI DAN KONTRIBUSI

Lebih terperinci

FLEXI DAN MIGRASI FREKUENSI

FLEXI DAN MIGRASI FREKUENSI BAB 2. FLEXI DAN MIGRASI FREKUENSI 2.1 TELKOM FLEXI PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) merupakan perusahaan penyelenggara informasi dan telekomunikasi (InfoComm) serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi

Lebih terperinci

3 BAB III PERUMUSAN MASALAH

3 BAB III PERUMUSAN MASALAH 3 BAB III PERUMUSAN MASALAH 3.1 Alasan Pemilihan Masalah Untuk Dipecahkan 3.1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi menuntut adanya kesiapan setiap perusahaan untuk meningkatkan kualitas layanan dan

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 14/PER/M.KOMINFO/04/2008 TENTANG

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 14/PER/M.KOMINFO/04/2008 TENTANG MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 14/PER/M.KOMINFO/04/2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dunia telekomunikasi, tujuan rencana penomoran (numbering plan) adalah untuk menyusun suatu pola baku penomoran dan prosedur pemutaran (dialing procedure)

Lebih terperinci

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI PT. XL AXIATA,Tbk 2014 DAFTAR ISI 1. EXECUTIVE SUMMARY 2. PERJANJIAN POKOK INTERKONEKSI 3. DOKUMEN PENDUKUNG A : PERENCANAAN DAN OPERASI 4. DOKUMEN PENDUKUNG B : PENAGIHAN

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 10/PER/M.KOMINFO/04/2008 TENTANG

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 10/PER/M.KOMINFO/04/2008 TENTANG MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 10/PER/M.KOMINFO/04/2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1388, 2013 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Layanan Jelajah. Roaming. Internasional. Jaringan Bergerak Seluler.

BERITA NEGARA. No.1388, 2013 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Layanan Jelajah. Roaming. Internasional. Jaringan Bergerak Seluler. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1388, 2013 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Layanan Jelajah. Roaming. Internasional. Jaringan Bergerak Seluler. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI - 1 - KONSULTASI PUBLIK PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI DRAFT UJI PUBLIK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan

Lebih terperinci

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG B: PENAGIHAN DAN PEMBAYARAN

PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG B: PENAGIHAN DAN PEMBAYARAN PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI DOKUMEN PENDUKUNG B: PENAGIHAN DAN PEMBAYARAN DAFTAR ISI 1 Perekaman Informasi Tagihan... 3 2 Proses Kliring Interkoneksi... 4 3 Pertukaran Informasi

Lebih terperinci