Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia. Disunting oleh. Moira Moeliono Eva Wollenberg Godwin Limberg

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia. Disunting oleh. Moira Moeliono Eva Wollenberg Godwin Limberg"

Transkripsi

1 Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia Disunting oleh Moira Moeliono Eva Wollenberg Godwin Limberg

2

3 Desentralisasi Tata Kelola Hutan

4

5 Desentralisasi Tata Kelola Hutan Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia Disunting oleh Moira Moeliono, Eva Wollenberg dan Godwin Limberg

6 Desentralisasi Tata Kelola Hutan Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia Diterjemahkan dari: Moeliono, M., Wollenberg, E., Limberg, G. (penyunting) The Decentralization of Forest Governance: Politics, economics and the fight for control of forests in Indonesian Borneo. Earthscan Forestry Library. 320p. Earthscan Publications, London, UK. Moeliono, M., Wollenberg, E., Limberg, G. (penyunting) Desentralisasi Tata Kelola Hutan: Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia. ISBN: p 2009 Center for International Forestry Research (CIFOR) Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Edisi pertama, Februari 2009 Dicetak oleh Harapan Prima, Jakarta Foto sampul oleh Eko Prianto Desain dan tata letak oleh Rifky Diterbitkan oleh Center for International Forestry Research Jalan CIFOR, Situ Gede Bogor Barat Tel: +62 (251) ; Fax: +62 (251) Center for International Forestry Research (CIFOR) CIFOR memajukan kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan dan kesetaraan melalui penelitian yang berorientasi kepada kebijakan dan praktik kehutanan di negara berkembang. CIFOR adalah salah satu dari 15 pusat penelitian dalam Kelompok Konsultatif bagi Penelitian Pertanian International (Consultative Group on International Agricultural Research CGIAR). CIFOR berkantor pusat di Bogor, Indonesia dengan kantor wilayah di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. CIFOR bekerja di lebih dari 30 negara dengan jaringan peneliti di 50 organisasi internasional, regional dan nasional.

7 Daftar Isi Daftar Gambar, Tabel dan Kotak Daftar Penulis Ucapan terima kasih Pendahuluan Daftar Akronim dan Singkatan ix xiii xvi xvii xxi Bagian I Latar Belakang Teori dan Kontekstual 1 Antara Negara dan Masyarakat: Desentralisasi di Indonesia 3 Eva Wollenberg, Moira Moeliono, dan Godwin Limberg Negara dan masyarakat 3 Desentralisasi 4 Transformasi Indonesia 7 2 Geografi Malinau 23 Moira Moeliono dan Godwin Limberg Topografi, tanah dan iklim 26 Sumberdaya hutan Malinau 27 Sejarah singkat 28 Masyarakat dan konflik 30 Mata pencaharian 32 3 Politik Budaya Kolaborasi untuk Mengontrol dan Mengakses Sumberdaya Hutan di Malinau, Kalimantan Timur 41 Steve Rhee Pendahuluan 41 Sejarah singkat hubungan antar-suku di Malinau 42 Pemangku Kepentingan atau Identitas di Kabupaten Malinau 43 Pemerintah kabupaten sebagai mikrokosmos ketegangan antar-suku dan pertarungan kekuasaan 47 Prakarsa pemerintah kabupaten mengonsolidasikan kendali dan kekuasaan: Mendekatkan pemerintahan untuk menjauhkan masyarakat 48 Hubungan warga desa dengan pemerintah kabupaten: Akses dan akuntabilitas diletakkan pada jaringan patronasi 50 Kesimpulan 51

8 vi Desentralisasi Tata Kelola Hutan 4 Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan: Sebuah perspektif lokal 57 Douglas Sheil, Miriam van Heist, Nining Liswanti, Imam Basuki, Meilinda Wan, dibantu oleh masyarakat dari Paya Seturan, Long Lake, Punan Rian, Langap, Laban Nyarit, Long Jalan, Liu Mutai dan Gong Solok Perlunya upaya konservasi di Kalimantan 57 Perlunya menggali persepsi masyarakat lokal 58 Persepsi lokal 62 Pentingnya tumbuhan 66 Pentingnya hutan bagi masyarakat 70 Melihat lebih dekat kategori-guna lansekap 72 Pilihan lokal untuk tindakan lokal 79 Kesimpulan 80 Bagian II Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 5 Dampak Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) pada Desa-Desa di Daerah Aliran Sungai Malinau 87 Godwin Limberg Perkembangan IPPK di Daerah Aliran Sungai Malinau 87 Apakah yang didapatkan desa dari IPPK? 91 Apa pelajaran yang bisa dipetik? 99 Apa arti untuk masa depan? Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? Negosiasi dan hasil Kesepakatan IPPK antara Masyarakat dan Broker di Malinau 105 Charles Palmer Metode penelitian 106 Pengorganisasian negosiasi di Malinau 106 Tema-tema dalam pengorganisasian negosiasi 108 Hasil negosiasi: Apa yang dinegosiasikan masyarakat? 121 Kenyataan hasil kesepakatan dengan IPPK 124 Diskusi 125 Kesimpulan Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur 133 Kewin Kamelarczyk dan Uffe Strandby Pendahuluan 133 Lokasi penelitian 135 Metode penelitian 137 Diskusi 153 Kesimpulan Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan dengan Berbagai Sistem Akses Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Kalimantan Timur, Indonesia 165 Haris Iskandar, Laura K. Snook, Takeshi Toma, Kenneth G. MacDicken dan Markku Kanninen Pendahuluan 165

9 Daftar Isi vii Lokasi penelitian 166 Metode penelitian 168 Hasil Penelitian 169 Diskusi Tane Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan: Perkembangan Lanjutan di Desa Setulang, Kalimantan Timur 185 Ramses Iwan dan Godwin Limberg Desa Setulang 185 Perkembangan Tane Olen 186 Perjuangan penduduk desa untuk Tane Olen 187 Perkembangan baru seputar Tane Olen 192 Bagian III Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi 10 Pemenang Mengambil Semua: Memahami Konflik Hutan di Era Desentralisasi di Indonesia 199 Made Sudana Pengantar 199 Metodologi 200 Konflik sebelum dan sesudah desentralisasi 200 Pola umum 204 Analisa konflik 207 Kesimpulan Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau Moira Moeliono dan Godwin Limberg Konteks nasional dan hukum 212 Penguasaan atas sumberdaya alam secara de facto dan peran adat 214 Perencanaan tata ruang 218 Punan Malinau dan klaim atas tanah 222 Kesimpulan: Tidak Sambungnya Kebijakan Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 231 Eva Wollenberg Pengantar 231 Kontradiksi antara perwakilan dan partisipasi 232 Kebijakan desentralisasi 235 Perwakilan dan partisipasi dalam praktik 235 Kesimpulan Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat 251 Moira Moeliono dan Godwin Limberg Pemerintah daerah di Malinau dan insentif untuk menangani kemiskinan 252 Dari IPPK hingga pengelolaan hutan berkelanjutan? 258 Kabupaten konservasi 260 Kesepakatan 263 Kesimpulan 264

10 viii Desentralisasi Tata Kelola Hutan 14 Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan 267 Eva Wollenberg, Moira Moeliono dan Godwin Limberg Lahirnya tatanan politik setempat 268 Dampak pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan 273 Dampak pada hutan dan pengelolaan hutan 279 Menatap ke depan 281

11 Daftar Gambar, Tabel dan Kotak Gambar 1.1 Struktur birokasi kehutanan sebelum desentralisasi Peta administratif Malinau Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau Penyebaran suku-suku di Malinau Pendapatan rata-rata rumah-tangga (juta Rupiah per tahun) Pada tahun 2004, pemerintahan Kabupaten Malinau menempati kompleks gedung yang baru, seperti ditunjukkan di sini Penyebaran sample menurut kelas keadaan lahan Peta lokasi sampel, berdasarkan tipe dan komunitas Jumlah total manfaat khusus spesies yang tercatat, berdasarkan kategori kegunaan Proporsi jumlah spesies-berguna menurut jenis sampel dan suku informan Proporsi tumbuhan berguna menurut jumlah spesies secara keseluruhan Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau Fee yang dijanjikan dan yang sesungguhnya dibayarkan untuk kesepakatan IPPK pertama yang dikaji di Malinau Alokasi persentase peringkat berbagai kegiatan berpenghasilan. Angka persentase menunjukan seberapa sering suatu kegiatan berpenghasilan dipandang relatif paling tinggi dari jumlah total perbandingan sumber penghasilan Frekuensi munculnya kegiatan berpenghasilan dalam peringkat pembandingan (ketersediaan relatif) dan kepentingan relatif dari besarnya pendapatan: ketiga desa dipandang sebagai satu populasi Persentase pembelanjaan berbagai barang dan jasa oleh rumah tangga Persentase rumah tangga dengan berbagai strategi investasi (pengeluaran menurut berbagai kategori barang dan jasa)

12 x Desentralisasi Tata Kelola Hutan terkait dengan fee IPPK: Persentase ini digambarkan dengan satu error bar ± 2 * SE Proporsi rumah tangga yang mengetahui jumlah fee total yang diterima oleh desanya. Tidak ada rumah tangga di Tanjung Nanga yang mengetahui jumlah fee yang diterima desanya (persentase rata-rata digambarkan dengan error bar ± 2*SE) Proporsi rumah tangga yang mengenal nama operator IPPK (persentase rata-rata digambarkan dengan error bar ± 2 * SE) Persentase rumah tangga yang menilai distribusi fee IPPK di desanya adil atau tidak adil (persentase rata-rata dgambarkan dengan error bar ± 2 * SE) Dua perkiraan total fee IPPK yang diterima per rumah tangga: Satu perkiraan didasarkan pada data dari kuesioner semi terbuka di tingkat rumah tangga (kolom kiri berwarna abu-abu muda); perkiraan lain didasarkan pada data dari berbagai wawancara kelompok terfokus dan laporan produksi mengenai jumlah rumah tangga penerima fee dan fee total yang diterima di tingkat desa (kolom kanan berwarna abu-abu tua) Proporsi rumah tangga yang berdagang karyawan IPPK (persentase digambarkan dengan error bar ± 2 * SE) Proporsi rumah tangga yang bekerja di perusahaan IPPK (persentase digambarkan dengan error bar ± 2 * SE) Persentase warga menyebut alasan penyebab berkurangnya akses ke dan/atau lebih sulitnya panen: Persentase ini didasarkan pada jumlah rumah tangga yang mengungkapkan kesulitan mendapatkan hasil-hasil hutan dan bukan jumlah total pengguna (persentase dihitung sebagai rata-rata jumlah rumah tangga dan diikuti oleh ± 2 * SE) Peta kepulauan Indonesia (kiri atas), Provinsi Kalimantan Timur (kanan atas) dan peta daerah studi di Malinau (bawah) Frekuensi dan distribusi diameter tunggul bekas tebangan (tunggul per hektar) oleh pemegang izin HPH, subkontraktor HPH, dan pemegang IPPK di kedua tipe hutan Frekuensi dan distribusi potensi kerusakan (pohon per hektar) akibat pembalakan oleh pemegang Izin HPH, subkontraktor HPH dan IPPK pada berbagai tipe hutan Perbedaan antara jalan jalan sarad, dan tempat pengumpulan kayu oleh HPH dan IPPK pada areal hutan bekas tebangan Peta pemanfaatan lahan Setulang Frekuensi konflik sebelum dan sesudah desentralisasi Kejadian dan pemicu konflik Siapa yang biasanya mewakili masyarakat? Hasil survei terhadap 95 orang warga di 19 desa, tahun Apakah DPRD berperan mewakili masyarakat? Survei warga desa secara peroranga 241

13 Daftar Gambar, Tabel dan Kotak xi Tabel 1.1 Kronologi undang-undang tentang desentralisasi dan kehutanan Distribusi afiliasi etnis pegawai pemerintah di Malinau Survei pengukuran persepsi masyarakat tentang keanekaragaman hayati Kategori-guna yang digunakan untuk mengkuantifikasi tingkat kepentingan lansekap Saran masyarakat tentang tindakan untuk mengatasi masalah lingkungan Nilai tengah kategori-guna per unit lansekap dan per tipe hutan untuk semua kelompok di ketujuh kelompok masyarakat Rata-rata skor kepentingan hutan di masa lalu, kini dan masa depan (dari ketujuh komunitas) Rata-rata skor kepentingan berbagai tumbuhan dan satwa menurut ketujuh komunitas (setiap hasil merupakan rata-rata dari keempat sub-kelompok) (a) Sepuluh tanaman terpenting (b) Sepuluh hewan terpenting Lima spesies dengan skor tertinggi di setiap kategori-guna (nama Latin dan deskripsi umum dalam bahasa Indonesia) Desa-desa wilayah kerja Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) di Daerah Aliran Sungai Malinau Manfaat yang dijanjikan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau (tunai dan non-tunai) Jumlah yang dibayarkan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau dari Juni 2000 hingga Juni Distribusi fee di Tanjung Nanga Keuntungan non-tunai bagi desa-desa di DAS Malinau dari IPPK mulai tahun 2000 hingga Juni Perbandingan antara luasan sebenarnya dan luasan perkiraan yang terpengaruh oleh operasi IPPK Luasan dan persentase kerusakan hutan akibat pembangunan jalan terhadap total hutan yang terpengaruh oleh operasi IPPK Komunitas yang disurvei di Kabupaten Malinau, September 2003 Januari Negosiasi untuk kesepakatan IPPK di Malinau Hasil dari kesepakatan IPPK di Malinau Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Tanjung Nanga Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Long Adiu dan Punan Adiu Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Sengayan Aturan persentase pembagian fee IPPK di tiga desa Perbandingan panjang jalan sarad dan jalan pembalakan antara HPH, subkontraktor HPH dan IPPK Perbandingan kerusakan akibat pembalakan antara HPH, subkontraktor HPH dan IPPK 173

14 xii Desentralisasi Tata Kelola Hutan 8.3 Kerusakan pohon per 100m panjang jalan sarad atau jalan pembalakan (pohon per m -1 ) akibat kegiatan HPH dan IPPK dalam hutan primer Kerusakan pohon per 100 m panjang jalan sarad atau jalan pembalakan (pohon 100m -1 ) akibat kegiatan HPH dan IPPK di hutan bekas tebangan Materi rapat selama bulan Januari hingga Juni 2000 di keempat desa di Long Loreh (sampel = 36) Program Gerbang Dema, 2002 (dalam miliar Rupiah) Delapan dari 11 HPH mini yang dikeluarkan oleh Kabupaten Malinau dan statusnya 259 Kotak 5.1 Penggunaan uang IPPK untuk pembangunan desa: contoh dari Punan Adiu Ungkapan persepsi responden terhadap fee IPPK Pendapat enam responden di Sengayan tentang nilai penting fee IPPK terhadap situasi finansial rumah tangga dan nilai pentingnya pendapatan yang stabil Tanggapan beberapa rumah tangga ketika ditanya tentang tabungan dari fee IPPK Beberapa pernyataan dari Adiu dan Tanjung Nanga tentang kemungkinan mempengaruhi keputusan Komentar seorang penduduk desa Sengayan tentang pembagian fee IPPK Pernyataan dari wawancara kelompok terfokus di Long Adiu tentang perubahan kebiasaan jual-beli Hasil-hasil diskusi perencanaan pemanfaatan lahan dengan 12 kelompok fokus di Long Loreh Visi masyarakat lokal tentang tata ruang desa Kesulitan dalam penjadwalan rapat Tahapan-tahapan menuju desa mandiri 255

15 Daftar Penulis Imam Basuki adalah seorang spesialis ilmu tanah yang bekerja pada Center for International Forestry Research di Indonesia. Pengalamannya terutama dalam aspek-aspek sosioekonomi dan ilmu tanah untuk lansekap berhutan, bekerjasama dengan lembaga-lembaga dan masyarakat lokal di Kalimantan, Papua dan Vietnam. Bidang yang diminatinya adalah manajemen sumberdaya, evaluasi lahan, dan GIS. Haris Iskandar pengalaman profesionalnya meliputi berbagai keahlian, dari pekerjaan lapangan sebagai Asisten Lapangan dan Koordinator Lapangan, sampai berbagai studi dan penelitian yang diselenggarakan berdasarkan kerjasama atau didanai oleh sejumlah organisasi internasional dan masyarakat madani. Pengalamannya mencakup penerapan Geographic Information System (GIS), Carbon Sequestration, Natural Regeneration of Mahogany, teknik-teknik Reduced Impact Logging (RIL), Pemanfaatan Limbah Kayu bagi Masyarakat, berbagai Skenario Proyek Penerapan dan Penelitian CDM skala kecil di Indonesia, serta beberapa studi yang berhubungan dengan mekanisme REDD. Selama kerjasama profesionalnya dengan CIFOR (sampai 2008) dan Winrock International, dia telah mengikuti sejumlah seminar, lokakarya, dan pelatihan, serta menuliskan dan membantu penulisan sejumlah publikasi yang ditujukan bagi masyarakat umum di tingkat nasional dan internasional. Ramses Iwan sudah menjadi Peneliti Lapangan di CIFOR sejak Dia adalah seorang warga masyarakat desa Setulang di Malinau, Kalimantan Timur. Kewin Kamelarczyk meraih gelar MSc dalam bidang kehutanan dan tata guna lahan di negara berkembang dari Faculty of Life Science di Copenhagen University. Dia terlibat dalam beberapa pekerjaan dan penelitian dengan topik yang berkaitan dengan hutan; dari hutan kemasyarakatan dan ketergantungan pada hutan hingga penilaian sumberdaya hutan dan manajemen informasi hutan. Kewin pernah bekerja untuk FAO Global Forest Resources Assessment dan dukungan negara-negara FAO untuk penilaian hutan nasional di Roma. Sekarang dia sedang menempuh studi untuk meraih gelar PhD dengan mempelajari interaksi antara proses penilaian hutan nasional dan dialog kebijakan nasional.

16 xiv Desentralisasi Tata Kelola Hutan Godwin Limberg telah tinggal dan bekerja di Kalimantan Timur, Indonesia, sejak Ia telah menjadi Peneliti Lapangan CIFOR, untuk masalah-masalah pemerintahan dan hakhak masyarakat sejak tahun Sebelum bergabung dengan CIFOR, dia bekerja di Rio Tinto Foundation, World Wildlife Fund di Taman Nasional Kayan Mentarang, Indonesia, serta menjadi relawan untuk sebuah organisasi pengembangan masyarakat setempat. Dia memiliki gelar Master dalam Ilmu-ilmu Tanaman Tropis dari Wageningen Agricultural University, Belanda. Nining Liswanti adalah seorang peneliti keragaman hayati yang bekerja untuk Center for International Forestry Research di Indonesia. Pengalamannya terutama di bidang pengembangan metoda-metoda penelitian ekologi cepat di Indonesia, Muangthai, dan Vietnam. Moira Moeliono sudah menjadi peneliti di CIFOR sejak 2001, meneliti berbagai keterkaitan kebijakan nasional-lokal, pembelajaran kebijakan di tingkat lokal, serta berbagai hal tentang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam lokal. Charles Palmer adalah seorang ahli ekonomi lingkungan yang kini bekerja sebagai peneliti paska sarjana di Swiss Federal Institute of Technology (ETH) di Zurich, Swiss. Dia pernah bekerja di Center for International Forestry Research (CIFOR) di Indonesia, dan United Nations Development Program (UNDP) serta International Institute for Environment and Development (IIED). Minatnya saat ini meliputi perdagangan karbon kehutanan, bahan bakar bio, tata-guna lahan, serta evaluasi kebijakan kawasan-lindung. Steve Rhee sudah bekerja selama 15 tahun sebagai peneliti dan praktisi pembangunan internasional untuk meningkatkan kebijakan dan praktik berbasis-bukti, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Dia pernah bekerja bersama berbagai pemangku kepentingan, dari warga desa yang tergantung pada hutan di Kalimantan sampai ke lembaga-lembaga donor internasional, dan telah bekerjasama erat dengan CIFOR sejak Dia pernah tinggal dan bekerja di Indonesia, Asia Tenggara daratan, Timor Leste dan Nepal. Dia menerima gelar Doktor dari Yale, dengan pelatihannya terutama tentang pemerintahan, perdagangan dan budaya, yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Kini dia adalah seorang American Association untuk Advancement of Science (AAAS) Science and Technology Policy Fellow di Departemen Dalam Negeri AS. Douglas Sheil melakukan penelitian ini ketika bekerja di CIFOR dan kini menjabat sebagai direktur Institute for Tropical Forest Conservation (Mbarara University for Science and Technology), PO Box 44, Kabale, Uganda. Tel: +256 (0) ; Fax +256 (0)

17 Daftar Penulis xv Uffe Strandby meraih gelar MSc dalam kehutanan dan PhD dalam sosial-ekonomi dan ekologi konservasi yang berkaitan dengan conifer langka di Amerika Tengah. Dia pernah bekerja dalam penelitian mengenai ekologi regenerasi spesies kayu, konflik para pemangku kepentingan, pemasaran hasil hutan dan hutan kemasyarakatan di Indonesia, Thailand, Peru, Ekuador, Guatemala dan Meksiko. Made Sudana bekerja untuk CIFOR sejak 1999 sampai 2004 di Malinau, salah satu kabupaten di Kalimantan Timur. Dia terlibat dalam proyek ACM dan juga bekerja dalam penelitian tentang konflik dan kekuasaan di antara para pemangku kepentingan di lingkungan masyarakat kehutanan, perusahaan perkayuan dan pertambangan, serta pemerintah daerah di Malinau dan Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Saat ini dia bekerja untuk Badan Kerjasama Pembangunan Indonesia-Jerman untuk Pengadaan Air Pedesaan di Sumba. Miriam van Heist melakukan penelitian ini ketika bekerja di CIFOR dan kini menjabat sebagai direktur Institute for Tropical Forest Conservation (Mbarara University for Science and Technology), PO Box 44, Kabale, Uganda. Tel: +256 (0) ; Fax +256 (0) Meilinda Wan adalah seorang peneliti agronomi yang bekerja di Center for International Forestry Research di Indonesia. Penelitian yang disukainya adalah di bidang keragaman hayati dan masyarakat di lansekap yang sedang berubah. Eva (Lini) Wollenberg adalah seorang peneliti sosial dengan komitmen kuat pada pemberdayaan masyarakat lokal. Lini memperoleh gelar Ph.D. dari University of California, Berkeley, dan pernah bekerja berturut-turut di Ford Foundation serta menjadi peneliti senior di CIFOR, memimpin penelitian atas hutan-hutan tropis di Asia, terutama di Kalimantan. Dia adalah salah satu Senior Associate di CIFOR dan kini menjabat sebagai direktur program pertanian berkelanjutan di University of Vermont, Amerika Serikat.

18 Ucapan terima kasih Buku ini merupakan terjemahan dari buku bahasa Inggris yang diterbitkan Eartscan. Proses panjang sejak awal penulisan sampai akhirnya terbit dalam bahasa Indonesia hanya bisa terlaksana atas dukungan banyak pihak. Dalam kesempatan ini kami hanya mampu menyebut beberapa diantaranya tanpa mengurangi rasa terima kasih kepada semua pihak lain yang turut memberi dukungan. Penghargaan yang tulus kami sampaikan kepada Dina Hubudin yang telah mencari dan mengelola satu regu penerjemah dan penyunting dan kepada Gideon Suharyanto yang dengan teliti telah membantu menyempurnakan dokumen terakhir. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para penerjemah, kepada Harmiel M. Soekardjo yang telah membantu menyunting bahasa Indonesia dan kepada Barbara Hall yang menyunting versi bahasa Inggris, kepada Rifky dari PILI yang membantu lay out dan perbaikan terakhir. Tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Ford Foundation (khususnya Ujjwal Pradhan dan Meiwita Budiharsana) yang mendanai sebagian penelitian yang mendasari buku ini sampai penerbitannya. Penghargaan kami sampaikan juga pada donor-donor lainnya IFAD, ITTO, DFID, BMZ yang memungkinkan penelitian jangka panjang di Malinau. Terima kasih juga kepada kawan-kawan peneliti di CIFOR atas dukungannya. Kegiatan penelitian dan penulisan ini juga tidak terlepas dari dukungan masyarakat dan pemerintah kabupaten Malinau. Keterbukaan, kerja sama dan diskusi dengan mereka pemahaman kami tentang dinamika di Malinau akan sangat dangkal. Untuk merekalah buku ini ditulis. Akhirnya, walaupun tulisan dalam buku ini didasarkan pada informasi, pandangan dan dukungan dari banyak pihak, pandangan dan pendapat yang terdapat dalam ini tidak mencermin pendapat resmi dari lembaga dimana para penulis bekerja.

19 Pendahuluan Eva Wollenberg, Moira Moeliono dan Godwin Limberg Di tengah keprihatinan global terhadap hutan baik itu deforestasi, perlindungan ekosistem yang kaya spesies ataupun perubahan iklim upaya masyarakat lokal mempertahankan hutan mereka seringkali gagal atau terabaikan. Padahal, upaya masyarakat lokal bisa secara langsung mempengaruhi hutan maupun ratusan ribu warga yang hidupnya bergantung pada hutan. Buku ini tentang sikap masyarakat lokal atas sumberdaya hutan yang sangat penting dalam konteks perubahan peluang di kawasan hutan kritis secara global, yaitu hutan Kalimantan di Indonesia. Kami menggali apa yang terjadi setelah desentralisasi dan reformasi demokrasi di Indonesia, ketika pemerintah kabupaten memperoleh wewenang baru dan masyarakat lokal memperoleh hak-hak baru, yang memungkinkan eksploitasi hutan skala kecil pada tahun 1998 sampai 2003 di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Bab-bab dalam buku ini mengamati perubahan dan hubungan yang ditimbulkannya di antara masyarakat, pemerintah daerah, dan hutan. Buku ini menceritakan upaya pengendalian sumberdaya alam secara demokratis, serta apa yang terjadi pada pemanfaatan lokal sumberdaya itu ketika reformasi kebijakan berlangsung cepat. Ini adalah kisah tentang warga jelata yang mencoba memahami peluang yang tersedia bagi mereka. Malinau tidaklah unik. Yang terjadi di Malinau adalah bagian dari kecenderungan global menuju tatanan politik lokal. Akibat gerakan desentralisasi dan demokratisasi di berbagai negara, untuk pertama kalinya di wilayah hutan yang paling terpencil, masyarakat lokal terwakili oleh warga mereka sendiri yang memiliki hak suara dalam proses pengambilan keputusan resmi pemerintah. Masyarakat di wilayah ini tidak lagi hanya bergantung pada perusahaan kayu atau program sektor kehutanan yang terbatas untuk mendapatkan sarana dan layanan umum. Pemerintah lokal kini menyediakan layanan kesehatan, sekolah, administrasi, dan akses kepada sumberdaya alam bagi warga di tempat yang paling terpencil sekalipun. Pada saat yang sama, banyak di antara tatanan lokal ini masih rapuh dan rancu. Tatanan baru ini ternyata tidak sedemokratis seperti harapan para arsiteknya (Larson dan Ribot, 2005; Ribot 2006). Ketidakpastian yang menyertai berbagai kebijakan baru

20 xviii Desentralisasi Tata Kelola Hutan sering membuka peluang eksploitasi sumberdaya seketika. Seperti pada berbagai daerah, perimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat lokal sedang berkembang dan berbagai kekuatan masih terus mencari peluang menggali berbagai manfaat baru dari hutan. Para pemain nasional dan internasional berusaha mencari perimbangan kekuasaan yang juga bisa mewadahi kepentingan mereka. Berfokus pada Malinau, kami tak hanya ingin memahami transisi tatanan politik lokal ini, namun juga mendokumentasikan suatu tempat dan waktu yang istimewa di dalam sejarah dunia hutan dan masyarakat hutan. Kalimantan telah mengalami transformasi dahsyat selama generasi terakhir (Padoch dan Peluso, 1996), namun dalam periode liputan buku ini, terjadi perubahan lebih mencengangkan lagi, terutama di kawasan paling terpencil. Pembalakan, yang legal maupun ilegal, meningkat tajam. Antara tahun 1980 dan 2003, kawasan hutan lindung di dataran rendah Kalimantan menyusut lebih dari 56 persen, atau kilometer persegi (Curran dkk, 2004). Semua kabupaten masih belajar berotonomi. Terbentuk batas-batas administratif baru. Di Kalimantan Timur saja, terbentuk empat kabupaten baru, menggandakan pusat-pusat pemerintahan di provinsi ini dan mendatangkan dana pembangunan jalan, sekolah, layanan kesehatan dan proyek-proyek desa yang baru, tetapi juga perebutan alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Berbagai klaim dari kelompok adat berbasis etnis atas lahan hutan negara diakui secara resmi dan mendatangkan pembayaran fee dan kompensasi, terkadang dalam jumlah puluhan ribu dollar. Frekuensi dan intensitas konflik terbuka meningkat (Wulan dkk, 2004) ke tingkat yang tidak pernah dialami sebelumnya sejak masa pengayauan di awal tahun 1900-an. Meskipun disebabkan oleh desentralisasi dan reformasi yang menyertainya, semua perubahan itu mencerminkan luasnya rangkaian kecenderungan yang mempengaruhi penduduk kawasan hutan Indonesia, termasuk melemahnya dan bubarnya beberapa lembaga negara; upaya masyarakat madani mengorganisasi diri setelah lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan otoriter; meningkatnya hubungan masyarakat hutan lokal dengan jaringan internasional (Colchester dkk, 2003); berkurangnya kekuasaan negara atas kehutanan skala besar; dan menguatnya tekanan agar pengelolaan sumberdaya lebih ditujukan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Hal itu juga mencerminkan periode transisi dengan ketidakpastian tinggi, karena masuknya Indonesia ke jalur demokrasi ini melalui suatu masa krisis ekonomi dan politik (Sunderlin, 1999) sebelum ada kelembagaan demokrasi yang berfungsi. Buku ini mencoba mendokumentasikan, walau hanya sebagian, periode penuh gejolak dan kompleks ini. Tema akhir buku ini adalah pengalaman para penulis di Malinau. Para penulis melakukan penelitian di Malinau untuk Center for International Forestry Research (CIFOR). Sebagian besar penelitian ini bertujuan sama yaitu mendukung masyarakat lokal mendapatkan akses lebih besar dan pengelolaan lebih baik atas hutan mereka, yang dilakukan melalui kerjasama dengan masyarakat lokal maupun pemerintah daerah. Penelitian kami menganggap tujuan akhirnya adalah pengelolaan bersama melalui proses yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Namun, pendekatan ini mengasumsikan adanya komunikasi dan saling percaya, atau bahwa hal itu dapat dibangun dengan mudah, dan sudah ada lembaga-lembaga perundingan, persetujuan, perimbangan kekuasaan, maupun pengelola konflik. Di Malinau, di awal masa desentralisasi, kondisi ini tidak ada. Maka kami belajar untuk sangat fleksibel dan menyesuaikan diri menjadi bagian dari masyarakat, menjaga kedekatan dengan para pendukung pemain kunci dan mengembangkan program-program untuk kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan, agar kami bisa menangkap kesempatan yang bisa muncul kapan saja dan menyesuaikan diri dengan kondisi setempat.

21 Pendahuluan xix Dengan cara ini, informasi menjadi lebih akurat, mendalam dan komprehensif, terutama dalam mendengarkan berbagai sudut pandang dari berbagai kelompok (lihat Wollenberg dkk, 2007, mengenai kerjasama spontan). Pengorganisasian isi buku Bagian pertama buku ini memberikan latar belakang teori dan kontekstual untuk kisah Malinau. Di Bab 1, kami mengulas teori negara dalam masyarakat dan implikasinya pada dampak desentralisasi terhadap pertarungan kekuasaan antara masyarakat lokal dengan negara. Bab ini juga merangkum perkembangan Indonesia dari negara otokratis menjadi bertatanan politik lokal, dengan perhatian khusus pada sektor kehutanan. Sisa buku ini berfokus pada Malinau. Bagian I (Bab 1 sampai 4) memaparkan secara singkat riwayat cara masyarakat Malinau mengorganisasi diri, terutama dalam hal akses terhadap hutan. Setelah pengantar singkat mengenai keadaan geografis, Moeliono dan Limberg menguraikan konteks kebijakan lokal tentang desentralisasi (Bab 2). Di Bab 3, Rhee mengenalkan berbagai pelaku di Malinau dan bagaimana pengaruh desentralisasi terhadap hubungan kekuasaan mereka, sementara di Bab 4. Sheil dkk menggambarkan nilai-nilai yang dianut masyarakat desa mengenai hutan dan beberapa kecenderungan perubahan nilai-nilai tersebut. Bagian II buku ini menawarkan serangkaian analisa mengenai dampak dari pembalakan skala kecil yang dikenal dengan Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu atau IPPK dan penyebabnya. Dalam Bab 5, Limberg mengkaji dampak operasi IPPK di tujuh desa di daerah aliran sungai Malinau, sementara di Bab 6, Palmer mendokumentasikan kondisi-kondisi yang mendasari negosiasi antara masyarakat dengan perusahaan. Palmer menjelaskan bagaimana secara keseluruhan warga Malinau memperoleh manfaat lebih kecil daripada kabupaten lain seperti Kutai Barat di Kalimantan Timur, di mana masyarakat menjadi pihak yang memulai proses negosiasi dan lebih memiliki informasi mengenai pilihan-pilihan fee. Dalam Bab 7 Kamelarczyk dan Strandby melihat pengaruh IPPK terhadap rumah tangga di tiga desa. Di Bab 8, Iskandar dkk memberikan analisa dampak kegiatan pembalakan terhadap hutan, sementara dalam Bab 9, Bab terakhir di Bagian II, Iwan dan Limberg menggambarkan upaya masyarakat untuk melindungi hutan yang sangat berharga melalui inisiatif masyarakat lokal. Bagian III buku ini mengkaji masalah yang lebih luas yang berkaitan dengan hubungan kepemilikan, konflik dan partisipasi politik yang terkait dengan desentralisasi. Dalam Bab 10, Sudana menganalisa peningkatan konflik setelah desentralisasi, dan dalam Bab 11, Moeliono dan Limberg menggambarkan munculnya masalah penguasaan lahan dan adat sebagai isu politik. Dalam Bab 12, Wollenberg menguraikan bagaimana peranan proses desentralisasi dan demokrasi di desa-desa di Malinau. Moeliono dan Limberg dalam Bab 13 kemudian menunjukkan bagaimana pemerintah berusaha menyesuaikan diri dengan peran barunya dalam negara yang terdesentralisasi melalui beberapa percobaan pembangunan. Bab terakhir, Bab 14, menawarkan sintesis dan kesimpulan, menggambarkan terbitnya tatanan politik lokal berkat dorongan aliansi etnis. Dalam prosesnya, kelompok yang terpinggirkan bisa menjadi semakin terpinggirkan, seperti yang dialami pada kasus Punan Malinau yang diuraikan di Bab 12 dan 13. Namun dalam penyesuaian yang saling menguntungkan antara negara dan masyarakat, tata kelola hutan kerap menjadi sumber konflik. Masih belum jelas siapa yang sebenarnya menjadi pengendali. Seperti pada masalah kepemilikan lahan,

22 xx Desentralisasi Tata Kelola Hutan pengelolaan hutan diatur melalui perpaduan antara kelembagaan dan aturan tradisional non-formal dengan sistem hukum formal. Rujukan Colchester, M., Apte, T., Laforge, M., Mandondo, A. dan Pathak, N., Bridging the Gap: Communities, Forests and International Networks, CIFOR Occasional Paper 41, CIFOR, Bogor, Indonesia. Curran, L. M., Trigg, S. N., McDonald, A. K., Astiani, D., Hardiono, Y. M., Siregar, P., Caniago, I. dan Kasischke, E., Lowland forest loss in protected areas of Indonesian Borneo, Science, vol 303, hal Larson, A. dan Ribot, J., Democratic decentralisation through a natural resource lens: An introduction, dalam J. Ribot dan A. Larson (penyunting) Democratic Decentralization through a Natural Resource Lens: Experience from Africa, Asia and Latin America, Routledge, London. Padoch, C. dan Peluso, N. L. (penyunting), Borneo in Transition: People, Forests, Conservation, and Development, Oxford University Press, Kuala Lumpur. Peluso, N. L. dan Padoch, C., 1996, dan edisi ke-2, Changing resource rights in managed forests of West Kalimantan, dalam C. Padoch dan N. L. Peluso (penyunting) dalam Borneo in Transition: People, Forests, Conservation, and Development, Oxford University Press, Kuala Lumpur. Ribot, J. C., Representation, citizenship and the public domain: Framing the local democracy effects of institutional choice and recognition, Paper presented at the 11th Biennial Conference of the IASCP, Bali, Indonesia, March Sunderlin, W.D., Between danger and opportunity: Indonesian and forests in an era of economic crisis and political change, Society and Natural Resources, vol 12, no 6, hal Wulan, Y. C., Yasmi, Y., Purba, C. and Wollenberg, E., Analisa Konflik: Sektor Kehutanan di Indonesia , CIFOR, Bogor, Indonesia. Wollenberg, E., Iwan, R., Limberg, G., Moeliono, M., Rhee, S. dan Sudana, M., Facilitating cooperation during times of chaos: spontaneous orders and muddling through in Malinau, Ecology and Society, vol 12, no 1, hal. 3. [online] URL: ecologyandsociety.org/vol12/iss1/art3/.

23 Daftar Akronim dan Singkatan C derajat Celcius AAC annual allowable cut ADB Asian Development Bank AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ANOVA analysis of variance APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara asl above sea level BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BBP Bakti Bumi Perdana BDMS Bara Dinamika Mudah Sukses BLU Badan Layanan Umum BPD Badan Perwakilan Desa BPN Badan Pertanahan Nasional BTRF Borneo Tropical Rainforest Foundation CEC cation exchange capacity CERD Community Empowerment for Rural Development CIFOR Center for International Forestry Research Cm sentimeter CV Commanditaire Vennootschap dbh diameter at breast height Dephut Departemen Kehutanan DFID Department for International Development, Inggris dpl di atas permukaan laut DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dsh diameter at the estimated stump height dtd diameter setinggi dada dtt diameter setinggi tunggul FFPRI Foresty and Forest Product Research Institute GER Global Eco Rescue GIS Geographic Information Systems GPS Global Positioning System ha hektar HHNK Hasil Hutan Non Kayu

24 xxii Desentralisasi Tata Kelola Hutan HPH HPHH IED IFAD IPGRI IPPK IUPHHK JPT kg KKN km KPK KSN LADAS LATIN LIPI LSM LTI m mm Dephut MPR n NGO NRM NTFP P5D PAD PADUS PDM PKK PMD PT RTRWP SE SHK SK SRL TPTI UU UUD UK US VOC WALHI WWF Hak Pengusahaan Hutan Hak Pemungutan Hasil Hutan Institute for Environmental Decisions, Zurich, Switzerland International Fund for Agricultural Development International Plant Genetic Resources Institute Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Jatah Penebangan Tahunan kilogram Korupsi Kolusi dan Nepotisme kilometer Komite Penanggulangan Kemiskinan Kawasan Strategis Negara Lembaga Adat Dayak Abai Sembuak Lembaga Alam Tropika Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lembaga Swadaya Masyarakat Lestari Timur Indonusa (PT) meter milimeter Departemen Kehutanan Majelis Permusyawaratan Rakyat banyaknya semua populasi sampel non-governmental organization (organisasi non-pemerintah) natural resource management non-timber forest products (= HHNK) Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah Pendapatan Asli Daerah Persatuan Dayak Sewilayah Semendurut Pebble Distribution Method Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Pemberdayaan Masyarakat Desa Perseroan Terbatas Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Standard Error Sistem Hutan Kerakyatan Surat Keputusan Sustainable Rural Livelihood Tebang Pilih Tanam Indonesia Undang-undang Undang-undang Dasar United Kingdom United States Vereenigde Oost-indische Companie Wahana Lingkungan Hidup Indonesia World Wildlife Fund for Nature

25 Bagian I Latar Belakang Teori dan Kontekstual

26

27 1 Antara Negara dan Masyarakat: Desentralisasi di Indonesia Eva Wollenberg, Moira Moeliono, dan Godwin Limberg Untuk memahami perubahan peluang bagi warga lokal di Indonesia, diperlukan penjelasan bagaimana desentralisasi dan reformasi demokrasi di Indonesia telah membuat masyarakat lokal bisa lebih mempengaruhi pemerintah yang sebelumnya sangat otokratik dan pemaksa, serta bertangan besi dalam hal pemanfaatan hutan. Penelitian Joel Migdal, Atul Kohli, Vivienne Shue, dan lain-lain (1994) memberikan kerangka analisa perubahan hubungan tersebut. Bab ini meninjau secara mendalam sejarah sentralisasi dan desentralisasi di Indonesia, serta kerangka hukum yang membentuk desentralisasi selama periode reformasi antara tahun 1998 hingga Negara dan masyarakat Pertama, definisi dan asumsi. Negara adalah sekumpulan organisasi yang melalui pembuatan peraturan dan pemaksaan hendak menguasai dan mengontrol wilayah tertentu (Hall dan Ickenberry, 1989). Berbagai organisasi pembentuk sebuah negara departemen kehutanan, penduduk asli, kawasan lindung, dan DPR saling bersaing dan bertentangan dalam memenuhi kepentingan masing-masing. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang mengelompok berdasarkan kesamaan identitas dan norma (Migdal, 1994). Seperti halnya negara, unsur-unsur masyarakat bisa saling bersaing dan bertentangan. Negara dan masyarakat senantiasa saling membentuk melalui upaya penguasaan dan penolakan di berbagai arena (Migdal dkk., 1994). Arena yang berkaitan dengan hutan mencakup hak kepemilikan, pembagian manfaat dari hutan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya hutan, peluang kerja, jaminan politik, infrastruktur, pengetahuan, dan akses terhadap informasi. Negara dan masyarakat memiliki jalur pengaruh yang berbeda.

28 4 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Pengaruh negara terhadap hutan biasanya berdasarkan penguasaan atas kebijakan, kegiatan kehutanan, atau kepemilikan hutan dan lahan hutan (Finger-Stich dan Finger, 2003). Di negara yang kaya dengan sumberdaya hutan seperti Indonesia, penguasaan oleh negara seringkali terpusat pada departemen kehutanan di tingkat nasional. Unsur masyarakat dapat mempengaruhi melalui jejaring informal, gerakan sosial, atau pun organisasi-organisasi resmi seperti perusahaan, lembaga keagamaan, kelompok donor dan advokasi. Tetapi pada praktiknya masyarakat lokal kurang memiliki pengaruh resmi terhadap sumberdaya hutan yang bernilai tinggi. Walau demikian, masyarakat lokal memiliki pengaruh informal yang sangat besar. Ketika pemerintah dan pihak yang berwenang lemah, kelompok masyarakat menerapkan prinsip, norma, aturan dan praktik mereka sendiri dan secara selektif mematuhi atau mengesampingkan hukum negara. Kelompok demikian bertindak sebagai bidang sosial yang semi-otonom (Moore 1973, hal ). Di Chaggaland, Tanzania, warga desa tidak mengindahkan upaya reformasi untuk mengubah lahan milik perorangan menjadi hak guna milik pemerintah dan tetap membagikan hak atas lahan berdasarkan adat setempat (Moore, 1973). Di Taman Nasional Bosawas, Nikaragua (Kaimowitz dkk., 2003), Sumatra bagian utara (McCarthy, 2000a) dan Kalimantan Timur (Obidzinski, 2004), para pimpinan politik setempat secara terbuka mengatur pembalakan yang dianggap ilegal. Meskipun membuka peluang bagi masyarakat hutan untuk mempengaruhi lingkungannya, otonomi demikian tidak memberi peluang keterlibatan masyarakat dalam kerangka politik yang lebih luas. Ketika kehadiran negara dan yang berwenang kuat, masyarakat lokal berupaya mempengaruhi pejabat setempat melalui senjata kaum lemah (Scott, 1998), yaitu mengkooptasi pejabat (Lipsky, 1980) membangun jejaring patron-klien pribadi dengan pejabat (Shue, 1994); mengabaikan, melawan, atau melaksanakan kebijakan secara buruk (Manor, 1999). Pada kasus ekstrim, yang digunakan adalah protes dengan membakar, merusak, mengambil, mencabut bibit, dan menyita peralatan (Peluso, 1992). Di Indonesia, seperti juga di tempat lain, pemegang hak pengusahaan hutan membiarkan masyarakat melakukan perladangan berpindah dan berburu meskipun dilarang oleh peraturan nasional. Di Cina, pemerintah lokal di Jinping, timur Guizhou; dan di Jinggu, Yunan selatan, mengembangkan sistem kepemilikan saham bagi warga masyarakat untuk berbagi akses, tanggung jawab, dan keuntungan atas hutan (Liu dan Edmunds, 2003). Desentralisasi Kecenderungan global menuju desentralisasi meningkatkan pengaruh negara atas wilayah hutan dan memberi peran jauh lebih besar pada masyarakat lokal dalam pengaruh tersebut. Posisi pemerintah kini semakin kokoh di antara masyarakat setempat dan negara. Delapan puluh persen negara berkembang atau negara dalam transisi saat ini terlibat dalam desentralisasi (Gregersen dkk., 2005, hal.13, mengutip Manor, 1999). Lebih dari 60 negara mendesentralisasikan sejumlah aspek pengelolaan sumberdaya alam (Larson 2005, hal.32, mengutip Agrawal, 2001). Ada dua bentuk desentralisasi yang sangat berbeda implikasinya terhadap pengaruh dan kesejahteraan warga di dalam dan di sekitar hutan. Yang pertama adalah program kehutanan masyarakat yang didorong pusat, yaitu pemberian hak berkegiatan kehutanan oleh instansi kehutanan pusat atau tingkat menengah kepada kelompok masyarakat (atau

29 Antara Negara dan Masyarakat 5 agroforestri). Contohnya antara lain pengelolaan hutan bersama di India, kehutanan sosial terpadu di Filipina, kehutanan masyarakat di Kamerun, konsesi hutan bagi warga asli Bolivia, dan kehutanan ejidos di Meksiko. Bentuk yang kedua adalah pengelolaan lokal, yaitu penyerahan wewenang administrasi dan pengambilan keputusan di berbagai sektor secara resmi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah memperoleh kewenangan yang sebelumnya berada di pusat, disertai alokasi keuangan dari pusat dan pendapatan daerah dari pajak, retribusi, dan royalti daerah. Tingkat wewenang, tanggung jawab, dan keuangan setiap sektor berbeda-beda di setiap negara dan pengelolaan hutan tidak selalu didesentralisasikan penuh ke pemerintah daerah (Ribot dan Larson, 2005). Desentralisasi biasanya ditetapkan pada satu atau dua tingkat di atas masyarakat, seperti kepada panchayats di India, municipios di Bolivia, dan kepada distrik di Uganda. Buku ini berfokus pada desentralisasi kepada tingkat kabupaten di Indonesia. Terlepas dari kesamaan asalnya, program kehutanan masyarakat secara terpusat dan pengelolaan lokal sangat berbeda dalam implikasinya terhadap warga lokal. Berlawanan dengan pengelolaan hutan kemasyarakatan, kebijakan pengelolaan bersama atau devolusi, yang berupaya mempertahankan kontrol atas keputusan penting serta manfaat di sektor kehutanan (Sarin dkk., 2003), desentralisasi memberi peluang keterlibatan pengguna hutan dalam kegiatan politik yang lebih luas dan mempengaruhi negara, termasuk dominasi historisnya atas kayu dan lahan hutan. Dari cirinya, pengelolaan lokal memungkinkan kelompok masyarakat lokal mempengaruhi secara informal maupun formal. Tata kelola lokal membangun arena perjuangan baru yang mendorong organisasi sosial dan keterlibatan politik pada tingkat menengah (Shue, 1994). Batas antara negara dan masyarakat lebih samar dan lebih cair karena desentralisasi. Dengan demikian desentralisasi dapat berfungsi sebagai pemersatu negara dengan masyarakat seraya memupuk perjuangan di antara mereka. Saling ketergantungan tersebut menciptakan tantangan dan peluang yang khusus bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar wilayah hutan. Pertama, terbentuknya pemerintah setempat meningkatkan kehadiran negara di tingkat lokal. Bila kehadiran di tingkat lokal disertai dengan kewenangan yang kuat, kemampuan masyarakat hutan untuk bertindak secara semi-otonom akan berkurang. Namun, masyarakat harus terlibat lebih langsung dengan negara untuk menjaga pengaruhnya atas pengelolaan hutan serta lebih berpengaruh dalam urusan kepemerintahan. Masyarakat lokal berpeluang lebih besar untuk terhubung dan membina hubungan pribadi dengan para pejabat lokal. Para pejabat dengan wewenang yang besar akan terserap dalam hubungan sosial di tingkat lokal, beserta berbagai peluang dan kewajiban di dalamnya. Pemerintah lokal dapat terdiri dari masyarakat setempat, yang harus pandai berbagi peran. Dalam situasi seperti itu, batas antara masyarakat dan negara menjadi sangat cair. Namun kekuatan sosial tidak selalu terbentuk untuk mencapai tujuan yang sama dan bisa memiliki kepentingan yang sangat berbeda. Menguatnya keterkaitan adalah seperti pedang bermata dua. Para elit lokal bisa mengkooptasi atau berkolusi dengan pemerintah demi kepentingan sendiri, termasuk merebut sumberdaya pemerintah bagi kaum miskin (Etchevery-Gent, 1993). Untuk memperkuat pemanfaatan keterkaitan ini, negara harus cukup kuat untuk melindungi masyarakat dari kerakusan para elit, maupun ketidakadilan pasar. Namun masyarakat juga harus cukup kuat untuk menerapkan wewenang sipil mereka atas urusan publik (Antlöv, 2003, hal.73). Meningkatnya kehadiran serta keterkaitan negara akan paling terasa bagi

30 6 Latar Belakang Teori dan Kontekstual masyarakat yang secara fisik dekat dengan pemerintah daerah. Bagi masyarakat di daerah terpencil, perubahan yang ada mungkin tidak begitu terasa. Kedua, desentralisasi dapat menyebabkan perpecahan dan melemahkan negara (Kohli, 1994), terutama selama proses transisi kebijakan. Agar negara tetap dominan dibutuhkan hubungan horisontal dan vertikal yang efektif di antara pemerintah daerah. Bila hubungan tersebut tidak ada, pemerintah daerah akan bertindak seperti pihak semi-otonom seperti dijelaskan di muka. Di Indonesia, pemerintah daerah, dinas kehutanan, dan Departemen Kehutanan sering bertindak seolah tidak ada pihak lain. Negara yang terpecah memudahkan korupsi pemerintah daerah dan sektor swasta karena pejabat lokal bisa mengabaikan hukum nasional tanpa takut terkena sanksi (Resosudarmo, 2003; Smith dkk.; 2003). Ketiga, salah satu sumber kekuatan sistem pemerintahan sentralistik terletak pada sifat hubungan yang tidak personal (Kohli, 1994). Desentralisasi lebih mendekatkan negara karena para pejabat terikat hubungan kekerabatan dan sejarah pribadi, pertemanan, saling ketergantungan ekonomi, norma budaya, dan hubungan kekuasaan setempat dengan masyarakat lokal. Meskipun hal ini mengurangi kekuasaan negara dan lebih memungkinkan kooptasi pejabat setempat, hubungan pribadi itu juga dapat lebih memudahkan negara dan masyarakat berhubungan, mendorong komunikasi, pemahaman, dan pelibatan yang setara. Keempat, faktor-faktor desentralisasi, negara yang lemah, serta pulihnya nilai tradisional dan identitas masyarakat asli memungkinkan kelompok tradisional atau budaya lokal menjadi lebih diakui secara politis, terutama bila skala pengaruhnya sama dengan pengaruh pemerintah daerah. Kecenderungan ini memperkuat hubungan pribadi antara masyarakat lokal dan para pejabat dan memaksa pemerintah daerah membangun aliansi dengan kelompok-kelompok tersebut, terutama yang paling berpengaruh. Ketika terjadi kekacauan perimbangan kekuasaan atau ketegangan antar-kelompok, pejabat lokal mungkin tidak mampu menjaga kestabilan kekuasaan politis. Kelima, desentralisasi membatasi peluang masyarakat mengorganisasi prakarsa politis dalam skala besar namun meningkatkan peluang mengorganisasinya di tingkat lokal. Hal itu akan melahirkan tatanan politik lokal dengan wewenang dan kapasitasnya sendiri. Pemerintah lokal maupun kekuatan sosial mencari cara penggalangan dan mobilisasi masyarakat dan sumberdaya untuk meningkatkan pengaruh. Arena dan sarana pelibatan di tingkat lokal menjadi lebih penting daripada di tingkat nasional. Di kawasan hutan, masalah pembangunan ekonomi dan sosial dirasa lebih penting daripada masalah nasional keanekaragaman hayati, hak kekayaan intelektual, dan pendapatan devisa negara. Keenam, munculnya tatanan politik lokal dicirikan oleh ketegangan yang ikut mendukung konflik dan ketidakstabilan kambuhan dan mendorong terjadinya penyesuaian dan pergeseran kekuasaan. Ketegangan timbul dari posisi pemerintah daerah yang berada di antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal. Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah rentan berkonflik. Tatanan politik lokal yang lebih kuat akan menyulitkan dominasi pemerintah pusat. Namun, ketergantungan antara pusat dan daerah tetap kuat, keduanya saling ingin memiliki sumberdaya pihak lain. Di wilayah hutan, pemerintah pusat enggan menyerahkan pendapatan dari kayu dan produk hutan yang bernilai tinggi, sedangkan pemerintah lokal memerlukan pasar, keahlian, dan modal yang tersedia di pusat. Semua keadaan itu menciptakan peluang bagi masyarakat hutan lokal untuk mempengaruhi negara dengan cara yang baru, gabungan antara jalur formal dan informal. Jalur informal melalui keterlibatan langsung, hubungan pribadi, wewenang tradisional atau adat, dan organisasi politik lokal yang baru; sedangkan mekanisme formalnya melalui

C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h. Governance Brief

C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h. Governance Brief C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Program Forests dan Governance Nomor 15b Peluang dan Tantangan untuk Mengembangkan Hutan Kemasyarakatan Pengalaman dari Malinau

Lebih terperinci

Governance Brief. Bagaimana masyarakat dapat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang kabupaten? Penglaman dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur

Governance Brief. Bagaimana masyarakat dapat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang kabupaten? Penglaman dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Forests and Governance Programme Bagaimana masyarakat dapat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang kabupaten? Penglaman dari

Lebih terperinci

Pelatihan Legislative Drafting di Malinau Februari 2003

Pelatihan Legislative Drafting di Malinau Februari 2003 Pelatihan Legislative Drafting di Malinau 13-18 Februari 2003 Kabar dari TIM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA HULU SUNGAI MALINAU No. 13, April 2003 Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang baik, Pendahuluan Dengan Otonomi

Lebih terperinci

Kabar dari Lokakarya Membangun Agenda Bersama II Setulang, 4-6 Desember 2000

Kabar dari Lokakarya Membangun Agenda Bersama II Setulang, 4-6 Desember 2000 Kabar dari Lokakarya Membangun Agenda Bersama II Setulang, 4-6 Desember 2000 No. 5, Januari 2001 Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik! Kami kabarkan bahwa pada tanggal 4 sampai 6 Desember 2000 telah dilakukan

Lebih terperinci

Dana Reboisasi: Pengertian dan pelaksanaannya

Dana Reboisasi: Pengertian dan pelaksanaannya Dana Reboisasi: Pengertian dan pelaksanaannya Salam sejahtera, Kabar dari: Tim Pengelolaan Hutan Bersama No. 16, Agustus 2003. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang berbahagia, kita berjumpa lagi dalam seri kabar

Lebih terperinci

Membuat kesepakatan antara stakeholder hutan

Membuat kesepakatan antara stakeholder hutan Membuat kesepakatan antara stakeholder hutan Laporan Hasil Penelitian CIFOR Juli 2002 oleh Njau Anau, Ramses Iwan, Miriam van Heist, Godwin Limberg, Made Sudana and Lini Wollenberg 1 Center for International

Lebih terperinci

Hutan Kita, Keputusan Kita Sebuah survei mengenai prinsip-prinsip untuk pengambilan keputusan di Malinau

Hutan Kita, Keputusan Kita Sebuah survei mengenai prinsip-prinsip untuk pengambilan keputusan di Malinau Hutan Kita, Keputusan Kita Sebuah survei mengenai prinsip-prinsip untuk pengambilan keputusan di Malinau Eva Wollenberg Godwin Limberg Ramses Iwan Rita Rahmawati Moira Moeliono HUTAN KITA, KEPUTUSAN KITA

Lebih terperinci

Proyek GCS- Tenurial. Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan. Studi komparasi global ( )

Proyek GCS- Tenurial. Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan. Studi komparasi global ( ) Proyek GCS- Tenurial Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan Studi komparasi global (2014-2016) Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir ini, reformasi tenurial sektor kehutanan tengah menjadi

Lebih terperinci

Governance Brief. Dampak Kebijakan IPPK dan IUPHHK Terhadap Perekonomian Masyarakat di Kabupaten Malinau

Governance Brief. Dampak Kebijakan IPPK dan IUPHHK Terhadap Perekonomian Masyarakat di Kabupaten Malinau 1 C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Forests and Governance Programme Dampak Kebijakan IPPK dan IUPHHK Terhadap Perekonomian Masyarakat di Kabupaten Malinau Oding

Lebih terperinci

Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan. Center for International Forestry Research

Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan. Center for International Forestry Research Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan Center for International Forestry Research Siapakah kami Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Center for International Forestry Research)

Lebih terperinci

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau No. 6, September 2001 Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik, Salam sejahtera, jumpa lagi dengan Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama.

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN PEMETAAN PARTISIPATIF

HASIL PENELITIAN PEMETAAN PARTISIPATIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PARTISIPATIF Kabar dari TIM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA HULU SUNGAI MALINAU No. 7, Februari 2002 Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik, SELAMAT TAHUN BARU 2002! Salah satu harapan dari

Lebih terperinci

Lokakarya Bangun Agenda Bersama III di Tanjung Nanga, April 2002

Lokakarya Bangun Agenda Bersama III di Tanjung Nanga, April 2002 Lokakarya Bangun Agenda Bersama III di Tanjung Nanga, 23-25 April 2002 Kabar dari TIM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA HULU SUNGAI MALINAU No. 9, Agustus 2002 Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang baik, Lokakarya yang

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktik-Praktik REDD+ yang Menginspirasi MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT MELALUI PENGUKURAN KARBON PARTISIPATIF DI INDONESIA Apa» Pengukuran karbon

Lebih terperinci

Koordinasi Antar Pihak: Desa Mandiri, Tata Ruang dan Pelestarian Hutan

Koordinasi Antar Pihak: Desa Mandiri, Tata Ruang dan Pelestarian Hutan Koordinasi Antar Pihak: Desa Mandiri, Tata Ruang dan Pelestarian Hutan Lokakarya Bangun Agenda Bersama IV, 28-30 Maret 2003 Kabar dari TIM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA HULU SUNGAI MALINAU No. 14, April 2003

Lebih terperinci

Governance Brief. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom.

Governance Brief. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom. C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Forests and Governance Programme Agustus 2005 Perubahan Perundangan Desentralisasi Apa yang berubah? Bagaimana dampaknya pada

Lebih terperinci

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA RINGKASAN Apa Pengembangan kawasan konservasi masyarakat dan pengelolaan hutan berbasis

Lebih terperinci

Belajar dari redd Studi komparatif global

Belajar dari redd Studi komparatif global Belajar dari redd Studi komparatif global Studi komparatif global REDD dalam kurun waktu beberapa tahun yang diupayakan CIFOR bertujuan menyediakan informasi bagi para pembuat kebijakan, praktisi dan penyandang

Lebih terperinci

Kunjungan ke Desa-Desa di Hulu Sungai Malinau November Desember 2002

Kunjungan ke Desa-Desa di Hulu Sungai Malinau November Desember 2002 Kunjungan ke Desa-Desa di Hulu Sungai Malinau November Desember 2002 Kabar dari Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik, Tim Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau No. 12, Maret 2003 Seperti biasa sekali

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dasar Hukum

Warta Kebijakan. Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dasar Hukum No. 6, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Dasar Hukum Di masyarakat ada kesan

Lebih terperinci

MENCIPTAKAN HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

MENCIPTAKAN HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 Praktek REDD+ yang Menginspirasi MENCIPTAKAN HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA RINGKASAN Apa Pengembangan kawasan konservasi masyarakat dan pengelolaan hutan berbasis

Lebih terperinci

Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia:

Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia: Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia: Pendekatan Inovatif Penggalangan Dana Tambahan Konservasi dan Ide Penerapan Desentralisasi Sistem Pembiayaan Taman Nasional Oleh: Elfian Effendi NRM/EPIQ

Lebih terperinci

Decentralisation Brief

Decentralisation Brief No. 8, April 2005 Forests and Governance Programme Can decentralisation work for forests and the poor? Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan di Kabupaten Manokwari Oleh Max

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

Pelatihan Penyusunan Peraturan Desa di Bidang Tata Ruang

Pelatihan Penyusunan Peraturan Desa di Bidang Tata Ruang Pelatihan Penyusunan Peraturan Desa di Bidang Tata Ruang Kabar dari TIM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA HULU SUNGAI MALINAU No. 20, Oktober 2004 Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang baik, Sudah hampir setahun kegiatan

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

Forestry Options Launching, Feb 2007, p. 1

Forestry Options Launching, Feb 2007, p. 1 Leading the British government s fight against world poverty Forestry Options Launching, Feb 2007, p. 1 Mengapa Hutan penting bagi Pembangunan Indonesia (Enam alasan utama) 1. Hutan merupakan sumber mata

Lebih terperinci

PANDUAN IDENTIFIKASI Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia. Oleh: Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia

PANDUAN IDENTIFIKASI Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia. Oleh: Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia PANDUAN IDENTIFIKASI Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia Oleh: Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia Diterbitkan oleh: Tropenbos International Indonesia Programme PANDUAN IDENTIFIKASI Kawasan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan sekuritas di Indonesia. Dahulu terdapat dua bursa efek di Indonesia, yaitu

Lebih terperinci

Media Background MEWUJUDKAN KABUPATEN MALINAU SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI

Media Background MEWUJUDKAN KABUPATEN MALINAU SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI Media Background MEWUJUDKAN KABUPATEN MALINAU SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI Kabupaten Malinau merupakan salah satu Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Bulungan berdasarkan UU No. 47 Tahun 1999. Kabupaten

Lebih terperinci

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012 For more information, contact: Leony Aurora l.aurora@cgiar.org Cell Indonesia: +62 (0)8111082309 Budhy Kristanty b.kristanty@cgiar.org Cell Indonesia: +62 (0)816637353 Sambutan Frances Seymour, Direktur

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

Strategi CIFOR

Strategi CIFOR CIFOR Ringkasan Strategi CIFOR 2008 2018 Membuat perubahan yang baik bagi hutan dan manusia Strategi di era baru Ringkasan ini berisi garis besar tentang strategi utama CIFOR untuk dekade 2008 2018. Untuk

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages Baseline Study Report Commissioned by September 7, 2016 Written by Utama P. Sandjaja & Hadi Prayitno 1 Daftar Isi Daftar Isi... 2 Sekilas Perjalanan

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Apa» Perencanaan dan pemetaan partisipatif penggunaan lahan membangun kesiapan REDD+ dan memperkuat kepemilikan lahan diantara masyarakat

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Laporan ini berisi Kata Pengantar dan Ringkasan Eksekutif. Terjemahan lengkap laporan dalam Bahasa Indonesia akan diterbitkan pada waktunya. LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Pendefinisian

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai Para Peserta) Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini dibuat oleh Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) dan tidak bisa dianggap sebagai terjemahan resmi. CIFOR tidak bertanggung jawab jika ada kesalahan

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap Hutan dan Masyarakat Hutan. Pendahuluan. Pengurusan Hutan di Masa Desentralisasi

Warta Kebijakan. Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap Hutan dan Masyarakat Hutan. Pendahuluan. Pengurusan Hutan di Masa Desentralisasi Menghadapi Otonomi Daerah secara multi pihak Warta Kebijakan No. 7, November 2002 C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Dampak Desentralisasi dan Otonomi

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR FORUM ORANGUTAN INDONESIA

ANGGARAN DASAR FORUM ORANGUTAN INDONESIA ANGGARAN DASAR FORUM ORANGUTAN INDONESIA PEMBUKAAN Orangutan merupakan satu- satunya jenis kera besar yang saat ini hidup di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan 3 jenis lainnya hidup di Afrika. Kelestarian

Lebih terperinci

Bab 1: Konteks Menganalisis Lingkungan Indonesia

Bab 1: Konteks Menganalisis Lingkungan Indonesia Bab 1: Konteks Menganalisis Lingkungan Indonesia Nelayan (Koleksi Bank Dunia ) Foto: Curt Carnemark 4 Berinvestasi untuk Indonesia yang Lebih Berkelanjutan 1.1 Karakteristik Utama Tantangan Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai Studi Kelayakan Hutan Rakyat Dalam Skema Perdagangan Karbon dilaksanakan di Hutan Rakyat Kampung Calobak Desa Tamansari, Kecamatan

Lebih terperinci

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah KEMENTERIAN Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah Mei 2012 Dari BOS ke BOSDA: Dari Peningkatan Akses ke Alokasi yang Berkeadilan Program

Lebih terperinci

DEBT FOR NATURE SWAPT. By: Dewi Triwahyuni

DEBT FOR NATURE SWAPT. By: Dewi Triwahyuni DEBT FOR NATURE SWAPT By: Dewi Triwahyuni What is Debt for Nature Swaps (DNS)? DNS dapat diartikan sebagai "pembatalan utang luar negeri dengan cara menukarkannya dengan suatu komitmen dari negara pengutang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak memiliki wilayah perbatasan dengan negara lain yang berada di kawasan laut dan darat. Perbatasan laut Indonesia berbatasan

Lebih terperinci

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* Institut Internasional untuk Demokrasi dan Perbantuan Pemilihan Umum didirikan sebagai organisasi internasional antar pemerintah

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

Manusia, Hutan, dan. Perubahan Iklim

Manusia, Hutan, dan. Perubahan Iklim Manusia, Hutan, dan MEDIA Perubahan Iklim BRIEF Apa dampak yang akan terjadi terhadap hutan di wilayah Asia Pasifik termasuk manusia yang hidup didalamnya dengan munculnya berbagai upaya dalam menanggulangi

Lebih terperinci

Seminar Gerakan Pembangunan Desa Mandiri Oleh Pemda 24 Oktober 2002

Seminar Gerakan Pembangunan Desa Mandiri Oleh Pemda 24 Oktober 2002 Seminar Gerakan Pembangunan Desa Mandiri Oleh Pemda 24 Oktober 2002 Kabar dari Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik, Tim Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau No. 11, Maret 2003 Surat kabar ini sebenarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Anggaran Dasar Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Bahwa kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah salah satu hak asasi manusia yang sangat

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paradigma good governance muncul sekitar tahun 1990 atau akhir 1980-an. Paradigma tersebut muncul karena adanya anggapan dari Bank Dunia bahwa apapun dan berapapun bantuan

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah meretas kebuntuan dalam menata ruang Taman Nasional di Indonesia?

Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah meretas kebuntuan dalam menata ruang Taman Nasional di Indonesia? Brief CIFOR memberi informasi mengenai topik terkini di bidang penelitian kehutanan secara ringkas, akurat dan ilmiah. CIFOR No. 01, April 2010 www.cifor.cgiar.org Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Volume 5 No. 2 Tahun 2011 Transfer Fiskal antara Pemerintah

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

TINJAUAN DAN PEMBARUAN KEBIJAKAN PENGAMANAN BANK DUNIA RENCANA KONSULTASI

TINJAUAN DAN PEMBARUAN KEBIJAKAN PENGAMANAN BANK DUNIA RENCANA KONSULTASI TINJAUAN DAN PEMBARUAN KEBIJAKAN PENGAMANAN BANK DUNIA RENCANA KONSULTASI Bank Dunia memulai proses selama dua tahun untuk meninjau dan memperbaharui (update) kebijakan-kebijakan pengamanan (safeguard)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, penanaman modal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan dari masa ke masa senantiasa memberikan kontribusi dalam mendukung pembangunan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peranan sumberdaya hutan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 2 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Indonesia dan CIFOR. Kemitraan untuk hutan dan masyarakat

Indonesia dan CIFOR. Kemitraan untuk hutan dan masyarakat Indonesia dan CIFOR Kemitraan untuk hutan dan masyarakat Indonesia dan CIFOR Kemitraan untuk hutan dan masyarakat Indonesia, yang memiliki hutan tropis yang sangat luas, merupakan rumah yang ideal bagi

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif. Laporan Kemajuan MDF Desember 2009 Ringkasan Eksekutif

Ringkasan Eksekutif. Laporan Kemajuan MDF Desember 2009 Ringkasan Eksekutif Laporan Kemajuan MDF Desember 2009 Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif Proyek yang berfokus pada pemulihan masyarakat adalah yang paling awal dijalankan MDF dan pekerjaan di sektor ini kini sudah hampir

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TIMOR TENGAH SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Besarnya tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

Akuntabilitas. Belum Banyak Disentuh. Erna Witoelar: Wawancara

Akuntabilitas. Belum Banyak Disentuh. Erna Witoelar: Wawancara Wawancara Erna Witoelar: Akuntabilitas Internal Governance LSM Belum Banyak Disentuh K endati sejak 1990-an tuntutan publik terhadap akuntabilitas LSM sudah mengemuka, hingga kini masih banyak LSM belum

Lebih terperinci