DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR... 9 DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL PENDAHULUAN... 14

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR... 9 DAFTAR GAMBAR... 11 DAFTAR TABEL... 12 1. PENDAHULUAN... 14"

Transkripsi

1 1 P a g e

2 2 P a g e

3 Daftar Isi DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR... 9 DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penulisan Manfaat Penulisan Kerangka Pemikiran Sistematika Penulisan TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Desentralisasi Fiskal Penguatan Ekonomi Domestik Peningkatan Daya Saing Peningkatan Daya Tahan Ekonomi Pemantapan Stabilitas Politik Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Masyarakat Daya Saing Daerah Pengertian dan Konsep Faktor Pembentuk Daya Saing Daerah Faktor Penguat Daya Saing Daerah Penelitian yang Telah Dilakukan METODE PENELITIAN Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Faktor Input Pembentuk Daya Saing Daerah Faktor Output Pembentuk Daya Saing Daerah Faktor Dominan yang Mempengaruhi Daya Saing Daerah Peran Belanja Fungsi APBD sebagai Faktor Penguat Daya Saing Daerah Sumber dan Metode Pengumpulan Data...45 ii 3 P a g e

4 3.4. Metode Penentuan Sampel PEMBAHASAN Pengukuran Indeks Daya Saing Daerah Penghitungan Bobot Pengukuran Standardisasi Data dan Indeks Analisis Analisis Deskriptif Analisis Faktor Dominan yang Mempengaruhi Daya Saing Daerah Analisis Klaster Analisis DEA terhadap Faktor Penguat Daya Saing Daerah KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi...96 Daftar Pustaka iii 4 P a g e

5 Ringkasan Eksekutif Daya saing merupakan kemampuan suatu daerah dibanding daerah lain dalam menetapkan strategi yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, daya saing adalah interaksi yang kompleks antara faktor input (sebagai faktor utama pembentuk daya saing) dan output (inti dari kinerja perekonomian, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat) yang ada di daerah masing-masing. Daya saing ekonomi daerah bertujuan untuk memberikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yaitu mengembangkan sektor unggulan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, peran pemerintah daerah dalam mengupayakan daya saing daerah menjadi sangat penting dan strategis. Peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah meliputi (1) keselarasan, dan (2) keserasian. Selaras dalam memberikan pelayanan dan meningkatkan peran serta, prakarsa, dan memberdayakan masyarakat yang memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Serasi dalam menyelenggarakan hubungan antartingkat pemerintahan, baik antardaerah maupun antara pusat dan daerah. Sementara itu, instrumen utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pendanaan atas penyerahan urusan kepada daerah yang proporsional, adil, demokratis, dan transparan dengan memperhatikan potensi dan kebutuhan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal bermakna pada mengelola keuangan secara efektif, efisien, dan akuntabel guna mendukung pelayanan publik. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sangat erat hubungannya dengan daya saing daerah terutama dalam hal pelaksanaan pembangunan. Pembangunan yang ingin dicapai adalah pembangunan yang bersifat dinamis untuk kemajuan daerah. Daerah harus mencari dan mengenal potensi yang dimiliki untuk dikembangkan melalui inovasi dan produktivitas yang tinggi. Di sinilah peran daya saing sangat dibutuhkan. Kebutuhan akan peningkatan daya saing nasional dan daerah dilatarbelakangi oleh pengalaman perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu periode tahun Pada periode tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan. Sehingga upaya penguatan ekonomi domestik menjadi tema dalam RKP Tahun 2013, yang meliputi : a. peningkatan daya saing; b. peningkatan kesejahteraan masyarakat; c. peningkatan daya tahan ekonomi; dan 5 P a g e iv

6 d. pemantapan stabilitas politik Peningkatan daya saing dilakukan dengan menetapkan kebijakan pemerintah pusat dan daerah, memperkuat kelembagaan dan tatakelola, dan membangun infrastruktur. Ketiga hal tersebut diramu untuk menghasilkan : (1) peningkatan produktivitas negara/ daerah pada skala ekonomi-nya; (2) inovasi; (3) peningkatan transparansi dan akuntabilitas; dan (4) penyempurnaan struktur sistem pembangunan nasional/ daerah. Terdapat catatan penting dari pernyataan Martin dan Tyler (2003) yang memberikan argumen mengapa suatu daerah harus memiliki daya saing (berkompetisi)? : (1) untuk investasi, menarik masuk modal asing swasta dan modal publik; (2) untuk tenaga kerja, mendorong tenaga kerja terampil dan kreatif, menciptakan lingkungan kondusif dan menyediakan pasar tenaga kerja domestik; (3) untuk teknologi, menarik aktivitas inovasi dan transfer ilmu pengetahuan. Kajian ini dilaksanakan bertujuan untuk : (1) mengetahui faktor-faktor yang membentuk daya saing daerah dan persepsi pemerintah daerah terhadap strategi penguatan daya saing; (2) mengetahui indeks daya saing daerah yang diukur dari faktor-faktor terpilih pembentuk daya saing daerah; (3) mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi daya saing daerah; (4) mengetahui peran belanja fungsi APBD sebagai faktor penguat daya saing. Diharapkan kajian ini dapat memberikan manfaat antara lain : (1) memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang membentuk dan faktor-faktor dominan yang menguatkan daya saing daerah; (2) memberikan masukan kepada pemerintah pusat dalam rangka mengevaluasi kebijakan desentralisasi fiskal; (3) memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam rangka mengevaluasi kebijakan keuangan daerah. Data yang digunakan dalam kajian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data kualitatif yang diperoleh melalui kuesioner dan disampaikan kepada responden via surat, sedangkan data sekunder merupakan data kuantitatif yang berasal dari data publikasi instansi pemerintah pusat dan daerah. Metode pengumpulan data primer melalui kuesioner yang dikirimkan kepada 33 pemerintah provinsi sebagai responden dengan target tujuan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yaitu Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Terkumpul 13 pemerintah provinsi, yaitu sebanyak 8 pemerintah provinsi yang menyampaikan kembali baik melalui surat atau , sedangkan 5 daerah merupakan pemerintah kab/kota yang dianggap dapat merepresentasikan provinsi-nya yaitu Sorong (Papua Barat), Kab. Blitar (Jawa Timur), Kab. Gowa (Sulsel), Kab. Tegal (Jateng), dan Cirebon (Jabar). Kuesioner disampaikan kepada lima pemerintah kab/kota melalui ruang layanan DJPK lantai 3 Gedung Radius Prawiro. v 6 P a g e

7 Pembahasan daya saing dalam kajian ini meliputi dua tahapan yaitu tahapan pengukuran indeks daya saing dan analisa. Pengukuran indeks daya saing terdiri dari dua tahap, yaitu (1) penghitungan bobot yang berasal dari data persepsi dari pemerintah daerah terhadap inisiatif strategi penguatan daya saing daerah; dan (2) standardisasi data dan indeks. Indeks daya saing merupakan indeks komposit dari indeks faktor input (indeks input) dan indeks faktor output (indeks output). Analisa dilakukan terhadap hasil pengukuran daya saing, yang terdiri dari analisa deskriptif, analisa faktor dominan yang membentuk daya saing daerah, analisa klaster profil daerah, dan yang terakhir adalah analisa terhadap faktor penguat daya saing daerah (dalam hal ini belanja fungsi dalam APBD) menggunakan statistik non parameter DEA (Data Envelopment Analysis). Rekomendasi 1. Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah dan Tatakelola Keuangan Daerah yang Mendorong Daya Saing Daerah. Pemerintah pusat melanjutkan kebijakan transfer ke daerah yang mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan alokasi Transfer ke Daerah yang terus meningkat, namun harus dibarengi dengan penyempurnaan manajemen keuangan daerah oleh pemerintah daerah, baik dari sisi pendapatan maupun belanja daerah. Pendapatan daerah menuju kemandirian fiskal daerah, sedangkan belanja daerah fokus pada quality of spending. 2. Prioritas Sasaran Strategis dalam Mencapai Kinerja Daya Saing. Prioritas ditentukan secara konsisten guna memperbaiki Faktor input pembentuk daya saing kinerja yang masih rendah, namun perlu pengertian dan cakupan yang jelas dari masing-masing belanja menurut fungsi, sehingga dapat menghubungkan belanja tersebut secara langsung dengan sasaran strategis pencapaian daya saing-nya. 3. Peningkatan Kinerja Faktor Output Pembentuk Daya Saing. Perlu upaya untuk memacu peningkatan kinerja Faktor Output pembentuk daya saing. Hal ini dikarenakan banyak daerah yang masih memiliki kinerja relatif rendah pada faktor tersebut, dialami oleh 9 pemerintah provinsi dari 13 pemerintah provinsi yang menjadi sampel. 4. Fokus pada Sasaran Strategis Pencapaian Daya Saing. Daerah yang memiliki Indeks Input dan Indeks Output di bawah rata-rata perlu fokus menitiberatkan perhatiannya pada sasaran strategis pencapaian daya saing. vi 7 P a g e

8 5. Kinerja Mendorong Aktivitas Perekonomian Daerah dan Meningkatkan Kualitas SDM agar Lebih Ditingkatkan. Pemerintah daerah mengupayakan agar kinerja dalam rangka mendorong aktivitas perekonomian daerah dan meningkatkan kualitas SDM lebih ditingkatkan lagi, karena Indeks PAD terhadap PDRB, Indeks Kapasitas Fiskal terhadap PDRB, dan Indeks Rasio Guru terhadap Murid merupakan indeks rendah yang banyak terjadi di pemerintah provinsi yang menjadi sampel. 6. Sinergi Antara Penganggaran dan Capaian Strategi dan Kinerja. Hendaknya menyelaraskan porsi belanja fungsi dalam APBD dengan sasaran strategis daya saing guna mendukung kinerja-nya. Terutama untuk area kinerja yang masih rendah. 7. Harmonisasi Peraturan dan Kebijakan antara Pusat dan Daerah serta Antardaerah. Peraturan atau kebijakan hendaknya disinkronisasi sehingga tidak menghambat investasi yang akan masuk ke daerah. 8. Penyediaan Lahan untuk Industri Terpadu Penyediaan lahan bertujuan untuk memberikan insentif kemudahan bagi investor yang akan menanamkan modal nya di suatu daerah dengan didukung oleh proses perijinan yang mudah. Berdasarkan kuesioner yang disampaikan, diketahui bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) telah diterapkan di 13 provinsi yang menjadi sampel. vii 8 P a g e

9 Kata Pengantar S ehubungan dengan peran penting pemerintah daerah untuk mengarahkan pembangunan yang sinergis antara pemerintah daerah dengan sektor swasta, maka perlu dilakukan upaya yang terpadu dalam mendukung kemandirian daerah. Kemandirian daerah antara lain dapat dicapai melalui peningkatan daya saing, dimana daya saing tidak hanya berorientasi pada indikator perekonomian saja, melainkan lebih luas artinya meliputi seluruh upaya mengelola sumber daya yang dimiliki. Tantangan ke depan yang akan dihadapi semakin berat, yaitu adanya globalisasi ekonomi yang ditandai dengan perdagangan dan industri yang berlaku tanpa batas (borderless). Kemampuan bersaing (daya saing) menjadi ujung tombak agar sektor-sektor ekonomi dapat tetap tumbuh dan berkembang dan memberikan kesejahteraan masyarakat. Keunggulan, inovasi, dan antisipasi merupakan tiga kunci pokok dalam menghadapi globalisasi. Keunggulan berhubungan dengan kualitas yang dimiliki, inovasi merupakan perubahan strategis yang dilakukan, serta antisipasi adalah bagaimana mengantar pelayanan sesuai timing-nya. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki diskresi yang besar dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah. Pemerintah daerah mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya berdasarkan prioritas yang ditentukan. Menghadapi persaingan ke depan, pemerintah daerah dapat mengambil langkah inisiatif dengan mengarahkan sumber daya dalam upaya untuk meningkatkan daya saing. Langkah awal yang diperlukan adalah bagaimana melakukan pemetaan kemampuan daerah yang dimiliki (faktor input) dan tujuan apa yang hendak dicapai (faktor output). Selanjutnya, penentuan prioritas menjadi langkah berikutnya mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Memperhatikan betapa pentingnya daya saing, maka daya saing tersebut menjadi tiga prioritas penting dari sembilan visi, misi, dan program aksi Presiden Joko Widodo yang dikenal dengan sebutan Nawacita. Tiga prioritas yang terkait dengan daya saing adalah (1) meningkatkan kualitas hidup manusia; (2) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; dan (3) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. viii 9 P a g e

10 Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam kajian ini, terutama kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota yang telah menyampaikan isian kuesioner sehingga kajian ini bisa terlaksana. Kami berharap agar kajian ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak yang terkait dalam rangka kemajuan implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. 10 P a g e ix

11 Daftar Gambar Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Gambar 2.1 Komponen Penguat Ekonomi Domestik Gambar 3.1 Alur Proses Penghitungan Indeks Daya Saing Daerah Gambar 3.2 Hubungan Belanja Menurut Fungsi Layanan dengan Daya Saing Gambar 4.1 Hirarki Prioritas Input Gambar 4.2 Ukuran Dispersi Indeks Input, Indeks Output, dan Indeks Daya Saing Gambar 4.3 Histogram Indeks Gambar 4.4 Grafik Radar Indeks 13 Provinsi Gambar 4.5 Diagram Cartsesius Posisi Pemerintah Provinsi ditinjau dari Indeks Input dan Indeks Output-nya Gambar 4.6 Profil 13 Pemerintah Provinsi Sampel Gambar 4.7 Diagram Pareto Kinerja Input dan Output Rendah x P a g e

12 Daftar Tabel Tabel 2.1 Alokasi Dana Transfer ke Daerah (Milyar Rupiah) Tabel 2.2 Peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Index (GCI) Tabel 2.3 Peringkat Indonesia dalam The World Competitiveness Yearbook Tabel 3.1 Hirarki Faktor Input Tabel 3.2 Hirarki Faktor Output Tabel 3.3 Faktor Input Pembentuk Daya Saing Daerah Tabel 3.4 Faktor Output Pembentuk Daya Saing Daerah Tabel 4.1 Prioritas Sasaran Strategis Faktor Input Tabel 4.2 Prioritas Kinerja Faktor Input Tabel 4.3 Prioritas Sasaran Strategis Faktor Output Tabel 4.4 Indeks Input, Indeks Output, dan Indeks Daya Saing Tabel 4.5 Regresi Linear Indeks Daya Saing Tabel 4.6 Korelasi Pearson dari Indikator/ Variabel dalam Permodelan Indeks Daya Saing Tabel 4.7 Kontribusi Indikator/ Variabel dalam Permodelan Indeks Daya Saing Tabel 4.8 Indeks Daya Saing dan %Realisasi Belanja Fungsi terhadap Total Belanja Tabel 4.9 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sumatera Utara. 73 Tabel 4.10 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sumatera Utara Tabel 4.11 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bangka Belitung Tabel 4.12 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bangka Belitung Tabel 4.13 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bengkulu Tabel 4.14 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bengkulu 76 Tabel 4.15 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Timur Tabel 4.16 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Timur Tabel 4.17 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jambi Tabel 4.18 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jambi Tabel 4.19 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sulawesi Selatan xi P a g e

13 Tabel 4.20 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sulawesi Selatan Tabel 4.21 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sulawesi Barat 80 Tabel 4.22 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sulawesi Barat Tabel 4.23 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Barat Tabel 4.24 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Barat Tabel 4.25 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Tengah Tabel 4.26 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Tengah Tabel 4.27 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Banten Tabel 4.28 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Banten Tabel 4.29 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bali Tabel 4.30 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bali Tabel 4.31 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Papua Barat Tabel 4.32 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Papua Barat P a g e xii

14 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, perekonomian domestik tidak bisa berdiri sendiri melainkan dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi global. Pengalaman telah menunjukkan bahwa pada triwulan III tahun 2013, kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan sebagai imbas dari kondisi ekonomi global. Hal tersebut ditandai dengan menurunnya harga komoditas dan berbaliknya arus modal, yang selanjutnya mampu menekan ekonomi Indonesia dan mengakibatkan struktur ekonomi menjadi tidak stabil, sehingga menghambat penyesuaian. Kondisi tidak stabil terjadi akibat impor yang meningkat untuk memenuhi kapasitas industri domestik yang belum memadai terhadap permintaan domestik. Kondisi tersebut semakin berat karena investasi dan ekspor juga menurun. Meskipun telah digulirkan kebijakan fiskal dan moneter, namun karena daya topang ekonomi Indonesia tidak kuat maka dapat dikatakan bahwa kondisi ekonomi sangat rentan terhadap pengaruh eksternal. Berdasarkan hal tersebut, maka dibutuhkan daya saing ekonomi yang dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pengembangan sektor unggulan daerah yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu solusi 1. Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, peran Pemerintah Daerah menjadi penting dan strategis dalam mengupayakan agar daya saing ekonomi menjadi kuat. Pemberian diskresi yang besar kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan segala urusan yang telah menjadi kewenangannya beserta pendanaannya dari Pemerintah Pusat, hendaknya dapat diwujudkan dengan sungguh-sungguh oleh Pemerintah Daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimaksudkan adalah yang bersifat dinamis dan bertanggung jawab. Dinamis berarti didasarkan pada situasi, kondisi dan perkembangan pembangunan di daerah. Sementara itu, bertanggungjawab berarti bahwa pelaksanaan otonomi dan desentralisasi fiskal benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu memperlancar pembangunan di seluruh pelosok Tanah Air tanpa ada pertentangan antara kebijaksanaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dengan pelaksanaan operasional yang dilaksanakan oleh daerah sehingga pembangunan daerah merupakan rangkaian pembangunan nasional secara menyeluruh. 1 Pembangunan Koridor Ekonomi Indonesia, RKP 2013 Memperkuat Perekonomian Domestik bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat. 14 P a g e

15 Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah dalam rangka memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Di samping itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar daerah, dan keserasian hubungan antara daerah dengan Pemerintah Pusat. Desentralisasi fiskal dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada daerah sebagai konsekuensi logis otonomi daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkatan pemerintah. Dalam prakteknya, pelaksanaan desentralisasi dimaksudkan agar daerah dapat mengelola keuangannya sendiri secara efektif, efisien dan akuntabel guna membiayai kegiatan tugas-tugas pemerintahan memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya dan diharapkan mampu memainkan peranannya dalam membuka peluang memajukan Daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumbersumber pendapatannya guna pembiayaan pembangunan daerah. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan sejalan dengan prinsip-prinsip kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dimana kepada daerah diberikan kewenangan yang luas dalam mengatur dan mengurus daerahnya masingmasing. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang semakin dinamis maka diperlukan upaya pembinaan, pengembangan dan inovasi secara lebih terarah dan terpadu sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemajuan pembangunan daerah. Proses menuju kemandirian suatu daerah dalam era globalisasi saat ini tidaklah terlepas dari perlu adanya daya saing dalam membentuknya. Daya saing tidaklah hanya berorientasi pada indikator ekonomi saja, tetapi lebih pada kemampuan daerah untuk menghadapi tantangan dan persaingan global untuk peningkatan kesejahteraan hidup rakyat yang nyata dan berkelanjutan serta secara politis, sosial dan budaya dapat diterima oleh seluruh masyarakat. 15 P a g e

16 1.2. Perumusan Masalah Secara konsep, daya saing menunjukkan kemampuan suatu daerah dibandingkan dengan daerah lain dalam menetapkan strategi yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya 2. Daerah harus mencari dan mengenal potensi yang akan dikembangkan dan dapat berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat setempat. Apalagi dengan semakin terbukanya pasar bebas yang memungkinkan produk impor masuk ke daerah, tentunya usaha yang dilakukan daerah harus lebih nyata dan terukur. Ukuran keberhasilannya adalah meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dari waktu ke waktu, pengentasan kemiskinan, terbukanya lapangan kerja seluas-luasnya dan indikator kesejahteraan lainnya. Setiap daerah dituntut untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif yang dapat menciptakan ide-ide baru, perbaikan-perbaikan yang dapat mendorong tumbuhnya usaha baru, industri baru, lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran dalam studi tentang daya saing daerah tahun 2001 mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Sementara itu The European Commission mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan pasar internasional, diiringi dengan kemampuan mempertahankan pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, lebih umumnya adalah kemampuan (regions) untuk menciptakan pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif tinggi sementara terekspos pada daya saing eksternal. Dari konsep dan definisi mengenai daya saing di atas, terdapat kesamaan pandangan bahwa pada dasarnya daya saing daerah dihasilkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor input, output dan outcome yang ada di daerah masing-masing, dengan faktor input sebagai faktor utama pembentuk daya saing daerah yaitu kemampuan daerah, yang selanjutnya akan menentukan kinerja output yang merupakan inti dari kinerja perekonomian. Inti dari kinerja perekonomian adalah upaya meningkatkan daya saing dari suatu perekonomian yaitu meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat yang berada di dalam perekonomian tersebut. Ukuran kesejahteraan memiliki makna yang sangat luas, indikatornya dapat berupa produktivitas tenaga kerja, PDRB per kapita atau tingkat kesempatan kerja. 2 Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah untuk Mendukung Penguatan Ekonomi Domestik, RKP 2013, Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah P a g e

17 Peran daerah untuk meningkatkan daya saingnya sangat tergantung kepada kemampuan daerah untuk melakukan identifikasi faktor pembentuk dan penentu daya saing daerah. Dengan kemampuan daerah yang cermat dalam melakukan identifikasi faktor-faktor pembentuk dan penentu daya saing maka daerah dapat menyusun strategi menetapkan kebijakan-kebijakan apa yang harus ditempuh agar daya saing daerahnya dapat terus meningkat. Dengan demikian, menurut kami perlu dilakukan kajian untuk menentukan faktorfaktor yang merepresentasikan pembentuk daya saing daerah berdasarkan kemampuan ekonomi dan keuangan daerah serta persepsi daerah dalam menetapkan prioritas kebijakan penguatan daya saing daerahnya dengan sasaran akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan ditetapkannya faktor pembentuk daya saing daerah selanjutnya dapat disusun suatu indeks yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur daya saing daerah. Di samping itu, perlu untuk menentukan faktor-faktor penentu yang menguatkan daya saing daerah sehingga daerah dapat menetapkan kebijakan-kebijakan penting yang dapat menguatkan daya saingnya. Oleh karena itu dalam kajian ini dapat dirumuskan beberapa pertanyaan antara lain: a. Faktor-Faktor apa saja yang menjadi pembentuk daya saing daerah (input dan output) dan persepsi pemerintah daerah terhadap prioritas strategi penguatan daya saing? b. Bagaimana indeks daya saing daerah di Indonesia berdasarkan faktor-faktor terpilih pembentuk daya saing daerah? c. Faktor-Faktor apa saja yang dominan mempengaruhi daya saing daerah? d. Bagaimana peran belanja fungsi APBD sebagai faktor penguat daya saing? Pertanyaan kajian ini sangat penting dalam kaitannya untuk memudahkan menjawab dan menganalisis permasalahan sehingga apa yang menjadi tujuan kajian akan tercapai secara tepat Tujuan Penulisan Dengan adanya perumusan masalah, diharapkan adanya suatu kejelasan yang dijadikan tujuan dalam kajian ini. Adapun tujuan kajian ini adalah: a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang membentuk daya saing daerah dan persepsi pemerintah daerah terhadap strategi penguatan daya saing. b. Untuk mengetahui indeks daya saing daerah yang diukur dari faktor-faktor terpilih pembentuk daya saing daerah. c. Untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi daya saing daerah. 17 P a g e

18 d. Untuk mengetahui peran belanja fungsi APBD sebagai faktor penguat daya saing Manfaat Penulisan Dalam kajian ini diharapkan adanya manfaat antara lain: 1. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang membentuk dan faktor-faktor dominan yang menguatkan daya saing daerah. 2. Memberikan masukan kepada pemerintah pusat dalam rangka mengevaluasi kebijakan desentralisasi fiskal. 3. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam rangka mengevaluasi kebijakan keuangan daerah Kerangka Pemikiran Kemampuan daerah untuk meningkatkan daya saing daerah akan sangat tergantung pada kemampuan daerah dalam mengidentifikasi faktor-faktor pembentuk dan penentu yang menguatkan daya saing daerahnya. Kendala umum yang dihadapi pemerintah daerah dalam upaya membentuk daya saing daerah adalah ketidakmampuan dalam memetakan secara cermat dan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki daerah. Beberapa penelitian telah dilakukan baik oleh lembaga nasional maupun internasional untuk mengkaji faktor-faktor pembentuk daya saing negara atau daerah, di antaranya Bank Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran menyusun profil dan pemetaan daya saing ekonomi daerah kabupaten/kota di Indonesia, European Commission menyusun Regional Competitiveness Index, Institute for Management Development (IMD) setiap tahunnya menerbitkan The World Competitiveness Yearbook yang didasarkan pada 4 faktor utama dan World Economic Forum menyusun peringkat daya saing negara-negara di dunia dalam Global Competitiveness Index berdasarkan 12 (dua belas) pilar penting. Dalam kajian ini, kami mencoba untuk menentukan faktor-faktor pembentuk daya saing daerah berdasarkan literature review dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dan beberapa referensi buku-buku dan jurnal. Kemudian menyusun indeks daya saing daerah khususnya untuk pemerintah provinsi di Indonesia dan menentukan faktor-faktor dominan yang menguatkan daya saing daerah. Dengan demikian secara umum kajian atas kebijakan penguatan daya saing daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan sesuai bagan alur berikut ini: 18 P a g e

19 Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Literatur Review: - Penelitian terdahulu - Buku dan jurnal Pemilihan indikator input dan output pembentuk daya saing daerah Pemilihan faktor penentu daya saing daerah Analisa AHP Penyusunan Angka Indeks Indeks Daya Saing Daerah (Provinsi) Menentukan Faktor Dominan yang Mempengaruhi Daya Saing Daerah Data Envelopment Analysis atas Faktor Penguat Daya 19 P a g e

20 1.6. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan kajian atas kebijakan penguatan daya saing daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat terdiri atas: 1. Pendahuluan Pendahuluan meliputi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran dan sistematika penulisan. 2. Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka merupakan landasan teoritis mengenai kebijakan desentralisasi fiskal, penguatan ekonomi domestik, konsep dan pembentuk daya saing daerah serta faktorfaktor dominan yang menguatkan daya saing daerah. 3. Metodologi Penelitian Metode Penelitian secara garis besar berisi tentang identifikasi, klasifikasi dan definisi operasional variabel serta sumber dan metode pengumpulan data. 4. Pembahasan Pada bab ini akan dijelaskan tentang bagaimana mengukur indeks daya saing daerah berdasarkan faktor-faktor pembentuk daya saing daerah dan menganalisa faktor dominan yang menguatkan daya saing daerah. 5. Kesimpulan dan Rekomendasi Pada bab ini terdiri dari kesimpulan-kesimpulan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian dan saran-saran yang direkomendasikan bagi pihak yang berkepentingan. 20 P a g e

21 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Indonesia memasuki era baru desentralisasi seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Konsekuensi logis dari lahirnya kedua Undang-Undang tersebut adalah daerah diberikan kewenangan/urusan yang luas untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah dalam rangka memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Tentunya pelimpahan wewenang/urusan ini membawa dampak dibutuhkannya pendanaan yang cukup besar untuk membiayai pelaksanaan urusan tersebut. Sejalan dengan pembagian kewenangan/urusan, maka pengaturan pendanaan daerah dilakukan berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah. Sedangkan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah. Di sisi fiskal, UU No. 33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. 21 P a g e

22 Perubahan kebijakan desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah. Desentralisasi fiskal adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Melalui mekanisme hubungan keuangan yang lebih baik diharapkan akan tercipta kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih baik. Sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah. Dengan desain desentralisasi fiskal ini maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Penerimaan negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah Pusat, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, dukungan pendanaan pemerintah pusat berupa dana transfer ke daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal semakin meningkat sebagaimana digambarkan pada tabel di bawah ini: Tabel 2.1 Alokasi Dana Transfer ke Daerah (Milyar Rupiah) No Jenis Transfer TRANSFER KE DAERAH , , , , , ,4 1 Transfer Dana Perimbangan , , , , , ,5 a. Dana Bagi Hasil , , , , , ,1 b. Dana Alokasi Umum , , , , , ,3 c. Dana Alokasi Khusus , , , , , ,1 2 Transfer Dana Otsus dan Penyesuaian , , , , , ,5 a. Dana Otonomi Khusus 9.526, , , , , ,6 b. Dana Penyesuaian , , , , , ,9 3 Transfer Dana Keistimewaan D.I Yogyakarta,0,0,0,0,0 231,4 Sumber: Laporan Keuangan Transfer ke Daerah (Audited) 22 P a g e

23 2.2. Penguatan Ekonomi Domestik Kondisi perekonomian Indonesia sepanjang tahun dalam tekanan yang cukup berat. Kinerja perekonomian nasional terlihat tidak cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi yang terus mengalami penurunan. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,35%, kemudian pada tahun 2012 turun menjadi 6,28%, sedangkan pada tahun 2013 pertumbuhannya mencapai 5,90%. Di tengah kondisi perekonomian nasional yang masih tidak menentu, penguatan ekonomi domestik menjadi syarat mutlak agar Indonesia dapat tetap menjaga pertumbuhan yang berkualitas. Sinergi antara pusat dan daerah untuk menciptakan momentum pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas pertumbuhan merupakan aspek prioritas yang perlu kita lakukan bersama-sama. Keberhasilan pembangunan nasional merupakan agregasi dari keberhasilan pembangunan daerah. Oleh karena itu, penguatan ekonomi nasional adalah hasil akumulasi dari penguatan ekonomi di daerah. Dengan demikian, komunikasi, koordinasi dan sinergi kebijakan antara pusat dan daerah harus terus dipertahankan untuk menjaga momentum pembangunan. Konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah akan tercapai jika dijembatani oleh sinergi pusat-daerah oleh berbagai pemangku kepentingan. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah memiliki tugas dan fungsi yang penting untuk mengkoordinasikan kebijakan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya dan menjaga konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah. Kebijakan pemerintah dalam rangka penguatan ekonomi domestik yang pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2013 difokuskan pada empat aspek, yang merupakan komponen penting untuk mendukung penguatan ekonomi domestik seperti yang tercantum dalam gambar berikut: 23 P a g e

24 Gambar 2.1 Komponen Penguat Ekonomi Domestik Peningka tan Daya Saing Peningkatan dan Perluasan Kesejahtera an Masyarakat Penguatan Ekonomi Domestik Peningkat an Daya Tahan Ekonomi Pemantapan Stabilitas Politik Sumber : Rencana Kerja Pemerintah Peningkatan Daya Saing Daya saing dapat dinilai dengan berbagai macam pendekatan dan indikator yang pada prinsipnya menunjukkan kemampuan yang lebih unggul secara kuantitas ataupun kualitas pada skala nasional antar daerah ataupun pada skala internasional antar negara. Daya saing daerah didefinisikan sebagai kemampuan daerah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan, sehingga mampu untuk bersaing di tingkat domestik dan internasional. Dengan demikian, daya saing merupakan akumulasi dari berbagai faktor yang dimulai dari penyusunan kebijakan, sampai dengan implementasi berupa kelembagaan dan tata kelola dan berupa pembangunan infrastruktur. Muara dari implementasi kebijakan-kebijakan tersebut adalah tercapainya produktivitas suatu negara/daerah sehingga akan meningkatkan kesejahteraan rakyat pada skala perekonomian nasional/daerah. Semakin kompetitif daya saing sebuah sistem perekonomian, maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat. 24 P a g e

25 2.2.2 Peningkatan Daya Tahan Ekonomi Peningkatan daya tahan ekonomi untuk penguatan ekonomi domestik dapat ditempuh melalui beberapa langkah diantaranya: a. Peningkatan ketahanan pangan Peningkatan ketahanan pangan harus terus didorong untuk mampu menggerakkan perekonomian daerah. Ketahanan Pangan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional karena dapat menjaga stabilitas ekonomi nasional dan juga mempengaruhi pembangunan sektor lain. Pada dasarnya ketahanan pangan mencakup 4 aspek utama yang terdiri atas: (1) aspek ketersediaan pangan; (2) aspek aksesibilitas pangan, distribusi dan stabilisasi harga pangan yang terjangkau; (3) aspek konsumsi pangan yang memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan; serta (4) aspek penanggulangan masalah pangan. Aspek ketersediaan pangan berfungsi untuk menjamin ketersediaan pangan guna memenuhi kebutuhan seluruh penduduk dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Ketersediaan pangan tersebut terdiri atas produksi dalam negeri, cadangan dan impor. Untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan, maka produksi dalam negeri harus menjadi sumber utama untuk ketersediaan pangan tersebut. Aspek aksesibilitas pangan berfungsi untuk menjamin seluruh level masyarakat dapat menjangkau sumber pangan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya. Distribusi, stabilitas harga dan pasokan merupakan indikator penting untuk menunjukkan kinerja aspek akesibilitas pangan. Distribusi pangan dilakukan untuk memenuhi pemerataan ketersediaan pangan keseluruh wilayah secara berkelanjutan. Stabilisasi harga pangan diselenggarakan dengan tujuan untuk menyejahterakan petani dan nelayan, menghindari terjadinya gejolak harga pangan, menghadapi keadaan darurat karena bencana atau paceklik, mencapai swasembada pangan, memperhatikan daya beli masyarakat. Harga yang terlalu berfluktuasi dapat merugikan petani, produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen sehingga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. Aspek konsumsi pangan dan gizi berfungsi untuk mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan. Indikator aspek konsumsi, dapat tercermin dalam pola konsumsi masyarakat di tingkat rumah tangga. 25 P a g e

26 Aspek penanggulangan masalah pangan berfungsi menjaga goncangan pangan akibat ketidakmampuan memenuhi pangan karena kondisi ekonomi, bencana dan lonjakan harga, yang disalurkan dalam bentuk bantuan beras miskin bagi keluarga miskin dan penyaluran cadangan beras pemerintah terutama dalam mengantisipasi terjadinya bencana melalui bantuan pangan. Masyarakat dan pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam membangun ketahanan pangan dimulai dari proses produksi, distribusi, pengolahan pangan dan pemasaran. Sementara peran pemerintah juga sangat penting dalam menjaga insentif untuk tetap menjaga ketahanan pangan melalui regulasi, penciptaan iklim investasi dan pembangunan fasilitas/prasarana publik, serta penyediaan sarana tekonologi dari penyuluhan. b. Peningkatan rasio elektrifikasi dan konversi energi Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah. Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik Pemantapan Stabilitas Politik Stabilitas politik dalam sebuah negara/sistem demokrasi ditentukan oleh sejumlah faktor penting. Pembangunan politik mensyaratkan kesuksesan penyelenggaraan pemilu dalam menghasilkan pemimpin politik yang mampu mendorong kebijakan yang efektif dan bermanfaat untuk rakyat. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berkepentingan pada penyelenggaraan pemilu yang kredibel, yakni pemilu yang adil, jujur dan tunduk pada prinsipprinsip umum sebuah pemilu demokratis sehingga memberikan kontribusi nyata pada stabilitas politik. Hal ini dengan mengingat, bahwa stabilitas politik adalah prasyarat mutlak bagi penguatan, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. 26 P a g e

27 2.2.4 Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Masyarakat Peningkatan dan perluasan kesejahteraan masyarakat dapat ditempuh melalui beberapa langkah, diantaranya: a. Peningkatan pembangunan Sumber Daya Manusia Pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan pembangunan ekonomi. Penegasan bahwa pendidikan dapat memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi berdasarkan asumsi pendidikan akan menciptakan tenaga kerja produktif dengan kompetensi, keahlian, pengetahuan dan keterampilan tinggi. Tenaga kerja terdidik dengan kualitas tinggi merupakan faktor determinan bagi peningkatan kapasitas produksi, yang memberi stimulasi pada pertumbuhan ekonomi. Nilai ekonomi pendidikan terletak pada sumbangannya dalam memasok tenaga kerja terampil, profesional berpengetahuan dan tenaga ahli dengan kemahiran khusus sehingga menjadi lebih produktif. b. Percepatan pengurangan kemiskinan Upaya percepatan pengurangan kemiskinan yang dilakukan melalui strategi dan kebijakan makro dan strategi dan kebijakan klaster diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan produktivitas masyarakat miskin. Secara ekonomis, peningkatan kapasitas dan produktivitas masyarakat ini diharapkan dapat meningkatkan penguatan ekonomi domestik di daerah Daya Saing Daerah Pengertian dan Konsep Desentralisasi yang dilaksanakan di Indonesia merupakan upaya untuk meningkatkan geliat pertumbuhan ekonomi di daerah. Kondisi ini membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kemakmuran masyarakatnya melalui inovasi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta menciptakan tata kelola ekonomi ke arah yang lebih kompetitif dan berdaya saing tinggi. Pembentukan daya saing tentu tidak hanya mencakup upaya untuk memperkuat sinergi berbagai sektor pembangunan daerah, tetapi juga mencakup penyempurnaan secara struktural dalam sistem pembangunan daerah agar pembangunan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara lebih efektif dan efisien. Daya saing daerah menurut Bank Indonesia didefinisikan sebagai kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan 27 P a g e

28 dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Konsep dan definisi daya saing daerah yang dikembangkan dalam penelitian tersebut didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu: perkembangan perekonomian daerah ditinjau dari aspek ekonomi regional dan perkembangan konsep dan definisi daya saing daerah dari penelitian-penelitian terdahulu. World Economic Forum (WEF) mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Institute for Management Development (IMD) mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity, serta model ekonomi dan sosial. European Commission mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan pasar internasional, diiringi dengan kemampuan mempertahankan pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, lebih umumnya adalah kemampuan (regions) untuk menciptakan pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif tinggi sementara terekspos pada daya saing eksternal. Konsep daya saing umumnya dikaitkan dengan konsep comparative advantage, yakni dimilikinya unsur-unsur penunjang proses produksi yang memungkinkan satu negara menarik investor untuk melakukan investasi ke negaranya, tidak ke negara yang lain. Konotasi advantage di sini adalah situasi yang memungkinkan pemodal menuai keuntungan semaksimal mungkin. Misalnya dengan menyediakan lahan murah, upah buruh murah, dan suplai bahan mentah produksi yang terjamin kontinyuitasnya dengan harga yang lebih murah daripada harga yang ditawarkan oleh negara lain. Artinya, kekuatan modal dan keunggulan teknologi menjadi kunci penentu peningkatan daya saing (penjualan produk) satu negara. Martin dan Tyler (2003) menyebutkan argumen mengapa daerah maupun negara saling berkompetisi: - untuk investasi, melalui kemampuan daerah untuk menarik masuknya modal asing, swasta dan modal publik; - untuk tenaga kerja, dengan kemampuan untuk menarik masuknya tenaga kerja yang terampil, enterpreneur dan tenaga kerja yang kreatif, dengan cara menyediakan lingkungan yang kondusif dan pasar tenaga kerja domestik; - untuk teknologi, melalui kemampuan daerah untuk menarik aktivitas inovasi dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. 28 P a g e

29 Dari konsep dan definisi mengenai daya saing di atas, dapat dimaknai bahwa daya saing daerah dihasilkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor input, output dan outcome yang ada di daerah masing-masing, dengan faktor input sebagai faktor utama pembentuk daya saing daerah yaitu kemampuan daerah, yang selanjutnya akan menentukan kinerja output yang merupakan inti dari kinerja perekonomian. Inti dari kinerja perekonomian adalah upaya meningkatkan daya saing dari suatu perekonomian yaitu meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat yang berada di dalam perekonomian tersebut. Ukuran kesejahteraan memiliki makna yang sangat luas, indikatornya dapat berupa produktivitas tenaga kerja, PDRB per kapita atau tingkat kesempatan kerja Faktor Pembentuk Daya Saing Daerah Bank Indonesia dan Universitas Padjajaran dalam penelitiannya menetapkan faktorfaktor pembentuk daya saing daerah yaitu: 1. Perekonomian daerah 2. Keterbukaan 3. Sistem Keuangan 4. Infrastruktur dan Sumber Daya Alam 5. Ilmu pengetahuan dan teknologi 6. Sumber Daya Manusia 7. Institusi, tata pemerintahan dan kebijakan pemerintah 8. Manajemen ekonomi mikro. Sedangkan WEF menyebutkan ada beberapa faktor penting yang membentuk daya saing nasional antara lain: (1) institusi; (2) Infrastruktur; (3) Kondisi Makroekonomi; (4) Pendidikan dasar dan kesehatan; (5) Pendidikan tinggi dan pelatihan; (6) Efisiensi pasar barang; (7) Efisiensi pasar tenaga kerja; (8) Pembangunan pasar keuangan; (9) Ketersediaan teknologi; (10) Luas pasar; (11) Kemudahan berusaha; (12) Inovasi. Sementara itu, Institute for Management Development menilai kemampuan daya saing negara didasarkan pada 4 faktor utama, yaitu: (1) Kinerja perekonomian, terdiri dari 83 kriteria yang mencakup ekonomi domestik, perdagangan internasional, investasi internasional, tenaga kerja dan harga.; (2) Efisiensi pemerintah, terdiri dari 70 kriteria yang mencakup keuangan publik, kebijakan fiskal, kerangka kerja institusional, peraturan perundangan dunia usaha dan kerangka kerja masyarakat. ; (3) Efisiensi dunia usaha, terdiri dari 71 kriteria yang mencakup produktivitas dan efisiensi, pasar tenaga kerja, keuangan, praktek manajemen, perilaku dan 29 P a g e

30 nilai-nilai. ; dan (4) Infrastruktur, terdiri dari 114 kriteria yang mencakup infrastruktur dasar, infrastruktur teknologi, infrastruktur ilmu pengetahuan, kesehatan, lingkungan dan pendidikan. Dan European Commission memberikan penilaian daya saing daerah yang dirangkum dalam Regional Competitiveness Index (RCI) didasarkan pada 11 pilar, yaitu: (1) Institusi; (2) Stabilitas makroekonomi; (3) Infrastruktur; (4) Kesehatan; (5) Pendidikan dasar; (6) Pendidikan tinggi dan pendidikan seumur hidup; (7) Efisiensi pasar tenaga kerja; (8) Luas pasar; (9) Ketersediaan teknologi; (10) Kemudahan usaha; dan (11) Inovasi Faktor Penguat Daya Saing Daerah Tingginya daya saing daerah di Indonesia secara keseluruhan menjadi ujung tombak daya saing nasional, yang akan menjadi faktor terpenting untuk Indonesia dalam bersaing di tingkat global. Berdasarkan penilaian World Economic Forum (WEF), selama periode , peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Index (GCI) terus mengalami peningkatan, meskipun posisi Indonesia masih berada di bawah posisi negara tetangga, sebagaimana digambarkan pada tabel di bawah ini: Tabel 2.2 Peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Index (GCI) Peringkat Dunia No Negara 2012 (144 negara) 2013 (148 negara) 2014 (144 negara) 1 Singapura Malaysia Brunei Darussalam Tidak dilakukan peniliaian 4 Thailand Indonesia Vietnam Menurut World Economic Index, terpuruknya daya saing disebabkan oleh beberapa faktor penting yang menonjol di antaranya: a. Tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro. b. Buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan. 30 P a g e

31 c. Lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas. d. Rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasional perusahaan. e. Lemahnya iklim persaingan usaha. Sementera itu, Institute for Management Development (IMD) juga menempatkan Indonesia jauh di bawah Singapura dan Malaysia dalam The World Competitiveness Yearbook yang diterbitkannya, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.3 Peringkat Indonesia dalam The World Competitiveness Yearbook Peringkat Dunia No Negara 2012 (59 negara) 2013 (60 negara) 2014 (60 negara) 1 Singapura Malaysia Indonesia Menurut catatan Institute for Management Development (IMD) bahwa rendahnya kondisi daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: a. Buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan dan stabilitas harga. b. Buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya kordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih dan kompleksitas struktur sosialnya. c. Lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggungjawab yang tercermin dari tingkat produktivitas yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional. d. Keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan. Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2013, peningkatan daya saing daerah merupakan salah satu komponen penting di dalam penguatan ekonomi domestik. Peningkatan perekonomian domestik, baik oleh daerah dan nasional akan menjadi modal utama untuk 31 P a g e

32 menjaga momentum pembangunan dan melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi untuk menuju ke arah transformasi ekonomi menjadi negara maju dan berdaya saing. Oleh sebab itu, peran daerah untuk meningkatkan daya saing daerahnya akan sangat bergantung kepada kemampuan daerah untuk melakukan identifikasi faktor penentu daya saing dan strategi untuk meningkatkan daya saingnya Penelitian yang Telah Dilakukan Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh institusi baik nasional maupun internasional untuk mengetahui daya saing daerah atau negara, di antaranya: 1. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia bekerja sama dengan Laboratorium Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran (2007). Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran profil dan pemetaan daya saing ekonomi daerah kabupaten/kota di Indonesia pada tahun Potret profil daya saing daerah menunjukkan posisi relatif suatu daerah terhadap daerah lainnya dengan memperhatikan semua faktor-faktor pembentuk daya saing yang dimilikinya serta seberapa jauh daerah tersebut dapat merealisasikan potensi dari faktor-faktor tersebut. Sedangkan pemetaan daya saing daerah dibagi ke dalam tiga pemetaan utama, yaitu: 1. Pemetaan daya saing daerah secara keseluruhan, 2. Pemetaan daya saing daerah berdasarkan indikator input, dan 3. Pemetaan daya saing daerah berdasarkan output. Semua hasil pemetaan disajikan dalam bentuk persentile peringkat daya saing daerah. Hasil utama dari penelitian tersebut adalah peringkat daya saing daerah dan neraca daya saing daerah untuk setiap kabupaten/kota di Indonesia. Hasil pemetaan daya saing daerah secara keseluruhan menempatkan 5 peringkat teratas daya saing daerah, yaitu Kota Bontang (Kalimantan Timur), Kab. Mimika (Papua), Kab. Kutai Timur (Kalimantan Timur), Kota Kediri (Jawa Timur) dan Kab. Siak (Riau). 2. World Economic Forum (WEF) setiap tahunnya mempublikasikan Global Competitiveness Report yang menggambarkan secara menyeluruh kinerja ekonomi negara-negara di dunia. Selain itu WEF juga menyusun Global Competitiveness Index (GCI) sebagi tolok ukur kinerja makroekonomi dan mikroekonomi daya saing suatu negara. Global Competitiveness Index memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang 32 P a g e

33 faktor-faktor yang dianggap penting dalam mendorong produktivitas dan daya saing negara. Faktor-faktor tersebut tidak dapat berdiri sendiri membentuk daya saing negara tetapi memiliki keterkaitan dan memperkuat satu dengan yang lainnya. Kelemahan satu faktor akan berdampak negatif terhadap faktor lainnya. Misalnya kekuatan kemampuan berinovasi akan sulit dicapai tanpa adanya faktor kesehatan dan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang baik akan menyerap teknologi yang mutakhir. Meskipun faktor-faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang membentuk indeks daya saing negara, namun GCI tetap memberikan penilaian secara detail masing-masing faktor tersebut agar negara dapat mengetahui faktor mana yang masih perlu dikembangkan. 3. Institute for Management Development (IMD) setiap tahunnya juga menerbitkan The World Competitiveness Yearbook yang menyajikan hasil pemeringkatan dan analisa atas kemampuan negara dalam menciptakan dan menjaga kemampuan daya saingnya. Penyusunan ranking dimulai dengan penghitungan standar nilai untuk setiap masingmasing kriteria seluruh negara. dengan menggunakan data-data yang tersedia baik data kuantitatif maupun data kualitatif. Kemudian dibuat ranking negara berdasarkan agregasi kriteria yang terpilih. Kriteria yang tidak digunakan sebagai dasar penyusunan ranking, dijadikan sebagai informasi yang dapat menguatkan penilaian ranking. Pemeringkatan tidak hanya dibuat untuk peringkat negara, tetapi juga peringkat masing-masing kriteria. Misalnya, kriteria Produk Domestik Bruto, negara yang memiliki standar nilai tertinggi akan berada pada ranking pertama, sedangkan yang memiliki standar rendah berada pada ranking terbawah. 4. European Commission mempublikasikan European Competitiveness Index (2013) tentang pemeringkatan daya saing yang mengukur, membandingkan dan meneliti daya saing bukan saja hanya antar negara, tetapi juga antar daerah di negara-negara Uni Eropa. Pemeringkatan didasarkan pada sebelas pilar yang menggambarkan faktor input dan output dari daya saing teritorial yang diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok utama pembentuk daya saing, yaitu: (1) Dasar; (2) Efisiensi; dan (3) Inovasi. Indikator-indikator yang digunakan untuk menyusun RCI dipilih dari Eurostat yang bersumber dari World Economi Forum, OECD-PISA and Regpat, the European Cluster Observatory, the World Bank Ease and Doing Business Index and Governance Indicator. Terdapat 73 indikator dari 80 indikator yang terpilih dari hasil uji statistik dengan menggunakan analisis 33 P a g e

34 multivariat. Kemudian skor dihitung dari masing-masing pilar berdasarkan rata-rata sederhana dari z-score standar dan atau/ indikator yang ditransformasi. Sedangkan subindeks (3 kelompok utama, yaitu dasar, efisiensi dan invoasi) dihitung berdasarkan ratarata aritmatika dari skor pilarnya. Keseluruhan skor RCI dihitung dari agregasi tertimbang ketiga sub indeks tersebut berdasarkan pendekatan WEF-GCI. 34 P a g e

35 3. METODE PENELITIAN 3.1. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Variabel dalam kajian/penelitian ini dipetakan berdasarkan sasaran strategis yang ingin dicapai dalam membangun daya saing daerah. Selanjutnya diklasifikasikan dalam bentuk model logika input-output, yaitu faktor input dan faktor output pembentuk daya saing daerah. Dengan demikian, kedua faktor tersebut merupakan refleksi dari sasaran strategis yang ingin dicapai dalam membangun daya saing daerah, atau dikatakan sebagai indikator kinerja daya saing daerah. Indikator kinerja didefinisikan secara rinci dan dinyatakan dalam data kontinyu dan data diskrit yang ditransformasikan menjadi data kontinyu. Kumpulan beberapa indikator kinerja menurut masing-masing sasaran strategis kemudian dirumuskan dan disusun secara komposit dengan bobot tertentu yang diperoleh berdasarkan persepsi responden pemerintah daerah atas prioritas sasaran strategis. Hasil pengukuran daya saing daerah tersebut berupa indeks daya saing daerah sebagaimana disajikan pada gambar berikut ini. Gambar 3.1 Alur Proses Penghitungan Indeks Daya Saing Daerah Data Persepsi Bobot masing2 Variabel Data Primer Skala Likert Konversi dgn MSI Peng- Indeks an Kuesioner Data Primer Dummy variable Peng- Indeks an Pembobot an Data sekunder dr BPS Peng- Indeks an Indeks Komposit Daya Saing Lingkup kajian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan yang menguatkan daya saing daerah. Hubungan antara faktor dominan dengan indeks daya saing daerah akan menunjukkan seberapa besar pengaruh dari masing-masing faktor dominan terhadap besarnya 35 P a g e

36 daya saing daerah. Faktor dominan yang dipilih sebagai fokus analisa adalah faktor-faktor pembentuk input dan output yang terpilih secara statistika dalam suatu model indeks daya saing yang dapat menjelaskan hubungan faktor pembentuk input dan output dengan indeks daya saing yang memberikan kontribusi yang paling besar. Disamping itu dilakukan analisa terhadap faktor penguat daya saing, dalam hal ini dipilih sembilan belanja APBD menurut fungsi. Faktor tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa APBD atau Budget memiliki salah satu fungsi yaitu fungsi alokasi. Keselarasan antara perencanaan, dideskripsikan dengan bobot prioritas sasaran strategis dalam menghitung indeks daya saing daerah, dengan diskresi pemerintah daerah dalam mengarahkan sumber daya yang ada akan terlihat jelas. Gambar 3.2 Hubungan Belanja Menurut Fungsi Layanan dengan Daya Saing Input Benchmark Units -- Peers Belanja Fungsi A Belanja Fungsi A Belanja Fungsi B Belanja Fungsi C Target Input Belanja Fungsi B Belanja Fungsi C Belanja Fungsi D Belanja Fungsi D Output Indeks Daya Saing Target Output Indeks Daya Saing 36 P a g e

37 3.2. Definisi Operasional Variabel Variabel ditetapkan dengan mendekatkan pada sasaran strategis dalam membangun daya saing daerah. Indikator kinerja apa yang dapat merefleksikan sasaran strategis yang ingin dicapai. Secara konsep, kinerja ditentukan terlebih dahulu lalu kemudian memilih indikator yang sesuai. Pemilihan indikator memperhatikan ketersediaan data dan pertama-tama diarahkan pada data kuantitatif (data sekunder) yang ada. Apabila data sekunder tidak diperoleh maka menggunakan data kualitatif (data primer) dari responden melalui kuesioner yang disampaikan. Dengan demikian, variabel yang dimaksud dalam kajian atau penelitian ini adalah indikator kinerja yang mewakili sasaran strategis untuk membangun daya saing daerah yang menunjukan besarnya kemampuan suatu daerah dalam mencapainya. Memperhatikan heterogenitas variabel yang dipilih dan digunakan dalam mengukur daya saing daerah maka variabel tersebut terlebih dahulu harus di-indeks-kan dan kemudian digabung dengan imbangan (bobot) masing-masing sehingga menghasilkan indeks daya saing suatu daerah. Bobot disusun secara bertingkat atau gradual. Level pertama merupakan sasaran strategis, dan level kedua adalah kinerja-kinerja yang menggambarkan masing-masing sasaran strategis tersebut. Tingkatan tersebut disusun untuk memudahkan keputusan memilih prioritas dari rangkaian strategi yang ada berdasarkan kemampuan yang dimiliki (kinerja). Analisa yang demikian disebut Proses Analitis Hirarki (Analytical Hierachy Process) yang sering dikatakan AHP. Hirarki dari rangkaian sasaran strategis dan kinerja digambarkan dalam bagan berikut : 37 P a g e

38 Tabel 3.1 Hirarki Faktor Input INPUT Level I Sasaran Strategis : Mendorong aktivitas perekonomian daerah Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan ketenagakerjaan Level II Indikator Kinerja a. Mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah a. Meningkatkan pendidikan dan keterampilan penduduk dan b. Meningkatkan Kapasitas Fiskal Daerah b. tenaga Meningkatkan kerja derajat kesehatan penduduk dan tenaga kerja c. Meningkatkan investasi daerah c. Meningkatkan kualitas pendidikan serta kompetensi teknologi dan keterampilan. INPUT Menciptakan lingkungan usaha produktif yang dapat menarik minat dunia usaha untuk melakukan kegiatan Level I Sasaran Strategis : usaha (termasuk investasi) Level II Indikator Kinerja a. Penyederhanaan dan harmonisasi berbagai peraturan Penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu b. untuk mempercepat dan mempermudah proses c. perijinan Kemudahan dan dalam non perijinan. proses pembebasan dan perolehan lahan. Membangun konektivitas yang terintegrasi antara sistem transportasi, logistik serta komunikasi dan informasi dalam rangka membuka akses daerah seluas-luasnya a. Ketersediaan infrastruktur transportasi untuk memperlancar arus barang, jasa, manusia dan menjadi penghubung yang efisien antara sumber bahan baku, pusat produksi dan pasar. Ketersediaan listrik yang memadai dan menjadi insentif untuk b. membangun industri serta memperluas jangkauan pemasaran c. dan Kemudahan distribusi. dalam proses pembebasan dan perolehan lahan. d. Menciptakan keamanan yang terkendali. d. Ketersediaan sarana telekomunikasi untuk memudahkan arus informasi dengan lebih luas dan cepat INPUT Level I Sasaran Strategis Meningkatkan aktivitas Perbankan dan Lembaga Keuangan Level II Indikator Kinerja a. Meningkatkan jumlah kantor bank. b. Meningkatkan jumlah kantor non bank (perusahaan asuransi, perusahaan dana pensiun, koperasi, bursa efek/pasar modal, pegadaian dll). c. Mendekatkan jenis-jenis usaha perbankan dan lembaga keuangan dengan kebutuhan masyarakat. Tabel 3.1 menunjukan hirarki faktor input yaitu lima sasaran strategis berserta indikator kinerja yang mendukungnya. Sedangkan pada Tabel 3.2 berikut ini menunjukan output yang ingin dicapai beserta indikator capaiannya. Prioritas dari suatu daerah akan berbeda dengan daerah lain tergantung pada kemampuan yang dimilikinya. Pilihan sasaran strategis mana yang lebih prioritas dibanding yang lain didasarkan atas persepsi dari responden dari pemerintah daerah. Tabel 3.2 Hirarki Faktor Output OUTPUT Level I OUTPUT : Capaian Level II Indikator Daya Saing a. Meningkatkan produktivitas tenaga kerja b. Meningkatkan PDRB perkapita c. Menurunkan angka kemiskinan d. Memperluas kesempatan kerja Faktor Input Pembentuk Daya Saing Daerah 38 P a g e

39 Faktor input pembentuk daya saing daerah dalam kajian ini merupakan variabel yang merefleksikan kinerja input sesuai dengan sasaran strategisnya. Dalam pengukuran dan penghitungan indeks daya saing, terlebih dahulu ditentukan sifat (polarisasi) nya, apakah itu searah/positif atau berlawanan/ negatif. Variabel-variabel dimaksud meliputi : Tabel 3.3 Faktor Input Pembentuk Daya Saing Daerah No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat I N P U T 1 Mendorong aktivitas perekonomian daerah a. Mengoptimalkan PAD PAD/PDRB Searah b. Meningkatkan kapasitas fiskal daerah (PAD+DBH+DAU)/ PDRB Searah c. Meningkatkan Investasi daerah Investasi/PDRB Searah 2 Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan ketenagakerjaan a. Meningkatkan pendidikan dan keterampilan penduduk dan tenaga kerja Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK) Searah b. Meningkatkan derajat kesehatan penduduk dan tenaga kerja Angka Harapan Hidup, Angka Kematian Bayi (balita), persentase penggunaan air bersih, persentase penggunaan jamban AHH = searah; Angka Kematian = Inverse c. Meningkatkan kualitas pendidikan serta kompetensi Kualifikasi Guru (Jumlah Guru S1), Rasio Guru thd Murid Searah 39 P a g e

40 No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat I N P U T teknologi dan keterampilan 3 Menciptakan lingkungan usaha produktif yang dapat menarik minat dunia usaha untuk melakukan kegiatan usaha (termasuk investasi) a. Penyederhanaan dan harmonisasi berbagai peraturan Dummy Variable : apakah ada kelembagaan yang melakukan harmonisasi? Searah b. Penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu untuk mempercepat dan mempermudah proses perijinan dan non perijinan Dummy Variable : apakah ada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)? Searah c. Kemudahan dalam proses pembebasan dan perolehan lahan Dummy Variable : (1) apakah sudah disiapkan peraturan yang mendorong kemudahan dalam proses pembebasan lahan dan perolehan lahan?; atau (2) apakah sudah disiapkan lahan untuk kawasan industri terpadu? Searah 40 P a g e

41 No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat I N P U T d. Menciptakan keamanan yang terkendali Jumlah Kejahatan yang Dilaporkan (Crime Total) berdasarkan Statistik Kriminal oleh BPS dan Kepolisian Inverse 4 Membangun konektivitas yang terintegrasi antara sistem transportasi, logistik serta komunikasi dan informasi dalam rangka membuka akses daerah seluasluasnya a. Ketersediaan infrastruktur transportasi untuk memperlancar arus barang, jasa, manusia dan menjadi penghubung yang efisien antara sumber bahan baku, pusat produksi dan pasar Skala Likert (1-5) : 1 = Sangat kurang; 2 = kurang; 3 = agak kurang; 4 = cukup; 5 = Sangat cukup Searah b. Ketersediaan listrik yang memadai dan menjadi insentif untuk membangun industri serta memperluas jangkauan pemasaran dan distribusi. Skala Likert (1-5) : 1 = Sangat kurang; 2 = kurang; 3 = agak kurang; 4 = cukup; 5 = Sangat cukup Searah c. Ketersediaan sarana telekomunikasi untuk memudahkan arus informasi Skala Likert (1-5) : 1 = Sangat kurang; 2 = kurang; 3 = agak kurang; 4 = cukup; 5 = Sangat cukup Searah 41 P a g e

42 No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat I N P U T dengan lebih luas dan cepat 5 Meningkatkan aktivitas Perbankan dan Lembaga Keuangan a. Meningkatkan jumlah kantor bank (Apakah Jumlah kantor Bank sudah cukup tersedia untuk melancarkan fungsi intermediaries?) Skala Likert (1-5) : 1 = Sangat kurang; 2 = kurang; 3 = agak kurang; 4 = cukup; 5 = Sangat cukup Searah b. Meningkatkan jumlah kantor non bank (perusahaan asuransi, perusahaan dana pensiun, koperasi, pegadaian dll) : (Apakah Jumlah lembaga keuangan non Bank sudah cukup tersedia untuk melancarkan fungsi intermediaries?) Skala Likert (1-5) : 1 = Sangat kurang; 2 = kurang; 3 = agak kurang; 4 = cukup; 5 = Sangat cukup Searah c. Menambah jenis-jenis layanan perbankan dan lembaga keuangan. (Apakah jenis layanan Skala Likert (1-5) : 1 = Sangat tidak perlu; 2 = tidak perlu; 3 = netral; 4 = perlu; 5 = Sangat perlu Searah 42 P a g e

43 No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat I N P U T perbankan dan lembaga keuangan di daerah perlu ditambah?) Faktor Output Pembentuk Daya Saing Daerah Pengertian dari faktor output pembentuk daya saing daerah dalam kajian ini adalah variabel yang merefleksikan kinerja output. Sifat variabel dimaksud, sama halnya dengan faktor input, terlebih dahulu perlu ditentukan sifat (polarisasi) nya dalam pengukuran dan penghitungan indeks daya saing. Apakah itu searah/positif atau berlawanan/ negatif/inverse? Variabel output terdiri dari : Tabel 3.4 Faktor Output Pembentuk Daya Saing Daerah No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat O U T P U T 1 Meningkatkan produktivitas tenaga kerja Nilai tambah perekonomian dibanding jumlah angkatan kerja PDRB konstan/ jumlah angkatan kerja Searah 2 Meningkatkan PDRB perkapita PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dibanding PDRB ADHB/ Searah 43 P a g e

44 No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat jumlah penduduk jumlah penduduk 3 Menurunkan angka kemiskinan Persentase jumlah penduduk miskin Jumlah penduduk miskin/ jumlah penduduk Inverse 4 Memperluas kesempatan kerja Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) Jumlah penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja/ jumlah angkatan kerja Searah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jumlah pengangguran/ Jumlah angkatan kerja Inverse 44 P a g e

45 Faktor Dominan yang Mempengaruhi Daya Saing Daerah Faktor dominan yang menguatkan daya saing daerah dalam kajian ini adalah faktor pembentuk input dan output yang terpilih berdasarkan analisa statistika dalam membangun model indeks daya saing. Faktor dominan tersebut dapat menjelaskan hubungan indeks daya saing dengan faktor pembentuknya dan memberikan kontribusi yang paling besar Peran Belanja Fungsi APBD sebagai Faktor Penguat Daya Saing Daerah Pemilihan belanja fungsi APBD sebagai faktor penguat daya saing daerah didasarkan atas beberapa catatan yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, yaitu catatan Institute for Management Development (IMD) bahwa rendahnya kondisi daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam hal antara lain : buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya kordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih dan kompleksitas struktur sosialnya. Demikian pula World Economic Index memberikan catatan bahwa terpuruknya daya saing perekonomian antara lain disebabkan oleh buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan. Analisa yang dilakukan untuk mengetahui peran belanja fungsi APBD menggunakan statistik non parameter, yaitu analisa DEA. Analisa ini menilai efisiensi belanja aktual (input) suatu daerah berdasarkan benchmarking unit atau peers sebagai acuan dalam penetapan target capaian Sumber dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan untuk kajian tersebut berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data kualitatif yang diperoleh melalui kuesioner dan disampaikan kepada responden via surat. Data sekunder merupakan data kuantitatif yang berasal dari data publikasi instansi pemerintah pusat dan daerah. Metode pengumpulan data primer yaitu dengan mengirimkan kuesioner kepada 33 pemerintah provinsi sebagai responden dengan target tujuan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yaitu Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Dari jumlah tersebut hanya terkumpul 13 pemerintah provinsi, yaitu sebanyak 8 pemerintah provinsi yang menyampaikan kembali baik melalui surat atau , sedangkan 5 daerah merupakan pemerintah kab/kota yang dianggap dapat merepresentasikan provinsi-nya yaitu Sorong 45 P a g e

46 (Papua Barat), Kab. Blitar (Jawa Timur), Kab. Gowa (Sulsel), Kab. Tegal (Jateng), dan Cirebon (Jabar). Kuesioner disampaikan kepada lima pemerintah kab/kota melalui ruang layanan DJPK lantai 3 Gedung Radius Prawiro. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari publikasi Badan Pusat Statistik ( DJPK Kementerian Keuangan (laporan realisasi APBD), dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Metode Penentuan Sampel Sampel kajian ini ditentukan secara acak (random sampling). Kuesioner kajian ini dikirimkan kepada pimpinan 33 Bappeda provinsi di seluruh Indonesia. Kemudian, Bappeda Provinsi yang mengirim kembali kuesioner, ditetapkan sebagai daerah sampel kajian ini. Namun, kelengkapan dan kewajaran data yang diisi oleh responden akan dinilai terlebih dahulu sebelum responden tersebut dijadikan daerah sampel. Selain dengan metode pengiriman kuesioner ke daerah melalui surat, metode random sampling juga dilakukan kantor tim penyusun kajian berada. Mengingat pejabat/staf dari beberapa SKPD daerah, termasuk Bappeda, melakukan kunjungan ke Jakarta untuk melakukan konsultasi. Beberapa Bappeda Provinsi/Kota/Kabupaten yang berkunjung (melalui pejabat/staf yang datang) akan dipilih secara acak untuk kemudian daerahnya dijadikan sebagai sampel. Pemilihan metode random sampling ini dilakukan mengingat adanya keterbatasan waktu dan biaya bagi penyusun kajian ini jika dibanding dengan meneliti seluruh populasi objek penelitian. Semula, dalam menyusun kajian ini direncanakan untuk melakukan kunjungan ke daerah sampel untuk pengumpulan data dan indepth interview mengenai daya saing daerah. Namun karena ada keterbatasan biaya, metode pengumpulan data dilakukan dengan cara mengirimkan kuesioner kepada responden. 46 P a g e

47 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengukuran Indeks Daya Saing Daerah Indeks Daya Saing Daerah merupakan kuantifikasi dari kekuatan atau kondisi yang dimiliki daerah, dalam kajian ini diwakili dengan faktor input dan faktor output pembentuk daya saing daerah. Faktor input dan output pembentuk daya saing daerah terdiri dari variabelvariabel yang mewakilinya dengan jenis data yaitu primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari kuesioner yang telah diisi oleh pemerintah daerah yaitu Bappeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah) berupa isian persepsi. Disamping itu kajian ini juga menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari institusi penyedia data resmi (BPS dan BKPM). Setelah data diperoleh, maka dilanjutkan proses penghitungan dan pengukuran indeks daya saing. Tahapan pengukuran indeks daya saing terdiri dari, yaitu (1) tahap penghitungan bobot yang berasal dari data persepsi dari pemerintah daerah terhadap inisiatif strategi penguatan daya saing daerah; dan (2) tahap standardisasi data dan indeks. Indeks daya saing merupakan indeks komposit dari indeks faktor input dan indeks faktor output, untuk selanjutnya disebut indeks input dan indeks output. Dalam hal ini indeks input dan indeks output sama-sama memberikan kontribusi secara ekual terhadap indeks daya saing Penghitungan Bobot Pengukuran Penghitungan bobot pengukuran daya saing menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang dibangun pertama kali oleh Thomas L. Saaty pada era an. AHP merupakan teknis struktur dalam mengorganisasi dan menganalisa keputusankeputusan yang kompleks menggunakan matematika dan psikologi 3. Lebih lanjut dijelaskan bahwa metode AHP menggunakan input utama persepsi manusia (data kualitatif), dimana masalah yang ada dipecah menjadi kelompok-kelompoknya dan disusun dalam suatu hirarki sehingga memudahkan dalam pengambilan keputusan 4. Persepsi tersebut diperoleh dari ekspert. Ekspert dimaksud disini tidak berarti harus pintar bergelar Doktor namun lebih pada seseorang yang memahami permasalahan atau memiliki kepentingan terhadap hal tersebut. 3 en.wikipedia.org/wiki/analytic_hierarchy_process 4 Brodjonegoro, Bambang Permadi S dan Bey Sapta Utama, "AHP : Analytic Hierarchy Process", Pusat Antar Universitas-Studi Ekonomi, Universitas Indonesia 47 P a g e

48 Hasil penghitungan berdasarkan data persepsi dari kuesioner yang telah disampaikan oleh pemerintah provinsi tersusun dalam tingkatan atau hirarkis berikut ini : 48 P a g e

49 Gambar 4.1 Hirarki Prioritas Input GOAL Menguatkan dan meningkatkan daya saing daerah Sasaran Strategis (Level Pertama) Mendorong aktivitas perekonomian daerah 30,29% Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan ketenagakerjaan 13,29% Menciptakan lingkungan usaha produktif yang dapat menarik minat dunia usaha untuk melakukan kegiatan usaha (termasuk investasi) 13,36% Membangun konektivitas yang terintegrasi antara sistem transportasi, logistik serta komunikasi dan informasi dalam rangka membuka akses daerah seluas-luasnya 10,82% Meningkatkan aktivitas Perbankan dan Lembaga Keuangan 32,24% Optimal PAD 42,9% Meningkatkan KpF 35,43% Meningkatkan investasi daerah 21,67% Meningkatkan derajat kesehatan 38,3% Meningkatkan Pendidikan dan keterampilan Penduduk dan Naker 39,4% Meningkatkan kualitas pendidikan 22,31% Ketersediaan Infra Transportasi 24,00% Ketersediaan sarana telekomunikasi 39,66% Ketersediaan listrik yg memadai 36,34% Meningkatkan jumlah Bank 41,39% Meningkatkan jumlah LK non Bank 39,02% Meningkatkan jenis usaha bank 19,59% Kinerja (Level Kedua) Penyederhanaan dan harmonisasi berbagai peraturan 29,46% Penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu 19,39% Kemudahan dalam proses pembebasan dan perolehan lahan 33,91% Menciptakan keamanan yang terkendali 17,24% 49 P a g e

50 Prioritas sasaran strategis dari faktor input pada tabel 4.1 sebagai berikut : Tabel 4.1 Prioritas Sasaran Strategis Faktor Input Prioritas Sasaran Strategis Bobot 1 Meningkatkan aktivitas Perbankan dan Lembaga Keuangan 32,24% 2 Mendorong aktivitas perekonomian daerah 30,29% Menciptakan lingkungan usaha produktif yang dapat menarik minat dunia usaha untuk melakukan kegiatan usaha (termasuk investasi) 13,36% Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan ketenagakerjaan 13,29% Membangun konektivitas yang terintegrasi antara sistem transportasi, logistik serta komunikasi dan informasi dalam rangka membuka akses daerah seluas-luasnya 10,82% Meningkatkan aktivitas perbankan dan lembaga keuangan non bank merupakan prioritas pertama sasaran strategis dari faktor input untuk meningkatkan dan menguatkan daya saing daerah yaitu sebesar 32,24%. Kemudian diikuti oleh sasaran strategis kedua yaitu mendorong aktivitas perekonomian daerah sebesar 30,29%. Kedua sasaran strategis tersebut telah memberikan kontribusi secara kumulatif sebesar 62,53% atau lebih dari setengah dari total bobot (100%). Pada gambar 4.1 bobot pada level kedua merupakan bobot pada kelompok sasaran strategis masing-masing. Bobot inilah yang digunakan dalam penghitungan indeks input. Sedangkan untuk melihat prioritas, perlu dikalikan dengan bobot sasaran strategis-nya terlebih dahulu. Pada tabel 4.2 prioritas kinerja (level kedua) disajikan secara konsisten dengan sasaran strategis-nya yang memiliki prioritas pertama yaitu upaya prioritas yang harus dilakukan adalah meningkatkan jumlah kantor bank. Prioritas kedua adalah mengoptimalkan PAD. Prioritas kinerja dari 1 s.d. 5 didominasi oleh prioritas sasaran strategis meningkatkan aktivitas perbankan dan lembaga keuangan serta mendorong aktivitas perekonomian daerah. Prioritas tersebut menunjukkan bahwa yang terkait dengan akses dan sumber daya pendukung seperti sumber daya manusia menjadi terlihat relatif kurang penting. Pada sub bab analisa berikutnya dapat dilihat permasalahan tersebut, yaitu pada indeks input dan output yang rendah sebelum dikalikan bobot sebagai prioritas kebijakan. 50 P a g e

51 Tabel 4.2 Prioritas Kinerja Faktor Input Prioritas Kinerja Bobot 1 Meningkatkan jumlah kantor bank. 13,35% 2 Optimal PAD 12,99% Sasaran strategis faktor output tidak di-breakdown lebih lanjut, dengan demikian AHP yang dilakukan hanyalah satu tingkat saja. Prioritas sasaran strategis faktor output disajikan pada tabel 4.3 berikut ini : 3 Meningkatkan jumlah kantor non bank (perusahaan asuransi, perusahaan dana pensiun, koperasi, bursa efek/pasar modal, pegadaian dll). 12,58% 4 Meningkatkan KpF 10,73% 5 Meningkatkan investasi daerah 6,56% 6 Mendekatkan jenis-jenis usaha perbankan dan lembaga keuangan dengan kebutuhan masyarakat. 6,32% 7 Meningkatkan derajat kesehatan 5,24% Meningkatkan Pendidikan dan keterampilan Penduduk dan Naker 8 5,09% 9 Kemudahan dalam proses pembebasan dan perolehan lahan. 4,53% 10 Ketersediaan sarana telekomunikasi untuk memudahkan arus informasi dengan lebih luas dan cepat 4,29% 11 Penyederhanaan dan harmonisasi berbagai peraturan 3,94% 12 Ketersediaan listrik yang memadai dan menjadi insentif untuk membangun industri serta memperluas jangkauan pemasaran dan distribusi. 3,93% 13 Meningkatkan kualitas pendidikan 2,96% Ketersediaan infrastruktur transportasi untuk memperlancar arus barang, jasa, manusia dan menjadi penghubung yang efisien antara sumber bahan baku, pusat produksi dan pasar. 2,60% Penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu untuk mempercepat dan mempermudah proses perijinan dan non perijinan. 2,59% 16 Menciptakan keamanan yang terkendali. 2,30% Tabel 4.3 Prioritas Sasaran Strategis Faktor Output Prioritas Sasaran Strategis Bobot 1 Menurunkan angka kemiskinan 29,82% 2 Meningkatkan PDRB perkapita 26,08% 3 Memperluas kesempatan kerja 22,89% 4 Meningkatkan produktivitas tenaga kerja 21,22% Menurunkan angka kemiskinan merupakan prioritas utama yang disusul kemudian dengan meningkatkan PDRB perkapita. Prioritas sasaran strategis tidak terlalu bervariasi, dengan kata lain responden tidak terlalu berbeda pendapat terhadap penting-nya sasaran strategis tersebut. 51 P a g e

52 Standardisasi Data dan Indeks Melakukan standardisasi data dengan : (1) melakukan konversi dengan Method of Succesive Interval (MSI) yaitu mengubah data ordinal dalam hal ini data isian kuesioner yang menggunakan skala Likert. Data ordinal merupakan data diskret, sedangkan untuk menghitung indeks daya saing maka data ordinal tersebut diubah menjadi data interval yang merupakan data kontinyu; (2) menetapkan data mana yang sifat /polarisasi-nya berlawanan (inverse) dalam penghitungan atau pengukuran indeks input dan output. Variabel atau data yang bersifat tersebut adalah : Angka Kematian Bayi (AKB), jumlah kejahatan (Crime Total), persentase jumlah penduduk miskin, dan persentase tingkat pengangguran terbuka (TPT). Langkah kedua adalah melakukan indeks dari masing-masing data, yaitu dengan membagi data pemerintah daerah yang bersangkutan dengan rata-rata seluruh data pada variabel berkenaan. Tujuan melakukan indeks agar data bersifat homogen sebelum dilakukan penghitungan karena data tersebut sebelumnya memiliki satuan yang berbeda-beda. Rumusan indeks daya saing suatu daerah bila dinotasikan secara matematis sebagai berikut : Ids 0,5Iin 0,5Iout Iin Iout 25 Iin Iout 1 1 Iin t Iout... t... Keterangan : Ids : Indeks Daya Saing. Iin : Indeks input. Iout : Indeks output. Iin1 dan Iint : Indeks input dari variabel 1 dst. Iout1 dan Ioutt : Indeks output dari variabel 1 dst. α, β, ε, δ : Bobot 4.2. Analisis Setelah memperoleh indeks input, indeks output, dan indeks daya saing maka perlu dilakukan analisa untuk menginterpretasikan hasil. Analisa yang dilakukan pertama kali adalah analisa deskriptif terhadap indeks input dan indeks output. Analisa deskriptif bertujuan memberikan gambaran dispersi atau sebaran indeks yang menggunakan ukuran rata-rata (mean), standar deviasi, koefisien variasi, dan indeks yang terkecil maupun yang tebesar. Indeks input dan output berjumlah 30 (tiga puluh), namun terdapat satu indeks yang tidak diikutkan dalam analisa ini meskipun tetap diperhitungkan dalam perhitungan indeks daya saing. Indeks tersebut adalah indeks ketersediaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). 52 P a g e

53 Indeks ketersediaan PTSP tidak valid karena 13 pemerintah provinsi yang menjadi sample menjawab yang sama (homogen) yaitu semuanya telah menyediakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Setelah melakukan analisa deskriptif, dilanjutkan dengan analisa klaster dari indeks input dan indeks output. Analisa ini bertujuan : 1. Mengetahui keunggulan kompetitif dari masing-masing pemerintah provinsi sehingga dapat memberikan profiling faktor mana yang memberikan kontribusi dominan atau signifikan dalam membentuk daya saing daerah bersangkutan. 2. Melakukan penggalian mendalam terhadap kelemahan keseluruhan daya saing pemerintah daerah yang tergambar dari indeks input dan output yang rendah. Bagian terakhir dari bab pembahasan ini memasukkan realisasi belanja APBD tahun 2012 menurut fungsi dari tiga belas pemerintah provinsi dalam analisa. Analisa yang dilakukan adalah DEA (Data Envelopment Analysis) yang bertujuan melakukan minimisasi input (realisasi belanja) dikaitkan dengan output (indeks daya saing). Hal demikian bertujuan untuk memberikan rekomendasi dan saran yang nyata bahwa APBD sebagai instrumen fiskal daerah memiliki fungsi alokasi yang menjadi penentu untuk mencapai dan menguatkan daya saing daerah Analisis Deskriptif Setelah memperoleh indeks input, Indeks output, dan Indeks Daya Saing maka perlu dilakukan analisa deskriptif untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing indeks tersebut, terutama sebarannya (dispersi). Indeks input, Indeks output, dan Indeks Daya Saing dari 13 pemerintah provinsi disajikan pada Tabel 4.4 pada halaman berikut. Indeks input yang paling tinggi adalah Provinsi Riau sebesar 1,855 dan paling rendah adalah Provinsi Sulawesi Barat sebesar 1,142. Sedangkan Indeks Output tertinggi dimiliki Provinsi Bali dengan 1,744 dan terendah adalah Provinsi Jawa Tengah dengan 0,904. Indeks Daya Saing yang merupakan indeks komposit Indeks Input dan Indeks Output, yang tertinggi adalah Provinsi Riau dengan 1,708 dan terendah adalah Provinsi Sulawesi Barat dengan 1,154. Sekilas menunjukkan bahwa indeks daya saing dipengaruhi dominan terutama oleh Indeks Input. Meskipun Indeks Input dibangun berdasarkan 25 variabel dan Indeks Output dibangun dengan 5 variabel, namun range (rentang) antara tertinggi dengan terendah lebih jauh dimiliki Indeks Output. Dengan kata lain Indeks Output lebih bervariasi dibanding Indeks Input. Gambar 4.2 menunjukkan ukuran sebaran dari masing-masing indeks. 53 P a g e

54 Rata-Rata Standar Deviasi dan Koef Variasi Tabel 4.4 Indeks Input, Indeks Output, dan Indeks Daya Saing No Provinsi Indeks Input Indeks Output Indeks DayaSaing 1 Provinsi Sumatera Utara 1,403 1,171 1,287 2 Provinsi Riau 1,855 1,561 1,708 3 Provinsi Jambi 1,433 1,166 1,299 4 Provinsi Bangka Belitung 1,172 1,612 1,392 5 Provinsi Bengkulu 1,323 1,129 1,226 6 Provinsi Jawa Barat 1,658 1,014 1,336 7 Provinsi Banten 1,299 1,193 1,246 8 Provinsi Jawa Tengah 1,553 0,904 1,229 9 Provinsi Jawa Timur 1,473 1,214 1, Provinsi Bali 1,524 1,744 1, Provinsi Sulawesi Selatan 1,506 1,024 1, Provinsi Sulawesi Barat 1,142 1,167 1, Provinsi Papua Barat 1,492 0,929 1,210 Maksimum 1,855 1,744 1,708 Provinsi Riau Provinsi Bali Provinsi Riau Minimum 1,142 0,904 1,154 Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Jawa Tengah Provinsi Sulawesi Barat Gambar 4.2 Ukuran Dispersi Indeks Input, Indeks Output, dan Indeks Daya Saing 1,500 1,450 1,400 1,350 Dispersi Indeks Input, Indeks Output, dan Indeks Daya Saing Rata-Rata Standar Deviasi Koefisien Variasi 0,300 0,250 0,200 1,300 1,250 1,200 1,150 1,100 Indeks Input Indeks Output Indeks DayaSaing 0,150 0,100 0,050 - Ukuran Dispersi Indeks Input Indeks Output Indeks DayaSaing Rata-Rata 1,449 1,217 1,333 Standar Deviasi 0,192 0,263 0,163 Koefisien Variasi 0,133 0,216 0,122 Meskipun Rata-Rata Indeks Input lebih besar namun standar deviasi nya lebih rendah bila dibanding indeks output yang memiliki standar deviasi terbesar sehingga Indeks output memiliki koefisien variasi tertinggi diantara ketiga indeks tersebut. Konsentrasi jumlah daerah 54 P a g e

55 Frequency Frequency Frequency yang memiliki indeks tertentu juga dapat dilihat dengan grafik histogram yang membagi empat bin range (nilai tertinggi pada kelas masing-masing) pada gambar 4.3. Gambar 4.3 Histogram Indeks Histogram Indeks Input 1,25 1,5 1,75 2 Bin Range Frequency Histogram Indeks Output 1,25 1,5 1,75 2 Bin Range Frequency Histogram Indeks Daya Saing Frequency 0 1,25 1,5 1,75 2 Bin Range Jumlah daerah yang memiliki Indeks Input terbanyak yaitu pada bin range 1,5 sebesar 5 daerah, sedangkan jumlah daerah yang memiliki Indeks Output terbanyak pada bin range 1,25 yaitu 9 daerah. Pada Indeks Daya Saing, jumlah daerah yang terbanyak adalah pada bin range 1,25 sebanyak 7 daerah. Namun terlihat ketimpangan terjadi pada Indeks Output yaitu hampir 70% pemerintah provinsi yang menjadi sampel memiliki Indeks Output pada bin range 1,25, sedangkan sisanya (30%) ada pada bin range 1,75. Upaya peningkatan kinerja Faktor Output pembentuk daya saing harus lebih dipacu. Sejalan dengan analisa tersbut, ternyata hanya dua provinsi yang memiliki Indeks Output yang lebih besar dibanding Indeks Input-nya, sedangkan sebelas provinsi lainnya memiliki Indeks Input lebih besar terhadap Indeks Output-nya. Dua provinsi tersebut adalah Provinsi Bali dan Provinsi Bangka Belitung. Indeks Daya saing pada Provinsi Bali dan Provinsi Bangka Belitung lebih besar dibanding Indeks Input-nya sebagaimana terlihat pada Gambar 4.4 Grafik Radar. 55 P a g e

56 Provinsi Jawa Tengah Provinsi Banten Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Barat Provinsi Bali Provinsi Bengkulu Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Bangka Belitung Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Jambi Provinsi Papua Barat Provinsi Riau Provinsi Sumatera Utara Gambar 4.4 Grafik Radar Indeks 13 Provinsi Indeks Input, Output, dan Daya Saing Indeks Input Indeks Output Indeks DayaSaing 2,000 1,500 1,000 0,500 - Untuk melihat posisi masing-masing pemerintah provinsi bila dilihat secara dua dimensi yaitu Indeks Input dan Indeks Output, digunakan diagram Cartesius. Pada dasarnya membagi daerah ke dalam kuadran berdasarkan angka rata-rata dari sumbu x dan sumbu y, dalam hal ini Indeks Input dan Indeks Output. Analisa ini meninjau Indeks Input dan Indeks Output yang dimiliki, apakah indeks tersebut berada di atas atau di bawah rata-rata nya. Terlihat bahwa daerah paling banyak berada pada kuadran 2 (searah jarum jam). Kuadran 2 adalah daerah yang memiliki Indeks Input di atas rata-rata namun Indeks Outputnya berada di bawah rata-rata. Sedangkan daerah yang memiliki kinerja yang paling bagus berdasarkan analisa ini adalah Provinsi Bali dan Provinsi Bangka Belitung yaitu memiliki Indeks Input dan Indeks Output di atas rata-rata dan berada pada kuadran P a g e

57 Gambar 4.5 Diagram Cartesius Posisi Pemerintah Provinsi ditinjau dari Indeks Input dan Indeks Output-nya Sekali lagi analisa deskriptif menemukan bahwa banyak daerah yang masih memiliki kinerja relatif rendah pada faktor output pembentuk daya saing, dengan demikian perlu fokus perbaikan pada sisi ini. Disamping itu perlu pula perhatian pada daerah yang berada di kuadran 3, yaitu daerah yang memiliki Indeks Input dan Indeks Output di bawah rata-rata. Daerah yang masuk kuadran 3 ini, meliputi : Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Bengkulu Analisis Faktor Dominan yang Mempengaruhi Daya Saing Daerah Analisa faktor dominan ini berbeda dari penghitungan indeks daya saing berdasarkan 30 indikator kinerja dengan langkah-langkah sebagaimana telah dijelaskan pada sub pembahasan sebelumnya. Mulai tahap penghitungan bobot yang berasal dari data persepsi dari pemerintah daerah terhadap inisiatif strategi penguatan daya saing daerah hingga tahap standardisasi data dan indeks bobot yang telah dihitung menggunakan metode AHP. Analisa faktor dominan dilakukan dalam kerangka permodelan daya saing daerah. Tiga puluh faktor pembentuk indeks daya saing ditentukan dengan mempertimbangkan ketersediaannya dan seberapa dekat menggambarkan sasaran strategis dan kinerja daya saing. Dari 30 indikator tersebut, 25 indikator kinerja merupakan faktor pembentuk input, sedangkan 5 sisanya merupakan faktor pembentuk output. Untuk menentukan faktor dominan yang mempengaruhi daya saing daerah, dilakukan pengolahan data menggunakan statistik parameter, yaitu metode regresi linear terhadap 30 indikator kinerja tersebut. Metode regresi linear yang digunakan adalah forward elimination dimana P a g e

58 indikator tersebut dimasukkan dalam permodelan indeks daya saing secara bertahap. Tahapan tersebut dilakukan hingga mencapai model fit yang terbaik, hasilnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.5 sebagai berikut : Tabel 4.5 Regresi Linear Indeks Daya Saing 58 P a g e

59 Terlihat bahwa dari 30 indikator tersebut hanya terpilih empat indikator sebagai variabel independen membangun indeks daya saing sebagai variabel dependen. Untuk mengetahui variabel apa yang dominan mempengaruhi indeks daya saing dalam permodelan tersebut maka langkah selanjutnya adalah menghitung besaran korelasi dari keempat variabel tersebut terhadap indeks daya saing (ids), hasilnya pada Tabel 4.6 berikut ini : Tabel 4.6 Korelasi Pearson dari Indikator/ Variabel dalam Permodelan Indeks Daya Saing Model yang memberikan model fit yang paling besar adalah model ke-empat ditandai dengan R Square sebesar Angka tersebut merupakan kontribusi bersama dari empat variabel atau indikator dalam menjelaskan variasi y. Untuk mengetahui variabel yang 59 P a g e

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN Melalui Buku Pegangan yang diterbitkan setiap tahun ini, semua pihak yang berkepentingan diharapkan dapat memperoleh gambaran umum tentang proses penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang BAB I PENDAHULIAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ini dapat dibuktikan dengan jelas dari

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 [Type text] LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 BUKU I: Prioritas Pembangunan, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa setiap daerah harus menyusun rencana pembangunan daerah secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan provinsi yang berada di ujung selatan Pulau Sumatera dan merupakan gerbang utama jalur transportasi dari dan ke Pulau Jawa. Dengan posisi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

Jakarta, 10 Maret 2011

Jakarta, 10 Maret 2011 SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM ACARA TEMU KONSULTASI TRIWULANAN KE-1 TAHUN 2011 BAPPENAS-BAPPEDA PROVINSI SELURUH INDONESIA Jakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan reformasi sektor publik yang begitu dinamis saat ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan masyarakat yang melihat secara kritis buruknya kinerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Plan), Rencana Kinerja (Performace Plan) serta Laporan Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Plan), Rencana Kinerja (Performace Plan) serta Laporan Pertanggungjawaban BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menghadapi perubahan yang sedang dan akan terjadi akhir-akhir ini dimana setiap organisasi publik diharapkan lebih terbuka dan dapat memberikan suatu transparansi

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU

BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI ROKAN HULU NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ROKAN HULU,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJM-D) KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2008-2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN 2.1 EKONOMI MAKRO Salah satu tujuan pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat, sehubungan dengan itu pemerintah daerah berupaya mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang

BAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daya saing ekonomi menunjukkan kemampuan suatu wilayah menciptakan nilai tambah untuk mencapai kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan umum dari penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dengan terbitnya Undang-undang

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok Program Pengembangan Otonomi Daerah pada tahun 2004, yaitu

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN I. VISI Pembangunan di Kabupaten Flores Timur pada tahap kedua RPJPD atau RPJMD tahun 2005-2010 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Pengembangan Kelembagaan Ekonomi dan Iklim Usaha Kondusif 1. Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi Mendukung terciptanya kesempatan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Development is not a static concept. It is continuously changing. Atau bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Kerja Satuan Perangkat Kerja Daerah (Renja SKPD) merupakan dokumen perencanaan resmi SKPD yang dipersyaratkan untuk mengarahkan pelayanan publik Satuan Kerja

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 BAB 2 EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 Evaluasi Pelaksanaan Renja Tahun 2013 2.1 BAB 2 EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 DAN CAPAIAN RENSTRA SAMPAI DENGAN

Lebih terperinci

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2014 KATA PENGANTAR

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2014 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah dapat diselesaikan untuk memenuhi ketentuan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN 2013-2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga Anggaran Pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang didefinisikannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang didefinisikannya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definisi Daya Saing Global Michael Porter (1990) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang didefinisikannya

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, Kota Medan tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kota metropolitan baru di Indonesia, serta menjadi

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN. 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN. 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2016 yang mempunyai tema Memperkuat perekonomian domestik bagi peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era perdagangan bebas atau globalisasi, setiap negara terus melakukan upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang mampu menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada

Lebih terperinci

Michael Porter (1990, dalam PPSK-BI dan LP3E FE UNPAD 2008) input yang dicapai oleh perusahaan. Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta

Michael Porter (1990, dalam PPSK-BI dan LP3E FE UNPAD 2008) input yang dicapai oleh perusahaan. Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta 2.1 Konsep dan Definisi Daya Saing Global Michael Porter (1990, dalam PPSK-BI dan LP3E FE UNPAD 2008) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang

Lebih terperinci

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN Paradigma pembangunan saat ini lebih mengedepankan proses partisipatif dan terdesentralisasi, oleh karena itu dalam menyusun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2013-2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daya saing daerah menurut definisi yang dibuat UK-DTI adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daya saing daerah menurut definisi yang dibuat UK-DTI adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Daya Saing Daerah Daya saing daerah menurut definisi yang dibuat UK-DTI adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah dilaksanakan pada 26 April 2016, pemerintah Jawa Tengah telah menentukan arah kebijakan dan prioritas

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI A. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi ekonomi makro yang baik, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAPPEDA Planning for a better Babel

BAPPEDA Planning for a better Babel DISAMPAIKAN PADA RAPAT PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL RKPD PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN 2018 PANGKALPINANG, 19 JANUARI 2017 BAPPEDA RKPD 2008 RKPD 2009 RKPD 2010 RKPD 2011 RKPD 2012 RKPD 2013 RKPD

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah 2.1. Otonomi Daerah Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, otonomi daerah adalah kewenangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2010-2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB - I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB - I PENDAHULUAN I Latar Belakang BAB - I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah mengamanatkan bahwa agar perencanaan pembangunan daerah konsisten, sejalan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN - 3 - LAMPIRAN: NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR : 910/3839-910/6439 TENTANG : PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA APBD KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMEBERIAN INSENTIF DAN PEMEBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN i! DITERBITKAN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan BAB I 1.1 Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan undang undang membawa konsekuensi tersendiri bagi daerah untuk dapat melaksanakan pembangunan di segala bidang,

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis perekonomian daerah, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci