ASPEK FARMAKOKINETIKA KLINIK OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN PADA PASIEN SIROSIS HATI DI BANGSAL INTERNE RSUP DR. M

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ASPEK FARMAKOKINETIKA KLINIK OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN PADA PASIEN SIROSIS HATI DI BANGSAL INTERNE RSUP DR. M"

Transkripsi

1 ASPEK FARMAKOKINETIKA KLINIK OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN PADA PASIEN SIROSIS HATI DI BANGSAL INTERNE RSUP DR. M. DJAMIL PADANG PERIODE OKTOBER 2011 JANUARI 2012 Oleh : Ira Oktaviani Rz*) Korespondensi : irarazak@ymail.com Farmakokinetika klinik adalah penerapan prinsip farmakokinetik pada keamanan dan manajemen terapi obat yang efektif pada seorang pasien. Pada prinsipnya penerapan farmakokinetika klinik bertujuan untuk meningkatkan efektivitas terapi atau menurunkan efek samping dan toksisitas obat pada pasien. Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. Pada sirosis hati, dapat terjadi akumulasi kadar obat di dalam plasma terutama yang dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen dosis obat tertentu harus disesuaikan berdasarkan laju metabolisme pasien dengan gangguan fungsi hati.penelitian ini dilakukan pada pasien rawat inap di bangsal interne RSUP. DR. M. DJAMIL Padang selama 4 bulan (Oktober 2011 Januari 2012). Jenis data yang diambil meliputi masalah masalah aspek farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan pengunaan obat-obat yang dapat memperburuk fungsi hati yaitu aspek kesesuaian dosis, efek samping yang merugikan, efek toksik dan interaksi. Untuk penyesuaian dosis individual dilakukan berdasarkan data nilai child pugh. Data dianalisa secara statistik deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah persentase dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan diagram. Dari penelitian ini diperoleh data pasien menerima 4 jenis obat yang dapat memperburuk fungsi hati dengan dosis yang masih relatif aman. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan nilai Child Pugh didapatkan 95% berada pada kelas C (keadaan hati berat) dan 5 % berada pada kelas B (keadaan hati sedang), sedangkan pada kelas A (keadaan hati ringan) tidak ditemukan. Pasien masih menerima polifarmasi sebesar 60% dengan jumlah obat mulai dari 9 14 jenis obat yang sebagian besar dimetabolisme di hati dan dapat memperparah fungsi hati. PENDAHULUAN Farmakokinetik adalah studi yang menghubungkan antara regimen dosis dan perubahan konsentrasi obat di dalam tubuh setiap waktunya. Tipe konsentrasi diukur di dalam darah, serum atau plasma, dan antara konsentrasi-waktu dideskripsikan dalam bentuk persamaan. Pengetahuan mengenai hubungan antara kosentrasi obat di dalam darah dengan respon klinik atau farmakodinamik, berikut efek terapetik dan efek toksik, diukur dengan menggunakan profil konsentrasi-waktu yang juga dapat menggambarkan respon optimal dan resiko minimum toksisitas. Pasien dengan parameter farmakokinetik yang berubah, regimen dosis dari pasien harus diubah pula, untuk menjamin profil konsentrasi-waktu yang optimal. (North & Lewis, 2008). Di dalam bidang farmasi klinis, farmakokinetika memiliki beberapa kegunaan yang cukup penting, yaitu (Santoso, 1985): a. Untuk memilih rute pemberian obat yang paling tepat. Apakah harus secara injeksi intravena, atau bisa dengan rute lain seperti secara oral, rektal dan lain-lain. Ini dapat dilakukan dengan menilai ketersediaan biologis obat setelah pemberian dalam berbagai rute pemberian, dan dengan mempertimbangkan profil kinetika obat yang dihasilkan oleh berbagai rute pemberian tersebut. b. Dengan cara pertimbangan farmakokinetika dapat dihitung aturan dosis yang tepat untuk setiap individu (dosage regimen individualisation). Sampai saat ini prinsip farmakokinetika termasuk cara yang paling tepat untuk pengindividualisasian dosis, khususnya untuk obat-obat dengan daerah kerja terapeutik sempit seperti teofilin, dan lainlain. c. Data farmakokinetika suatu obat diperlukan dalam penyusunan aturan dosis yang rasional. d. Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi obat, baik antara obat dengan obat maupun antara obat dengan makanan. Organ hati memegang peranan penting sebagai organ yang berfungsi sebagai eliminasi dan bertanggung jawab terhadap metabolisme beberapa bagian besar golongan obat. Pada penyakit gangguan fungsi hati, kemampuan organ tersebut untuk memetabolisme obat juga akan terganggu. Struktur atau fungsinya yang abnormal akan mempengaruhi kemampuan dari hati untuk menangani efektifitas obat (Barber, Nick, Alan, 2006).

2 Untuk obat yang metabolisme utamanya melalui hati, farmakokinetika harus diperhitungkan pada pasien dengan gangguan fungsi hati (seperti : hepatitis atau sirosis). Ketika meresepkan obat yang eliminasi utama melalui hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati, adalah sangat mungkin untuk melakukan penurunan dosis pemeliharaan dari dosis normal. Menurunkan dosis normal dan memperpanjang interval dosis, atau memodifikasi keduanya. Metoda aktual yang digunakan untuk menurunkan dosis pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan normal adalah dengan membandingkan beberapa rute pemberian obat dengan beberapa bentuk sediaan (Bauer, 2008). Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. Sirosis hepatis juga merupakan penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan (Husnul, 2008). Di Indonesia, data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja, seperti di RS DR.Sarjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis berkisar antara 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004) dan di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien dengan sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam. (Sudoyo, 2007). Di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang, tercatat jumlah pasien dengan sirosis hati (tidak spesifik) di temukan data sebesar 220 pasien yang dirawat selama 2009 dan 317 pasien yang dirawat selama tahun 2010 (tidak dipublikasikan). Pada sirosis hati, dapat terjadi akumulasi kadar obat di dalam plasma terutama yang dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen dosis obat tertentu harus disesuaikan berdasarkan laju metabolisme pasien dengan gangguan fungsi hati. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian Aspek Farmakokinetik Klinik Obat-Obat yang digunakan pada pasien sirosis hati yang berada di bangsal interne RSUP. Dr. M. Djamil Padang untuk dapat meminimalkan toksisitas dan mengoptimalkan kualitas hidup pasien. Farmasis, sebagai salah satu profesional kesehatan, perlu mengetahui pengaruh penyakit hati pada farmakokinetika dan perlakuan terhadap obat, untuk memastikan bahwa obat diresepkan dengan tepat dengan resiko reaksi obat merugikan dan toksisitas diminimalkan. Farmasis juga diharuskan mengerti dan mengetahui perubahan data laboratorium untuk menilai perubahan keadaan klinik yang signifikan dari pasien dengan gangguan fungsi hati (Barber, Nick, Alan, 2006; Aslam, et al, 2004). METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan kurang lebih selama 4 bulan (Oktober 2011 sampai Januari 2012) di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data observasi prospektif yang dilengkapi dengan wawancara langsung terhadap pasien dan keluarga pasien yang dirawat di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang. Jenis Data 1) Data Kuantitatif Meliputi persentase penggunaan obat-obat yang dapat memperburuk fungsi hati di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang. 2) Data Kualitatif Meliputi masalah masalah aspek farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan pengunaan obatobat yang dapat memperburuk fungsi hati yaitu aspek kesesuaian dosis, efek samping yang merugikan, efek toksik dan interaksi yang terjadi yang bermakna klinik. Pengambilan Data Data yang diambil adalah data reka medik pasien dan observasi langsung kepada pasien atau keluarga pasien yang dirawat inap di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang. Kemudian obat yang digunakan dicatat pada formulur yang tersedia. Adapun data yang dibutuhkan pada reka medik antara lain: nama pasien, jenis kelamin, umur, obat yang digunakan, kadar SGPT, kadar SGOT, waktu protombin, kadar albumin darah, kadar bilirubin total, asites, ensefalopati hepatika dan data-data lain yang diperlukan. Analisa Data Evaluasi gejala klinis pada pasien yang terlihat dengan peningkatan intensitas efek samping atau efek toksik akibat interaksi obat maupun menurunnya metabolisme karena sirosis hati. Data dianalisis secara deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah persentase dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan diagram

3 HASIL Setelah dilakukan penelitian mengenai aspek farmakokinetika klinik obat-obat yang digunakan pada pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP DR. M. Djamil Padang berdasarkan data prospektif pasien yang dirawat selama bulan Oktober 2011 sampai Januari 2012 terhadap 20 orang pasien diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Dari hasil observasi terhadap sampel a. Persentase pasien dengan diagnosis sirosis hati berdasarkan jenis kelamin (n = 20), yaitu pria 55% (11 pasien), wanita 45% (9 pasien) dengan lama rawatan antara 8 39 hari. b. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan rentang usia (n=20) yaitu dewasa (17-65 tahun) 80% (16 pasien) dan usia lanjut (>65 tahun) 20 c. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan kebiasaan hidup (n=20) yaitu dengan riwayat peminum alkohol sebanyak 20%, pasien dengan riwayat mengkonsumsi obat-obat penghilang nyeri sebanyak 25%, pasien dengan riwayat pekerja keras dengan pola tidur tidak teratur sebanyak 20%, dan faktor penyebab lainnya yang tidak diketahui sebanyak 35%. d. Terapi yang diterima pasien yaitu: Curcuma, NTR, Spironolakton, Sukralfat, Vitamin K, KSR (KCl), Kalitake (Ca polystyrene sulfonate), Transamin (Asam traneksamat), Ceftriaxon, Lactulax (Lactulosa), Ciprofloxacin, Sistenol (Paracetamol 500mg, n-acetylcysteine 200 mg), Madopar (Levodopa 100mg, benserazide HCl 25 mg), Ascardia (Asam asetilsalisilat), Novorapid (Insulin aspart), Levemir (Insulin detemir), Bisolvon (Bromheksin HCl), Ambroksol, Cefotaxim, Deksametason, Liver Care, Azytromicin, Ventolin (Salbutamol sulfat),metilprednison, Dulcolax (Bisacodyl), Captopril. Obat yang dimetabolisme terutama di hati yang diterima pasien yaitu propanolol pada 7 pasien, lansoprazol pada 4 pasien. Obat dengan indeks terapi sempit yaitu warfarin pada 1 pasien. Obat yang dapat menyebabkan ensefalopati hepatik yaitu Diuretika furosemid pada 9 pasien. Data dapat dilihat pada tabel 1. e. Persentase pasien dengan kriteria nilai Child Pugh berdasarkan derajat keparahan gangguan fungsi hati diketahui pengelompokan rentang skor nilai Child Pugh kelas A (<7 poin), kelas B (7-9 poin), dan kelas C (10-15 poin) masingmasing 0%, 5%, dan 95%. Data dapat dilihat pada tabel Persentase jumlah pengelompokan rentang skor nilai Child Pugh berdasarkan besar pengurangan dosis diketahui besar pengurangan dosis pada nilai skor lebih dari 10 poin adalah 100% yang terjadi pada lansoprazol. 3. Pasien yang mengalami gejala objektif hepatotoksik yang meliputi peningkatan kadar SGOT/SGPT, penurunan serum albumin, penurunan serum protein total, peningkatan kadar bilirubin, peningkatan waktu protombin yaitu persentase pasien yang mengalami peningkatan kadar SGOT/AST sebanyak 50%, persentase pasien dengan nilai SGOT/AST normal sebanyak 25%, dan data tidak lengkap sebanyak 25%. Persentase pasien yang mengalami peningkatan kadar SGPT/ALT sebanyak 30%, pasien dengan nilai SGPT/ALT normal sebanyak 45%, dan data tidak lengkap sebanyak 25.Persentase pasien yang mengalami penurunan serum albumin sebanyak 50%, pasien dengan nilai serum albumin normal sebanyak 40%, dan data tidak lengkap sebanyak 10%. Persentase pasien yang mengalami penurunan serum protein total sebanyak 45%, pasien dengan nilai serum protein total normal sebanyak 35%, dan data tidak lengkap sebanyak 20%. Persentase pasien yang mengalami peningkatan kadar bilirubin sebanyak 25%, pasien dengan nilai bilirubin normal sebanyak 15%, dan data tidak lengkap sebanyak 60%. Persentase pasien yang mengalami peningkatan waktu protombin sebanyak 25%, pasien yang tidak mengalami perpanjangan waktu protombin sebanyak 15 %, dan data tidak lengkap sebanyak 60%. 4. Dari gejala subjektif yang dialami pasien, maka persentase pasien yang mengalami lemah sebesar 90%, penurunan berat badan sebesar 85%, mual/muntah sebesar 60%, perut tidak nyaman sebesar 90%, sedikit demam sebesar 65%, dan yang mengalami kebingungan sebesar 35%. PEMBAHASAN Penelitian ini membahas tentang aspek farmakokinetika klinis obat-obat yang digunakan pada pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang selama empat bulan. Gambaran Umum Pasien Pengambilan data penelitian secara prospektif di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang yaitu pasien sirosis hati. Dari hasil observasi terhadap 20 orang sampel diketahui bahwa jumlah data pasien sirosis hati berdasarkan jenis kelamin di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang dari bulan Oktober 2011 hingga bulan Januari 2012 diperoleh persentase data pasien laki-laki dengan sirosis hati sebesar 55% (11 pasien) dan persentase data pasien perempuan dengan

4 sirosis hati sebesar 45% (9 pasien). Banyak faktor yang mempengaruhi hasil penelitian bahwa pria lebih rentan menderita gangguan fungsi hati, seperti kebiasaan kebanyakan pria merokok dan sering mengkonsumsi alkohol, dimana terlihat pada penelitian ini, faktor pasien yang masuk dengan riwayat pecandu alkohol sebanyak 20% dan sebagian besar merupakan perokok berat, disamping itu berdasarkan wawancara terhadap pasien, kebanyakan dari pasien pria mengaku memulai waktu tidur lebih malam, dan beberapa dari mereka merupakan seorang supir yang terkadang bekerja pada waktu malam hari. Seperti diketahui proses detoksifikasi yang dilakukan oleh hati terjadi antara rentang pukul 11 malam hingga pukul 1 pagi, dimana proses ini akan berlangsung bila seseorang dalam keadaan tidur nyenyak. Angka kejadian di Indonesia menunjukkan penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur tahun dengan puncaknya sekitar tahun (Sutadi, 2003). Pendapat ini juga didukung lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudoyo dan kawan-kawan selama tahun 2006, sirosis hati lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan kaum wanita dengan rasio perbandingan 2-4 : 1 (Sudoyo, 2007). Pada aspek farmakokinetika obat terdapat adanya perbedaan berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Offie P dan kawan-kawan menunjukkan adanya perbedaan metabolisme obat tertentu berdasarkan jenis kelamin (Soldin, Chung, Mattison, 2011). Sirosis hati merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak dijumpai dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur tahun dengan puncaknya sekitar tahun (Hadi, 2008). Berdasarkan perbandingan persentase jumlah data pasien dengan sirosis berdasarkan pengelompokan umur di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang, terlihat pasien dengan umur antara tahun sebanyak 80% (16 orang), dan pasien diatas 65 tahun sebanyak 20% (4 orang). Pada penelitian ini, terdapat 80% pasien dengan rentang umur dewasa yang mengalaminya, ini mungkin dapat terjadi akibat bahanbahan kimia yang meracuni hati, obat-obatan, alkohol dan gaya hidup orang dewasa yang tidak sehat, seperti tidur larut malam, pekerja keras, dan kebiasaan mengkonsumsi minuman penambah energi. Penyakit ini juga dapat terjadi akibat infeksi virus hepatitis namun pada penelitian ini berdasarkan hasil wawancara dan riwayat penyakit terdahulu dari pasien, tidak terdapat pasien dengan riwayat penyakit akibat infeki virus ataupun yang telah mengalami penyakit hepatitis. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap pasien dimana sebagian besar pasien merupakan pecandu alkohol, petani yang bekerja keras, mereka yang suka meminum obat-obatan penghilang rasa sakit. Dan dari kebiasaan hidup ini berdasarkan data demografinya didapatkan bahwa pasien dengan riwayat peminum alkohol sebanyak 20%, pasien dengan riwayat mengkonsumsi obat-obat penghilang rasa nyeri sebanyak 25%, pasien dengan riwayat pekerja keras dengan pola tidur tidak semestinya sebanyak 20%, dan faktor penyebab lainnya yang tidak diketahui sebanyak 35%. Gambaran Penggunaan Obat Pasien Etiologi sirosis hati mempengaruhi penanganannya. Penatalaksanaan sirosis hati mempunyai tujuan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindari bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Prinsip pengobatan berupa simtomatis, supportif seperti istirahat yang cukup, pengaturan makanan yang cukup dan seimbang, pengobatan berdasarkan etiologi. Serta pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi komplikasi seperti asites, spontaneous bacterial peritonitis BP, varises esofagus, ensefalopati hepatik. Dari hasil penelitian, terapi yang diberikan kepada pasien belum sepenuhnya sesuai dengan standar terapi ilmu penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang, dapat terlihat dari terapi yang diterima pasien yang banyak menerima terapi simtomatis, sedangkan berdasarkan standar terapi, untuk tindakan awal pasien harus membatasi kerja fisik, menghindari obat-obat hepatotoksik, diet yang kaya kalori dan protein. Adapun terapi simtomatis yang diberikan yaitu Curcuma 3 x 1 tablet, NTR 2 x 1 tablet, Liver Care 2 x 1 tablet. Terapi penyerta seperti Spironolakton, digunakan untuk komplikasi udem dan asites pada 18 orang, bila terapi ini belum menunjukkan efek yang optimal maka diberikan kombinasi dengan furosemid, pasien yang mendapatkan terapi Furosemid (Lasix ) pada 12 orang. Lansoprazol digunakan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi esofagus atau varises esofagus pada 4 orang. Propanolol digunakan untuk penanganan hipertensi portal pada 8 orang. Antibiotik digunakan untuk penanganan peritonitis bakterial spontan adalah Ceftriakson pada 8 orang, Cefotaksim pada 7 orang, Ciprofloksasin pada 7 orang. Sukralfat digunakan untuk penanganan ulkus peptik pada 2 orang. Vitamin K digunakan untuk penanganan perdarahan akibat varises esofagus yang dialami pasien 7 orang. Transamin yang dikombinasikan untuk penanganan perdarahan akibat varises esofagus pada 5 orang. Laktulosa digunakan untuk penanganan ensefalopati hepatik pada 9 orang. Madopar digunakan untuk terapi parkinson simptomatis pasca ensefalitis pada 6 orang. Ambroksol digunakan dalam penanganan batuk pasien pada 7 orang. Sistenol digunakan sebagai antipiretik pada 13 orang. Dan penggunaan obat lainnya seperti Novorapid dan

5 Levemir pada 2 orang, Warfarin digunakan sebagai antikoagulan dalam menangani gagal jantung kongestif yang dialami pada 1 orang, Ascardia sebanyak 1 orang, Deksametason sebanyak 2 orang, Azytromicin digunakan untuk penanganan pneumonia yang dialami pasien yaitu 3 orang. Selama pengamatan dalam penelitian bahwa terapi sirosis hati yang diterima pasien masih belum sesuai dengan standar terapi, dimana disetiap pasien yang masuk diberikan terapi simtomatis seperti neurotropik dan livercare yang mungkin saja dapat memperberat kerja hati pasien. Dari hasil pengamatan, terapi yang diterima pasien dengan sirosis hati ini begitu kompleks dan banyak, mengingat penyakit ini merupakan bentuk akhir kerusakan hati dengan digantinya jaringan rusak oleh jaringan fibrotik yang akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi hati. Oleh karenanya hendaknya terapi yang diberikan kepada pasien langsung saja menuju sasaran, tidak menambahkan pengobatan yang dirasa tidak perlu. Meskipun penyakit ini bersifat irreversible, tetapi dengan pengobatan yang baik maka pembentukan jaringan ikat dapat dikurangi dan peradangan yang terjadi dapat dihentikan. Dapat dilihat pada pasien dengan kode I yang berumur 76 tahun dimana pasien menerima terapi sebanyak 14 macam obat. Melihat kondisi klinis pasien, pasien mengalami ensefalopati grade I-II dimana pasien hanya tertidur lemah, mengigau, pandangan kosong dan selalu gelisah. Pasien masuk dengan keluhan perut membuncit meningkat semenjak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, BAK seperti teh pekat dan BAB hitam sepeti aspal, mata kuning dan mengalami demam yang hilang timbul. Diagnosa yang ditegakkan kepada pasien yaitu sirosis hati post nekrotik stadium dekompensata, anemia ringan normositik normokrom, syok sepsis, dan BP duplek. Pada hari ketiga rawatan pasien mengalami precoma hepatik, terjadi peningkatan kadar SGOT namun tidak pada kadar SGPT, terjadi penurunan kadar albumin, peningkatan kadar bilirubin dan perpanjangan waktu protombin. Pasien mendapatkan terapi antibiotik yang berganti sebanyak tiga kali, yaitu ceftriakson, setelah 7 hari rawatan pasien menerima cefotaksim yang diberikan bersamaan dengan ciprofloksasin. Antibiotik ini perlu dalam penanganan peritonitis bakteri spontan, dimana terjadinya infeksi spontan pada cairan asites tanpa adanya sumber infeksi yang jelas dari intraabdomen (Ghassemi, et al, 2007). Menurut Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), antibiotik pilihan utama dalam penanganan SBP adalah cefotaksim karena antibiotik ini berspektrum luas, efektifitasnya tinggi dan aman untuk hati. Jadi sebaiknya pasien diberikan terapi cefotaksim dari awal pengobatan dan pemberian bersamaan dengan antibiotik ciprofloksasin yang dieliminasi utama di ginjal dirasa kurang tepat, mengingat prognosis penyakit pasien yang semakin memburuk. Sebagaimana diketahui bahwa kerusakan hati lanjut dapat menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan perfusi glomerulus (Nurdjanah, 2007). Selanjutnya pasien mendapatkan terapi vitamin K 3 x 1 ampul (1 ampul: 10mg/ml) dan transamin 3 x 1 ampul yang digunakan dalam penanganan varises esofagus yang dialami pasien. Dalam hal ini pemberian vitamin K dianggap sudah tepat, dimana pasien sirosis hati dengan peningkatan kadar bilirubin dan perpanjangan waktu protombin akan mengalami defisiensi vitamin K. Dengan pemberian vitamin K 10 mg secara oral atau subkutan, biasanya kondisi pasien akan membaik setelah 24 jam, sehingga pemberian kombinasi dengan transamin dirasa kurang perlu (Lata, et al, 2003). Dalam penanganan ensefalopati hepatik pasien berdasarkan pedoman diagnosa dan terapi RSUP DR. M. Djamil, untuk pengelolaan ensefalopati hepatik akut, dapat dengan mengatasi faktor-faktor pencetus seperti perdarahan, alkohol, antibiotik, infeksi, transfusi darah; pengosongan usus dari bahan-bahan yang mengandung nitrogen, hentikan obat-obatan yang mengandung nitrogen; diet tanpa protein; sterilisasi usus dengan neomisin, kanamisin oral; hentikan penggunaan diuretik/ pemeriksaan elektrolit serum; pertahanan keseimbangan kalori cairan elektrolit. Untuk ensefalopati menahun dapat dengan menghindari obatobatan yang mengandung nitrogen; diet miskin protein (50g/24 jam); laktulosa ml 3 kali sehari. Pasien disini menerima terapi lactulax (Laktulosa) 3 x 30 ml dan Madopar (Levodopa 100mg; Benserazide HCl 25 mg) yang digunakan sebagai terapi simtomatis pasca ensefalopati. Pada penelitian ini, penanganan ensefalopati pasien tidak sepenuhnya sesuai dengan PDT RSUP DR. M. Djamil Padang dimana pemberian Madopar dirasakan kurang tepat dikarenakan tujuan pemberiannya tidak jelas. Penanganan ensefalopati seharusnya diberikan laktulosa ml 3 x sehari untuk membantu pasien mengeluarkan amonia dan bila perlu ditambahkan dengan neomisin untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia (Katzung, 2004; PDT RSUP DR. M. Djamil Padang, 2007). Pasien juga mendapatkan terapi deksametason 3 x 1 ampul yang dirasa tidak ada tujuan pemberiannya pada kasus ini, sehingga pemberian deksametason dianggap kurang tepat. Mengingat pasien seorang usia lanjut, pemberian obat dalam jumlah banyak hendaknya dihindari, karena perlu adanya perhatian yang khusus terhadap pasien dengan usia lanjut yang mengalami sirosis hati, dimana pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan fungsi hati dikarenakan aliran darah ke hati pada pasien umur >60 tahun berkurang hingga % dibandingkan pada pasien usia muda sekitar tahun (Katzung, 2004). Kemampuan hati untuk memetabolisme obat tidak akan sama berdasarkan perbedaan umur untuk semua jenis obat. Riwayat penyakit hati pada orang tua harus menjadi acuan dalam

6 pemberian terapi yang eliminasinya terutama melalui hati (Katzung, 2004). Gambaran Penggunaan Obat Berpotensi Hepatotoksik Dari hasil pengamatan terhadap penggunaan obat-obatan pada pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang didapatkan beberapa jenis obat yang berpotensi dapat menambah kerusakan fungsi hati pasien, diantaranya obat yang dimetabolisme terutama di hati yaitu propanolol, lansoprazol. Obat dengan indeks terapi sempit yaitu warfarin. Obat yang dapat menyebabkan ensefalopati hepatik yaitu diuretika furosemid, data dapat dilihat pada tabel 1. Propanolol merupakan obat golongan penghambat reseptor β-adrenergik yang pada sirosis hati bertujuan dalam penanganan hipertensi portal yang digunakan untuk mencegah perdarahan awal dan perdarahan kembali dari varises pada pasien sirosis (Sukandar, 2008). Propranolol diabsorbsi melalui saluran cerna, akan berikatan dengan jaringan hati dan mengalami first-pass metabolisme, selain itu propanolol terikat dalam jumlah besar dengan protein plasma sehingga pada pasien kerusakan hati dan sirosis hati dimana terjadi penurunan massa sel hati akan menurunkan metabolisme lintas pertama dan akan berakibat juga pada peningkatan bioavailabilitas obatobat tersebut. Sehingga dengan adanya peningkatan bioavailabilitas tersebut diperlukan dosis yang lebih kecil dan normal. Dalam penelitian lain yang menyatakan tentang penggunaan propranolol pada pasien penyakit hati harus hati-hati, berdasarkan penelitian yang dilakukan Wood dan kawan-kawan didapatkan bahwa adanya peningkatan konsentrasi propanolol di dalam darah pasien sirosis hati yang dibandingkan dengan kontrol. Waktu paruh untuk dua grup tersebut yaitu 11,2 jam dan 4 jam (Wood, et al, 1978). Penelitian farmakokinetika propanolol lainnya menunjukkan bahwa pada pasien dengan sirosis hati dan hipertensi portal terdapat hasil yang menyatakan bahwa pemakaian propranolol dengan dosis 20 mg, terdeteksi adanya konsentrasi obat yang tinggi dibandingkan normal, dan pada pasien dengan penurunan fungsi hati propanolol ditemukan setelah 24 jam setelah pemberian dosis tunggal. Pada penelitian ini diindikasikan bahwa pasien dengan gangguan fungsi hati (serum albumin <30 g/l, Child grade C) menunjukkan kinetika farmakokinetik propanolol yang berubah dengan efek yang terlalu banyak. Oleh karenaya, diharapkan ketika propanolol diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati perlu adanya pengamatan terhadap pasien di rumah sakit (Susla & Artkinson, 2007; Cales, et al, 1989). Dari hasil pengamatan terhadap pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP DR. M. Djamil Padang, pasien menerima propanolol sebesar 1 x 10 mg hingga 2 x 10 mg, dosis ini dianggap aman karena telah dimulai dari dosis kecil untuk mereka dengan penurunan fungsi hati. Pada Handbook of Clinical Drug, terapi dengan dosis rendah diberikan pada pasien hipotiroid atau penyakit dengan gangguan fungsi hati, dimulai dengan dosis rendah dan ditingkaatkan secara perlahan berdasarkan respon klinis pasien. Dosis lebih baik diberikan 1 kali 10 mg, kemudian ditingkatkan dosisnya secara perlahan sesuai klinis pasien. Lansoprazol merupakan golongan obat penghambat pompa proton yang dalam terapi sirosis hati digunakan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi esofagus atau varises esofagus (Lodato, et al, 2008). Bersihan lansoprazol akan menurun pada pasien lanjut usia dan pasien penyakit hati (Hussein, et al, 1993). Menurut penelitian klinis, metabolisme lansoprazol akan diperpanjang bila terdapat gangguan fungsi hati berat. Berdasarkan penelitian oleh Landes dan kawan-kawan dengan penggunaan lansoprazol dosis 30 mg/hari dan penelitian yang dilakukan oleh Lodato dan kawan-kawan dengan penggunaan lansoprazol dosis 40mg/hari sebaiknya dilakukan penurunan dosis pada pasien dengan sirosis hati, dimana terjadi peningkatan AUC dari lansoprazol dan pemanjangan waktu paruh menjadi 6,1 jam pada dosis 30mg/hari dan 4 hingga 8 jam pada dosis 40mg/hari, sehingga terjadinya resiko peningkatan akumulasi dari obat (Landes, Petite, Flouvat,1995; Lodato, et al, 2008). Dikarenakan ketakutan akan terjadinya akumulasi obat pada pasien sirosis hati sehingga perlu adanya perhatian khusus dan penurunan dosis pun perlu dilakukan. Dari hasil penelitian terhadap pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP DR. M. Djamil Padang diperoleh dosis yang digunakan adalah 1x 30 mg/hari, dimana seharusnya dosis lansoprazol diberikan berdasarkan dosis indvidualnya. Dosis lansoprazol adalah mg/hari, sehingga untuk mereka dengan nilai child pugh B setelah dikurangi 25% maka didapatkan dosis lansoprazol adalah 11,25-22,50 mg/hari, dan mereka dengan nilai child pugh C setelah dikurangi 50% maka didapatkan dosis lansoprazol adalah 7,5 15 mg. Furosemid merupakan obat golongan diuretik jerat Henle yang dapat digunakan dalam pengobatan asites sebagai dampak dari komplikasi penyakit sirosis hati. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat reabsorbsi sodium dan klorida di proksimal bagian dari jerat henle (Ehrenpreis & Ehrenpreis, 2001). Furosemid yang bebas dapat meningkat pada mereka dengan gangguan fungsi hati, ginjal dan sirosis hati. Disamping itu furosemid tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan pre-koma yang berkaitan dengan sirosis hati, karena pada gangguan fungsi hati dapat meningkatnya nilai volume distribusi dari furosemid (Ponto, 1990). Pemberian furosemid yang berlebih juga menjadi faktor pemicu terjadinya ensefalopati hepatik. Mekanisme kerjanya melalui induksi hipokalemia dan alkalosis metabolik, dimana alkalosis memicu difusi amonia

7 nonionik dan amin lainnya ke dalam sistem saraf pusat, demikian juga asidosis intraseluler yang dapat menjebak amoniak dengan cara mengkonversinya kembali menjadi ion amonium (Gerber, et al, 2000; Blei, 2000). Pada pasien penyakit jantung kronik dan kerusakan fungsi hati yang sedang, terapi furosemid dosis tinggi dapat meningkatkan enzim-enzim hati sehingga akan menginduksi terjadinya hepatitis. Oleh karenanya, perlu perhatian khusus bagi pasien sirosis hati dengan komplikasi ensefalopati hepatik terhadap dosis terapi furosemid, sehingga perburukan keadaan pasien dapat dihindari. Dalam pedoman penanganan asites pada sirosis hati, furosemid diberikan dengan dosis 40mg/hari dan dapat ditingkatkan dosisnya hingga tidak lebih dari 160mg/hari setiap 2-3 hari (Moore, Aithal, 2006). Dari hasil pengamatan terhadap pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP DR. M.Djamil Padang, pasien menerima terapi furosemid sebesar 2 x 1 ampul (40 mg) dengan peningkatan dosis 2 x 40 mg. Dosis furosemid yang diterima pasien dapat dikatakan aman, karena pasien menerima furosemid dengan dosis terendah sehingga peyesuaian dosis tidak perlu dilakukan. Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih dari 90% dari warfarin terikat pada albumin plasma, yang mungkin menjadi penyebab kenapa volume distribusinya kecil (ruang albumin), jika albumin plasma rendah maka obat bebas dari warfarin ini akan meningkat, oleh karenanya ia disebut obat dengan indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg, 2003). Berdasarkan rasio ekstraksinya, warfarin merupakan obat dengan rasio ekstraksi rendah, dimana tidak menunjukkan ekstraksi lintas pertama yang bermakna setelah pemberian oral. Dengan menurunnya massa sel hati, maka menurun pula lah eliminasi dari obat ini sehingga menyebabakan adanya resiko akumulasi (Kenward & Tan, 2003). Pada penelitian ini pasien menerima terapi warfarin sebagai terapi antikoagulan dalam menangani penyakit gagal jantung kongestif yang dialami pasien. Pengobatan dengan warfarin harus didahului dengan dosis kecil harian sebesar 5 mg. Penelitian prospektif secara acak menunjukkan bahwa pasien lebih memungkinkan memiliki nilai INR (International Normal Ratio) 3 hingga 5 hari setelah penggunaan warfarin dengan dosis 5 mg dibandingkan dengan 10mg. Dan dengan dosis 10 mg didapatkan hasil dimana nilai INR berada diluar batas terapi (Harrison, L., Johnston, M., Massicotte, M.P., 1997; Crowther, M. A., et al, 1999). Dari hasil pengamatan pasien sirosis hati yang menggunakan warfarin di bangsal interne RSUP DR. M.Djamil Padang, pasien menerima warfarin 1 kali 2mg, dimana diperhatikan selama 7 hari, bila nilai INR meningkat maka dosis diturunkan 20% nya dan bila nilai INR menurun maka dosis ditingkatkan 20% nya untuk minggu selanjutnya. Pemberian warfarin dengan dosis rendah ini direkomendasikan untuk mereka dengan gangguan fungsi hati dan pasien dengan gagal jantung (Jaffer & Bragg, 2003). Analisa Farmakokinetik Obat Hepatotoksik Dari hasil penelitian, pasien sirosis hati yang fungsi hatinya telah menurun menerima kombinasi terapi obat obat yang dapat memperparah fungsi hati. Dari hasil analisa pengamatan farmakokinetik, dari 20 orang pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang, 18 orang (90%) menerima terapi obat-obat yang dapat memperparah fungsi hati dan 2 orang (10%) lainnya menerima terapi lebih dari 8 macam obat. Dari 20 orang pasien yang menerima obat yang dapat memperparah fungsi hati tersebut berdasarkan perhitungan nilai child pugh nya untuk lansoprazol dimana 4 orang yang menerima terapi ini didapatkan semua pasien (100%) menerima dosis yang melebihi dosis individual. Untuk propanolol dimana 8 orang yang menerima terapi ini telah mendapatkan dosis yang tepat, yaitu dosis terendah 1 x 10 mg yang ditingkatkan menjadi 2x10 mg. Untuk furosemid dari 10 orang yang menerima terapi ini juga telah menerima terapi dengan dosis yang tepat yaitu 2 x 1 ampul (20mg). Keseluruhan dosis individual ini dihitung berasarkan data nilai Child Pugh. Dari hasil pengamatan tersebut, didapatkan bahwa sebagian besar obat yang berpotensi memperparah fungsi hati yang diterima pasien telah berada dalam dosis terapi yang tepat, namun tetap perlu adanya pemantauan penggunaan obat yang dapat memperparah fungsi hati sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengukuran Nilai Child Pugh Pengklasifikasian ini sangat penting karena dapat digunakan untuk menetapkan tingkat keparahan penyakit sirosis dan memprediksi kemampuan pasien untuk bertahan, keadaan setelah operasi dan resiko terjadinya perdarahan variceal (Dipiro, 2005). Nilai Child-Pugh dengan poin 8-9 menggambarkan penurunan yang sedang pada dosis obat awal (~25%) untuk bahan yang dimetabolisme pada hati ( 60%), dan pada poin 10 atau lebih mengindikasikan penurunan yang signifikan pada pemberian dosis awal (~50%) dibutuhkan untuk obat yang metabolisme utamanya pada hati (Dipiro, 2005). Dari data di atas, banyak kasus yang memerlukan perhatian penting dalam pemberian dosis obat-obat yang dapat mempengaruhi fungsi hati pasien. Dari pengamatan berdasarkan data laboratorium pasien maka parameter nilai Child Pugh berdasarkan derajat keparahan fungsi hati pada bulan Oktober 2011 hingga Januari 2012 di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang terlihat persentase kelas C merupakan skor yang paling banyak yaitu 95% (19 orang) dibandingkan kelas B yaitu 5% (1 orang), dan tidak ditemukannya pasien dengan nilai pada kelas A, data dapat dilihat tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa

8 sirosis hati merupakan penyakit hati stadium akhir dimana pasien pada kelas C memiliki prognosa yang lebih jelek dibandingkan pada kelas B dan A. Pada penelitian ini, tidak ditemukannya kolom khusus untuk penentuan nilai child pugh, peneliti mengelompokkan sendiri data-data yang termasuk ke dalam kriteria nilai child pugh dari hasil laboratorium yang ada di rekamedik pasien, sehingga ada beberapa data yang tidak diperiksa padahal sangat penting dalam perhitungan nilai child pugh, mengakibatkan beberapa dari pasien sirosis hati yang tidak dapat ditentukan nilai child pugh nya yang sebenarnya merupakan parameter penentuan tingkat keparahan penyakit ini yang berujung pada penentuan dosis yang akan diterima pasien. Kelompok pasien dengan kerusakan hati pada nilai Child Pugh C dengan skor nilai 12 salah satunya adalah pasien dengan kode K berumur 54 tahun dengan berat badan 52 kg. Pasien merupakan seorang supir dengan kebiasaan meminum alkohol. Masuk rumah sakit dengan keluhan utama BAB hitam sejak masuk ke rumah sakit dan muntah darah, BAK berwarna teh pekat serta nafsu makan yang menurun. Pasien telah dikenal menderita sirosis hati 6 bulan yang lalu, dengan penyakit penyerta bronkopneumonia dupleks dan diabetes mellitus tipe 2. Pada data laboratorium berdasarkan Child Pugh menunjukkan nilai bilirubin total 1,51 mg/dl, serum albumin 2,7 g/dl, waktu protombin 14,7 detik, mengalami asites pada tahap moderate, dan mengalami ensefalopati hepatik dengan grade I. Pada kondisi klinis pasien tampak terdapatnya udem pada kedua kaki, pasien masih tertidur lemah, hanya bisa berbaring, perut dengan keadaan asites yang terasa menyesak, dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Terapi yang diterima pasien yaitu curcuma 3 x 1 tab, sistenol 3 x 1 tab, propanolol 2 x 10mg, spironolakton 1 x 100mg, lactulac 3 x 30cc, ambroksol 3 x 1 cth, cefotaksim 2 x 1g, sukralfat 3 x 1 cth, 1 x 30 mg, novorapid 3 x 12 ui, levemir 1 x 12 ui, lasix(furosemid) 2 x 1 ampul, data dapat dilihat pada Lampiran 7, Tabel 25. Dari kondisi pasien dengan nilai Child Pugh C, maka pemberian obat yang dapat memperburuk fungsi hati yaitu propanolol, lansoprazol, dan obat yang dapat meningkatkan perburukan ensefalopati hepatik yaitu furosemid sebaiknya dihindari karena dikhawatirkan dapat memperburuk prognosa penyakit pasien. Pasien menerima propanolol 2 x 10 mg, meskipun dosis ini telah aman pada pasien sirosis hati, namun pemberian dosis propanolol dengan dosis terendah 1 x 10 mg lebih baik dilakukan dan beriring dengan keadaan klinis pasien, peningkatan dosis dapat dilakukan. Sedangkan dosis lansoprazol yang diterima perlu adanya penyesuaian dosis dengan pengurangan 50% nya sehingga dosis yang seharusnya diterima pasien yaitu 15 mg/hari. Bila diperlukan juga hendaknya pemakaian ketiga obat ini dipantau sehingga akumulasi dari obat dapat dihindari. Dari hasil pengamatan selama pasien dirawat yaitu lebih kurang 1 bulan, tidak ditemukannya perbaikan yang signifikan meskipun pasien tidak mengeluhkan adanya efek samping apapun dari obat-obat yang diterima kecuali keresahan akan perut yang semakin membesar dan terasa menyesak. Namun berdasarkan dari data laboratorium klinik pasien diduga terjadinya penurunan fungsi hati dimana nilai SGPT yang meningkat menjadi 2 kali normal yaitu 66,85 u/l (normal : 0-33 u/l), penurunan serum albumin yaitu 2,5 g/dl (normal: 4,0-5,2 g/dl), penurunan protein total yaitu 5,4 g/dl (normal: 6,6-8,7 g/dl), peningkatan waktu protombin yaitu 13,2 detik (normal: 9,8-12,6 detik). Pasien diperbolehkan pulang setelah dilakukan parasintesis terhadap cairan asites nya. Nilai child pugh kelas B (8 poin) dialami pasien dengan kode T, seorang pasien berumur 42 tahun yang berprofesi sebagai petani, masuk rumah sakit dengan keluhan utama susah tidur sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak memiliki keluhan yang spesifik yang menunjukkan pasien sirosis hati, pasien hanya mengalami sakit perut sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, nafsu makan menurun, demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, BAB dan BAK biasa, tidak terdapat tanda-tanda mata kuning dan kulit kuning. Pasien didiagnosa sirosis hati stadium dekompensata post nekrosis dengan hipertensi stage 1 dan dengan penyakit penyerta bronkopneumonia dupleks. Pada kriteria nilai child pugh didapatkan nilai total bilirubin 0,4 mg/dl, serum albumin 2,9 g/dl, waktu protombin <4 detik, asites pada tahap slight, dan belum terlihat tanda-tanda ensefalopati heaptik. Pada kondisi klinis pasien, pasien dapat duduk namun terlihat lemah, tidak terdapat udem pada kedua kaki ataupun kedua tangan, pasien tidak terlihat bingung, dapat berkomunikasi dengan baik kepada orang disekitar, dapat dikatakan kondisi klinis pasien baik. Namun, pasien menerima terapi sebanyak 12 macam, yaitu cefotaksim 2 x 1 g, azitromycin 1 x 500mg, sistenol 3 x 1 tablet, curcuma 3 x 1 tablet, ambroksol 3 x 1 tablet, madopar 3 x 1 tablet, propanolol 2 x 10 mg, hari kedua rawatan diturunkan menjadi 1 x 10 mg, lactulac 3 x 30 ml, hari ke-8 rawatan diturunkan menjadi 3 x 15 ml, spironolakton 2 x 100 mg, lasix (furosemid) 1 x 20 mg, data dapat dilihat pada Lampiran 7, Tabel 25. Pemberian obat sebanyak 12 macam ini seharusnya tidak perlu dilakukan, karena pemberian obat yang banyak pada pasien ditakutkan dapat memperburuk fungsi hati pasien meskipun tidak semua obat yang diterima dimetabolisme utama di hati. Diketahui bahwa pasien berada dalam kriteria sirosis hati sedang yang dihitung berdasarkan nilai child pugh, namun prognosa penyakit dapat saja menjadi memburuk akibat penggunaan obat yang banyak, ditambah pula pasien menerima obat yang dapat memperburuk fungsi hati. Pasien menerima 2 macam

9 obat yang dapat memperburuk fungsi hati, yaitu propanolol dan lasix (furosemid). Dari hasil laboratorium pasien yang dapat dijadikan petunjuk adanya penurunan fungsi hati, hanya nilai protein total, albumin, dan globulin yang selalu dimonitor. Dimana nilai-nilai tersebut tidak memperlihatkan perbedaan nilai yang berarti dari hari ke hari, dimana tetap terjadi penurunan nilai protein total, penurunan kadar albumin, dan peningkatan kadar globulin. Dari ketiga data tersebut memperlihatkan bahwa pasien mengalami penurunan fungsi hati. Sedangkan berdasarkan keadaan klinis pasien, pasien masih tetap kelihatan lemah, tidak terdapat udem, namun perut mulai tampak membuncit. Disini dapat disimpulkan bahwa keadaan pasien mulai terjadi penurunan, dan pasien meminta pulang setelah 12 hari rawatan dalam keadaan perut sedikit membuncit. Efek Samping dan Interaksi Obat Efek samping dari beberapa obat yang diterima pasien ini dapat ditoleransi dengan baik dan bersifat ringan (Martindale, 2007). Adanya gejala efek samping pada pasien relatif rendah bahkan bisa dikatakan tidak ada. Karena berdasarkan hasil wawancara terhadap pasien, pasien tidak merasakan efek apapun setelah memakan semua jenis obat, hanya saja pasien selalu merasakan mual, perut tidak nyaman. Ini mungkin saja akibat gejala penyakit yang dideritanya, dan mungkin saja efek samping obat yag tersamarkan oleh gejala penyakit. Interaksi obat terjadi ketika agen terapetik berubah konsentrasi (interaksi farmakokinetik) atau adanya efek biologis dari agen lainnya (interaksi farmakodinamik). Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada tingkat absorpsi, distribusi, atau bersihan dari senyawa obat (Fradgley, 2004). Pada penelitian ini tidak ditemukannya interaksi yang berarti pada pengobatan yang diterima pasien. Adapun interaksi yang terjadi antara lain antara propanolol dan furosemid dengan nilai signifikansi 5 dengan jumlah kasus sebanyak 5 kasus. Pada penelitian ini terdapat interaksi dengan nilai signifikansi 3 yaitu interaksi antara warfarin dengan ceftriaxon bila digunakan bersamaan maka akan terjadi peningkatan efek antikoagulan warfarin. Dimana terjadinya peningkatan sensitifitas warfarin pada pasien setelah menerima ceftriaxon yang ditandai dengan terjadinya hipoprotombinemia atau perpanjangan waktu perdarahan. Mekanisme dari interaksi ini yaitu terjadinya pengurangan sintesis vitamin K yang tergantung faktor pembekuan darah (Fradgley, 2004). Interaksi ini terjadi pada pasien dengan kode Q, peningkatan efek antikoagulan warfarin yang ditandai dengan terjadinya hipoprotombinemia ataupun perpanjangan waktu perdarahan dapat dilihat dari waktu protombin pasien yang melebihi nilai normal yaitu 16,6 detik (normal: 9,8-12,6 detik). Namun perpanjangan waktu protombin ini memang akan selalu dijumpai pada pasien sirosis hati (Husadha, 1996). Oleh karena itu perlu adanya perhatian khusus pada pasien sirosis hati yang menggunakan warfarin. Jenis interaksi yang terjadi ini membutuhkan monitoring berdasarkan pengetahuan akan perubahan farmakokinetik atau farmakodinamik yang mungkin terjadi, maka manajemen pemberian obat harus disesuaikan. Para klinisi harus lebih tanggap akan interaksi yang potensial dan lebih mengetahui mengenai substrat, inhibisi, dan induksi dari berbagai macam enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme obat. Ini akan meningkatkan penggunaan obat yang rasional dan kombinasi obat yang lebih baik (Leucuta & Vlase, 2006). Analisa Gejala Objektifitas dan Subjektifitas Hepatotoksik Pada penelitian ini juga melakukan penentuan gejala objektifitas dan subjektifitas adanya kerusakan hati. Gejala objektifitas yang pertama yaitu peningkatan kadar SGOT sebesar 50% dan peningkatan kadar SGPT sebesar 30. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien dengan peningkatan kadar SGOT dan SGPT tidak dialami lebih dari separuh pasien, bahkan ada beberapa pasien yang berada pada nilai normal yaitu sebesar 25% untuk SGOT, dan 45% untuk SGPT. Kenaikan nilai SGOT dan SGPT yang tidak terlalu besar atau bahkan normal dapat dijumpai pada penyakit hati kronis seperti obstructive jaundice ataupun sirosis. Ini disebabkan karena pada sirosis hati terjadi fibrosis pada sel-sel hatinya dan juga hati yang mengkerut sehingga sel-sel hati yang normal jumlahnya semakin sedikit, karena jumlah sel-sel hati yang sedikit ini menyebabkan sekresi dari kedua enzim ini juga menurun (Kenward & Tan, 2003). Tes fungsi hati selanjutnya yang dapat dijadikan petunjuk adanya kerusakan hati yaitu penurunan serum albumin dan serum protein total. Albumin plasma disintesis di hati dan perubahan konsentrasi serumnya merupakan petunjuk yang berguna terhadap fungsi sintesis hati maupun tingkat penyakit hati kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun pada penyakit hati kronis tetapi cenderung normal pada tingkat awal hepatitis akut karena waktu paruhnya yang panjang sekitar 20 hari (Kenward & Tan, 2003). Pada penelitian ini terjadi penurunan serum albumin dan serum protein total yaitu 50% dan 45%, dimana terjadi penurunan hampir separuh dari pasien yang menderita sirosis hati. Penurunan ini dapat terjadi karena sel hati yang merupakan tempat satu-satunya serum albumin dibentuk mengalami kerusakan sehingga produksinya pun akan menurun (Kenward & Tan, 2003). Serum bilirubin juga merupakan petunjuk kerusakan yang terjadi pada hati. Dimana bilirubin adalah pigmen empedu primer yang berasal dari perusakan sel darah merah di limpa dan sum-sum

10 tulang. Bilirubin merupakan hasil akhir degradasi bagian heme (yang mengandung besi) haemoglobin yang terkandung di dalam sel darah merah. Bila bilirubin langsung rendah sedangkan bilirubin total tinggi, hal ini menunjukkan adanya kerusakan pada hati atau pada saluran cairan empedu didalam hati (Kenward & Tan, 2003). Pada penelitian ini pasien dengan peningkatan kadar bilirubin total ini sebesar 25%, yang tidak mengalami peningkatan sebesar 15% serta data yang tidak lengkap sebesar 60%. Dimana terlihat lebih banyak pasien yang mengalami peningkatan kadar bilirubin daripada yang tidak mengalami peningkatan bilirubin total, namun disayangkan banyak dari pasien yang tidak dilakukan pemeriksaan terhadap kadar ini. Peningkatan kadar bilirubin total ini disebabkan karena produksi dari bilirubin ini berlebihan namun bersihan di hati menurun karena hati telah rusak. Tes selanjutnya yaitu protombine time (PT) yang merupakan waktu yang diperlukan untuk dihasilkannya fibrin clot dalam plasma pada kondisi standar. Tes ini sebenarnya relatif lebih sensitif terhadap defisiensi faktor V dan koagulasi protein yang tergantung vitamin K daripada terhadap kelainan protombin atau fibrinogen. Waktu protombin sangat bermanfaat untuk memperkirakan tingkat keparahan penyakit penyakit hati, baik yang akut maupun yang kronis (Kenward & Tan, 2003). Pada penelitian ini pasien yang mengalami peningkatan waktu protombin sebesar 25%, yang tidak mengalami peningkatan sebesar 15. Hasil yang kecil ini juga didukung dengan pengukuran PT yang hanya sekali saja dilakukan terhadap pasien, bahkan ada dari beberapa pasien yang tidak dilakukan pengukuran dari protombine time ini yaitu sebesar 60%. Gejala subjektif ini merupakan gejala-gejala awal terjadinya penurunan fungsi hati. Gejala subjektif meliputi keadaan lemah, penurunan berat badan, mual/muntah, perut terasa tidak nyaman, sedikit demam, kebingungan, penurunan nafsu makan dan rentan terhadap pendarahan (Siregar & Endang, 2006). Dari data yang didapat 100% pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP DR. M. Djamil Padang mengalami gejala subjektif hepatotoksik dengan rincian persentase pasien yang mengalami lemah sebesar 90%, penurunan berat badan sebesar 85%, mual/muntah sebesar 60%, perut tidak nyaman sebesar 90%, demam sebesar 65%, dan yang mengalami kebingungan sebesar 35%. Dari data ini tampak gejala penurunan fungsi hati dialami oleh hampir sebagian besar pasien, dapat disimpulkan bahwa sangat pentingnya pemeriksaan fungsi hati secara berkala bila pasien mengkonsumsi obat berpotensi hepatotoksik, lebih baik lagi bila dilakukan monitoring obat di dalam darah terhadap terapi yang diterima pasien. Tabel I.Jenis Obat yang Berpotensi Menambah Kerusakan Fungsi Hati di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang yang dirawat selama bulan Oktober Januari 2012 No. Nama Obat Jumlah Kasus 1. Propanolol 8 2. Furosemid Lansoprazol 4 4. Warfarin 1 Tabel II. Persentase pasien dengan kriteria nilai Child Pugh berdasarkan Derajat Keparahan Fungsi Hati di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang yang dirawat selama bulan Oktober Januari 2012 (n=20) No Nilai Child Pugh Kelas A (<7 poin) Kelas B (7-9 poin) Kelas C (10-15 poin) Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian mengenai aspek farmakokinetik klinik obat yang digunakan pada pasien sirosis hati di bangsal penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang selama bulan Oktober 2011 hingga Januari 2012, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan nilai Child Pugh didapatkan 95% berada pada kelas C (keadaan hati berat) dan 5 % berada pada kelas B (keadaan hati sedang), sedangkan pada kelas A (keadaan hati ringan) tidak ditemukan. 2. Pasien masih menerima polifarmasi sebesar 60% dengan jumlah obat mulai dari 9 14 jenis obat yang sebagian besar dimetabolisme di hati dan dapat memperparah fungsi hati. 3. Pasien menerima 4 jenis obat yang dapat

11 memperburuk fungsi hati dengan dosis yang masih relatif aman, namun tetap perlu adanya pengawasan terhadap fungsi hati sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. DAFTAR PUSTAKA Aslam, Moh, Chik Kaw Tan, Adji Prayitno, Farmasi Klinis- Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, Penerbit PT. Alex Media Komputindo Jakarta, 2004; hal Barber, Nick and Alan W., Churchill s Pocket Book of Clinical Pharmacy, Churchill s Pocket Book of Clinical Pharmacy, Second Edition, Elsevier Health Scinces, 2006 ; hal Bauer, Larry A., 2008, Applied Clinical Pharmacokinetics, Second Edition, USA: Mc. Graw Hill Medical Companies. Inc. Blei, A.T., 2000, Diagnosis and Treatment of Hepatic Encephalopathy. Bailliers Best Pract Res Clin gastroenterol; 14:959 Cales,P., Grasset, D., Ravaud, A., Meskens, C., Blanc, M., Vinel, J.P., Cotonat, J., & Pascal, J.P., 1989, Pharmacodynamic and Pharmacokinetic study of propanolol in Patients with Cirrhosis and Portal Hypertension, Br. J. Clin. Pharmac., 27, Di Piro, J.T., Concepts in Clinical Pharmakokinetics, A Self-Instructional Course, ASHP, 1988 Fradgley, S., 2004, Farmakokinetika Klinis dalam Farmasi Klinis- Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, Editor Aslam, Moh, Chik Kaw Tan, Adji Prayitno, Jakarta: Penerbit PT. Alex Media Komputindo Gerber, T., Schomerus, H., 2000, Hepatic Encephalopathy in Liver Cirrhosis: pathogenesis, diagnosis, and management. Drugs; 60(6): Ghasemmi, S., Garcia, T.G., 2007, Prevention and Treatment of Infections in Patient with Cirrhocis, Best Pract Res Clin Gastroenterol; 21:77-93 Harrison L, Johnston M, Massicotte MP, et al, Comparison of 5 mg and 10 mg loading doses in initiation of warfarin therapy, Ann Intern Med 1997; 126: Husnul, M., 2008 Sirosis Hati (Sirosis Hepatis), Available from Husadha, Y., 1996, Fisiologi dan Pemeriksaan Biokimiawi Hati, Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga, editor Sjaifoellah Noer dkk, Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; Jaffer, A., Bragg, L., 2003, Practical Tips for Warfarin Dosing and Monitoring, Cleveland Clinic Journal of Medicine, Vol.70, Number 4, Katzung, B.G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi kedelapan, Penerjemah: Agoes, A, Jakarta: Salemba Medika Kenward, R., Tan, C.K., 2004, Penggunaan Obat Pada Gangguan Hati dalam Farmasi Klinis- Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, Editor Aslam, Moh, Chik Kaw Tan, Adji Prayitno, Jakarta: Penerbit PT. Alex Media Komputindo Landes, B.D., Petite, J.P., Flouvat, B., Clinical Pharmacokinetics of Lansoprazole, Clin. Pharmacokinet, 1995; 28(6): Lata, J., Hulek, P., Vanasek, T., 2003, Management of Acute Variceal Bleeding, Dig Dis, 21:6-15 Leucuta, S.E., Vlase, L., Pharmacokinetics and Metabolic Drug Interactions, Current Clinical Pharmacology, 2006, I, 5-20 Lodato, F., Azzaroli, F., Girolamo, M.D., Feletti, V., Cecinato, P., Lisotti, A., Festi, D., Roda, E., and Mezzella, G., Proton Pump Inhibitors in Cirrhocis: Tradition or Evidence based Practice?, World J Gastroenteterol, 2008, 14(19): Martindale, 2007, The Extra Pharmacopoeia, Ed.35, London : The Pharmaceutical Press Moore, K.P., Aithal, G.P., 2006, Guidlines on the Management of Ascites in Cirrhosis, Gut Bmjjournals, 55; 1-12 North, P. & Lewis, 2008, Drug and Liver; A guide to drug handling in liver disfunction, Pharmaceutical Press British, UK ; Panitia Diagnosa dan Terapi (PDT), 2007, Standar Terapi Rumah Sakit Perjan RSUP DR. M. Djamil Padang., edisi IV., Padang

12 Santoso, B., 1985, Cermin Dunia Kedokteran, Farmakokinetika Klinik, edisi No.37, hal 8-12 Siregar, C.J.P.& Endang, K., 2006, Farmasi Klinik Teori dan Terapan, Jakarta: EGC Soldin, O.P., Chung, S.,H., Mattison, D., R., 2011, Sex Differences in Drug Disposition, Journal of biomedicine and Biotechnology, vol 2011, article ID , 14 pages Sudoyo, A.W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., dan Siti Setiati., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dala, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 443 Sukandar, E.Y., dkk, 2008, Iso Farmakoterapi, Cetakan I, Jakarta, penerbit PT ISFI Susla, G.M., Artkinson, A.J., 2007, Effect of Liver Disease on Pharmacokinetics, Dalam: Principles of Clinical Pharmacology Second Edition, Editor: Arthur J.K., Barrell, R.A., Charles, E.D., Robert, L.D., and Sanford, P.M., United States of America: Academic Press Sutadi, S.M., 2003, Sirosis Hepatis, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Wood, A.J.J., Kornhauser, D.M., Wilkinson, G.R., Shand, D.G., & Branch, R.A., 1978, The Influence of Cirrhocis on Steady State Blood Consentrations of Unbound Propanolol after Oral Administration, Clin. Pharmacokin., 3,

13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hepatik merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif (Nurdjanah, 2009). Sirosis hepatik merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. WHO pada tahun 2002, memperkirakan pasien di dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. WHO pada tahun 2002, memperkirakan pasien di dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO pada tahun 2002, memperkirakan 783 000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi

Lebih terperinci

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hepatis merupakan penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium akhir dari penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hati merupakan suatu kondisi dimana jaringan hati yang normal digantikan oleh jaringan parut (fibrosis) yang terbentuk melalui proses bertahap. Jaringan parut

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hati merupakan suatu penyakit yang memiliki penyebaran di seluruh dunia. Individu yang terkena sangat sering tidak menunjukkan gejala untuk jangka waktu panjang,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pada masa kini semakin banyak penyakit-penyakit berbahaya yang menyerang dan mengancam kehidupan manusia, salah satunya adalah penyakit sirosis hepatis. Sirosis hepatis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ginjal merupakan organ penting dalam mengatur kadar cairan dalam tubuh, keseimbangan elektrolit, dan pembuangan sisa metabolit dan obat dari dalam tubuh. Kerusakan

Lebih terperinci

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) tidak hanya disebabkan oleh asites pada sirosis hati melainkan juga disebabkan oleh gastroenteritis dan pendarahan pada saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sirosis adalah suatu keadaan patologik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit hati dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal pada dekade

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gagal jantung adalah saat kondisi jantung tidak mampu memompa darah untuk

PENDAHULUAN. Gagal jantung adalah saat kondisi jantung tidak mampu memompa darah untuk PENDAHULUAN Gagal jantung adalah saat kondisi jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme, dengan kata lain diperlukan peningkatan tekanan yang abnormal pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kasus. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia tahun yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kasus. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia tahun yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit hati (liver) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Kerusakan atau

Lebih terperinci

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B HEPATITIS REJO PENGERTIAN: Hepatitis adalah inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan kimia ETIOLOGI : 1. Ada 5

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional:

Tujuan Instruksional: Isnaini, S.Si, M.Si, Apt. Tujuan Instruksional: Mahasiswa setelah mengikuti kuliah ini dapat: Menjelaskan secara benar tujuan pemantauan obat dalam terapi Menjelaskan secara benar cara-cara pemantauan

Lebih terperinci

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH Disusun: Apriana Rohman S 07023232 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2011 A. LATAR BELAKANG Farmakologi adalah ilmu mengenai pengaruh

Lebih terperinci

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu : Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sirosis merupakan suatu penyakit hati kronis yang menggambarkan stadium akhir dari fibrosis hepatik, peradangan, nekrosis atau kematian sel-sel hati, dan terbentuknya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan cara pendekatan, observasi, pengumpulan data dan faktor resiko

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan cara pendekatan, observasi, pengumpulan data dan faktor resiko BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif menggunakan desain pendekatan prospektif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional:

Tujuan Instruksional: Isnaini, S.Si, M.Si, Apt. Tujuan Instruksional: Mahasiswa setelah mengikuti kuliah ini dapat: Menjelaskan secara benar tujuan pemantauan obat dalam terapi Menjelaskan secara benar cara-cara pemantauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Warfarin merupakan antagonis vitamin K yang banyak digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Warfarin merupakan antagonis vitamin K yang banyak digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Warfarin merupakan antagonis vitamin K yang banyak digunakan sebagai antikoagulan oral untuk terapi tromboembolisme vena dan untuk mencegah emboli sistemik

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang

B A B I PENDAHULUAN. kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penyakit hati kronis termasuk sirosis telah menjadi masalah bagi dunia kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang komplek, meningkatnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit. kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit. kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006). Pada sirosis hati terjadi kerusakan sel-sel

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun. Salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS dr HM Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Farmakologi FK UNLAM Banjarbaru PENGGUNAAN OBAT PADA ANAK Perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh, maupun enzim yang bertanggung

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS III-1

BAB III ANALISIS III-1 BAB III ANALISIS 3.1 Data Understanding Phase Pada penelitian ini, data kasus yang digunakan adalah data pasien liver. Data ini dikumpulkan dari timur laut bagian Andhra Pradesh, India. Data pasien liver

Lebih terperinci

SIROSIS HEPATIS R E J O

SIROSIS HEPATIS R E J O SIROSIS HEPATIS R E J O PENGERTIAN : Sirosis hepatis adalah penyakit kronis hati oleh gangguan struktur dan perubahan degenerasi fungsi seluler dan selanjutnya perubahan aliran darah ke hati./ Jaringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung kongestif (Brashesrs,

I. PENDAHULUAN penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung kongestif (Brashesrs, I. PENDAHULUAN Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskular masih menduduki peringkat yang tinggi. Menurut data WHO dilaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal. Penyakit ini diperkirakan telah menyebabkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur

Lebih terperinci

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini Hepatitis Virus Oleh Dedeh Suhartini Fungsi Hati 1. Pembentukan dan ekskresi empedu. 2. Metabolisme pigmen empedu. 3. Metabolisme protein. 4. Metabolisme lemak. 5. Penyimpanan vitamin dan mineral. 6. Metabolisme

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS POTENSIAL KATEGORI DOSIS PADA PASIEN DI INSTALASI RAWAT JALAN POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO PERIODE JANUARI JUNI 2007 SKRIPSI Oleh : TRI HANDAYANI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nekrosis merupakan proses degenerasi yang menyebabkan kerusakan sel yang terjadi setelah suplai darah hilang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif (Sherlock dan Dooley,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif (Sherlock dan Dooley, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati (cirrhosis hati / CH) adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hati yang ditandai dengan distorsi arsitektur hati dan

Lebih terperinci

Etiologi dan Patofisiologi Sirosis Hepatis. Oleh Rosiana Putri, , Kelas A. Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Etiologi dan Patofisiologi Sirosis Hepatis. Oleh Rosiana Putri, , Kelas A. Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Etiologi dan Patofisiologi Sirosis Hepatis Oleh Rosiana Putri, 0806334413, Kelas A Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal kronik atau CKD (Chronic Kidney Disease) merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel (Wilson, 2005) yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hati adalah suatu keadaan disorganisasi dari struktur hati akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan yang mengalami fibrosis. Secara lengkap sirosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dan perawatan orang sakit, cacat dan meninggal dunia. Advokasi,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dan perawatan orang sakit, cacat dan meninggal dunia. Advokasi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keperawatan meliputi kemandirian atau kolaboratif dalam merawat individu, keluarga, kelompok dan komunitas, baik sakit atau sehat dengan segala kondisi yang meliputinya.

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat merupakan suatu bahan atau campuran bahan yang berfungsi untuk digunakan sebagai diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala

Lebih terperinci

Aplikasi Farmakokinetika Klinis Tidak diragukan lagi bahwa salah satu kunci keberhasilan terapi dengan menggunakan obat adalah ditentukan dari

Aplikasi Farmakokinetika Klinis Tidak diragukan lagi bahwa salah satu kunci keberhasilan terapi dengan menggunakan obat adalah ditentukan dari Aplikasi Farmakokinetika Klinis Tidak diragukan lagi bahwa salah satu kunci keberhasilan terapi dengan menggunakan obat adalah ditentukan dari ketepatan rancangan aturan dosis yang diberikan. Rancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit akibat infeksi dan sisi yang lain banyak ditemukan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan darah di atas nilai nomal. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang

BAB III METODE PENELITIAN. cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang BAB III METODE PENELITIAN 2.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gagal jantung merupakan sindrom yang ditandai dengan ketidakmampuan

I. PENDAHULUAN. Gagal jantung merupakan sindrom yang ditandai dengan ketidakmampuan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gagal jantung merupakan sindrom yang ditandai dengan ketidakmampuan jantung mempertahankan curah jantung yang cukup untuk kebutuhan tubuh sehingga timbul akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam mempertahankan hidup. Hati termasuk organ intestinal terbesar

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam mempertahankan hidup. Hati termasuk organ intestinal terbesar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, hati merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam mempertahankan hidup. Hati termasuk organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang terutama disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, sebagian kecil oleh bakteri Mycobacterium africanum dan Mycobacterium

Lebih terperinci

* Dosen FK UNIMUS. 82

* Dosen FK UNIMUS.  82 Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Demam Tifoid Di Unit Rawat Inap Bagian Anak dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Periode Januari Desember 2004 Drug Use Evaluation of Adults and Children

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

Lebih terperinci

Metode Pemecahan Masalah Farmasi Klinik Pendekatan berorientasi problem

Metode Pemecahan Masalah Farmasi Klinik Pendekatan berorientasi problem Metode Pemecahan Masalah Farmasi Klinik Pendekatan berorientasi problem Komponen dalam pendekatan berorientasi problem Daftar problem Catatan SOAP Problem? A problem is defined as a patient concern, a

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah mampu merubah gaya hidup manusia. Manusia sekarang cenderung menyukai segala sesuatu yang cepat, praktis dan

Lebih terperinci

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral. Pengertian farmakologi sendiri adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap

Lebih terperinci

2003). Hiperglikemia juga menyebabkan leukosit penderita diabetes mellitus tidak normal sehingga fungsi khemotaksis di lokasi radang terganggu.

2003). Hiperglikemia juga menyebabkan leukosit penderita diabetes mellitus tidak normal sehingga fungsi khemotaksis di lokasi radang terganggu. BAB 1 PENDAHULUAN Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DBD merupakan penyakit menular yang disebabkan virus dengue. Penyakit DBD tidak ditularkan secara langsung dari orang ke orang, tetapi ditularkan kepada manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara berkembang, hipertensi telah menggeser penyakit menular sebagai penyebab terbesar mortalitas dan morbiditas. Hal ini dibuktikan hasil Riset Kesehatan Dasar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Sirosis hati adalah merupakan perjalanan akhir berbagai macam penyakit hati yang ditandai dengan fibrosis. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS TEMINDUNG SAMARINDA

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS TEMINDUNG SAMARINDA KAJIAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS TEMINDUNG SAMARINDA Adam M. Ramadhan, Laode Rijai, Jeny Maryani Liu Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN HEPATOMEGALI

LAPORAN PENDAHULUAN HEPATOMEGALI LAPORAN PENDAHULUAN HEPATOMEGALI A. KONSEP MEDIK 1. Pengertian Hepatomegali Pembesaran Hati adalah pembesaran organ hati yang disebabkan oleh berbagai jenis penyebab seperti infeksi virus hepatitis, demam

Lebih terperinci

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang

Lebih terperinci

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh MONITORING EFEKTIVITAS TERAPI DAN EFEK-EFEK TIDAK DIINGINKAN DARI PENGGUNAAN DIURETIK DAN KOMBINASINYA PADA PASIEN HIPERTENSI POLIKLINIK KHUSUS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG SKRIPSI SARJANA FARMASI Oleh YUANITA

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Dalam, Sub Bagian Gastroenterohepatologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Dalam, Sub Bagian Gastroenterohepatologi. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam, Sub Bagian Gastroenterohepatologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1

Lebih terperinci

Hepatitis C: Bom Waktu didalam Hati

Hepatitis C: Bom Waktu didalam Hati Hepatitis C: Bom Waktu didalam Hati Apa hati itu? Hati adalah organ terbesar dalam tubuh manusia. Berat sekitar 1,5-3 kg pada orang dewasa. Apa saja fungsi hati? Membuat bahan yang diperlukan tubuh u/

Lebih terperinci

ANALISIS GEJALA EFEK SAMPING AMINOFILLIN PADA PASIEN ASMA BRONKIAL RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PARU JEMBER

ANALISIS GEJALA EFEK SAMPING AMINOFILLIN PADA PASIEN ASMA BRONKIAL RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PARU JEMBER ANALISIS GEJALA EFEK SAMPING AMINOFILLIN PADA PASIEN ASMA BRONKIAL RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PARU JEMBER SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. OSTEOARTHRITIS 1. Definisi Osteoartritis disebut juga penyakit sendi degeneratif atau artritis hipertrofi. Penyakit ini merupakan penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ginjal adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian dan cacat tubuh di banyak negara di seluruh dunia (Guyton & Hall, 1997). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk

Lebih terperinci

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (http://www.doctors-filez.

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (http://www.doctors-filez. Author : Liza Novita, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Doctor s Files: (http://www.doctors-filez.tk GLOMERULONEFRITIS AKUT DEFINISI Glomerulonefritis Akut (Glomerulonefritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, di satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum

Lebih terperinci

Sirosis Hepatis. Etiologi Penyebab yang pasti dari Sirosis Hepatis sampai sekarang belum jelas.

Sirosis Hepatis. Etiologi Penyebab yang pasti dari Sirosis Hepatis sampai sekarang belum jelas. Sirosis Hepatis Sirosis Hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya

Lebih terperinci

GAMBARAN KETEPATAN DOSIS PADA RESEP PASIEN GERIATRI PENDERITA HIPERTENSI DI RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2010

GAMBARAN KETEPATAN DOSIS PADA RESEP PASIEN GERIATRI PENDERITA HIPERTENSI DI RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2010 GAMBARAN KETEPATAN DOSIS PADA RESEP PASIEN GERIATRI PENDERITA HIPERTENSI DI RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2010 Yetti O. K, Sri Handayani INTISARI Hipertensi merupakan masalah utama dalam kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah suatu penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel akibat suatu proses patofisiologis

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi mengakibatkan terjadinya pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab timbulnya penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah utama pada beberapa negara dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu kasus kegawatan dibidang gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam bidang kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Pengantar Farmakologi Kuntarti, S.Kp, M.Biomed 1 PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com 4 Istilah Dasar Obat Farmakologi Farmakologi klinik Terapeutik farmakoterapeutik

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hepar merupakan organ terbesar dengan berat 1,2 1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa, menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen, dan merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Peresepan Obat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Peresepan Obat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Peresepan Obat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Penelitian ini mengidentifikasi penggunaan obat off-label dosis pada pasien dewasa rawat inap di Rumah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Interaksi Obat Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat

Lebih terperinci

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi. BAB 1 PENDAHULUAN Infeksi pada Saluran Nafas Akut (ISPA) merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Adapun penyebab terjadinya infeksi pada saluran nafas adalah mikroorganisme, faktor lingkungan,

Lebih terperinci

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta LAPORAN PENELITIAN Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta Hendra Dwi Kurniawan 1, Em Yunir 2, Pringgodigdo Nugroho 3 1 Departemen

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, dengan berat 1.200-1.500 gram. Pada orang dewasa ± 1/50 dari berat badannya sedangkan pada bayi ± 1/18 dari berat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian anak usia di bawah 5 tahun di negara berkembang pada tahun 2011 (Izadnegahdar dkk, 2013).

Lebih terperinci

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir.

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir. Uji Pra-Klinik Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai. Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial

Lebih terperinci

Rancang Bangun Aplikasi Penetapan Dosis Obat Individual Menggunakan Pemrograman Visual Basic.Net Berdasarkan Perhitungan Data Farmakokinetika

Rancang Bangun Aplikasi Penetapan Dosis Obat Individual Menggunakan Pemrograman Visual Basic.Net Berdasarkan Perhitungan Data Farmakokinetika Rancang Bangun Aplikasi Penetapan Dosis Obat Individual Menggunakan Pemrograman Visual Basic.Net Berdasarkan Perhitungan Data Farmakokinetika Ari Usman Departemen Teknik Informatika Sekolah Tinggi Teknik

Lebih terperinci

RUMAH SAKIT MATA PADANG EYE CENTER (RSMPEC) Ramah, Empati, Siaga, Proaktif, Exsclusive, dan Competence PANDUAN TENTANG PANDUAN TELAAH INTERAKSI OBAT

RUMAH SAKIT MATA PADANG EYE CENTER (RSMPEC) Ramah, Empati, Siaga, Proaktif, Exsclusive, dan Competence PANDUAN TENTANG PANDUAN TELAAH INTERAKSI OBAT PANDUAN TENTANG PANDUAN TELAAH INTERAKSI OBAT RS MATA PADANG EYE CENTER BAB I DEFINISI A. Pengertian Interaksi obat adalah suatu perubahan atau efek yang terjadi pada suatu obat ketika obat tersebut digabungkan

Lebih terperinci