TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) penyakit gugur daun (C. gloeosporioides) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Famili Genus Species : Myceteae : Amastigomycota : Deuteromycotina : Deuteromycetes : Melanconiales : Melanconiceae : Colletotrichum : Colletotrichum gloeosporioides Penz. et Sacc. Miselium terdiri dari beberapa septa, inter dan intraseluler hifa. Aservulus dan stroma pada batang berbentuk hemispirakel dan ukuran 70-120µm. Septa menyebar, berwarna coklat gelap sampai coklat muda, serta terdiri dari beberapa septa dan ukuran ± 150µm. Massa konidia nampak berwarna kemerah-merahan atau seperti ikan salmon. Konidia berada pada ujung konidiofor. Konidia berentuk lilin, uniseluler, ukuran 17-28 x 3-4 µm (Singh, 2001). Acervulus tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah apabila konidia telah dewasa. Konidia keluar dari jaringan daun ada yang berwarna putih, kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai dengan pigmen yang dikandung konidia. Diantara Ordo Melanconiales yang konidianya cerah (hialin) adalah
Gloeosporium dan Colletotrichum, keduanya mempunyai konidia yang memanjang dengan penyempitan di bagian tengah (Agrios, 1978). a Gambar 1. Acervulus dan Miselium C. gloeosporioides Sumber : Singh (2001) Keterangan : a» Acervulus b» Miselium b Konidia terbentuk dalam acervulus (seperti bantalan) bersel berwarna terang. Acervuli berlilin berbentuk cakram, tetapi tidak mempunyai duri-duri, berwarna gelap dan berada diantara konidiofor. Konidia berbentuk oval memanjang, agak melengkung dalam jumlah yang banyak berwarna kemerahan (seperti warna salmon) merupakan turunan konidia (Rubert, 1992). Gambar 2. Konidia C. gloeospoerioides Sumber : Singh (2001)
C. gloeosporioides umumnya mempunyai konidia hialin, berbentuk silinder dengan ujung- ujung tumpul, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung yang agak membulat dan pangkal yang sempit terpancung, tidak bersekat, berinti satu dengan ukuran 9-24 x 3-6 µm dan terbentuk pada konidiofor seperti fialid, berbentuk silinder, hialin atau agak kecoklatan (Semangun, 2000). Konidiofor Gambar 3. Konidiofor C. gloeospoerioides Sumber : Singh (2001) C. gloeosporioides merupakan parasit fakultatif yang termasuk ordo melanconiales. Colletorichum mempunyai stroma yang terdiri dari massa miselium yang berbentuk acervulus (seperti bantalan), bersepta dengan panjang antara 30-90 µm. Colletorichum mempunyai konidiofor yang pendek dan terletak pada permukaan yang tipis (Bailey and Jeger, 1992). Pada medium agar PDA (Potato Dextrose Agar) C. gloeosporioides dapat tumbuh dan bersporulasi dengan baik. Biakan murni pada medium tersebut berwarna kelabu kehitaman dan keputih-putihan, serta konidia yang dihasilkan bersel satu dan tidak berwarna (Alexopoulus and Mims, 1979).
Gejala Serangan Adanya bercak coklat kehitaman, tepi daun menggulung merupakan gejala serangan Colletorichum. Pada daun umur lebih dari 10 hari terdapat bercak coklat dengan halo warna kuning, selanjutnya bercak tersebut berlubang (Judawi dkk, 2006). Serangan C. gloeosporioides pada daum muda menimbulkan bercak berwarna coklat kehitaman pada bagian tengahnya, yang berturut-turut diikuti oleh mengeriputnya lembaran daun, timbulnya busuk kebasahan pada bagian yang terinfeksi dengan akibat yang lebuh jauh gugurnya daun. Pada daun tua (umur daun lebih dari 10 hari) serangan C. gloeosporioides, bercak daun berwarna coklat dengan warna kuning dan permukaan daun menjadi kasar. Serangan lebih lanjut menyebabkan bercak tersebut menjadi berlubang. Apabila bercak tersebut berbatasan dengan tepi daun maka serangan lebih lanjut mengakibatkan daum menjadi sobek (Pawirosoemardjo, 2004). a b Gambar 4. Gejala serangan gugur daun C. gloeosporioides Sumber : Judawi dkk (2006) Keterangan : a» bintik-bintik coklat kehitaman pada daun muda b» daun seperti terbakar (gosong) oleh serangan C. gloeosporioides
Bercak yang besar mudah pecah bila ditiup angin dan membentuk lubang yang disebut shot hole (robek). Dalam cuaca lembab tunas akan terbentuk berulang-ulang, tetapi setiap keluar tunas akan diikuti oleh serangan penyakit sehingga daun gugur kembali. Gugur daun yang terus menerus menyebabkan mati pucuk (die back). Pertumbuhan tanaman terhambat dan menyebabkan produksi getah turun (Soepena, 1991). Serangan berat pada tanaman okulasi yang baru berumur beberapa bulan dapat menyebabkan tunas menjadi busuk dan mati. Di pembibitan dapat menyebabkan gugurnya daun-daun muda sehingga pertumbuhan bibit terhambat dan pelaksanaan okulasi akan mengalami kesulitan. Hal ini karena kulit akan menjadi tipis dan melekat pada kayu di kebun entres, akibatnya kualitas kulit kayu menurun (Anonimous, 1991). Perkembangan Penyakit Kondisi iklim yang sesuai pada saat terjadinya infeksi sangat menentukan terjadinya epidemi penyakit. Spora hanya dapat berkecambah bila ada air bebas, atau bila kelembaban nisbi udara tidak kurang dari 95%. Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban udara tidak kurang dari 96%. Spora tumbuh paling baik pada suhu 25 o -28 o C, sedang dibawah 5 o C dan di atas 40 o C spora tidak dapat berkecambah.. Pernyataan Bailey and Jeger (1992) bahwasanya pada percobaan di rumah kaca dan laboratorium ternyata infeksi jamur terjadi pada kelembaban lebih dari 96% pada suhu 26 o -31 o C (Semangun, 2000). Secara umum tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada kisaran curah hujan 1500-3000 mm/tahun. Serangan penyakit gugur daun Colletotrichum yang berat terjadi pada wilayah dengan curah hujan di atas 3000-4000 mm/tahun dan suhu udara antara
25 o -28 o C bersamaan pada waktu tanaman membentuk daun muda merupakan kondisi kritis terjadinya epidemi penyakit gugur daun Colletotrichum (Thomas dkk, 2004). Ketinggian Tempat Kebun yang terletak pada tempat yang lebih rendah dari 300 m dpl mendapat serangan jamur yang lebih berat, dibandingkan dengan kebun-kebun yang terletak di tempat yang lebih tinggi. Keadaan suhu yang lebih rendah pada tempat yang lebih tinggi tersebut merupakan faktor penghambat bagi perkembangan jamur. Hal ini terlihat bercak-bercak hitam pada daun yang terserang terhambat perkembangannya dan bentuknya kurang lebih bundar yang tidak begitu jelas pada permukaan daun (Situmorang dkk, 1998). Faktor Kesuburan Tanah Kebun-kebun yang terdapat pada lahan yang kurang subur atau tanpa diberi pupuk sehingga kondisi tanaman menjadi lemah, atau kebun yang dipupuk dengan nitrogen dalam dosis yang terlalu tinggi akan mengakibatkan serangan C. gloeosporioides yang lebih berat (Situmorang dkk, 1998). Resistensi Klon Tanaman Karet Klon memiliki keunggulan dibandingkan dengan tanaman yang dikembangkan melalui biji. Keungulan yang dimiliki oleh klon antara lain tumbuhnya tanaman lebih seragam, umur produksinya lebih cepat dan produksi lateks yang dihasilkan juga lebih banyak. Adapun klon juga memiliki kekurangan seperti daya tahan masing-masing klon terhadap hama penyakit tidak sama sehingga klon unggul yang diinginkan harus
mempunyai sifat yang ideal yaitu produksi lateks yang tinggi, resisten terhadap pengaruh hama, penyakit dan pengaruh angin dan batang yang tumbuh lurus (Anonimous, 2008). Resistensi tanaman adalah suatu sifat yang dimiliki tanaman dalam menerima serangan pathogen yang ditujukan dengan kurang atau tidak adanya gejala penyakit. Sifat resistensi tanaman dikendalikan oleh gen yang diperoleh melalui berbagai cara seperti seleksi dari varietas/kultivar/klon yang ada, introduksi materi genetik yang resisten, perlakuan mutasi buatan, persilangan buatan antar klon, bahkan dengan spesies liar maupun antar spesies tanaman (Lasminingsih dkk, 2004). Klon IRR merupakan klon primer yang diseleksi dari pohon induk (ortet) yang berasal dari semaian PBIG tahun tanam 1977. Sejumlah ortet diuji pendahuluan di kebun percobaan Sungai Putih pada tahun tanam 1982 dengan jarak tanam 2 x 2 m. Evaluasi dilakukan selama 8 tahun meliputi potensi produksi karet kering, pertumbuhan dan berbagai karakteristik sekunder. Klon IRR adalah klon yang memiliki pola produksi awal tinggi (quick starter), dan potensi volume kayu log dan kayu percabangan yang besar sera berbagai kelebihan karakteristik sekunder yang mendukung produktifitas klon, sehingga klon ini memiliki prospek yang baik dimasa mendatang untuk dikembangkan dipertanaman komersial (Anonimous, 2008). Setiap masing-masing klon baik yang tergolong anjuran maupun komersial mempunyai sifat ketahanan yang berbeda-beda terhadap intensitas serangan C. gloeosporioides. Klon RRIC 100 ketahanannya terhadap penyakit daun (Colletotrichum, Corynespora, dan Oidium) cukup baik. Potensi produksi awal rendah dengan rata-rata produksi actual 1567 kg/ha/thn selama 8 tahun penyadapan dan lateks
berwarna putih. Pengembangan dapat dilakukan pada daerah beriklim sedang sampai basah (Woelan dkk, 1999). Beberapa klon yang cukup handal mengatasi beberapa penyakit penting karet terutama penyakit gugur daun Colletotrichum di berbagai daerah perkebunan Indonesia adalah BPM 1, BPM 24, PR 260, dan RRIC 100. Klon anjuran IRR juga termasuk klon yang mempunyai resistensi yang baik terhadap penyakit karet. Penggunaan klon yang resisten merupakan metode pengendalian yang efektif karena kemampuannya memperkecil kerusakan tanaman (Situmorang dkk, 1998). Pengendalian Penyakit Metode yang paling efektif dan efisien untuk pengendalian penyakit gugur daun Colletotrichum dapat diusahakan melalui pemeliharaan tanaman dan menanam varietas tahan seperti PR 261, RRIC 100, BPM 1, BPM 24, BPM 109, PB 260, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 104, IRR 118, dan klon unggul lainnya (Situmorang, 1998). Memelihara tanaman seoptimal mungkin agar tanaman tetap tumbuh normal. Perlakuan kultur teknis yang meliputi perbaikan saluran drainase, pemupukan, intensitas matahari, dan sistem penyadapan akan sangat mempengaruhi terhadap serangan Colletorichum. Tanaman yang kurang perawatanakan mudah terserang (Soekirman, 2004). Untuk mengurangi serangan Colletotrichum diusahakan agar lokasi pembibitan tidak terlalu lembab. Dipembibitan tanaman okulasi dalam kantong plastik jangan disusun terlalu rapat dan dianjurkan agar tidak menanam satu klon pada satu hamparan yang luas. Sebaiknya tiap klon jangan ditanam lebih dari 200 ha (Semangun, 2000).
Pada serangan ringan diberikan pupuk nitrogen dua kali dosis anjuran pada saat daun mulai terbentuk. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara dibenamkan dalam tanah agar mudah diserap oleh akar. Pada serangan berat dikendalikan dengan cara disemprot dengan fungisida kontak (Belkute 40 WP) yang direkomendasikan, dilakukan pada saat daun mulai terbentuk sampai dengan daun berwarna hijau dengan interval satu minggu (umur daun 21 hari) (Judawi dkk, 2006). Awal aplikasi fungisida yang tepat adalah pada waktu tunas/daun muda baru tumbuh. Fungisida yang efektif untuk penyakit Colletotrichum adalah Mancozeb (Dithane M45 80 WP). Untuk melindungi tanaman dipeletakan biji, pembibitan, dan kebun entres dari serangan penyakit Colletotrichum dapat disemprotkan fungisida tersebut dengan konsentrasi 0.25% formulasi dalam air, dosis 400-600l/ha, dan interval 5-7 hari. Pengendalian penyakit daun Colletotrichum pada tanaman yang belum menghasilkan (4-5 tahun), dan tanaman yang telah menghasilkan dapat dilakukan dengan penghembusan fungisida dengan dosis 2 kg/ha dan interval 5-7 hari. Sebagai carier biasanya digunakan belerang (Stamulus 80 WP) sebanyak 3-5 kg/ha (Pawirosoemardjo, 2004).