1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak usia sekolah merupakan periode saat anak masuk sekolah dasar sekitar usia 6 tahun, sampai masa pubertas sekitar usia 12 tahun. Pada tahap ini, anak semakin lama semakin menyadari dirinya sebagai individu. Anak berupaya melakukan apa saja secara benar untuk mencapai hasil yang baik. Rasa tanggung jawab berkembang pada tahap ini. Mereka sangat bangga diberi tanggung jawab, mereka mulai berbagi rasa, membina kerja sama dan sikap kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Kompetensi ini timbul karena berkembangnya ciri persepsi kognitif spesifik pada tahap ini (Nurdin, 2011). Pada masa anak-anak tengah, anak dapat menggunakan keterampilan kognitif yang baru dikembangkannya untuk memecahkan masalah. Beberapa individu lebih baik dari yang lain dalam memecahkan masalah karena intelegensi, pendidikan pengalaman alami, tetapi tidak semua anak dapat meningkatkan keterampilan ini (Potter & Perry, 2005). Anak mulai mampu menyusun nilai-nilai moral yaitu baik-buruk dan benar-salah (Nurdin, 2011). Anak juga menunjukkan penurunan rasa takut yang berkaitan dengan keamanan tubuh, dan terjadi ketakutan baru yang berkaitan dengan sekolah dan keluarga. Ketakutan anak terhadap guru, ketidaksetujuan dan penolakan dari orang tua dan ketakutan pada teman-temannya. Anak usia sekolah bermain secara kooperatif dengan temantemannya. Permainan menjadi kompetitif dan anak yang memiliki kesulitan 1
2 belajar akan kalah. Karakteristik anak usia sekolah akan mengejek, menghina, menantang, takhayul, dan meningkatnya sensitifitas. Untuk menghadapi rasa tidak terima akan kekalahan, anak menggunakan mekanisme pertahanan diri meliputi regresi, penolakan, agresi, dan supresi (Potter& Perry, 2005). Masa akhir anak-anak dikenal sebagai masa sulit diatur karena anak lebih banyak mengikuti aturan teman sebaya atau kelompok sosialnya dan anak tidak mengkitu aturan orang tua dan keluarga. Priode akhir anak-anak disebut sebagai masa pertengkaran. Anak selalu bertengkar dengan anggota keluarga, tetangga, dan teman sebaya, jika anak menemukan suasana yang tidak menyenangkan, inkonsisten disiplin, dan otoriter maka anak akan merespon dengan menciftakan suasana gaduh dan membuat keributan bahkan perkelahian. Anak memiliki sikap penentang, sebagian anak bisa menganggap semua orang sebagai musuh. Anak bersikap agresif terhadap guru maupun temannya. Jika sikap agresif anak menjadi kebiasaannya hingga dewasa maka anak tidak akan disukai oleh masyarakat. Sehingga perilaku agresif anak memerlukan perhatian khusus dan penangangan yang tepat (Wijayaningsih, 2014) Fenomena perilaku agresif di sekolah menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011 terdapat 48 kasus, tahun 2012 terdapat 66 kasus, tahun 2013 terdapat 63 kasus, tahun 2014 terdapat 67 kasus dan tahun 2015 terdapat 39 kasus. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) juga mencatat 21 kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2014 sampai 2015, tujuh belas anak tewas akibat peristiwa yang berasal dari saling ejek dan pukul layaknya
3 anak usia sekolah dasar. Peristiwa kecil ini berulang menumpuk menjadi dendam yang akhirnya meledak menjadi tindakan yang merusak. Perilaku agresif yaitu tindakan yang dapat merugikan atau mencederai orang lain. Menurut Robert (1988 dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain. Penyebab meningkatnya perilaku agresif dapat berasal dari berbagai faktor. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan perilaku agresif adalah faktor keluarga dan rendahnya kematangan emosi (Sari, 2015). Chaplin (2007) mengatakan bahwa, konsep emosi sangat bervariasi. Emosi merupakan aksi kompleks yang berhubungan dengan kegiatan atau perubahan-perubahan secara mendalam dan hasil pengalaman dari rangsangan eksternal dan keadaan fisiologis. Dengan emosi, individu terangsang terhadap objek-objek atau perubahanperubahan yang didasari sehingga memungkinkan individu merubah sifat ataupun perilaku (Pieter & Lubis, 2010). Untuk mengendalikan perilaku agresif diperlukan keterampilan dalam mengelola emosi (Sari, 2015). Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain (Goleman, 2007). Rendahnya kesadaran diri dapat mencetuskan perilaku agresif. Adanya anonimtas, tingginya arousal emosional, kekaburan tangggung jawab, dapat menyebabkan berkurangnya kesadaran diri. Rendahnya kesadaran diri menghasilkan perasaan yang tidak lagi mempertimbangkan orang lain dan tidak takut terhadap kecaman atau pembalasan dendam atas perilakunya (Dayaskini & Hudaniah, 2009)
4 Pada perkembangan emosi anak usia sekolah, anak telah mampu mengendalikan emosinya. Namun ketika dirumah, anak masih mengungkapkan emosi sekuat mungkin seperti masa awal kanak-kanak. Bentuk ungkapan emosional yang menyenangkan dilakukan dengan cara tertawa, gerakan genit, mengejangkan tubuh ataupun berguling. Adapun ungkapan-ungkapan emosi yang kurang menyenangkan dilakukan dengan marah, cemas, gusar dan kecewa (Pieter & Lubis, 2010). Emosi anak-anak sulit dipelajari karena informasi tentang aspek emosi yang subyektif hanya dapat diperoleh dengan cara introspeksi, sedangkan anakanak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik karena mereka masih muda. Perhatian ilmiah telah dipusatkan pada pemahaman emosi anak-anak. Penelitian pada emosi anak-anak telah membuktikan bahwa semua emosi yang menyenangkan memainkan peran penting dalam kehidupan anak dan bahwa setiap macam emosi mempengaruhi cara penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan anak (Hurlock, 1978). Penelitian yang telah dilakukan oleh Baron (1988), Mayer dan Salovey (1990) serta Goleman (1995) dalam Agustian (2001), mengenai kecerdasan emosional mengemukakan bahwa keberhasilan seseorang 80% ditentukan oleh kecerdasan emosional(nurhidayah, 2006). Anak memerlukan kecerdasan emosional dalam mengatasi perubahan area perkembangannya. Anak usia 6 tahun dihadapkan pada figur autoritas baru seperti guru, dan aturan baru. Anak usia sekolah harus memenuhi tantangan
5 perkembangan keterampilan kognitif yang meningkatkan pemikirannya (Potter & Perry, 2005). Gambaran perilaku agresif dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Bu Lestari sebagai guru bidang kesiswaan SD Siti Hajar menunjukkan bahwa adanya siswa yang ribut di kelas sewaktu guru menerangkan, siswa yang menggangu teman, mengejek teman, dan mengambil barang milik teman seperti alat tulis, dan memprovokasi teman yang lain sehingga memicu pertengkaran. Kecerdasan emosional siswa-siswi SD Siti Hajar dari hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa siswa-siswinya mampu mengelola diri sendiri, hal ini dilihat dari sebagian besar siswa tertib saat makan bersama. Siswa SD Siti Hajar memiliki motivasi diri yang baik dilihat dari tekad siswa-siswi yang semangat belajar dari pagi sampai sore yaitu dari pukul 07. 30 WIB sampai dengan pukul 16. 30 WIB pada hari senin hingga jum at karena SD Siti Hajar merupakan sekolah dasar islamic full day. Data ini didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti kepada Bu Lestari sebagai guru bidang kesiswaan yang mengatakan bahwa anak muridnya selalu makan dengan tertib dan teratur karena mereka sudah mengetahui jadwal makan dan tata tertib makan yang berlaku. Siswa-siswinya juga tidak ada yang mengeluh kelelahan walaupun sekolah sampai sore. Serta siswa-siswi SD Siti Hajar memiliki percaya diri yang tinggi karena sekolah tersebut memiliki program mengadakan perlombaan diwaktu tertentu yang melibatkan seluruh siswa dalam tiap-tiap kelompok sehingga setiap siswa mempunyai kesempatan untuk mengapresiasikan dirinya.
6 Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku agresif anak usia sekolah di SD Siti Hajar Medan. 1.2 Perumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.2.1 Bagaimana gambaran kecerdasan emosional anak usia sekolah SD Siti Hajar Medan? 1.2.2 Bagaimana gambaran perilaku agresif anak usia sekolah di SD Siti Hajar Medan? 1.2.3 Apakah ada hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku agresif anak usia sekolah di SD Siti Hajar Medan? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.3 Tujuan Umum Untuk mengidentifikasi hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresif anak usia sekolah di SD Siti Hajar Medan 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mengidentifikasi gambaran kecerdasan emosional anak usia sekolah di SD Siti Hajar Medan.
7 1.3.2.2 Mengidentifikasi gambaran perilaku agresif anak usia sekolah di SD Siti Hajar Medan. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi khususnya mahasiswa dalam upaya mengendalikan diri dengan menggali kecerdasan emosional yang dimilikinya dalam upaya pencegahan prilaku agresif. 1.4.2 Pelayanan Keperawatan Hasil Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada perawat berhubungan dengan klien yang latar belakang budaya dan sifatnya yang berbeda. Perbedaan ini menuntut perawat untuk mengenali perasaan dirinya maupun orang lain dalam hal ini klien dan keluarganya. Sehingga perawat secara profesional akan bersikap asertif. 1.4.3 Penelitian Keperawatan Data yang diperoleh dapat menjadi dasar atau data yang mendukung untuk peneliti selanjutnya.