BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah di daerah tropis dan sub tropis, terutama pada negara yang berkembang di mana ditemukan 300-500 juta kasus dan 2-3% diantaranya meninggal pertahunnya. Khususnya pada bayi dan anak-anak angka kematian dan kesakitan pada umur di bawah 5 tahun berkisar 6% sampai 11%, sedangkan di Afrika sebesar 10% (Gemijati, 2003). Penduduk yang beresiko tertular malaria berjumlah sekitar 2,3 milyar atau sekitar 41% dari penduduk di dunia. Menurut Gunawan (2000), setiap tahun kasus malaria bertambah sekitar 300-500 juta, dengan tingkat kematian 1,5-2,7% terutama di Sahara Afrika (Globalhealtreporting, 2001). Penyebaran endemis terbentang diantara garis bujur 60 0 LU dan 40 0 LS meliputi + 100 negara tropis dan sub-tropis. Menurut WHO pada tahun 1990 dalam Harijanto (2000) sebanyak 80% kasus dijumpai di Afrika merupakan kelompok yang potensial dengan penyebaran malaria pada satu jenis plasmodium (WHO, 1995). Angka kesakitan penyakit malaria di Indonesia cukup tinggi, penyakit malaria cukup membahayakan masyarakat terutama mereka yang berada di luar jangkauan pelayanan pusat kesehatan yang memadai (Gemijati, S, 2000).
Di Indonesia tercatat kasus malaria 2,5 juta-3 juta pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2006 yang hanya 1,8 juta kasus. Peningkatan jumah kasus malaria disebabkan oleh perpindahan penduduk (migrasi) ke daerah yang baru ditempati, terutama di daerah tropis dan perubahan cuaca (Anonim, 2009). Kasus penyakit malaria menempati urutan ke 7 dalam daftar 1 penyakit terbesar di Propinsi Sumatera Utara dengan rata-rata 82.405 kasus klinis per tahun dari tahun 1996 s/d 2000 (Dinkes Prop. Sumatera Utara, 2003). Kasus malaria telah membuat puluhan korban meninggal di beberapa daerah, terutama yang endemis. Menurut data Departemen Kesehatan, jumlah penderita penyakit malaria di Indonesia 50 orang per 1.000 penduduk. Dalam target pembangunan kesehatan, Indonesia Sehat 2010, jumlah itu berusaha diturunkan menjadi 1/10-nya (Depkes RI, 2003). Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2001 di Indonesia, terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya. Diperkirakan 35% penduduk Indonesia yang tinggal di daerah beresiko tertular malaria. Dari 293 Kabupaten/Kota Besar yang ada di Indonesia, 167 Kabupaten/Kota merupakan wilayah endemis malaria salah satunya yang tertinggi Papua (Depkes RI, 2003). Di Sumatera Utara penyakit malaria juga banyak ditemukan di beberapa daerah diantaranya tertinggi Madina dan diikuti daerah lainnya seperti Kabupten Deli Serdang yang setiap bulannya selalu ada yang terkena penyakit malaria pada tahun 2006, dijumpai kasus malaria sebanyak 13.632 yang tersebar di beberapa kecamatan,
dengan kasus tertinggi di Kecamatan Kota Dasar di Kecamatan Hamparan Perak 432 kasus dan selanjutnya diikuti Kecamatan Pantai Labu sebanyak 348 kasus, melihat daerahnya secara geografis terletak di daerah pinggiran pantai (Profil, Kab. Deli Serdang, 2006). Secara geografis wilayah Kecamatan Pantai Labu luasnya 83,62 km 2 (8.362 Ha) yang terdiri dari 19 desa dan 76 dusun dengan ibukota Pantai Labu Pekan. Di mana daerahnya merupakan daratan rendah dengan ketinggian 0-8 meter di atas permukaan laut dan berbatasan dengan selat Malaka. Sedangkan daerah Desa Rantau Panjang luasnya 480 Ha dengan daerah yang paling luas tanah rawa-rawa 80 Ha dan curah hujan 10 mm serta suhu udara yang cukup panas rata-rata 38 0 C (Profil, Kec. Pantai Labu, 2007). Angka tertinggi kasus malaria terdapat pada Desa Rantau Panjang 219 kasus faktor berperangaruh terhadap populasi larva nyamuk Anopheles spp. Di daerah persawahan atau rawa-rawa curah hujan cenderung berbanding terbalik dengan kepadatan popuasi larva nyamuk Anopheles spp. Pada saat curah hujan berkurang, populasi larva nyamuk Anopheles spp meningkat. Demikian sebaliknya, pada saat curah hujan meningkat, akan terjadi penurunan populasi larva. Peningkatan kepadatan larva nyamuk di persawahan ataupun rawa-rawa adalah pada akhir kemarau dan permulaan musim hujan pada masa peralihan kemarau dan hujan (Suroso, 2003). Upaya pencegahayan penularan penyakit sebenarnya telah banyak dilakukan seperti dicanangkannya Gebrak Malaria sebagai gebrak nasional memberantas malaria di Indonesia. Namun gerakan malaria ini belum mampu menanggulangi
penyakit malaria, karena sampat saat ini jumlah kasus malaria masih tinggi terutama di daerah endemis malaria (Laihad, 2005). Pada tahun 1998 malaria diidentifikasi oleh Direktur Jenderal WHO, sebagai proyek prioritas utama dengan kembalinya penyakit malaria. Pada tahun itu juga WHO, UNICEF, UNDP dan Bank Dunia mengembangkan satu respon terpadu untuk mengatasi masalah endemis malaria di negara-negara berkembang. Respon tersebut disebut Roll Back Malaria (RBM). RBM diterjemahkan menjadi gebrak malaria yang merupakan gerakan bersama, terpadu antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor dan masyarakat untuk memberantas malaria. Gerakan malaria telah dimulai sejak April 2000 dan bertujuan untuk mengurangi beban malaria sebanyak 50% (Depkes RI, 2006). Guna mengurangi kasus malaria, pemerintah membuat rencana pengendalian tahun 2008, yang meliputi kegiatan sosialisasi dan peningkatan kualitas pengobatan obat anti malaria, peningkatan pemeriksaan laboratorium/mikroskop dengan cara rapid diagnostic test (RDT) menggunakan dipstick dan penemuan pengobatan dan pencegahan penularan malaria. Selain itu, dilakukan peningkatan perlindungan penduduk berisiko dan pencegahan penularan malaria khususnya melalui kegiatan pembagian kelambu berinsektisida (Long Lasting Insectisidal Net) gratis ke daerah endemis malaria tinggi yang masih dibantu oleh Global Fund (Dinkes Prop. Sumatera Utara, 2003). Begitu juga kegiatan pemberantasan penyakit malaria di Kabupaten Deli Serdang yang dilakukan Bintek Malaria Kabupaten ke Puskesmas, pelatihan
mikroskop puskesmas bantuan UNICEF, pendistribusian rapid test, launcing kelambunisasi dan pembagian kelambu bantuan UNICEF (Dinkes Kab. Deli Serdang 2008). Dalam rangka meningkatkan jangkauan pelayanan pengobatan penderita pada saat ini berbagai daerah termasuk 4 propinsi kawasan Timur Indonesia yang mendapat bantuan global fund, sedang dikembangkan Pos Malaria Desa. Pos ini merupakan suatu wadah komunikasi informasi masyarakat sendiri, dengan difasilitasi Puskesmas setempat bekerja sama dengan lembaga/organisasi yang sudah ada di masing-masing desa (Dinkes Prop. Sumatera Utara, 2003). Walaupun program dalam menanggulangi malaria telah dilakukan akan tetapi kondisi tersebut diperberat dengan semakin luasnya daerah yang resisten dengan obat anti malaria karena tidak dipatuhinya minum obat sesuai aturan sehingga parasit yang ada menjadi resisten terhadap daya kerja obat tersebut dan makin meningkatkannya mobilitas penduduk antar wilayah yang semakin meningkat dan tidak dapat segera diberantasnya malaria dari suatu wilayah daerah endemik malaria (Gemijati. S, 2003). Hasil penelitian (Zulbahri, 1999) menunjukkan sangat berpengaruh variabel pengetahuan masyarakat terhadap upaya pencegahan penularan malaria melalui kelambu culup pada tingkat Signifikan (P=0,041) dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penularan malaria melalui kelambu culup yang signifikan (P=0,048). (Ditjen PPM & PLP, 1999). Malaria sebagai salah satu penyakit menular, bahkan sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit malaria tidak hanya mengganggu
kesehatan masyarakat tetapi dapat menimbulkan keresahan akibat kematian, serta menurunkan produktivitas kerja dan dampak ekonomi lainnya. Diduga 36% penduduk dunia terkena resiko malaria. Di Negara-negara berkembang seperti di Indonesia kasus malaria cenderung meningkat karena sangat erat dengan permasalahan kekurangan gizi dan sosial ekonomi (Purworejo, 2005). Secara umum penyebaran malaria sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling mendukung, yaitu host, agent environment sesuai dengan teori The Traditional (Ecological) Model yang dikemukakan oleh Dr. John Gordon. Ada aspek lingkungan, di mana manusia dan nyamuk berada pada suatu ekologi yang memungkinkan terjadinya transmisi malaria setempat (indigenous). Nyamuk dapat berkembang biak dengan baik bila lingkungannya sesuai dengan keadaan yang dibutuhkannya. Lingkungan dapat dibagi menjadi 5 macam yaitu lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan biologi dan lingkungan sosial budaya (Gunawan, S, 2000). Selain faktor masyarakat yang sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain, secara epidemiologi penyakit malaria merupakan salah satu penyakit menular dan masalah kesehatan umum yang besar. Penyakit ini disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Plasmodium (Gemijati, S, 2003). Daerah perairan atau rawa-rawa merupakan suatu habitat bagi nyamuk vektor malaria. Hal ini terbukti dengan banyaknya ditemukan larva nyamuk Anopeles spp. Berkembang biak di persawahan ataupun rawa-rawa. Daerah persawahan dan rawarawa yang airnya tergenang terus-menerus cenderung berpotensi sangat besar menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Anopheles spp. Hal ini dapat menyebabkan
populasi nyamuk semakin meningkat. Karena, faktor air sangat menjadi penunjang dalam perkembangbiakannya. Terjadinya kenaikan populai nyamuk Anopheles spp, maka memacu kenaikan insidens malaria. Apabila sudah terinfeksi malaria maka masyarakat menjadi tidak produktif lagi dalam mengerjakan beraktivitas sehingga berpengaruh terhadap produksi yang akan diperoleh. Faktor lain yang dapat menaikkan insidens malaria di daerah penelitian antara lain lingkungan fisik, biologik, sosial budaya dan sosial ekonomi penduduk yang masih rendah (Laihad, F, 2005). Selanjutnya, faktor lingkungan biologi juga mempengaruhi populasi larva nyamuk Anopheles spp di daerah persawahan dan rawa-rawa. Adanya ikan pemakan larva sehingga menurunkan populasi larva yang ada. Jenis ikan pemakan larva tersebut adalah ikan Kepala Timah (Aplocheilu panchax), tetapi ikan tersebut bersifat soliter dan tidak bisa memakan larva yang terlindung di gulma air. Demikian juga, faktor memakan karena larva tersebut tergantung pada mikroflora banyak berkumpul di sekitar tanaman (Suroso, 2003). Adapun kehadiran vegetasi air dan predator berperan terhadap keberadaan larva Anopheles spp. Hal ini disebabkan oleh fungsi vegetasi dan predator tersebut berhubung dengan tingkat kepadatan dari larva nyamuk di lingkungan perairan tersebut (Wikipedia, 2009). Kebiasaan masyarakat Kecamatan Pantai Labu yang suka keluar malam dan terkadang membuka baju pada malam hari karena terasa udara panas, keseharian ini yang membudaya di masyarakat Pantai Labu, ini disebabkan daerah letak Pantai Labu
berbatasan langsung dengan laut sehingga suhu udara cukup panas dan ada juga masyarakat yang jika malam tidur tidak memakai kelambu, padahal ini adalah salah satu cara pencegahan agar nyamuk tidak bisa menggigit hal ini terjadi karena dari keluarga yang kurang mampu. Kebiasaan-kebiasaan itu merupakan salah satu cara peningkatan yang terjadi kasus penyakit malaria, dilihat dari cara penularannya penyakit malaria mudah menular dengan nyamuk. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis sangat tertarik untuk melakukan kajian penelitian tentang faktor sosio demografis dan budaya terhadap model penanggulangan penyakit malaria di Desa Rantau Panjang Kec. Pantai Labu tahun 2009. 1.2. Permasalahan Berdasarkan dari latar belakang tersebut di atas yang menjadi permasalahan dalam kajian penelitian ini, mengetahui faktor sosio demografis dan budaya terhadap model penanggulangan penyakit malaria di Desa Rantau Panjang Kec. Pantai Labu tahun 2009. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor sosio demografis dan budaya terhadap model penanggulangan penyakit malaria di Desa Rantau Panjang Kec. Pantai Labu Tahun 2009.
1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik demografis masyarakat di Desa Rantau Panjang Kec. Pantai Labu. 2. Untuk mengetahui karakteristik budaya masyarakat di Desa Rantau Panjang Kec. Pantai Labu. 3. Untuk mengetahui model penanggulangan penyakit malaria. 4. Untuk mengetahui karakteristik demografis masyarakat terhadap penanggulangan penyakit malaria di Desa Rantau Panjang Kec. Pantai Labu. 5. Untuk mengetahui karakteristik budaya masyarakat terhadap penanggulangan model penyakit malaria di Desa Rantau Panjang Kec. Pantai Labu. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Menjadi bahan masukan bagi Dinas Kesehatan dalam menyusun arah kebijakan dan perencanaan program pemberantasan dan penanggulangan malaria serta intervensi yang tepat dan efisien dalam menurunkan angka kesakitan malaria di Kecamatan Pantai Labu Kab. Deli Serdang 2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat menjadi Referensi bagi penelitian yang lain.
3. Bagi peneliti lain, sebagai upaya penambahan dan pengalaman dalam mengaplikasikan pengetahuan tentang pelaksanaan program pemberantasan penyakit malaria.