BAB l PENDAHULUAN. Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 106 negara dan diperkirakan

Transkripsi

1 BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 106 negara dan diperkirakan menyerang 216 juta orang serta menyebabkan kematian jiwa setiap tahunnya Penyakit ini juga menjadi masalah serius di Indonesia sebab 49,6% dari total penduduk, hidup di daerah beresiko tertular malaria. Tahun 2004 terdapat 424 kabupaten/kota endemik dari total 579 kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2005 jumlah kasus malaria menempati urutan ke-9 di antara 10 penyakit utama yang dirawat di rumah sakit. Tahun 2010 jumlah kasus malaria klinis mencapai jiwa, (Anonymous, 2011a). Papua adalah salah satu provinsi yang dilaporkan sebagai wilayah endemis malaria di Indonesia, walaupun berbagai upaya menurunkan jumlah kasus telah dilakukan. Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Asmat adalah wilayah di Propinsi Papua yang dilaporkan memiliki kasus malaria tinggi, (Biak Numfor: 202/1000 penduduk, Asmat: 277/1000 penduduk), (Anonymous, 2011a). Kasus malaria tinggi di Papua disebabkan berbagai faktor terkait inang, vektor dan lingkungan. Berbagai upaya menurunkan kasus malaria telah dilakukan dengan fokus pada inang (manusia), vektor (nyamuk) dan lingkungan, namun belum menunjukkan hasil memuaskan. Salah satu yang menyebabkan upaya menurunkan kasus malaria belum menunjukkan hasil memuaskan adalah adanya kurangnya pemahaman bionomi vektor. Hal tersebut diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Kabupaten Biak Numfor dan Asmat masih berstatus daerah endemis malaria, walaupun berbagai kegiatan penanggulangan telah dilakukan. 1

2 Upaya menurunkan jumlah kasus malaria akan memberikan hasil maksimal apabila ada kecocokan antara bionomi vektor dengan metoda yang diterapkan, mengingat wilayah geografis Indonesia luas, kondisi sosial masyarakat berbeda-beda dan perilaku vektor beragam. Sebagai contoh, distribusi kelambu berinsektisida pada masyarakat akan efektif jika sebelumnya dipahami perilaku mencari darah nyamuk vektor. Jika vektor terbukti bersifat eksofilik maka pembagian kelambu berinsektisida tidak akan berdampak pada penurunan kasus malaria di suatu wilayah. Contoh lain dikemukakan Maxwell, et al. (2002) yang melaporkan bahwa terjadi penurunan angka kasus malaria pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun, meskipun penduduk tidak menggunakan kelambu berinsektisida atau dalam kondisi robek. Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut adalah perlindungan diri terhadap balita. Bionomi adalah sifat-sifat nyamuk vektor malaria (Harijanto, 2000). Rozendaal (1997) mengemukakan beberapa sifat vektor adalah life cycle, bitting activity dan resting places. Service and Towson (2002) mengemukakan beberapa sifat vektor adalah bitting activity, oviposition, longevity dan flight range. Boewono (1997) menyatakan beberapa faktor bionomi vektor adalah distribution, breeding places, bitting activity, host preference dan gonotrophyc cycle. Peneliti mengambil beberapa aspek bionomi yang diteliti, yang merupakan gabungan pendapat ahli-ahli tersebut yaitu bionomi dan beberapa faktor lingkungan (habitat, biotik dan abiotik) yang mendukung keberadaan nyamuk An. farauti di ekosistem pantai dan rawa. Upaya menurunkan angka kasus malaria akan memberikan hasil maksimal jika dipahami wilayah rawan penyakit berdasarkan distribusi kasus dan habitat vektor. Salah satu teknologi yang dapat membantu penentuan wilayah rawan penyakit adalah sistem 2

3 informasi geografis (SIG). Informasi geografis saat ini semakin dibutuhkan untuk penetapan lokasi rawan penyakit, monitoring perubahan lingkungan, pola hubungan agen penyakit dan habitatnya. Sistim informasi geografis dilaporkan sangat bermanfaat untuk kajian penyakit seperti yang dilaporkan oleh Widiarti et al.2014, Mou et al 2011, Sunaryo and Benediktus (2012) yang melakukan penetapan daerah rawan penyakit (malaria dan rabies). Pembuatan peta distribusi kasus dan habitat vektor malaria di Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Asmat diharapkan dapat membantu program pengendalian malaria dengan memahami lingkungan yang rentan terhadap penularan penyakit tersebut. Salah satu kendala yang ditemui dalam upaya menurunkan jumlah kasus malaria adalah kesulitan memastikan jenis nyamuk Anopheles yang berperan sebagai vektor pada semua wilayah endemis. Kendala tersebut dapat diakibatkan data yang belum tersedia, juga kesalahan menentukan jenis nyamuk Anopheles yang mampu menularkan malaria akibat adanya variasi genetik pada anggota-anggota yang telah dikonfirmasi sebagai vektor. Keanekaragaman genetik nyamuk dilaporkan telah menimbulkan permasalahan, misalnya jumlah spesies kompleks yang dilaporkan sebagai vektor lebih banyak, distribusi semakin luas, habitat makin beragam, bioekologi dan bionomi pada tiap daerah berbeda. Keanekaragaman genetik diduga mempengaruhi kemampuan nyamuk sebagai vektor dan mempengaruhi endemisitas malaria (Hii, 1985). Winarno (2009) mengemukakan bahwa masalah yang dihadapi dalam upaya pengendalian vektor saat ini adalah kondisi geografi dan demografi yang memungkinkan penyebaran vektor semakin luas. Nyamuk An. farauti merupakan salah satu anggota Punctulatus grup yang telah di konfirmasi sebagai vektor malaria di Papua (Winarno and Hutajulu, 2009), dan telah 3

4 dilaporkan adanya spesies sibling diantaranya An. farauti 1, An. farauti 2 (Cooper 2002). Penemuan tersebut menjadi dasar dugaan adanya spesies sibling di Kabupaten Biak Numfor dan Asmat, mengingat wilayah tersebut memiliki perbedaan geografis yaitu ekosistem pantai dan rawa. Reid (1968) mengemukakan bahwa keanekaragaman genetik dapat disebabkan disebabkan adanya barier atau penghalang geografis seperti gunung, laut, padang pasir dan perbedaan cuaca yang menyebabkan terjadinya perbedaan susunan genetik sebagai akibat adaptasi spesies terhadap lingkungan. Berdasarkan identifikasi morfologi, Rumbiak (2006) melaporkan bahwa nyamuk An. farauti merupakan vektor malaria yang dominan ditemukan di Kabupaten Biak Numfor, demikian juga di Kabupaten Asmat (Capah, 2008). Penentuan spesies vektor yang tepat dapat membantu memahami bio-ekologi vektor, sehingga cara dan strategi pengendaliannya dapat dilakukan dengan tepat pula. Penelitian komprehensif mengenai bionomi vektor, termasuk menghitung indikator entomologi kuantitatif (vectorial capacity dan entomological inoculation rate), membuat peta distribusi kasus dan habitat, serta mengetahui variasi genetik nyamuk An. farauti Laveran di ekosistem pantai dan rawa belum pernah dilakukan. Penulis meneliti faktorfaktor tersebut, dengan harapan hasil penelitian dapat menunjang upaya menurunkan kasus malaria yang telah dilakukan di Kabupaten Biak Numfor dan Asmat. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bionomi nyamuk vektor malaria An. farauti di daerah ekosistem pantai dan rawa diantaranya: (a) kepadatan; (b) aktivitas mencari sumber darah berdasarkan waktu, tempat serta sifat antropophilic; (c) perkiraan umur dan; (d) habitat. 4

5 2. Bagaimana indikator entomologi kuantitatif di daerah ekosistem pantai dan rawa melalui penghitungan VC dan EIR nyamuk An. farauti 3. Bagaimana distribusi spasial breeding habitat nyamuk An. farauti dengan kasus malaria di daerah ekosistem pantai dan rawa. 4. Bagaimana variasi genetik nyamuk An. farauti Laveran di daerah ekosistem pantai dan rawa. C. Tujuan Umum Memberikan kontribusi data (informasi) bionomi dan keanekaragaman genetik nyamuk vektor malaria kepada masyarakat di wilayah endemis sebagai salah satu acuan dalam upaya menurunkan kasus malaria. D. Tujuan Khusus 1. Mengetahui bionomi nyamuk vektor malaria An. farauti di daerah ekosistem pantai dan rawa, diantaranya: a) kepadatan; (b) aktivitas mencari darah berdasarkan waktu dan tempat serta sifat antropophilic; (c) perkiraan umur; (d) habitat 2. Menentukan indikator entomologi secara kuantitatif melalui penghitungan VC dan EIR nyamuk An. farauti di daerah ekosistem pantai dan rawa. 3. Mengetahui distribusi spasial breeding habitat nyamuk An. farauti dengan kasus malaria daerah ekosistem pantai dan rawa. 4. Mengetahui variasi genetik nyamuk An. farauti di daerah ekosistem pantai dan rawa. E. Keaslian Penelitian Kajian bionomi vektor malaria telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Suprapto, G (2010) telah melakukan penelitian terhadap bionomi nyamuk Anopheles punctulatus Donitz dikaitan dengan epidemiologi malaria. Penelitian tersebut dilakukan 5

6 di Desa Dulonpokpok Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Studi terhadap perilaku vektor malaria juga dilakukan di India, namun sasarannya adalah An. culicifacies yang merupakan vektor malaria utama di New Delhi (Anonimous, 2005). Amirulah (2010) juga mengkaji kelimpahan dan keanekaragaman nyamuk Anopheles spp, namun lokasi penelitian berada di Propinsi Halmahera Selatan. Penelitian entomologi di Kabupaten Biak Numfor dan Asmat telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya diantaranya: (1) Analisis Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Malaria di Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor Papua (Rumbiak, 2006) dan (2) Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Penduduk Terhadap Kejadian Malaria di Kabupaten Asmat (Kurniawan, 2008). Tujuan umum penelitian yang dilakukan oleh Rumbiak (2006) di Kabupaten Biak Numfor adalah menganalisis manajemen lingkungan terhadap kejadian malaria di wilayah Puskesmas Bosnik, Kecamatan Biak Timur. Tujuan khusus penelitian tersebut adalah mengidentifikasi dan menjelaskan beberapa faktor seperti kondisi lingkungan abiotik, biotik dan lingkungan sosial budaya. Penelitian tersebut juga menganalisis pengaruh pelaksanaan manajemen lingkungan terhadap kejadian malaria, faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan manajemen lingkungan untuk penanggulangan malaria dan identifikasi nyamuk Anopheles yang ada di daerah tersebut. Penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Asmat (Kurniawan, 2008) bertujuan menganalisis faktor yang dapat memperbesar terjadinya penularan dan perilaku penduduk yang mempengaruhi tingginya kasus malaria di Kabupaten Asmat. Tujuan khusus penelitian tersebut adalah mengukur tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap penyakit malaria. Penelitian ini juga mengkaji pengaruh lingkungan fisik, 6

7 biologi dan kimia terhadap kejadian malaria. Survey jentik dan identifikasi morfologi juga dilakukan terhadap beberapa spesies yang diduga berperan sebagai vektor penyakit malaria (An. koliensis dan Ae. aegypty) yang ditemukan di wilayah tersebut. Setiap individu nyamuk Anopheles bersifat spesifik dalam berperan sebagai vektor malaria walaupun berada pada satu kawasan. Peran setiap vektor dalam menyebarkan penyakit malaria berbeda walaupun spesies sama, sebab itu penelitian tentang bionomi vektor penting dilakukan pada setiap wilayah. Berdasarkan pokok penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Asmat, maka peneliti berkesimpulan bahwa penelitian Bionomi dan Keanekaragaman Genetik Nyamuk An. farauti Laveran di ekosistem pantai (Kabupaten Biak Numfor) dan rawa (Kabupaten Asmat) belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Kebaruan dalam penelitian ini adalah informasi secara komprehensif tentang bionomi dan ekologi nyamuk An. farauti di ekosistem pantai dan ekosistem rawa. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian bionomi (kepadatan, umur, perilaku menentukan sumber darah berdasarkan waktu dan tempat, sifat antropophilic, distribusi kasus dan habitat serta variasi genetik nyamuk vektor malaria An. farauti Laveran di ekosistem pantai dan rawa diharapkan menjadi bahan rekomendasi kepada pemerintah daerah dan instansi terkait sebagai acuan dalam menentukan usaha pengendalian vektor yang tepat sasaran dan metode sesuai kondisi setempat. 7