IV. PEMBAHASAN A. PENELITIAN TAHAP PERTAMA : KARAKTERISASI BAHAN BAKU

dokumen-dokumen yang mirip
III. BAHAN DAN METODE

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. fase lemak (O Brien, 2009). Banyak minyak nabati yang telah dimodifikasi untuk

PRODUKSI BAHAN BAKU SPREADS KAYA β-karoten BERBASIS MINYAK SAWIT MERAH HASIL INTERESTERIFIKASI ENZIMATIK MENGGUNAKAN REAKTOR PACKED-BED KONTINYU

SKRIPSI. PRODUKSI BAHAN BAKU SPREADS KAYA β-karoten BERBASIS MINYAK SAWIT MERAH MELALUI INTERESTERIFIKASI ENZIMATIK MENGGUNAKAN REAKTOR BATCH

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Sifat Fisikokimia Bahan Baku

Prarancangan Pabrik Margarin dari RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Margarin dari Palm Oil Minyak Sawit dengan Kapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

BAB II PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES. teknologi proses. Secara garis besar, sistem proses utama dari sebuah pabrik kimia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan. Nilai gizi suatu minyak atau lemak dapat ditentukan berdasarkan dua

BAB I PENDAHULUAN. Industri dunia menganalisa peningkatan pasar emulsifier. Penggunaan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman.

INTERESTERIFIKASI INTERESTERIFIKASI 14/01/2014

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

III. TINJAUAN PUSTAKA

FORMULASI DAN PENGOLAHAN MARGARIN MENGGUNAKAN FRAKSI MINYAK SAWIT PADA SKALA INDUSTRI KECIL SERTA APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN BOLU GULUNG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ramayana : pembuatan lemak margarin dari minyak kelapa, kelapa sawit dan stearin..., USU e-repository 2008

KAJIAN PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN PERBANDINGAN VOLUME STARTER DENGAN SUBSTRAT TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU VIRGIN COCONUT OIL (VCO) ABSTRAK

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

SKRIPSI. Olch: HERMAN. F JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN DAN GIZI FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI PROSES INTERESTERIFIKASI ENZIMATIK (EIE) CAMPURAN MINYAK SAWIT DAN MINYAK KELAPA UNTUK PRODUKSI BAHAN BAKU MARGARIN BEBAS ASAM LEMAK TRANS

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

III. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. gugus hidrofilik pada salah satu sisinya dan gugus hidrofobik pada sisi yang

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Es krim di Indonesia telah dikenal oleh masyarakat luas sejak tahun 1970-an dan

Peranan asam lemak omega-3 (n-3), yakni EPA (Eicosapentaenoic acid) Banyak hasil penelitian telah membuktikan adanya pengaruh EPA dan DHA

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS

II. DESKRIPSI PROSES

HASIL DAN PEMBAHASAN

8 PEMBAHASAN UMUM. Karakteristik Minyak Kelapa. Komposisi Asam Lemak

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak. Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab II Tinjauan Pustaka

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN MARGARIN TERHADAP KADAR ASAM LEMAK BEBAS

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar

BAB I PENDAHULUAN. Minyak Kelapa Murni (VCO, Virgin Coconut Oil) berasal dari tanaman

PENGGUNAAN MINYAK SAWIT MERAH UNTUK PEMBUATAN LEMAK BUBUK

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DEFINISI. lipids are those substances which are

11/14/2011. By: Yuli Yanti, S.Pt., M.Si Lab. IPHT Jurusan Peternakan Fak Pertanian UNS. Lemak. Apa beda lemak dan minyak?

PLASTISISASI 14/01/2014

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi lemak yang berlebih dapat membentuk plak yang mampu. merapuhkan pembuluh darah dan menghambat aliran dalam pembuluh darah

TRANSESTERIFIKASI ENZIMATIK CAMPURAN FRAKSI MINYAK SAWIT DAN MINYAK KEDELAI TERHIDROGENASI SEMPURNA UNTUK SINTESIS COCOA BUTTER EQUIVALENTS

4 Pembahasan Degumming

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

PENGEMBANGAN PRODUK FAT POWDER BERBASIS MINYAK SAWIT MERAH IYAN ANRIANSYAH

BAB I PENDAHULUAN. (Theobroma cacao) dan biasa digunakan sebagai komponen utama dari coklat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gliserol dan asam lemak rantai panjang. Lemak dan minyak (trigliserida) yang

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa

I. PENDAHULUAN. Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pertanian utama dan

III. METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

ASIDOLISIS ENZIMATIK FRAKSI MINYAK SAWIT DENGAN ASAM STEARAT UNTUK SINTESIS COCOA BUTTER EQUIVALENTS

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

IV. PEMBAHASAN A. PENELITIAN TAHAP PERTAMA : KARAKTERISASI BAHAN BAKU Karakterisasi bahan baku dilakukan agar dapat diketahui peluang dan efektivitas dalam proses interesterifikasi enzimatik sehingga dapat diperoleh informasi dalam mengendalikan proses produksi spreads. Bahan baku minyak sawit yang digunakan dalam penelitian ini adalah crude palm oil (CPO) yang telah dinetralisasi dan dideodorisasi menjadi neutralized deodorized red palm oil (NDRPO). Fraksinasi dilakukan terhadap NDRPO agar dapat memisahkan RPOs (red palm stearin) dan RPOo (red palm olein). Karakterisasi dilakukan terhadap NDRPO, RPOo, RPOo/RPOs, (RPOo/RPOs)/CNO dengan rasio 75/25 (M75), 77.5/22.5 (M77), dan 82.5/17.5 (M82). Rasio RPOo/RPOs yang digunakan adalah 1/1. Analisis yang dilakukan pada bahan baku meliputi total karoten, SFC, SMP, kadar air dan asam lemak bebas (ALB). Data hasil analisis karakteristik bahan baku meliputi total karoten, SFC, SMP, kadar air dan ALB dapat dilihat pada Lampiran 1. 1. Total Karoten Analisis total karoten dilakukan pada bahan baku yaitu NDRPO, RPOo, RPOo/RPOs, (RPOo/RPOs)/CNO dengan rasio 75/25 (M75), 77.5/22.5 (M77), dan 82.5/17.5 (M82). Hasil analisis total karoten bahan baku ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Total karoten bahan baku Bahan Kode Total Karoten ±SD (ppm) NDRPO 376.47 ± 3.65 RPOo 351.36 ± 12.07 RPOo/RPOs 343.27 ± 7.89 (RPOo/RPOs)/CNO 75/25 M75 262.42 ± 6.80 77.5/22.5 M77 265.01 ± 12.65 82.5/17.5 M82 269.02 ± 8.73 Keterangan: NDRPO = neutralized deodorized red palm oil; CNO = coconut oil/minyak kelapa; RPOo = red palm olein; RPOs = red palm stearin Berdasarkan data pada Tabel 8 terlihat bahwa kandungan bahan baku yaitu NDRPO pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan kandungan karoten minyak merah yang diteliti oleh Puspitasari (2008) yaitu sebesar 533 ppm. Gee (2007) juga menyebutkan bahwa kandungan karoten dalam minyak sawit mentah (CPO) sekitar 500-700 ppm. -karoten mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Andarwulan dan Koswara 1992). Penelitian ini ditekankan pada sejauh mana retensi dari karotenoid selama reaksi, sehingga bahan baku tetap dapat digunakan. 21

Menurut Gee (2007), kandungan karotenoid, diasilgliserol, tokoferol, dan tokotrienol banyak terkonsentrasi pada fraksi olein sawit. Data pada Tabel 8 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi komposisi RPOo/RPOs, semakin tinggi pula kandungan karoten di dalamnya. Hal ini disebabkan karena rasio RPOo semakin meningkat pada bahan baku, karena karoten lebih banyak terlarut dalam fraksi oleinnya. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit merah yang telah dilakukan deasidifikasi pada penelitian Widarta (2008) dan dideodorisasi pada penelitian Riyadi (2009). Produk deasidifikasi adalah minyak sawit merah netral atau neutralized red palm oil (NRPO). Sedangkan minyak sawit merah netral yang telah dilakukan deodorisasi disebut neutralized deodorized red palm oil (NDRPO). Hasrini (2008) menggunakan NRPO yang diformulasi dengan minyak kelapa. Data kandungan karoten hasil penelitian Widarta (2008), Hasrini (2008), dan Riyadi (2009) dapat dilihat pada Tabel 9. Kandungan karoten dalam NDRPO yang digunakan dalam penelitian ini mendekati hasil analisis yang dilakukan Riyadi (2009). Tabel 9. Kandungan karoten hasil penelitian Widarta (2008), Hasrini (2008), dan Riyadi (2009) Sampel Total karoten (ppm) Widarta (2008) Hasrini (2008) Riyadi (2009) NRPO 464.96 511.31 - NDRPO - - 375.33 RPOo - 529.74 - RPOo/RPOs - 465.43 - Keterangan: NRPO = neutralized red palm oil; NDRPO= neutralized deodorized red palm oil; RPOo= red palm olein; RPOs = red palm stearin. 2. Profil Solid Fat Content (SFC) dan Slip Melting Point (SMP) Analisis SMP dan SFC dilakukan pada formula bahan baku M75, M77, dan M82. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui SMP dan SFC formula bahan baku sebelum interesterifikasi enzimatik. Hasil analisis SFC dan SMP formula bahan baku ditunjukkan pada Tabel 10. Berdasarkan data pada Tabel 10 dapat terlihat bahwa SMP bahan baku semakin tinggi sejalan dengan semakin besarnya rasio RPOs. Nilai SFC bahan baku juga terlihat semakin tinggi di setiap suhu pengukuran dengan semakin besarnya rasio RPOs. Nilai SFC di setiap suhu pengukuran lebih tinggi berturut-turut M82 diikuti dengan M77 dan M75. Hal ini disebabkan karena RPOs mengandung asam lemak yang jenuh dan panjang, seperti asam stearat dan palmitat. Semakin tinggi kandungan stearin akan menigkatkan SFC di setiap suhu pengukuran, serta berdampak pula terhadap kenaikan SMP. Menurut Karabulut et al. (2004) perubahan SMP dari lemak atau minyak disebabkan adanya perubahan panjang asam lemak, rasio ketidakjenuhan, kandungan asam lemak trans dan posisi asam lemak pada struktur triasilgliserol. 22

Tabel 10. Profil solid fat content (SFC) dan slip melting point (SMP) bahan baku Kode Bahan SFC Sebelum Interesterifikasi Enzimatik (%) 10 o C 20 o C 25 o C 30 o C 35 o C 40 o C SMP ± SD NDRPO 40.26 18.92 8.96 7.71 5.96 3.28 - RPOo 32.93 10.03 4.90 1.47 1.33 1.17 - RPOs 52.26 34.96 25.29 21.40 17.80 13.22 - RPOo/RPOs 47.38 26.58 20.78 11.57 9.18 6.04 - CNO 69.50 29.84 7.36 2.26 1.24 1.04 - M75 37.86 14.86 14.31 7.48 6.40 3.52 34.1 ± 0.9 M77 41.41 16.53 12.65 9.88 7.50 4.92 35.6 ± 0.5 M82 42.99 17.23 16.49 11.77 8.31 5.15 36.5 ± 0.4 Keterangan: NDRPO= neutralized deodorized red palm oil; RPOo= red palm olein; RPOs = red palm stearin; CNO = coconut oil/minyak kelapa; M75 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 75/25; M77 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 77.5/22.5; M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 Nilai SFC dan SMP bahan baku dapat dibandingkan dengan SFC dan SMP bahan baku yang digunakan oleh Hasrini (2008). Nilai SFC dan nilai SMP bahan baku yang digunakan Hasrini (2008) dapat dilihat pada Tabel 11. Terlihat bahwa nilai SFC pada penelitian Hasrini (2008) lebih tinggi dibandingkan dengan SFC bahan baku pada penelitian ini, sedangkan SMP hasil penelitian Hasrini (2008) lebih rendah dibandingkan dengan SMP bahan baku pada penelititan ini. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan bahan baku yang digunakan. Penelitian ini menggunakan bahan baku berupa NDRPO, sedangkan Hasrini (2008) menggunakan NRPO. Menurut Ketaren (1986), proses deodorisasi dilakukan pada suhu yang tinggi dan tekanan vakum. Selama proses deodorisasi, asam-asam lemak bebas dan komponen-komponen odor dihilangkan untuk mendapatkan minyak yang tidak berbau (Riyadi 2009). Tabel 11. Nilai SFC dan SMP bahan baku pada penelitian Hasrini (2008) Sampel SFC (%) 10 o C 20 o C 25 o C 30 o C 35 o C 40 o C SMP ( ) M75 45.78 23.52 20.13 14.11 11.23 8.12 31.15±0.23 M77 46.47 23.46 20.46 14.18 11.28 8.29 33.34±0.78 M82 46.90 41.37 22.62 16.14 12.59 9.63 36.19±0.28 Keterangan: M75 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 75/25; M77 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 77.5/22.5; M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 3. Kadar Air dan Asam Lemak Bebas (ALB) Analisis kadar air dan ALB diperlukan untuk memperkirakan aktivitas enzim saat interesterifikasi enzimatik. Kadar air dan kadar ALB juga berhubungan erat dengan reaksi hidrolisis akibat keberadaan air yang menghasilkan terbentuknya ALB di dalam minyak. Analisis kadar air dan ALB dilakukan pada NRPO, RPOo, RPOo/RPOs, CNO, serta formula bahan baku M75, M77, dan M82. Hasil analisis kadar ALB dan kadar air bahan baku ditunjukkan pada Tabel 12. 23

Tabel 12. Kadar ALB dan kadar air bahan baku Sampel Kadar air (%) Kadar ALB (%) NDRPO 0.065 ± 0.004 1.26 ± 0.01 RPOo 0.093 ± 0.001 1.22 ± 0.00 RPOo/RPOs 0.105 ± 0.003 1.33 ± 0.05 M75 0.083 ± 0.000 1.01 ± 0.01 M77 0.086 ± 0.000 1.15 ± 0.04 M82 0.093 ± 0.002 1.24 ± 0.03 CNO 0.029 ± 0.002 0.36 ± 0.00 Keterangan: NDRPO= neutralized deodorized red palm oil; RPOo= red palm olein; RPOs = red palm stearin; CNO = coconut oil/minyak kelapa; M75 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 75/25; M77 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 77.5/22.5; M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 Kadar air optimal untuk interesterifikasi oleh lipase berkisar antara 0.04% sampai 11% (w/v), walaupun kebanyakan reaksi membutuhkan kadar air kurang dari 1% untuk interesterifikasi yang efektif (Wills dan Marangoni 2002). Bila kadar air terlalu tinggi, reaksi akan mengarah ke hidrolisis bukan interesterifikasi. Berdasarkan data pada Tabel 12, terlihat bahwa kadar air bahan baku terutama M75, M77, dan M82 kurang dari 1% dan di atas 0.4% sehingga mendukung reaksi interesterifikasi enzimatik. Perbandingan kadar air dan kadar asam lemak bebas penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 13. Bahan baku NDRPO pada penelitian ini yaitu sebesar 0.065% mengalami peningkatan kadar air dibandingkan dengan kadar air NDRPO yang dilaporkan pada penelitian Riyadi (2009) yaitu sebesar 0%. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas melalui hidrolisis. Peningkatan kadar air ini diduga oleh karena masuknya air selama penyimpanan NDRPO. Tabel 13. Kadar air dan kadar asam lemak bebas bahan baku penelitian Widarta (2008), Hasrini (2008), dan Riyadi (2009) Sampel Widarta (2008) Kadar air (%) Kadar asam lemak bebas (%) Hasrini (2008) Riyadi (2009) Widarta (2008) Hasrini (2008) NRPO 0.580 0.035±0.003-0.130 0.64±0.04 - Riyadi (2009) NDRPO - - 0.000 - - 0.490 RPOo - 0.015±0.001 - - 0.51±0.02 - RPOo/RPOs - 0.016±0.001 - - 0.79±0.03 - CNO - 0.002±0.000 - - 0.13±0.01 - Keterangan: NRPO = neutralized red palm oil; NDRPO = neutralized deodorized red palm oil; RPOo= red palm olein; RPOs = red palm stearin; CNO= coconut oil. NDRPO sebagai bahan baku utama memiliki ALB sebesar 1.26%. Sedangkan NDRPO pada penelitian Riyadi (2009) adalah sebesar 0.49%. RPOo/RPOs memiliki kadar ALB yang paling tinggi yaitu 1.33%. Menurut Hartley (1977), ALB sudah terdapat di dalam minyak sejak bahan tersebut dipanen dan jumlahnya terus bertambah selama proses pengolahan dan penyimpanan. Kenaikan bilangan asam dapat terjadi selama 24

pengolahan dan penyimpanan minyak sawit yang disebabkan oleh hidrolisis autokatalitik, juga disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yaitu jamur lipolitik, di antaranya adalah spesies Paecilomyces, Aspergillus, Rhizopus dan Torula. Hal ini terjadi karena minyak diproduksi dalam keadaan kotor yang merupakan nutrisi bagi perkembangan jamur lipolitik (Winarno 1999). B. PENELITIAN TAHAP KEDUA: PENENTUAN FORMULA TERPILIH Ketiga formula yang ditetapkan sebelumnya digunakan untuk proses interesterifikasi enzimatik sesuai dengan metode Zhang et al. (2001) yang dimodifikasi Hasrini (2008) menggunakan shaker inkubator. Ketiga formula tersebut adalah (RPOo/RPOs)/CNO dengan rasio 75/25 (M75), 77.5/22.5 (M77), dan 82.5/17.5 (M82) yang merupakan tiga formula terbaik hasil penelitian Hasrini (2008). Ketiga formula tersebut merupakan formula terbaik karena dianggap menghasilkan karakter bahan baku spreads yang mendekati karakter margarin ritel dan industri (Hasrini 2008). Ketiga formula ini diinteresterifikasi menggunakan Lypozyme TL IM dalam erlenmeyer menggunakan shaker inkubator. Produk hasil interesterifikasi enzimatik pada tahap penelitian ini kemudian dilakukan analisis kadar karoten, SMP dan SFC untuk menentukan formula yang memiliki karakter paling mendekati karakter margarin target (Fattahi-far et al. 2006) dan yang memiliki kandungan karoten yang cukup tinggi. Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan satu formula terpilih yang selanjutnya akan diteruskan pada proses ineteresterifikasi enzimatik secara kontinyu. Data hasil analisis penentuan formula terpilih meliputi total karoten, SFC, dan SMP dapat dilihat pada Lampiran 2. 1. Total Karoten Analisis total karoten dilakukan pada bahan sebelum dan setelah proses interesterifikasi enzimatik. Data hasil analisis total karoten pada tahap penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 14. Hasil ANOVA memperlihatkan bahwa total karoten berbeda nyata (p<0.05) (Lampiran 4). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa total karoten sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik berbeda nyata. Tabel 14. Sampel Perbandingan total karoten sebelum dan setelah interesterifikasi enzimatik menggunakan shaker inkubator Total karoten (ppm) Setelah IE Retensi karoten (%) M75 262.42 ± 6.80 b 209.88 ± 0.28 a 79.98 M77 265.01 ± 12.65 b 212.92 ± 4.84 a 80.34 M82 269.02 ± 8.73 b 227.00 ± 0.83 a 84.38 Keterangan: Data ± standar deviasi. Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan pada taraf uji 5%. M75 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 75/25; M77 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 77.5/22.5; M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 25

Total karoten pada sampel M75, M77, dan M82 sebelum interesterifikasi enzimatik tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena komposisi RPOo/RPOs dalam ketiga formula tersebut tidak berbeda jauh, sehingga kandungan karoten di dalamnya juga tidak banyak berbeda. Pada Tabel 14 terlihat bahwa total karoten pada bahan setelah interesterifikasi enzimatik mengalami penurunan. Karoten akan sangat mudah teroksidasi bila dipanaskan bersama dengan udara (Andarwulan dan Koswara 1999). Pemanasan pada penelitian ini dilakukan pada suhu 60 o C. Pada suhu ini, aktivitas enzim optimum dan kerusakan karoten minimal. Karoten banyak terkonsentrasi pada fraksi olein. Oleh karena itu semakin banyak komposisi RPOo/RPOs pada bahan yang berbanding lurus dengan konsentrasi oleinnya, maka total karoten dalam sampel juga semakin tinggi. Seberapa banyak karoten yang mampu dipertahankan oleh bahan selama proses interesterifikasi enzimatik ditunjukkan dengan retensi karotennya. Retensi karoten adalah perbandingan total karoten setelah interesterifikasi enzimatik terhadap total karoten sebelum interesterifikasi enzimatik. Dapat terlihat bahwa retensi karoten paling tinggi dimiliki oleh M82 yaitu 84.38%. Perubahan kandungan β-karoten pada minyak sawit merah sangat dipengaruhi oleh konsentrasi β-karoten awal pada minyak sawit merah, temperatur/suhu pemanasan, dan lama pemanasan minyak sawit merah (Budiyanto et al. 2008). Perbandingan total karoten sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik hasil penelitian Hasrini (2008) dapat dilihat pada Tabel 15. Data retensi karoten hasil penelitian Hasrini (2008) lebih tinggi dibandingkan retensi karoten pada tahap peneletian ini. Retensi karoten yang berbeda diduga disebabkan karena perbedaan bahan baku yang digunakan. Tabel 15. Sampel Perbandingan total karoten sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik hasil penelitian Hasrini (2008) Total karoten (ppm) Sesudah IE Retensi karoten (%) M75 363.13 ± 3.35 356 43 ± 2.39 98.15 M77 378.21 ± 3.03 366.72 ± 4.06 96.96 M82 392.81 ± 2.86 381.32 ± 3.72 97.07 Keterangan: M75 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 75/25; M77 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 77.5/22.5; M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 2. Profil Solid Fat Content (SFC) dan Slip Melting Point (SMP) Hasil uji statistik SMP tahap penelitian penentuan formula terpilih ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa SMP berbeda nyata (p<0.05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa SMP sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik berbeda nyata. Data SMP sebelum dan setelah interesterifikasi enzimatik ditunjukkan pada Tabel 16. Berdasarkan data pada Tabel 16, terdapat penurunan SMP dibandingkan bahan bakunya. Hal ini disebabkan karena perubahan profil triasilgliserol akibat 26

interesterifikasi enzimatik. Kisaran SMP hasil interesterifikasi enzimatik pada penelitian ini yaitu di antara 30-32 o C berada dalam kisaran SMP untuk tub reduced fat spreads (RFS) antara 26-32 o C (Lida dan Ali 1998). Tabel 16. Perbandingan SMP sebelum dan setelah interesterifikasi enzimatik dalam shaker inkubator Sampel SMP ( o C) Setelah IE M75 34.1 ± 0.9 cd 30.1 ±0.9 a M77 35.6 ± 0.5 de 31.4 ± 0.5 ab M82 36.5 ± 0.4 e 32.5 ± 0.7 bc Margarin komersial A 35.6 ± 0.2 Margarin komersial B 37.2 ± 0.0 Margarin target (Fattahi-far et al. 2006) 33.5 ± 0.5 Keterangan: Data ± standar deviasi. Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan pada taraf uji 5%. M75 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 75/25; M77 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 77.5/22.5; M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 Menurut Long et al. (2003), penurunan SMP pada campuran stearin sawit kemungkinan berhubungan dengan pemecahan trisaturated TAG tripalmitin yang dikenal sebagai gliserida bertitik leleh tinggi. Meskipun demikian, titik leleh TAG bergantung pada berbagai faktor, seperti sifat asam lemak penyusunnya yang dipengaruhi oleh panjang rantai atom C, jumlah ikatan rangkap, dan bentuk cis atau trans pada asam lemak tidak jenuh (Winarno 1992). Titik leleh asam laurat yang dominan pada minyak kelapa lebih rendah dibandingkan dengan asam palmitat yang dominan pada minyak sawit karena asam laurat memiliki panjang rantai atom C lebih pendek dibandingkan asam palmitat. Profil margarin target yang dijadikan sebagai standar spreads pada penelitian ini adalah standar margarin meja komersial pada penelitian yang dilakukan Fattahi-far et al. (2006). Fattahi-far et al. (2006) melakukan interesterifikasi antara minyak biji teh nonhidrogenasi (nonhydrogenated tea seed oil) dengan minyak biji teh hidrogenasi (hydrogenated tea seed oil) untuk memproduksi bahan baku margarin. Hasil penelitian Fattahi-far et al. (2006) menyebutkan bahwa campuran antara minyak biji teh nonhidrogenasi dan minyak biji teh hidrogenasi dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan margarin. SMP sampel juga dibandingkan dengan SMP margarin komersial A dan margarin komersial B. Data pada Tabel 16 Menujukkan bahwa SMP M82 adalah yang paling mendekati SMP margarin komersial dan margarin target. Data analisis SMP sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik pada penelitian Hasrini (2008) dapat dilihat pada Tabel 17. Perbedaan SMP hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Hasrini (2008) diduga disebabkan oleh perbedaan bahan baku yang digunakan. 27

Tabel 17. Perbandingan SMP sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik (IE) penelitian Hasrini (2008) Sampel SMP ( o C) Sesudah IE M75 31.15 ± 0.23 32.63 ± 0.15 M77 33.34 ± 0.78 33.60 ± 0.94 M82 36.19 ± 0.28 34.86 ± 0.74 Keterangan: M75 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 75/25; M77 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 77.5/22.5; M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 Profil SFC hasil penelitian Hasrini (2008) setelah interesterifikasi enzimatik yang dibandingkan dengan bahan baku margarin ritel dan margarin industri dapat dilihat pada Gambar 9. Dapat terlihat bahwa formula M75, M77, dan M82 adalah formula yang memiliki profil SFC yang paling mendekati bahan baku margarin ritel dan industri. Keterangan: M75 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 75/25; M77 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 77.5/22.5; M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 Gambar 9. Profil SFC hasil interesterifikasi enzimatik Hasrini (2008) Nilai SFC dan SMP dari margarin target (Fattahi-far et al. 2006), margarin komersial A dan margarin komersial B ditunjukkan pada Tabel 18. Margarin komersial A biasa digunakan untuk oles roti, sedangkan margarin komersial B biasa digunakan untuk menumis. Perbandingan SFC tahap penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 10. Tabel 18. Nilai SFC dan SMP dari sampel, margarin target (Fattahi-far et al. 2006), margarin A dan margarin B Bahan Margarin Target (Fattahi-far et al. 2006) SFC (%) 10 o C 20 o C 25 o C 30 o C 35 o C 40 o C SMP ( o C) 39.86 23.93 13.28 6.96 1.21 0.00 33.5 Margarin A 40.25 22.68 16.53 10.49 6.75 2.25 35.6 Margarin B 44.17 29.05 21.31 14.57 9.61 6.41 37 28

SFC (%) SFC (%) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Suhu ( o C) (A) (B) Setelah IE Margarin Target (Fattahi-far et al. 2006) Margarin A Margarin B 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Suhu ( o C) Setelah IE Margarin Target (Fattahi-far et al.,2006) Margarin A Margarin B SFC (%) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Suhu ( o C) Setelah IE Margarin Target (Fattahi-far et al.,2006) Margarin A Margarin B Gambar 10. (C) Profil SFC dari campuran sebelum dan setelah interesterifikasi enzimatik (IE) pada perlakuan (A) M75, (B) M77, dan (C) M82 yang dibandingkan dengan profil SFC margarin komersial target, margarin A, dan margarin B. 29

Berdasarkan gambar di atas, terdapat peningkatan SFC dibandingkan bahan baku pada suhu 20 o C, 25 o C, dan 30 o C. Peningkatan SFC ini berhubungan dengan perubahan komposisi TAG dan pembentukan TAG yang mengandung asam lemak jenuh setelah interesterifikasi (Farmani et al. 2006). Diduga terbentuk TAG yang mengandung asam lemak jenuh berantai sedang seperti asam laurat sehingga tetap padat pada suhu 20-30 o C, dan setelah suhu 30 o C TAG tersebut meleleh bersamaan dengan TAG yang lain sehingga terjadi penurunan SFC dibandingkan bahan baku pada suhu 35 o C, dan 40 o C. Hal ini karena interaksi eutektik yang terjadi antara CNO dan minyak sawit merah, sehingga campuran tersebut menjadi lebih lunak setelah interesterifikasi (Lida et al. 2002). Selain itu, dapat terlihat perubahan jelas sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik. Peningkatan SFC pada suhu 20 o C, 25 o C, dan 30 o C menunjukkan kestabilan pada saat packing, distribusi, dan penyimpanan di suhu ruang. SFC pada suhu 25 o C sebaiknya berada pada kisaran 15-35% untuk plastisitas dan spreadability yang baik (Rao et al. 2001). Penurunan SFC pada suhu 35 o C dan 40 o C menunjukkan penyebaran produk yang baik dan mudah meleleh saat dikonsumsi. SFC pada suhu 33.3 o C sebaiknya pada kisaran 3.5% agar meleleh dengan sempurna pada saat dimakan (Chrysam 1996). Profil SFC yang paling mendekati margarin target adalah M82, sedangkan profil SFC yang paling mendekati margarin A adalah M75. Selanjutnya, M82 dijadikan bahan baku untuk interesterifikasi enzimatik menggunakan reaktor packed-bed kontinyu dengan pertimbangan retensi karoten yang paling besar dibandingkan M75 dan M77. Profil SFC hasil interesterifikasi enzimatik yang diperoleh dalam penelitian ini berbeda dengan profil SFC hasil penelitian Hasrini (2008). Perbedaan bahan baku menyebabkan perbedaan antara profil SFC bahan baku sebelum interesterifikasi pada penelitian ini dengan profil SFC bahan baku Hasrini (2008). 30

C. PENELITIAN TAHAP KETIGA: INTERESTERIFIKASI ENZIMATIK MENGGUNAKAN REAKTOR PACKED-BED KONTINYU Tahap penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh space time terhadap karakteristik bahan baku spreads berbasis minyak sawit merah yang diproduksi secara interesterifikasi enzimatik menggunakan reaktor packed-bed kontinyu. Formula M82 dijadikan bahan baku pada interesterifikasi enzimatik menggunakan reaktor packed-bed kontinyu pada tahap penelitian ini. Interesterifikasi enzimatik pada penelitian tahap ini dilakukan dengan menggunakan enzim Novozyme 435 yang merupakan enzim lipase nonspesifik. Analisis yang dilakukan pada tahap penelitian ini adalah total karoten, solid fat content, slip melting point, kadar ALB, dan kadar air. Data hasil analisis tahap penelitian interesterifikasi enzimatik menggunakan reaktor packed-bed kontinyu meliputi total karoten, SFC, SMP, kadar air dan ALB dapat dilihat pada Lampiran 3. Space time didapatkan dengan mengatur laju aliran bahan dari feeding stock (tempat substrat) menggunakan pompa peristaltik. Kalibrasi pompa peristaltik dilakukan untuk mengetahui laju alir bahan aktual dan menentukan skala kecepatan sehingga didapatkan space time sesuai yang diinginkan. Kalibrasi dilakukan dengan cara mengalirkan bahan baku menuju reaktor kemudian hasil setelah melewati rektor packed-bed ditampung pada gelas ukur dan dihitung laju alirannya. Laju aliran terukur dari jumlah bahan yang melewati reaktor setiap menitnya. Volume reaktor (15 ml) dibagi dengan laju aliran sehingga didapatkan space time. Space time yang digunakan pada penelitian ini adalah 10, 15, 30, dan 60 menit yang diberi kode S10, S15, S30, dan S60. 1. Total Karoten Hasil ANOVA menunjukkan bahwa total karoten berbeda nyata (p<0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa total karoten sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik berbeda nyata (Lampiran 6). Total karoten bahan setelah interesterifikasi enzimatik pada tahap penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 19. Tabel 19. Total karoten setelah interesterifikasi enzimatik menggunakan reaktor packed-bed kontinyu Space time Laju aliran (ml/menit) Kode Sampel Total karoten (ppm) Retensi karoten 10 menit 1.54 S10 240.08 a ± 5.46 89.24% 15 menit 1.04 S15 228.76 b ± 1.11 85.03% 30 menit 0.48 S30 219.26 b,c ± 2.10 81.50% 60 menit 0.22 S60 204.30 c ± 2.28 75.94% Data ± Standar Deviasi. Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Analisis ANOVA dengan uji lanjut Duncan) 31

Retensi karoten menunjukkan sejauh mana bahan dapat mempertahankan kandungan karoten di dalamnya selama reaksi. Retensi karoten didapatkan dari perbandingan total karoten hasil interesterifikasi enzimatik terhadap total karoten bahan baku M82 yaitu 269.02 ppm. Berdasarkan data pada Tabel 19, semakin lama space time, semakin rendah total karoten yang dihasilkan, sehingga retensi karoten juga lebih rendah. Hal ini disebabkan semakin lama space time, semakin banyak jumlah panas yang diterima bahan. Panas yang diterima bahan telah dimulai sejak melalui tempat substrat dan dipertahankan pada suhu 60 o C hingga melalui reaktor packed-bed kontinyu. Semakin lama space time, semakin lambat pompa peristaltik mengalirkan bahan ke reaktor packed-bed kontinyu dan semakin lama waktu tinggal bahan dalam reaktor, sehingga panas yang diterima bahan menjadi semakin banyak. -karoten mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Andarwulan dan Koswara 1992). Bahan baku spread yang dihasilkan dapat diklaim kaya β-karoten dengan membandingkan dengan kebutuhan konsumsi vitamin A. Sebagai gambaran, spreads berbasis minyak sawit merah ini dikonsumsi sebagai olesan pada roti. Spreads dengan kegunaan tersebut dapat dikatagorikan sebagai margarin dengan kadungan minyak minimal 80% (Codex 2007). Diasumsikan setiap takaran saji adalah 10 gram. Sehingga dalam 10 gram margarin siap makan tersebut terdapat kandungan β-karoten sebanyak (80% X 240µg/g X 10 g) 1,920µg. Berdasarkan konversi di atas, maka kadar β-karoten (RE) dalam 10 gram adalah (1,920 µg -karoten : 6 µg RE/µg -karoten ) 320 µg RE. Kebutuhan vitamin A harian setiap orang berbeda-beda tergantung pada umur dan jenis kelamin. Tabel 20 menunjukkan kebutuhan harian vitamin A yang dibandingakan dengan pemenuhannya oleh margarin berbasis minyak sawit merah 1 kali takaran saji. Tabel 20. Recommeded dietary intake (RDA) vitamin A (µg RE/hari) dibandingkan dengan persentasi pemenuhannya oleh spread (margarin) berbasis minyak sawit merah Umur dan jenis kelamin RDA (FAO/ WHO)* % pemenuhan oleh spreads (margarin) berbasis minyak sawit merah S10 S15 S30 S60 1-6 tahun 400 80.00% 76.26% 73.09% 68.10% 6-10 tahun 400 80.00% 76.26% 73.09% 68.10% 10-12 tahun 500 64.00% 61.00% 58.47% 54.48% 12-15 tahun 600 53.33% 50.84% 48.72% 45.40% Laki-laki 15-18 tahun ke atas 600 53.33% 50.84% 48.72% 45.40% Perempuan 15-18 tahun ke atas 500 64.00% 61.00% 58.47% 54.48% Wanita hamil 600 53.33% 50.84% 48.72% 45.40% Wanita menyusui 850 37.65% 35.88% 34.39% 32.05% *Sumber: Bloomhoff (1994) 32

Suatu pangan dapat diklaim mengandung karoten tinggi apabila dapat memenuhi 20% Angka Kecukupan Gizi (AKG) per takaran saji (FDA 2009). Berdasarkan tabel di atas, satu kali takaran saji spreads (margarin) berbasis minyak sawit merah dapat memenuhi 68-80% kebutuhan vitamin A harian anak usia 1-6 tahun. Kebutuhan vitamin A harian masyarakat dapat dipenuhi hampir seratus persen bila mengkonsumsi margarin berbasis minyak sawit merah sekitar 2 takaran saji sehari, khusus untuk wanita menyusui sekitar 3 kali sehari. Jadi, bahan baku spreads yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dijadikan produk spreads atau margarin kaya β-karoten. Kandungan vitamin A yang disyaratkan untuk margarin biasa adalah 2,500-3,500 IU per 100 gram (BSN 2002). Kandungan vitamin A spreads (margarin) berbasis minyak sawit merah dalam 100 gram mencapai (320 µg β-karoten/g X 100 g : 0.6 µg β- karoten X 1 IU) 53,333.33 IU. Artinya. Kandungan vitamin A spreads (margarin) berbasis minyak sawit merah adalah 18 kali lebih banyak dibandingkan margarin biasa. 2. Profil Solid Fat Content (SFC) dan Slip Melting Point (SMP) Data SMP setelah reaksi interesterifikasi enzimatik menggunakan reaktor packed-bed kontinyu ditunjukkan pada Tabel 21. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa SMP berbeda nyata (Lampiran 7). Uji lanjut Duncan terhadap SMP sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik menunjukkan bahwa antara sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik berbeda nyata (p<0.05). Terlihat perbedaan nyata pada SMP semua sampel berdasarkan uji ANOVA pada pada taraf uji 5%. Setelah diuji lanjut dengan uji Duncan, terbukti bahwa SMP S10 (space time 10 menit) dan S15 (space time 15 menit) tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan S30 (space time 30 menit) dan S60 (space time 60 menit). SMP S15 tidak berbeda nyata dengan S10 dan tidak berbeda nyata dengan S30, namun berbeda nyata dengan S60. SMP S30 tidak berbeda nyata dengan S15, namun berbeda nyata dengan S10 dan S60. SMP S60 berbeda nyata dengan S10, S15, dan S30. Tabel 21. SMP setelah interesterifikasi enzimatik menggunakan reaktor packed-bed kontinyu Sampel SMP ( o C) ± SD S10 31.2 a ± 0.4 S15 31.3 a,b ± 0.7 S30 33.5 b ± 0.7 S60 35.9 c ± 0.1 Margarin komersial A 35.6 ± 0.2 Margarin komersial B 37.2 ± 0.0 Margarin target (Fattahi-far et al., 2006) 33.5 ± 0.5 Keterangan: Data ± standar deviasi. Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan pada taraf uji 5%. S10= space time 10 menit; S15= space time 15 menit; S30= space time 30 menit; S60= space time 60 menit 33

Berdasarkan data pada Tabel 21, interesterifikasi enzimatik oleh enzim Novozyme 435 pada campuran RPOo/RPOs dengan CNO menggunakan reaktor packed-bed kontinyu menghasilkan SMP yang lebih rendah dibandingkan bahan baku. Penurunan SMP berkaitan dengan penurunan jumlah TAG yang memiliki melting point tinggi (Farmani et al. 2007). SMP sampel yang paling mendekati SMP spreads standar Fattahi-far et al. (2006) adalah S30 yaitu 33.5 o C. Namun demikian, semakin lama space time semakin menunjukkan SMP yang cenderung meningkat mendekati SMP bahan baku (36.5 o C). Peningkatan SMP ini diduga berkaitan dengan pembentukan TAG yang memiliki kombinasi asam lemak berantai panjang dan sedang. RPOs dalam campuran RPOo/RPOs adalah 50%, sehingga dalam formula M82 ((RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5) terdapat RPOs sebanyak 41.25%. Kandungan asam palmitat dalam fraksi stearin sawit adalah 56% sedangkan asam stearat adalah sebesar 4% (Gee 2007). Titik leleh asam palmitat adalah 63.1 o C, sedangkan titik leleh asam stearat adalah 69.6 o C. Dalam minyak kelapa (CNO), kandungan asam laurat sebesar 52% yang memiliki titik leleh 44 o C. Baik asam laurat, asam stearat, maupun asam palmitat merupakan asam lemak yang memiliki titik leleh cukup tinggi karena berada di atas suhu tubuh, sehingga peluang pembentukan TAG bertitik leleh tinggi selama proses interesterifikasi adalah besar. Peningkatan SMP dan SFC diduga disebabkan karena pembentulan TAG yang bertitik leleh tinggi selama proses interesterifikasi enzimatik. Susunan TAG dominan dalam minyak sawit adalah POP, sedangkan susunan TAG dominan dalam minyak kelapa adalah LaLaLa. Penempatan asam lemak dalam TAG menggunakan Novozyme 435 setelah interesterifikasi enzimatik terjadi secara random (Kowalska et al. 2007). Sebagai ilustrasi, asam oleat pada TAG dengan susunan POP diganti dengan asam laurat dari minyak kelapa, sehingga terbentuk TAG baru yaitu PLaP. Titik leleh asam oleat adalah 16 o C, sedangkan titik leleh asam laurat adalah 44 o C. Pembentukan TAG yang terdiri dari asam lemak bertitik leleh tinggi mempengaruhi titik leleh TAG itu sendiri, sehingga dihasilkan TAG yang bertitik leleh tinggi pula. Peningkatan SMP ini juga diduga disebabkan terjadinya hidrolisis TAG oleh air selama interesterifikasi enzimatik, sehingga TAG berubah menjadi monoasilgliserol (MAG) dan diasilgliserol (DAG). MAG memiliki titik leleh lebih tinggi dibandingkan DAG/TAG-nya (Gustone dan Padley 1997). Perbedaan titik leleh ini disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah ikatan hidrogen pada gugus karboksil serta interaksi hidrofobik di sepanjang rantai hidrokarbon masing-masing produk. Dugaan ini diperkuat dengan analisis kadar ALB dan kadar air yang berhubungan dengan pembentukan MAD/DAG yang akan dibahas pada pada subbab berikutnya. Bila dibandingkan dengan SMP hasil interesterifikasi enzimatik menggunakan Lypozyme TL IM (penelitian tahap kedua), terlihat adanya perbedaan dengan SMP pada tahap penelitian ketiga yang menggunakan Novozyme 435. Hasil interesterifikasi enzimatik menggunakan Lypozyme TL IM memiliki SMP yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil interesterifikasi enzimatik menggunakan Novozyme 435. Perbedaan ini terjadi diduga disebabkan adanya perbedaan spesifitas masing-masing enzim, sehingga menghasilkan karakter fisik yang berbeda pula. Lypozyme TL IM spesifik 1,3, sedangkan Novozyme 435 nonspesifik. 34

SMP ini berkaitan dengan kandungan SFC pada suhu 35 o C dan 40 o C. Bila dibandingkan antar sampel, kandungan SFC pada suhu 35 o C tidak berbeda jauh dan berkisar antara 3-5%. Sama halnya dengan kandungan SFC pada suhu 40 o C yang berkisar antara 0-2%. Margarin harus dapat meleleh semuanya pada suhu tubuh dan mengandung kurang dari 3.5% lemak padat pada 33.3 o C agar dapat meleleh dengan sempurna tanpa terasa bergetah atau berlilin (Chrysam 1996). Solid fat content (SFC) adalah persentasi lipid yang berbentuk padat (mengkristal) pada suhu tertentu (Lee et al. 2008). Nilai SFC diperlukan untuk mengetahui karakter dari bahan baku spreads karena SFC berpengaruh pada sifat fisik seperti daya oles, kekerasan, kestabilan lemak, kenampakan produk, sifat sensori, dan mouthfeel. Nilai SFC dianalisis menggunakan NMR (nuclear magnetic resonance). SFC antara 4 o C dan 10 o C menentukan kemudahan penyebaran pada suhu refrigertaor. SFC tidak lebih dari 32% pada suhu 10 o C penting untuk spreadabilitas yang bagus pada suhu refrigerator. SFC pada suhu 20 o C dan 22 o C menentukan stabilitas produk dan tahan terhadap pengeluaran minyak pada suhu kamar. SFC pada suhu 25 o C sebaiknya berada pada kisaran 15-35% untuk plastisitas dan spreadability yang baik (Rao et al. 2001). Detail angka hasil analisis SFC tahap penelitian interesterifikasi enzimatik menggunakan reaktor packed-bed kontinyu ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Seperti halnya pada penelitian tahap kedua, perubahan SFC sebelum dan setelah interesterifikasi enzimatik pada penelitian tahap ketiga ini pun dibandingkan dengan SFC target margarin komersial (Fattahi-far et al. 2006), margarin komersial A dan margarin komersial B. Perbandingan SFC ini ditunjukkan pada Gambar 11. Berdasarkan Gambar 11, terlihat bahwa interesterifikasi enzimatik oleh enzim Novozyme 435 pada campuran RPOo/RPOs dan CNO menggunakan reaktor packedbed kontinyu menghasilkan nilai SFC yang menurun dibandingkan bahan baku. Penurunan SFC juga dilaporkan oleh Lopez-Hernandez et al. (2007) yang meneliti interesterifikasi enzimatik secara batch dan kontinyu terhadap fully hidrogenated fat dengan lipase terimobilisasi. Namun demikian, semakin lama space time semakin menunjukkan profil SFC yang cenderung meningkat mendekati profil SFC bahan baku (M82). 35

SFC (%) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Suhu ( o C) (A) Setelah IE Margarin Target (Fattahifar et al. 2006) Margarin A Margarin B SFC (%) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Suhu ( o C) (B) Setelah IE Margarin Target (Fattahifar et al. 2006) Margarin A Margarin B SFC (%) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Setelah IE Margarin Target (Fattahifar et al. 2006) Margarin A Margarin B SFC (%) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Setelah IE Margarin Target (Fattahi-far et al. 2006) Margarin A Margarin B 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Suhu ( o C) (C) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Suhu ( o C) (D) Gambar 11. Profil SFC dari campuran sebelum dan setelah interesterifikasi enzimatik (IE) pada perlakuan (A) S10, (B) S15, (C) S30 dan (D) S60 yang dibandingkan dengan profil SFC margarin komersial target, margarin A, dan margarin B. 36

Perubahan yang jelas pada profil SFC S10 setelah interesterifikasi enzimatik terlihat pada semua suhu pengukuran dibandingkan bahan bakunya, kecuali pada suhu 20 o C yang terjadi sedikit perubahan. Nilai SFC dari S10 pada suhu 25 o C, 30 o C, 35 o C dan 40 o C mendekati nilai SFC dari margarin target dari Fattahi-far et al. (2006). Dibandingkan dengan profil SFC S10, nilai SFC S15 mengalami kenaikan sekitar 1% di setiap suhu pengukuran. Namun demikian, kecenderungan profil SFC S10 tidak jauh berbeda dengan profil SFC S15. Nilai SFC dari S15 pada suhu 25 o C, 30 o C, dan 40 o C mendekati nilai SFC dari margarin target (Fattahi-far et al. 2006), namun lebih lebih tinggi pada suhu 35 o C, dan lebih rendah pada suhu 10 o C dan 20 o C. Nilai SFC S30 paling mendekati profil SFC margarin target dibandingkan dengan sampel yang lain. Nilai SFC S30 mendekati profil margarin target hampir pada semua suhu pengukuran, kecuali pada suhu 35 o C yang lebih tinggi. Selain itu, nilai SFC S30 pada suhu rendah yaitu suhu 10 o C, 20 o C, dan 25 o C juga paling mendekati profil SFC margarin komersial A. Hal ini menunjukkan daya oles S30 pada suhu refrigerator dan suhu sejuk mendekati daya oles margarin komersial A yang umumnya digunakan untuk oles roti. Sampel S60 memiliki nilai SFC yang paling tinggi dibandingkan dengan sampel yang lain. Dibandingkan dengan profil SFC margarin target, nilai SFC S60 mendekati pada suhu rendah yaitu suhu 10 o C dan 20 o C. Sedangkan bila dibandingkan dengan profil SFC margarin komersial A, nilai SFC S60 mendekati pada suhu tinggi yaitu suhu 35 o C dan 40 o C. SFC antara 35 o C dan 37 o C menentukan kekentalan dan sifat pelepasan RFS dalam mulut (Lida dan Ali 1998). Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11, terjadi peningkatan SFC sejalan dengan peningkatan space time. Peningkatan SFC dengan semakin lama space time ini diduga karena terjadi penurunan jumlah SSS (tri-saturated triacylglycerol) dan UUU (tri-unsaturated triacylglycerol), dan peningkatan kombinasinya (Ahmadi et al. 2008). Peningkatan SFC yang terjadi seiring dengan semakin lamanya space time ini juga diduga terjadi karena pembentukan TAG yang terdiri dari asam lemak bertitik leleh tinggi. Kombinasi asam lemak jenuh seperti laurat, stearat, dan palmitat dalam TAG hasil interesterifikasi enzimatik diduga mempengaruhi kenaikan SFC ini. 3. Kadar Air dan Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) Kadar air salah satu parameter penting pada produk pangan berbasis minyak/lemak. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan hidrolisis terhadap lemak dan memicu kerusakan minyak. Hidrolisis memecah TAG menjadi gliserol dan ALB yang didukung dengan keberadaan air. Tingginya kadar ALB dapat menurunkan ph yang dapat mengganggu aktivitas enzim lipase (Willis dan Marangoni 2002). Hasil ANOVA kadar air dapat dilihat pada Lampiran 8. Uji lanjut Duncan terhadap kadar sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik menunjukkan bahwa antara sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik berbeda nyata (p<0.05). Sedangkan data hasil ANOVA kadar ALB dapat dilihat pada Lampiran 9. Uji lanjut Duncan terhadap kadar sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik menunjukkan bahwa antara sampel sebelum (M82) tidak berbeda nyata 37

dengan hasil setelah interesterifikasi enzimatik pada sampel S10 dan S15, namun berbeda nyata dengan S30 dan S60 (p<0.05). Data hasil analisis kadar air dan ALB pada tahap penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 22. Dibandingkan dengan bahan baku (M82), terjadi peningkatan kadar air dan ALB setelah interesterifikasi enzimatik. Peningkatan kadar air ini disebabkan air yang dimiliki oleh enzim lipase itu sendiri yang bermigrasi ke dalam minyak. Menurut Zang et al. (2001), enzim lipase mengandung air sekitar 3-6%. Air juga dapat terserap oleh enzim dari udara pada saat pemanenan. Oleh karena itu, kontak enzim dengan udara luar harus minimal. Selain itu, proses interesterifikasi enzimatik itu sendiri juga menghasilkan air. Tabel 22. Kadar ALB (%) dan kadar air (%) setelah interesterifikasi enzimatik menggunakan reaktor packed-bed kontinyu Sampel Kadar air (%) Kadar ALB (%) Sebelum interesterifikasi enzimatik M82 0.093± 0.002 a 1.24 ± 0.03 a Setelah interesterifikasi enzimatik S10 0.100 ±0.001 b 1.36 ± 0.02 a S15 0.106 ±0.005 b 1.39 ± 0.01 a S30 0.118 ±0.000 c 2.12 ± 0.05 b S60 0.124 ±0.001 d 2.46 ± 0.12 c Keterangan: Data ± standar deviasi. Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan pada taraf uji 5%. S10= space time 10 menit; S15= space time 15 menit; S30= space time 30 menit; S60= space time 60 menit; M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 sebelum IE Peningkatan kadar air juga diiringi dengan peningkatan kadar ALB. Kadar ALB meningkat karena peningkatan kadar air yang dibawa oleh enzim dan air yang kemungkinan diserap enzim dari udara. ALB terbentuk akibat reaksi hidrolisis oleh air (Long et al. 2003). Reaksi ini dipercepat dengan adanya panas, air, keasaman, dan katalis (enzim) (Winarno 1999). Peningkatan kadar ALB setelah interesterifikasi enzimatik diamati oleh Long et al. (2003) yaitu kadar ALB bahan baku stearin sawit/flaxseed oil dan olein sawit/flaxseed oil sebesar 11.3 µmol dan 10.0 µmol meningkat menjadi 93.8 µmol dan 75.0 µmol setelah interesterifikasi enzimatik. Peningkatan kadar ALB ini juga memperkuat dugaan terbentuknya MAG dan DAG yang mempengaruhi peningkatan SMP sejalan dengan peningkatan space time setelah interesterifikasi enzimatik. Peningkatan ALB ini diduga sebanding dengan peningkatan MAG dan DAG karena adanya air mengakibatkan terjadinya reaksi hidrolisis yang mengubah TAG menjadi MAG, DAG, dan ALB. Monoasilgliserol (MAG) memiliki titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan bentuk triasilgliserolnya. Hal ini disebabkan karena ikatan hidrogen pada gugus karboksil serta interaksi hidrofobik di sepanjang rantai hidrokarbon MAG membentuk ikatan hidrogen yang kuat, sehingga memerlukan panas yang lebih banyak untuk mengurainya. Titik leleh ini juga berkaitan dengan asam lemak yang terkandung dalam MAG dan DAG. Diduga bahwa asam lemak yang terdapat pada MAG dan DAG adalah asam lemak jenuh dan 38

pendek, karena meskipun SMP hasil interesterifiksi enzimatik semakin tinggi dengan semakin tingginya space time, namun masih di bawah SMP bahan baku. Peningkatan kadar air dan kadar ALB juga dilaporkan oleh Hasrini (2008) pada hasil interesterifikasi enzimatik campuran minyak sawit merah dan minyak kelapa. Kadar air dan kadar ALB pada penelitian Hasrini berbeda dengan hasil analisis penelitian tahap ketiga ini karena kondisi proses yang berbeda dan enzim yang berbeda. Kadar air dan kadar ALB hasil interesterifikasi Hasrini (2008) ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23. Kadar air dan kadar ALB hasil interesterifikasi Hasrini (2008) Sampel hasil interesterifikasi Kadar air (%) Kadar ALB (%) M82 0.058 ± 0.002 5.60 ± 0.045 Keterangan: M82 = (RPOo/RPOs)/CNO rasio 82.5/17.5 Produk olahan minyak diharapkan memiliki kadar ALB yang rendah. Hal ini terkait dengan kualitas produk minyak/lemak. Tingginya kadar ALB dapat meningkatkan risiko ketengikan dari produk. 39