SKRIPSI. PARASIT CACING PADA SAPI BALI (Bos sondaicus) DAN SAPI BRAHMAN (Bos indicus) DI PETERNAKAN SAPI SUKAWINATAN KECAMATAN SUKARAMI KOTA PALEMBANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TREMATODA PENDAHULUAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

Taenia saginata dan Taenia solium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

2. Strongyloides stercoralis

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

N E M A T H E L M I N T H E S

Ciri-ciri umum cestoda usus

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUN PUSTAKA. masyarakat.adapun ciri-ciri sapi pedaging seperti berikut: tubuh besar, badan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

IDENTIFIKASI TELUR CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN TINJA PADA SISWA SDN KEMIRI 3 DESA KEMIRI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER

TINJAUAN PUSTAKA. dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi potong merupakan salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

JENIS CACING PADA FESES SAPI DI TPA JATIBARANG DAN KTT SIDOMULYO DESA NONGKOSAWIT SEMARANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas

BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

Sistem Pencernaan Pada Hewan

TINJAUAN PUSTAKA. atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Musca domestica ( Lalat rumah)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

Transkripsi:

1 SKRIPSI PARASIT CACING PADA SAPI BALI (Bos sondaicus) DAN SAPI BRAHMAN (Bos indicus) DI PETERNAKAN SAPI SUKAWINATAN KECAMATAN SUKARAMI KOTA PALEMBANG ZAHRA NURUL HIKMAH 08121004042 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2016

2 SKRIPSI PARASIT CACING PADA SAPI BALI (Bos sondaicus) DAN SAPI BRAHMAN (Bos indicus) DI PETERNAKAN SAPI SUKAWINATAN KECAMATAN SUKARAMI KOTA PALEMBANG Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Bidang Studi Biologi ZAHRA NURUL HIKMAH 08121004042 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2016

3

4

5 LEMBAR PERSEMBAHAN Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya) (An-Najm: 39-40)...takkan ada suatu usaha yang akan mengkhianati hasilnya (Hikmah, 2016) Kupersembahkan untuk: Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya Kedua Orang Tua-ku Khairul Rizal M.Hum dan Zelva atas segala doa yang tiada hentinya Adik-adikku Muhammad Reza Syabani dan Keisa Rahmalia Kedua Pembimbing Tugas Akhir-ku Sahabat-sahabatku, Marindha, Nunik, Yosy dan Raddy Almamater-ku iv

6 SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Zahra Nurul Hikmah Nim : 08121004042 Judul : Parasit Cacing Pada Sapi Bali (Bos sondaicus) Dan Sapi Brahman (Bos indicus) Di Peternakan Sapi Sukawinatan Kecamatan Sukarami Kota Palembang Memberikan izin kepada Pembimbing dan untuk mempublikasikan hasil penelitian saya untuk kepentingan akademik apabila dalam waktu 1 (satu) tahun tidak mempublikasikan karya penelitian saya. Dalam kasus ini saya setuju untuk menempatkan Pembimbing sebagai penulis korespondensasi (Corresponding author). Demikian, pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari siapapun. Inderalaya, Juni 2015 Zahra Nurul Hikmah 08121004042 v

7

8 KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kepada ALLAH SWT saya ucapkan atas berkat dan rahmat-nya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Parasit Cacing Pada Sapi Bali (Bos sondaicus) dan Sapi Brahman (Bos indicus) Di Peternakan Sapi Sukawinatan Kecamatan Sukarami Kota Palembang. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh Sarjana Sains bidang studi Biologi di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,. Terima kasih saya ucapkan kepada kedua orang tua saya Ayahanda Khairul Rizal M. Hum dan Ibunda Zelva yang telah memberikan dukungan yang tak henti-hentinya, baik dukungan semangat, dukungan moral, dukungan materil sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih kepada Drs. Erwin Nofyan M.Si. dan Dr. Arum Setiawan M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan membimbing, mengarahkan, meluangkan waktu serta pikiran dengan ikhlas dan penuh kesabaran selama penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada: 1. Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kelancaran selama dalam menjalani tugas akhir ini. 2. Prof. Dr. Ir. H. Anis Sagaf, M.S.C.E. selaku rektor 3. Drs. Muhammad Irfan, M.T. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,. 4. Drs. Hanifa Marisa, M.S., selaku Ketua Jurusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,. 5. Drs. Mustafa Kamal M.Si dan Drs. Enggar Patriono M.Si., selaku dosen pembahas yang telah banyak memberikan masukan dan koreksi dalam penyusunan tugas akhir ini. 6. Dra. Nina Tanzerina, M.Si., selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingannya selama ini. 7. Seluruh Staf Dosen Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, yang tidak dapat disebutkan satu vii

9 persatu yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuan yang sangat bermanfaat. 8. Karyawan di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,. 9. Bapak Selamet, selaku pengelola Peternakan Sapi Sukawinatan yang telah memberikan izin dalam pengambilan sampel untuk tugas akhir. 10. Rekan seperjuangan tugas akhir baik dilapangan dan dilaboratorium, Marindha Febriani terima kasih atas semangat dan perjuangan yang telah kita lewati. 11. Teman-teman seperjuangan Biologi angkatan 2012, terima kasih atas segala dukungan dan kebersamaan yang telah kita lalui bersama. Inderalaya, Juni 2016 Penulis

10 RINGKASAN PARASIT CACING PADA SAPI BALI (Bos sondaicus) dan SAPI BRAHMAN (Bos indicus) DI PETERNAKAN SAPI SUKAWINATAN KECAMATAN SUKARAMI KOTA PALEMBANG Karya Tulis Ilmiah Berupa Skripsi, Mei 2016 Zahra Nurul Hikmah; Dibimbing oleh Erwin Nofyan dan Arum Setiawan, Parasitic Worms of Bos sondaicus and Bos indicus At Farm House Sukarami Subdistrict of Palembang City xvi + 46 halaman, 5 tabel, 19 gambar, 5 lampiran RINGKASAN Sapi Bali dan Sapi Brahman adalah salah satu hewan ternak yang memiliki peran penting dalam hal kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Banyak beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah produktivitas ternak, salah satunya adalah gangguan kesehatan ternak yang biasanya disebabkan oleh parasit berupa endoparasit. Tujuan penelitian ini untuk menentukan jenis-jenis endoparasit apa saja yang terdapat pada saluran pencernaan usus sapi Bali dan sapi Brahman serta menentukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyebab parasit pada sapi Bali dan sapi Brahman. Penelitian ini telah dilaksanakan pada Desember 2015 sampai dengan Selesai. Metode yang digunakan pada penelitian ini metode survey dengan sampling berupa metode sampling acak sederhana dan analisis data dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil Penelitian ini didapatkan jenis-jenis stadium parasit cacing dari kelas cestoda dan nematoda. Berdasarkan pengidentifikasian yang telah dilakukan didapatkan jenis-jenis stadium parasit cacing Parasit cacing yang didapatkan pada sapi Bali (Bos sondaicus) terdapat 4 spesies yakni, Ancylostoma sp, Moniezia sp., Strongyloides sp. dan Taenia sp. sedangkan pada sapi Brahman (Bos indicus) tidak ditemukannya spesies Strongyloides sp. sehingga hanya didapatkan 3 spesies yakni, Ancylostoma sp, Moniezia sp. dan Taenia sp. serta faktor yang mempengaruhinya adalah sanitasi kandang, pakan dan feses. Kata Kunci : parasit cacing, sapi bali, sapi brahman, cestoda, nematoda Kepustakaan : 38 (1989-2015) ix

11 SUMMARY PARASITIC WORMS ON BALINESE COW (Bos sondaicus) AND BRAHMANESE COW (Bos indicus) IN SUKAWINATAN CATTLE RANCHING SUKARAMI SUBDISTRIC PALEMBANG Scientific Paper in the form of Skripsi, may 2016 Zahra Nurul Hikmah; supervised by Drs. Erwin Nofyan, M.Si and Dr. Arum Setiawan, M.Si Parasit Cacing Pada Sapi Bali (Bos sondaicus) dan Sapi Brahman (Bos indicus) Di Peternakan Sapi Sukawinatan Kecamatan Sukarami Kota Palembang xvii + 45 pages, 4 table, 19 pictures, 1 grafic, 4 attachment SUMMARY Balinese cow and Brahmanese cow is one of the animals that have an important role in terms of food needs of society Indonesia. Many of the factors that cause a decrease in the number of livestock productivity, one of which was a cattle health disorders are usually caused by a parasite in the form endoparasit. The aims of study were to determine the types of endoparasites on Balinese cow and Brahmanese cow. This study was conducted in Desember 2015 until finish. The method used purposive sampling method and analyzed with qualitative descriptive analysis of this research was to determine the types of endoparasit anything contained on intestinal digestive tract Balinese cow and Brahmanese cow, as well as determine what factors affecting causes a parasite on Balinese cow and Brahmanes cow. The results of this research obtained types of parasitic worms from the stage of the class cestoda and nematoda. Based on identification was done by mobilising the kinds of parasitic worms are the parasitic worm stages obtained in Balinese cow (Bos sondaicus) there are 4 species i.e., Moniezia sp, Ancylostoma sp., Strongyloides sp. and Taenia sp. in Brahmanese cow (Bos indicus) is not the discovery of a species of Strongyloides sp. so only obtained 3 species i.e., Moniezia sp. Ancylostoma sp. and Taenia sp. The factors that affects the incidenceof endoparasites on Balinese cow and Brahmanes cow is sanitation, feed and, heap of manure. Keywords : parasitic worms, Balinese cow, Brahmanese cow, nematode, cestoda Citations : 37 (1989-2015) x

12 DAFTAR ISI Halaman Halaman judul... i Halaman pengesahan... ii Halaman persetujuan... iii Motto dan Persembahan... iv Halaman Pernyataan Integritas... v Surat Pernyataan... vi Kata Pengantar... vii Ringkasan... ix Summary... x Daftar Isi... xi Daftar Gambar... xiv Daftar Tabel... xv Daftar Grafik... xvi Daftar Lampiran... xvii BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3. Tujuan Penelitian... 3 1.4. Manfaat Penelitian... 3 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Sapi Bali... 4 2.2. Biologi Sapi Brahman... 5 2.3. Endoparasit... 7 2.3.1. Jenis-Jenis Cacing Parasit Yang Menyerang Hewan Ternak... 8 2.3.1.1. Trematoda... 8 xi

13 2.3.1.2. Nematoda... 9 2.3.1.3. Cestoda... 10 2.4. Jenis-Jenis Cacing Parasit Sapi... 5 2.4.1. Fasciola hepatica... 11 2.4.2. Paramphistomum sp... 12 2.4.3. Trichostrongylus sp... 13 2.4.4. Cooperia sp... 14 2.4.5. Taenia saginata... 15 2.4.6. Bunostomum sp... 16 2.4.7. Moniezia sp... 17 2.4.8. Strongyloides sp... 18 2.4.9. Trichuris spp... 19 BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat... 20 3.2. Alat dan Bahan... 20 3.3. Cara Kerja... 20 3.3.1. Pengambilan Sampel Feses Sapi... 20 3.3.2. Cara Membuat Larutan Kato dan Perendaman Selotif... 21 3.3.3. Pemeriksaan Sampel Feses Sapi... 21 3.3.4. Identifikasi Spesies Endoparasit pada Feses Sapi... 21 3.4. Variabel Pengamatan Spesies Endoparasit pada Feses Sapi... 22 3.5. Analisis Data... 22 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Endoparasit Yang Terdapat Sapi Bali dan Sapi Brahman... 23 4.2. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Endoparasit pada Sapi Bali dan Sapi Brahman... 25 4.2.1. Sanitasi Kandang... 26 4.2.2. Pakan... 27 4.2.3. Feses... 27 xii

14 4.3. Jenis-Jenis Telur, Larva dan Cacing Yang Terdapat Pada Sapi Bali dan Sapi Brahman... 29 4.3.1. Ancylostoma sp... 30 4.3.2. Moniezia sp.... 31 4.3.3. Strongyloides sp... 33 4.3.4. Taenia sp.... 34 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan... 36 5.2. Saran... 36 DAFTAR PUSTAKA... 37 LAMPIRAN... 40 xiii

15 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Sapi Bali.... 5 Gambar 2.2. Sapi Brahman.... 7 Gambar 2.3.1. Fasciola hepatica... 11 Gambar 2.3.2. Paramphistomum sp.... 12 Gambar 2.3.3. Trichostrongylus sp.... 13 Gambar 2.3.4. Cooperia sp.... 14 Gambar 2.3.5. Taenia saginata... 15 Gambar 2.3.6. Bunostomum sp.... 16 Gambar 2.3.7. Moniezia sp.... 17 Gambar 2.3.8. Strongyloides sp.... 18 Gambar 2.3.9. Trichuris spp.... 19 Gambar 4.1. Kandang IV... 26 Gambar 4.1.1 Pakan Rumput... 27 Gambar 4.1.2. Ampas Tahu... 27 Gambar 4.2. Feses... 28 Gambar 4.3. Ancylostoma sp.... 31 Gambar 4.4. Moniezia sp.... 33 Gambar 4.5. Strongyloides sp.... 34 Gambar 4.6. Taenia sp.... 35 xiv

16 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Telur Trematoda... 8 Tabel 2. Jenis Telur Nematoda... 9 Tabel 3. Jenis Telur Cestoda... 10 Tabel 5. Jenis-Jenis Telur, Larva dan Cacing Yang Terdapat Pada Sapi Bali dan Sapi Brahman... 28 xv

17 DAFTAR GRAFIK Halaman Grafik 1. Jumlah Spesies dan Jumlah Parasit yang menyerang sapi Bali (Bos sondaicus) dan sapi Brahman (Bos indicus) peternakan sapi Sukawinatan Kecamatan Sukarami, Kota Palembang... 23 xvi

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Gambar Alat dan Bahan... 40 Lampiran 2. Gambar Sampel... 42 Lampiran 3. Lampiran Pembuatan Larutan... 43 Lampiran 4. Klasifikasi... 44 xvii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat dimanfaatkan dan penting bagi masyarakat Indonesia salah satunya oleh sektor peternakan. Hewan ternak mamalia seperti sapi, kambing, kerbau dan unggas seperti ayam dan burung memiliki peran penting dalam hal kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Banyak beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah produktivitas ternak, salah satunya adalah gangguan kesehatan ternak yang biasanya disebabkan oleh parasit berupa ektoparasit dan endoparasit (Fadilah, 2005). Kota Palembang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang bisa dijadikan untuk pengembangan ternak ruminansia karena memiliki luas 400,61 km 2. Populasi ternak ruminansia terbanyak terdapat di Kecamatan Sukarami yaitu sebesar 32,96 % diikuti Kecamatan Gandus sebesar 22,1 % dan Kecamatan Ilir Barat I sebesar 13,53% dari seluruh populasi ternak ruminansia yang terdapat di Kota Palembang. Jenis ternak ruminansia yang paling banyak diperlihara di Kota Palembang adalah ternak sapi dengan populasi sebesar 62,04% dari total populasi ternak sedangkan yang terkecil adalah populasi ternak kerbau (Nurdin et al., 2014). Salah satu hewan ternak yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah sapi. Permintaan daging sapi terus meningkat seiring bertambahnya pertumbuhan penduduk, pendapatan ekonomi masyarakat serta kesadaran pentingnya mengkonsumsi daging untuk meningkatkan gizi. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yaitu dengan meningkatkan produktivitas sapi (Haryanto et al., 2015). Penyakit parasit menjadi salah satu faktor dalam penangkaran yang perlu diperhatikan, termasuk adalah cacing yang disebabkan oleh endoparasit. Menurut Rahmah et al., (2013) bahwa penyakit yang disebabkan oleh endoparasit saluran pencernaan umumnya tidak menyebabkan kematian secara akut, melainkan bersifat kronis sehingga pada hewan akan mengakibatkan produksi 1

2 kinerja dari hewan tersebut menjadi menurun, sedangkan pada hewan yang muda akan menyebabkan pertumbuhan terhambat, lalu nafsu makan hewan akan menjadi turun, anemia dan diare. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Syamprima (2014) tentang endoparasit dengan menggunakan sampel feses pada hewan ternak sapi, didapatkan jenis-jenis cacing yaitu Ascaris sp., Monieziea expansa, Strongyloides sp. dan Trichuris ovis. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Setiati et al., (2014) menunjukkan bahwa jenis telur cacing pada feses sapi di TPA Jatibarang sebanyak tiga belas spesies yakni Ascaris lumbricoides, Bunostomum phlebotomum, Haemonchus contortus, Oesophagostomum radiatum, Ostertagia ostertagi, Trichuris globulosa, Fasciola hepatica, Fasciola gigantica, Moniezia expansa, Moniezia benedeni, Paramphistomum cervi, Cotylophoron cotylophorum dan Schistosoma bovis. Penelitian yang telah dilakukan oleh Widnyana (2013) tentang pravalensi infeksi endoparasit pada saluran pencernaan sapi bali dan sapi rambon menunjukkan bahwa tingkat pravalensi paling tinggi terdapat pada cacing Eimeria sp. dengan presentase 10 % dari kedua jenis sapi yang diamati. Jenis endoparasit yang ditemukan pada saluran pencernaan sapi bali adalah Eimeria sp. dan Moniezia benedi. Sedangkan pada sapi rambon endoparasit yang ditemukan yakni Emeria sp., Paramphistomum sp., Moniezia benedi., Cooperia pectinita dan Moniezia expansa. Bertumpuknya ternak pada suatu tempat dalam jangka waktu yang panjang menyebabkan kemungkinan terjadinya serangan parasit sehingga timbul penyakit yang dianggap sangat menggangu hewan ternak sapi. Untuk mengetahui adanya cacing parasit usus maka, perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi berbagai jenis cacing parasit yang hidup di usus ternak sapi. Selain itu, belum adanya identifikasi mengenai jenis-jenis cacing parasit pada peternakan sapi, khusunya pada pencernaan usus hewan ternak sapi di peternakan sapi Sukawinatan, kecamatan Sukarami, kota Palembang.

3 1.2. Rumusan Masalah Cacing yang keberadaannya bersifat parasit dapat menganggu hewan ternak, khususnya pada pencernaan usus hewan ternak. Berdasarkan latar belakang tersebut di dapatkan rumusan masalah sebagai berikut yakni, jenis-jenis endoparasit apa saja yang terdapat pada saluran pencernaan usus sapi Bali (Bos sondaicus) dan sapi Brahman (Bos indicus) serta menggambarkan faktorfaktor apa saja yang terdapat di sekitar kandang sapi Bali (Bos sondaicus) dan sapi Brahman (Bos indicus) di Peternakan Sapi Sukawinatan, Kecamatan Sukarami, Kota Palembang. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis cacing parasit usus yang terdapat pada feses sapi hewan ternak sapi pencernaan usus sapi Bali (Bos sondaicus) dan sapi Brahman (Bos indicus) serta menggambarkan faktorfaktor apa saja yang terdapat di sekitar kandang sapi Bali (Bos sondaicus) dan sapi Brahman (Bos indicus) di Peternakan Sapi Sukawinatan, Kecamatan Sukarami, Kota Palembang. 1.4. Manfaaat Penelitian Penelitian ini mampu memberikan manfaat dan informasi kepada masyarakat untuk lebih mengetahui jenis-jenis endoparasit, khususnya mengenai keberadaan jenis-jenis cacing parasit usus pada hewan ternak sapi Bali (Bos sondaicus) dan sapi Brahman (Bos indicus) serta memberikan informasi dalam bidang parasitologi di peternakan sapi Sukawinatan Kecamatan Sukarami, Kota Palembang.

4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Sapi Bali Penggolongan sapi Bali ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Menurut Blakely dan Bade (1992) sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Artiodactyla Family : Bovidae Genus : Bos Species : Bos sondaicus Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi di Indonesia yang dibudayakan dan telah lama menyebar ke penjuru Nusantara. Dengan demikian adaptibilitasnya terhadap iklim dan lingkungan tropis tidak diragukan lagi. Teknik pembudayaan sapi Bali perlu ditingkatkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil. Saat ini daging sapi Bali banyak diminati industri pengolahan dan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata seperti dihotel dan direstoran. Disamping itu, daging sapi Bali juga diperdagangkan diluar daerah dan kota-kota besar di luar Jawa. Kendala yang banyak dihadapkan oleh peternak dalam pemeliharaan Sapi Bali adalah infeksi penyakit (Guntoro, 2002). Pada peternakan sapi, efisiensi reproduksi sangat penting artinya karena berhubungan dengan keuntungan. Sapi Bali memiliki keunggulan dibandingkan dengan sapi lainnya, selain itu sapi bali juga banyak dipelihara pada peternakan kecil karena fertilitasnya baik dan memiliki angka kematian yang rendah. Keunggulan sapi Bali dibandingkan dengan sapi lainnya diantaranya mempunyai angka pertumbuhan yang cepat, kemudian memiliki adaptasi atau lingkungan yang baik, dan penampilan reproduksi yang baik (Haryanto et al., 2015). Sapi Bali yang di ternakkan selain memiliki keunggulan seperti memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk seperti di daerah bersuhu 4

5 tinggi. Sapi bali juga memiliki beberapa kelemahan antara lain amat peka terhadap beberapa jenis penyakit yang tidak dijumpai pada ternak lain. Sapi Bali diketahui rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cacing, apalagi jika dipelihara secara ekstensif dan semi intensif (Gunawan, 2008). Ciri ciri sapi Bali yaitu berukuran sedang, dadanya dalam, tidak berpunuk, kulitnya berwarna merah bata. Moncong, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam, kaki-kakinya ramping, pada paha dalam dan bagian bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih berbentuk oval. Sekitar punggung ditemukan hitam membentuk garis memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. Sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam legam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin seperti terlihat pada gambar 2.1. dibawah ini (Guntoro, 2002). Gambar 2.1. Sapi Bali (Bos sondaicus) (Sumber: Abidin, 2008) 2.2. Biologi Sapi Brahman Penggolongan sapi Brahman ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Menurut Blakely dan Bade (1992) sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Kingdom : Animalia 4

6 Phylum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Artiodactyla Family : Bovidae Genus : Bos Species : Bos indiscus Jenis sapi bakalan yang umum digunakan untuk usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah sapi Brahman. Sapi Brahman merupakan salah satu diantara beberapa sapi potong yang mempunyai kontribusi yang cukup bahkan berarti bagi pemenuhan kebutuhan daging di Indonesia, dan biasanya sapi tersebut dikelola oleh industri penggemukan sebagai pemasok daging yang lebih mengutamakan produksi dengan menghasilkan sapi yang ideal, sapi yang memiliki bobot presentase tinggi, nilai kualitas baik, dan memiliki nilai ekonomis (Firdausi et al., 2013). Sapi Brahman berasal dari india yang merupakan keturunan dari sapi zebu (Bos indicus). Keturunan sapi Brahman ini disebut australian brahman cross (ABC) yang biasa dilengkapi sertifikat untuk menunjukkan presentase genetis sapi Brahman. Pertumbuhan sapi Brahman ini sangat cepat. Hal ini yang menyebabkan sapi ini menjadi primadona spai potong untuk negeri tropis (Abidin, 2008). Sapi Brahman mempunyai penampilan luar yang sangat mencolok dengan ciri-ciri kuping yang lebar dan terkulai kebawah, punuk dan gelambir yang besar. Selain itu memiliki badan yang panjang dengan kedalaman sedang, mempunyai kaki agak panjang. Warna bervariasi dari putih atau merah sampai hitam, umumnya berwarna putih atau abu-abu, tetapi ada juga yang berwarna kemerahan dan hitam. Warna bulu menyeluruh tetapi Sapi jantan yang telah dewasa biasanya berwarna gelap pada leher, bahu, paha dan panggul bagian bawah. Kulit kendor, halus dan lembut, ketebalannya sedang dan biasanya berpigmen. Tanduk berjarak lebar, tebal dan panjangnya sedang seperti terlihat pada gambar 2.2. dibawah ini (Gunawan, 2008).

7 Gambar 2.2. Sapi Brahman (Bos indiscus) (Sumber: Purbowati, 2012) 2.3. Endoparasit Endoparasit merupakan parasit yang hidup di tubuh inangnya. Pada umumnya endoparasit yang ditemukan terdiri dari berbagai jenis cacing, bakteri, protozoa dan virus. Endoparasit bersifat merugikan pada hospesnya karena parasit mengambil pakan dari hospesnya untuk kelangsungan hidupnya. Kerugian tersebut terjadi akibat rusaknya sistem organ ternak sehingga dan bagi peternak biaya yang harus ditanggung olehnya cukup besar. Kerugian yang diakibatkan oleh parasit berupa perkembangan tubuh dari ternak menjadi terhambat, sedangkan pada sapi dewasa kenaikan berat badannya tidak tercapai, organ tubuh rusak (Pradana et al., 2015). Endoparasit berasal dari aspek kesehatan yang kurang diperhatikan dalam kegiatan pemeliharaan sapi. Manajemen pemeliharaan sehari-hari terutama pada sistem penggembalaan yang kurang diperhatikan, lalu kebersihan kandang, kebersihan ternak itu sendiri dan pakan yang diberikan serta air minum sangat perlu untuk diperhatikan, karena dapat menjadi faktor penyakit asal parasit tersebut muncul (Tethool dan Seseray, 2009).

8 2.3.1. Jenis-Jenis Cacing Parasit Yang Menyerang Hewan Ternak Ada tiga kelompok cacing yang dikatagorikan yang menyerang meliputi cacing Nematoda, Trematoda, dan Cestoda. Cacing tersebut tidak bertambah banyak, melainkan yang berada dalam berbagai bagian dari tubuh sapi tersebut. Jenis-jenis cacing parasit usus pada hewan ternak sapi diantaranya sebagai berikut: 2.3.1.1. Trematoda Menurut Zaman (1997) trematoda dikenal juga sebagai cacing daun. Badannya biasanya berbentuk pipih dan berbentuk daun. Saluran pencernaan terdiri atas bagian anterior yang pendek letaknya ditengah, dan bercabang menjadi dua di bagian posterior. Sistem eksreksi terdiri atas susunan sel api yang mengarah ke saluran kecil, saluran pengumpul dan kantong eksresi. Sistem saraf terdiri atas dua buah ganglion dekat faring tempat ke luar urat saraf transversal dan longitudinal. Telur trematoda mempunyai operkulum, dalam hal ini telur dikeluarkan dengan mirasidium atau stadium larva yang bersilia. Sebagian jenis cacing kelompok trematoda tunjukkan pada Tabel 2.3.1. Tabel 2.3.1. Jenis Telur Trematoda (Sumber: Zaman, 1997) No. Kelompok Jenis Nama Daerah 1 Trematoda Fasciolopsis buski - 2 Trematoda Schistosoma mansoni - 3 Trematoda Paragonimus westermani Cacing Paru 4 Trematoda Watsonius watsoni - 5 Trematoda Gastrodiscoides hominis - 6 Trematoda Schistosoma japonicum - 7 8 9 10 11 12 Trematoda Trematoda Trematoda Trematoda Trematoda Trematoda Schistosoma haematobium Echinostoma revolutum Opisthorchis sinensis Opisthorchis viverrini Fasciola hepatica Fasciola gigantic - - - - - Cacing Hati

9 2.3.1.2. Nematoda Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang dan berbentuk silindris. Menurut Zaman (1997) pada umumnya nematoda mengalami empat kali pergantian kulit pertama. Sistem ekskresi terdiri atas dua pipa di dalam korda lateral. Pada ujung anterior, pipa ini berhubungan dan terbuka di bagian tengah ventral. Sistem saraf terdiri atas cincin saraf yang mengelilingi esophagus dan keluar dari cabang-cabang ke anterior dan posterior. Sistem pencernaan merupakan suatu pipa yang terdiri atas rongga mulut, usus tengah dan usus belakang. Sebagian jenis cacing kelompok trematoda yang biasa ditemukan di tunjukkan pada Tabel 2.3.2. Tabel 2.3.2. Jenis Telur Nematoda (Sumber: Noble dan Noble, 1989) No. Kelompok Jenis Nama Daerah 1 Nematoda Enterobius vermicularis Cacing Kremi 2 Nematoda Ascaris lumbricoides Cacing Gelang 3 Nematoda Ascaris telur yang tidak dibuahi Cacing Gelang 4 Nematoda Ascaris telur yang tidak berkorteks Cacing Gelang 5 Nematoda Trichuris trichiura Cacing Cambuk 6 Nematoda Trichostrongylus orientalis telur belum masak Cacing Rambut 7 Nematoda Trichostrongylus telur berembrio Cacing Rambut 8 9 Nematoda Nematoda Strongyloides sp. (Telur jarang tampak dalam tinja) Ancylostoma sp. Cacing Benang Cacing Kait Cacing nematoda umumnya menyerang peradangan lambung dan usus. Ada persamaan dalam siklus hidup cacing-cacing ini. Cacing betina yang telah menjadi dewasa dalam usus atau lambung sapi akan mengeluarkan telur dengan jumlah yang sangat besar. Telur ini akan keluar bersama feses dan diluar dapat menularkan hewan yang baru dan harus melalui beberapa pertumbuhan. Menurut Akoso (1996) daur hidupnya terjadi pada tubuh induk hospesnya. Cacing bertelur dalam saluran empedu dan di bawa oleh cairan empedu yang masuk kedalam usus yang kemudian akan keluar bersama feses.

10 Ascaris lumbricoides menjadi salah satu cacing yang termasuk ke dalam kelas nematoda, dimana cacing ini bermigrasi melalui hati dan paru-paru. Menurut Zaman (1997) migrasi tersebut mengakibatkan reaksi radang dari berbagai tingkatan, karena inidividunya hipersensitif meskipun hanya beberapa larva bisa menyebabkan gejala yang sama. Pada A. lumbricoides telur menjadi infektif dalam 2 sampai 3 minggu di tanah, setelah ditelan larva menetas di usus halus dan masuk ke sirkulasi. 2.3.1.3. Cestoda Taenia saginata merupakan cacing yang termasuk ke dalam kelas cestoda. Siklus hidup cacing tersebut pertama telur cacing dapat masuk kedalam tubuh melalui pakan ternak yang mengandung Cysticercus. Dengan adanya Cysticercus dalam jumlah yang besar akan menyebabkan kerusakan sel-sel sekitar. Menurut Zaman (1997) parasit golongan ini dikenal sebagai cacing pita. Badannya terdiri atas rangkaian segmen. Diantara skoleks dan segmen satu ada bagian yang sempit yang disebut leher. Bagian parasit ini mengandung sel-sel germinal yang berbentuk strobilla, kemudian cestoda mengambil makan melalui kulit karena tidak ada alat pencernaan. Sebagian jenis cacing yang termasuk ke kelompok Cestoda yang sering ditemukan didalam Bos sp. ditunjukkan pada Tabel 2.3.3. Tabel 2.3.3.Jenis Telur Cestoda (Sumber: Suwandi, 2001) No Kelompok Jenis Nama Daerah 1 Cestoda Moniezia sp. - 2 Cestoda Taenia sp. Cacing Hati 3 Cestoda Echinococcus granulosus Cacing Pita

11 2.4. Jenis- Jenis Telur Cacing Parasit Sapi Ada tiga kelompok cacing yang dikatagorikan yang biasanya ditemukan pada sapi. Cacing tersebut meliputi cacing Nematoda, Trematoda, dan Cestoda. Cacing tersebut tidak bertambah banyak, melainkan yang berada dalam berbagai bagian dari tubuh sapi tersebut. Jenis-jenis telur cacing parasit pada hewan ternak sapi diantaranya sebagai berikut: 2.4.1. Fasciola hepatica Infeksi cacing hati pada sapi yang dapat salah satunya disebabkan oleh Fasciola hepatica. Menurut Akoso (1996) menyatakan bahwa cacing ini menginfeksi ruminansia. Parasit ini berada dialam saluran empedu atau usus yang menyebabkan kerusakan hati. Menurut Tanjung (2014) bahwa hospes dari Fasciola hepatica adalah siput dari genus Lymnaea dan metaserkaria atau larva infektif cacing hati yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Cacing dewasa memproduksi telur yang keluar bersama feses. Pada kondisi yang cocok telur cacing menetas dan mengeluarkan mirasidium. Telur Fasciola hepatica di tunjukkan pada Gambar 2.3.1. a b c Gambar 2.3.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber: Junita, 2015) a. Blastomer; b. Kerabang Telur; c. Operkulum

12 2.4.2. Paramphistomum sp. Telur Paramphistomum sp. dengan morfologi berkerabang tipis dan agak menebal di bagian ujung operkulum dengan warna blastomer kuning cerah dan tidak terlalu padat serta ukuran yang relatif besar. Menurut Darmin (2014) Telur cacing yang mempunyai persamaan dengan Paramphistomum sp. adalah Fasciola sp. Telur Paramphistomum sp. mempunyai kulit telur transparan dan menyerap warna bila diwarnai dengan methylen blue sehingga akan nampak berwarna biru sedang sel-selnya agak lebih besar bila dibandingkan dengan telur Fasciola sp. Menurut Akoso (1996) Paramphistomum sp. menyerang pada saluran pencernaan terutama rumen dan perut jala. Cacing dewasa berukuran kecil, berbentuk kerucut dengan panjang 1 cm. Dibawah ini merupakan gambar Paramphistomum sp. yang ditemukan pada feses Sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone transparan, sel embrional dan operkulum yang jelas, dinding berwarna jernih (transparan), sering terdapat tonjolan kecil di ujung posterior dan ukuran telur Paramphistomum sp. lebih besar daripada telur Fasciola sp. Contoh gambar paramphistomum sp. pada Gambar 2.3.2. a b Gambar 2.3.2. Telur Paramphistomum sp. (Sumber: Darmin, 2014). a. operkulum; b. blastomer berwarna kuning cerah dan tidak terlalu padat Perkembangan cacing dalam siput sebagai induk semang sama dengan Fasciola hepatica. Bila kondisi memungkinkan dan cocok maka siklus hidup cacing tersebut dalam waktu kurang lebih 4 minggu. Setelah rumput dimakan oleh

13 sapi, perkembangan metaserkaria. Selanjutnya di dalam sista yang seluruhnya terjadi dalam saluran pencernaan. Setelah membentuk sista didalam duodenum. Cacing muda melekat dan makan di tempat tersebut selama 6 minggu sebelum pindah dan masuk ke dalam lambung (Akoso, 1996). 2.4.3. Trichostrongylus sp. Cacing jantan Trichostrongylus sp. memiliki panjang 2-6 m, dan memiliki diameter 50-60 mikron. Pada cacing betina mempunyai panjang 3-8 mm dan diameter 55-70 µ, dengan telur berukuran 75-107 x 30-47 µ. Trichostrongylus sp. cacing jantan yang memiliki panjang 4-8 mm. Cacing betina 5-9 mm dengan telur berukuran 101 x 30-47 µ, sedangkan cacing jantan memiliki panjang 4-7 mm, cacing betina meiliki ukuran dengan panjang 5-8 mm dengan telur berukuran 93-118 x 41 52 (Syamprina, 2014). Telur Trichostrongylus sp. ditunjukkan pada Gambar 2.3.3. a b Gambar 2.3.3. Telur Trichostrongylus sp. (Sumber: Andrianty, 2015). a. Cangkang Telur; b. Selaput yolk Siklus hidup Trichostrongylus sp. sama dengan daur hidup Hemochus contortus dimana daur hidup di cacing ini terjadi secara langsung. Sekitar 5.000 sampai 10.000 butir telur cacing dikeluarkan bersama tinja. Larva stadium pertama dan kedua tidak infektif dan kebanyakan mati karena cuaca yang

14 tidak sesuai. Stadium ketiga dicapai dalam waktu 5 hari dalam kondisi yang baik dan dimakan oleh induk semang. Larva akan termakan oleh hewan dan akan berkembang memasuki stadium empat dan menjadi dewasa (Akoso, 1996). 2.4.4. Cooperia sp. Cacing Cooperia sp. merupakan cacing gilig atau nematoda yang bentuknya kecil dan berwarna kemerah-merahan, dapat ditemukan dalam usus kecil berbagai ruminansia terutama sapi. Menurut Widnyana (2013) daur hidupnya mirip dengan nematoda lainnya, dimana cacing tersebut mengeluarkan telurnya dari tubuh hospes melalui feses dan dialam bebas berkembang dibawah pengaruh kelembaban, suhu dan oksigen yang cukup. Gejala infeksi pada ternak sapi antara lain: diare, lemah, anemia, pengurusan ternak (Noble dan Noble, 1989). Telur Cooperia sp. yang terlihat pada Gambar 2.3.4. a b Gambar 2.3.4. Telur Cooperia sp. (Sumber: Rahayu, 2015) a. Cangkang Telur; b. Sel Telur Daur hidup Cooperia sp. menurut (Akoso, 1996) sama dengan daur hidup Trichostrongylus sp. dimana larva stadium 1 dan 2 sejumlah besar mati, kemudian stadium 3 dicapai dalam waktu 5 hari dalam kondisi yang baik termakan oleh induk semang. Setelah termakan oleh hewan, maka ia akan berkembang memasuki stadium 4 dan menjadi dewasa. Cacing ini berukuran kecil yakni cacing jantan berukuran 5 mm dan cacing betina berukuran sekitar 6 mm. Biasanya menyerang usus halus hewan memamah biak.

15 2.4.5. Taenia saginata Taenia saginata adalah salah satu jenis cacing cestoda yang siklus hidupnya membutuhkan lebih dari satu inang atau dua dan telur diproduksi dalam jumlah banyak. Sapi sebagai inang definitif terinfeksi Taenia Saginata saat memakan makanan yang terkontamiasi larva pada usia 10-12 minggu. Cacing dewasa berbentuk scolex dan menyerang usus, diikuti cacing muda dan proglotid (Tantri et al., 2013).Telur Taenia saginata yang terlihat pada Gambar 2.3.5. a b Gambar 2.3.5. Telur Taenia saginata (Sumber: Zaman, 1997) a. Membran Luar; b. Membran inti Siklus hidup Taenia saginata yakni, telur cacing yang sudah bertunas akan membentuk embrio didalam uterus. Bila ruas tubuh cacing telah mengandung banyak telur bertunas, maka ruas tersebut akan putus dan keluar dari induk semang bersama feses. Telur cacing tersebut tidak menetas sampai tertelan oleh induk semang melainkan akan menempel pada dinding usus halus dan kemudian akan berpindah kebagian tubuh yang lain misalnya ke otot dan akan berkembang menjadi kista. Cacing dalam pertumbuhan demikian disebut cacing gelembung. Indus semang akhir akan emmakan bagian tubuh induk semang. Bungkul akan menempel di dinding usus halus dan berkembang menjadi cacing pita dewasa (Akoso, 1996).

16 2.4.6. Bunostomum sp. Bunostomum sp. adalah cacing yang terdapat dalam kolon sapi, domba, kambing dan babi, larva membentuk bungkul. Menurut Rahayu (2015), ukuran rata-rata cacing dewasa, pada betina 13,8 19,8 mm dan jantan 11,2 14,5 mm, memiliki kapsula bukalis kecil dan korona radiata jelas. Telur elips, blastomer memenuhi telur, cangkang luar tipis dan berukuran 70-76 x 36-40 mikron yang terlihat pada gambar dibawah ini. Menurut Syamprina (2014) cacing parasit ini merupakan cacing akit ruminansia, terdapat pada usus halus sapi. Telur dari Bunostomum ini mengandung morula dengan 4-8 sel. Cacing dewasa berwarna putih keabu-abuan, hitam, panjang mencapai 2,8 cm dengan ujung bagian depan membengkok kebelakang seperti dicantumkan pada Gambar 2.3.6. a b c Gambar 2.3.6. Telur Bunostomum sp. (Sumber: Andrianty, 2015) a. Cangkang Telur; b. Sel Telur; c. Blastomer Daur hidup Bunostomum sp. terjadi melalui pembusukan larva ke kulit atau tertelan bersama makanan. Melalui pembuluh darah, larva masuk menuju paru-paru dimana larva dibatukkan ke kerongkongan dan ditelan melalui saluran pencernaan. Telur dikeluarkan antara 30 sampai 36 hari setelah infeksi. Pada cacing jantan ukurannya 15 mm dan cacing betina panjangnya 25 mm dan telurnya berjumlah sekitar 100 x 50 µ dan tumpul di setiap ujung akhir (Akoso, 1996).

17 2.4.7. Moniezia sp. Moniezia sp. merupakan cacing pita yang termasuk ke dalam kelas cestoda. Spesies yang termasuk dalam Moniezia sp. yakni Moniezia benedeni dan Moniezia expansa. Menurut Basrul (2015) telur dapat ditemukan dalam usus kecil pada ternak dan ruminansia usia muda. Ditemukan pula pada domba, kambing dan lainnya. Perbedaan telur diantara keduanya selain dari diameter adalah bentuk telur. Persegi empat untuk M. benedeni sedangkan segitiga untuk M. expansa Sedangkan menurut Widnyana (2013) bahwa kebanyakan telur cacing ini mengandung embrio yang mempunyai tiga pasang kait. terkadang berbiak dalam bentuk larva, infeksi umumnya oleh larva dalam kista, cacing ini umumnya hidup dalam usus kecil. Gambar Telur Moniezia sp. terlihat dalam Gambar 2.3.7. a b Gambar 2.3.7. Telur Moniezia sp. (Sumber: Tantri et al., 2013) a. Cangkang Telur; b. Sel Telur 2.4.8. Strongyloides sp. Strongyloides sp. terdapat pada usus halus domba, sapi dan ruminansia lain. Lebih banyak terdapat pada hewan muda daripada dewasa. Cacing Strongyloides sp. disebut juga cacing benang, bersifat parasitik maupun bebas. Cacing betina parasitik panjangnya 3,5-6,0 mm dan berdiameter 50-65 mikron, menghasilkan telur berbentuk elips, berdinding tipis dan berembrio berukuran 40-

18 64 x 20-42 mikron. Sedangkan cacing jantan hidup bebas dengan panjang 700-825 mikron dengan spekulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33 mikron dengan gubernakulum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron. Infeksi terjadi melalui penetrasi kulit dan peroral (Rahayu, 2015). Gambar telur Strongyloides sp. yang terlihat pada Gambar 2.3.8. a b c Gambar 2.13. Telur Strongyloides sp. (Sumber: Rahayu, 2015) a. Cangkang Telur; b. Blastomer; c. Sel Telur 2.4.9. Trichuris spp. Trichuris spp. adalah Cacing jantan dengan ukuran panjang 45-59 mm, diameter anterior 140 mikron dan posterior 350-550 mikron. Cacing betina oranye-kuning, panjang 43-55 mm dengan diameter anterior 130 mikron dan posterior 670 mikron. Telur berukuran 60-73 x 25-35 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Menurut Rahmah et al., (2013) bahwa telur cacing ukuran panjangnya berkisar antara 61-63 µm dengan rata-rata 61,33±1,53 µm dan diameter telur berkisar 21-22 µm dengan rata-rata 21,5±0,5 µm seperti pada Gambar 2.3.9.

19 a b c Gambar 2.3.9. Telur Trichuris spp. (Sumber: Andrianty, 2015) a. Cangkang Telur; b. Blastomer; c. Sel Telur Siklus hidup Trichuris spp. terjadi secara langsung, dan telur berisi larva infektif dalam 3 minggu. Telur cacing tersebut dapat bertahan sampai 1 tahun dan setelah ditelan oleh induk semang telur akan menetas dan cacing menjadi dewasa dalam waktu 4 minggu. Morfologi cacing jantan ataupun cacing betina ukuran panjang 50 sampai 80 mm. Cacing banyak ditemukan didalam sekum induk semang. Ujung belakang pada cacing jantan memiliki bentuk yang melengkung (Akoso, 1996).

20 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Desember 2015 sampai dengan selesai. Pengambilan sampel dilakukan di peternakan sapi Sukawinatan, Kecamatan Sukarami, Kota Palembang. Identifikasi endoparasit dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,, Indralaya. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, botol film, kaca objek, kamera digital, kawat saring, kertas label, kertas minyak, lemari pendingin, masker, mikroskop, sarung tangan karet, selotif dengan ukuran 3x3 cm, sendok, dan tutup botol karet. Sedangkan bahan yang dibutuhkan yaitu, akuades, feses sapi, filtrat kasa, formalin 4%, gliserin dan larutan Malachite green 3%. 3.3. Cara Kerja 3.3.1. Pengambilan Sampel Feses Sapi Feses sapi diambil dari peternakan sapi di daerah Sukawinatan, Kecamatan Sukarami, Kota Palembang. Sampel yang segar, diperoleh dengan mengumpulkan feses sapi pada pagi hari (Triani et al., 2014). Pengambilan sampel feses dilakukan dengan pertimbangan yaitu dengan memilih sampel dengan struktur kasar. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dimana menurut (Fachrul, 2012) teknik pengambilan sampel purposive sampling adalah sampel yang digunakan apabila sampel yang akan diambil mempunyai pertimbangan tertentu. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan umur. Feses diambil dengan masing-masing sampel sebanyak 2 jenis setiap kandang yakni sapi Bali anakan dan sapi Brahman dewasa yang akan diamati. Feses diambil dengan menggunakan sendok, kemudian feses dimasukkan kedalam botol sampel, selanjutnya ditambahkan formalin 4 % hingga feses terendam seluruhnya, ditutup rapat dan

21 diberi label (jenis ternak dan kondisi feses), kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa (Natadisastra et al., 2009). 3.3.2. Cara Membuat Larutan Kato dan Perendaman Selotif Larutan kato yang digunakan adalah larutan Mallachite green yang terdiri dari 100 ml gliserin yang ditambahkan 100 ml akuades dan ditambahkan 1 ml Mallachite green 3 %. Selotif direndam terlebih dahulu di dalam larutan Mallachite green minimal dalam waktu 24 jam (Natadisastra et al., 2009). 3.3.3. Pemeriksaan Sampel Feses Sapi Pemeriksaan sampel tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Kato-katz. Sebelum melakukan pemeriksaan dengan menggunakan metode Kato-katz, dilakukan pembuatan larutan kato yang berfungsi untuk merendam selotif yang akan digunakan sebagai pengganti kaca penutup saat pengamatan. Apabila selotif sudah siap, feses yang telah diambil kemudian disaring dengan menggunakan penyaring, kemudian feses yang telah disaring diletakkan diatas kaca objek dan ditutup dengan selotif yang sudah direndam dalam larutan kato. Setelah itu, feses diratakan dengan tutup botol karet hingga merata. Periksa feses dibawah mikroskop dan identifikasi menggunakan buku identifikasi (Natadisastra et al., 2009). 3.3.4. Identifikasi Spesies Endoparasit pada Feses Sapi Identifikasi dilakukan dengan menggunakan metode natif yakni feses dilihat dibawah mikroskop untuk dicari adanya parasit cacing. Menurut Natadisastra et al., (2009) feses sapi diletakkan diatas kertas minyak, kemudian feses disaring dengan menggunakan kawat kasa. Kemudian, feses yang telah disaring diletakkan diatas kaca objek dan ditutup dengan menggunakan selotif yang telah direndam terlebih dahulu dengan menggunakan larutan kato atau larutan Mallachite green 3%. Ratakan feses dibawah selotif, lalu dibiarkan selama 20-30 menit dan selanjutnya diperiksa dibawah mikroskop.

22 3.4. Variabel Pengamatan Spesies Endoparasit pada Feses Sapi Pengamatan dalam pengidentifikasian dilakukan berdasarkan morfologi larva, cacing, dan telur (bentuk, ukuran, dan ada tidaknya operkulum) yang ditemukan. Identifikasi dilakukan berdasarkan buku pedoman: Levine (1994), Noble dan Noble (1989) dan Zaman (1997). 3.5. Analisis Data Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif kualitatif, dimana menurut Notoadmojo (2002) analisis tersebut merupakan keputusan khusus sebuah data yang terkumpul kemudian diambil kesimpulan secara umum. Teknik ini biasanya digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari metode observasi atau pengamatan. Endoparasit yang telah ditemukan di identifikasi untuk mengetahui jenisnya dengan dasar identifikasi morfologi dan stadium parasit yang didapatkan kemudian disamakan dengan menggunakan buku identifikasi. Data yang diperoleh berupa data jenis dan jumlah individu, dimana jumlah yang ditemukan ditabulasikan didalam tabel dan data jenis dapat dianalisis secara deskriptif (Dhewiyanty et al, 2015).

23 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Endoparasit Yang Terdapat Pada Sapi Bali dan Sapi Brahman Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menggunakan sampel feses pada hewan ternak sapi Bali (Bos sondaicus) dan sapi Brahman (Bos indicus) di peternakan sapi Sukawinatan, Kecamatan Sukarami, Kota Palembang. Maka di dapatkan hasil seperti yang terlihat pada Grafik 4.1. Grafik 4.1. Jumlah Spesies dan Jumlah Parasit yang Terdapat Pada Sapi Bali (Bos sondaicus) dan Sapi Brahman (Bos indicus) di Peternakan Sapi Sukawinatan Kecamatan Sukarami Kota Palembang 3.5 3 2.5 2 1.5 1 Ancylostoma Moniezia Strongyloides Taenia 0.5 0 Ba. 8bln Ba. 1th Ba. 2th Br. 1th Br. 2th Keterangan : Ba. 8 bln Ba. 1 th Ba. 2 th Br. 1 th Br. 2 th = Sapi Bali berumur 8 bulan = Sapi Bali berumur 1 tahun = Sapi Bali berumur 2 tahun = Sapi Brahman berumur 1 tahun = Sapi Brahman berumur 2 tahun 23

24 Dari Grafik 4.1 tersebut, infeksi cacing dari Kelas Nematoda yang teridentifikasi adalah Ancylostoma sp. dan Strongyloides sp., kedua cacing ini sama-sama menemukan jalan masuk nya dengan cara tertelan. Jenis cacing ini dapat masuk kedalam tubuh sapi melalui infeksi pakan yang diberikan. Telur Nematoda keluar bersama feses, mengkontaminasi hijauan pakan dan air minum. Menurut Basrul et al., (2015) banyak faktor yang dapat menginfeksi masuknya Nematoda, salah satunya adalah iklim tropik yang merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan telur Nematoda usus, kemudian faktor alam lainnya adalah keadaan tanah yang dapat menjadi media perkembangan telur dan kehidupan serta perkembangan larva. Infeksi cacing dari Kelas Cestoda yang teridentifikasi adalah Moniziea sp. dan Taenia sp. Jenis cacing Cestoda ini merupakan endoparasit yang memerlukan dua inang perantara dan akan berkembang biak sebelum menginfeksi di usus hewan karnivora salah satunya sapi. Menurut Tantri et al., (2013), infeksi cestoda bersifat zoonis yang artinya dapat menyerang manusia, Jenis cacing ini berkembang biak dengan cara membentuk larva metacestoda dalam organ internal sapi dan masuk ke tubuh manusia atau inang kedua. Berdasarkan pengamatan mikrokopis yang telah dilakukan pada 2 jenis sampel sapi Bali dan sapi Brahman di Peternakan Sukawaintan Kecamatan Sukarami, ditemukan 1 jenis telur cacing dari Kelas Nematoda yakni Moniziea sp. Telur Moniziea sp. ini paling banyak ditemukan pada sapi Bali dewasa berumur 2 tahun. Hal tersebut dikarenakan, pada sapi dewasa frekuensi makan rumput tinggi dibandingkan sapi muda. Menurut Sayuti (2007), hal ini karena sapi muda masih minum air susu induknya, sehingga kemungkinan untuk terinfekasi larva metacercaria rendah sehingga meminimalisirkan ditemukannya telur cacing dan larva. Dari hasil penelitian delapan individu sapi yang diteliti, ada satu individu yang tidak yang tidak terserang cacing parasit saluran pencernaan yaitu sapi Brahman yang berumur 1 tahun, baik dari Kelas Nematoda maupun dari Kelas Trematoda dan Cestoda. Hal ini bisa terjadi karena individu ini tidak terlalu aktif dibandingkan dengan individu lainnya. Menurut Rahmah et al., (2013) penyebab

25 tidak ditemukannya spesies parasit, bisa dikarenakan jumlah yang diteliti hanya perwakilan satu jenis saja atau pakan yang diberikan berbeda dari yang lainnya. Dari hasil penelitian ini, spesies endoparasit yang didapatkan pada sapi ternak tersebut jumlahnya hanya sedikit, karena pada peternakan sapi tersebut, selalu dilakukan penyuntikan vaksin dan pembersihan kandang. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan dengan pengurus ternak sapi, yang menyatakan bahwa penyuntikan vaksin sapi di Peternakan Sapi Sukawinatan selalu dilakukan dua bulan sekali oleh dinas peternakan hewan dan pembersihan kandang dilakukan dua hari sekali untuk pembersihan feses didalam kandang, hal itu dilakukakan agar terhindarnya ternak dari berbagai serangan penyakit. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini, terlihat dari sapi Bali dan sapi Brahman yang umurnya kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan lebih mudah terserang parasit dibandingkan yang dewasa, hal ini dikarenakan umur sapi yang muda, masih memiliki kekabalan dari induknya. Menurut Firdausi (2012), hal tersebut dapat pula dihubungkan dengan kondisi asam lambung yang tidak mampu merusak lapisan luar kista metacecaria. Asam lambung dan enzim pencernaan belum berfungsi secara optimal dalam sapi yang masih muda sehingga tidak mampu merusak semua lapisan kista metacercaria. Enzim ini hanya mampu merusak lapisan luarnya saja sehingga proses ekskistasi tidak berjalan sempurna. Pengaruh umur sangat erat kaitannya dengan kurun waktu infestasi terutama di lapangan. Semakin tua umur sapi makin tinggi frekuensi infeksi parasitnya. Menurut Gunawan (2008), pada sapi muda lebih rendah frekuensinya, hal ini disebabkan relatif sering kandangkan dalam rangka penggemukan. Selain itu juga frekuensi makan rumput sapi muda masih rendah dibandingkan sapi dewasa, hal ini karena sapi muda masih minum air susu induknya, sehingga kemungkinan untuk terinfekasi larva metacercaria rendah 4.2. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Endoparasit Pada Sapi Bali dan Sapi Brahman Faktor lingkungan yang mempengaruhi endoparasit di Peternakan Sapi Sukawinatan Kecamatan Sukarami Palembang diantaranya adalah sanitasi, pakan, dan feses.

26 4.2.1. Sanitasi Kandang Pada peternakan tersebut, terlihat kandang I, II, III dan IV yang tidak sepenuhnya tertutp sehingga hal tersebut menyebabkan sedikitnya masuknya sinar matahari kedalam kandang Bariroh et al, (2011) dalam Rahayu et al., (2015) mengemukakan bahwa, posisi kandang dan lantai kandang sebaiknya harus terkena sinar matahari, karena lantai kandang yang berlumpur dan selalu basah adalah tempat yang sangat ideal untuk pertumbuhan parasit. Apabila hal tersebut dibiarkan maka, timbunan feses akan menyebabkan penyebaran telur cacing dalam feses dan akan menetas menjadi larva cacing yang akan mengkontaminasi pakan ternak. Penanggulangan parasit tidak terlepas dari masalah perkandangan khususnya sapi yang diternakkan dalam hal penggemukan. Kandang sangat berpengaruh terhadap tingkat kejadian terserangnya infeksi cacing. Sanitasi harus ditujukan untuk mematikan stadium-stadium parasit dengan tindakan kebersihan baik disertai atau tanpa obat-obatan antiseptik. Menurut Gunawan (2008), bangunan kandang harus menunjang pelaksanaan usaha ternak dan kesehatan atau kebersihan lingkungan. Kandang yang baik akan membantu peternak dalam hal pengontrolan kesehatan ternak. Kebersihan Pembersihan feses dan pakan yang berserakan bisa dilakukan agar ternak terbebas dari parasit terlihat salah satu kandang pada Gambar 4.1. Gambar 4.1 kandang IV (Sumber: Hikmah, 2016)

27 4.2.2. Pakan Faktor pakan adalah salah satu faktor yang mempengaruh adanya infeksi parasit. Penularan infeksi terhadap cacing saluran pencernaan bisa berasal dari feses ternak terinfeksi oleh sapi yang diberi pakan rumput. Pada peternakan ini, Terlihat dari rumput dan ampas tahu yang diberikan terkontaminasi telur yang salah satunya dibawa oleh Boophilus sp. Menurut Rahayu (2015), mengemukakan bahwa, telur-telur cacing yang yang terdapat di dalam rumput akan tertelan bersama pakan dan akan terbawa bersama feses. Telur cacing yang terdapat didaam gundulan feses akan terlindung dan tetapi hidup sampai beberapa bulan bahakan dalam kondisi yang kering, sehingga berpengaruh adanya infeksi parasit, terlihat dari pada Gambar 4.1.1. dan Gambar 4.1.2. Gambar 4.1.1 Pakan Rumput Gambar 4.1.2 Ampas Tahu (Sumber: Hikmah, 2016) (Sumber: Hikmah, 2016) 4.2.3. Feses Feses yang terdapat didalam kandang bisa mencemari pakan sehingga mengkontaminasi pakan yang akan dikonsumsi sapi. Proses defekasi sapi biasanya terjadi pada waktu pagi hari dan apabila dibiarkan menumpuk dapat memicu adanya infeksi parasit cacing. Feses ternak merupakan sumber penyakit karena masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Menurut

28 Nugraheni et al (2015) bahwa feses sapi mengandung mikroorganisme seperti cacing yang dapat menyebabkan gangguan ekologis diantaranya penyakit terhadap ternak maupun manusia yang dapat masuk kedalam tubuh sapi dengan mengkonsumsi pakan yang telah terkontaminasi telur dan larva parasit. Terlihat pada Gambar 4.3. di bawah ini. Gambar 4.3. Feses Sapi (Sumber: Hikmah, 2016)

29 4.3. Jenis-jenis Telur, Larva dan Cacing Yang Terdapat Pada Sapi Bali dan Sapi Brahman No Nama Jenis Stadium Gambar Deskripsi 1 Ancylostoma sp. Larva Rabditoide Memiliki bentuk tubuh yang pipih Morfologi cacing berwarna merah 2 Moniezia expansa Telur Telur berbentuk segitiga, Memiliki telur sel Telur berwarna hitam keabuabuan 3. Strongyloides sp. Larva Filariform Memiliki bentuk kepala yang bulat dan berwarna merah Bentuk posterior yang menggembung Morfologi larva berwarna merah Memiliki anterior berbentuk bulat 4. Taenia sp. Larva Onkosfer Morfogi Larva berwarna merah, kekuningan Bentuk posterior yang meruncing

30 Jenis cacing, larva dan telur cacing parasit yang ditemukan di Peternakan Sukawinatan, Kecamatan Sukarami, Palembang diantaranya adalah Ancylostoma sp., Moniziea sp., Taenia sp. dan Strongyloides sp. 4.3.1. Ancylostoma sp. Cacing Ancylostoma sp. ditemukan pada sapi Bali 1 dan 2 tahun dan ditemukan juga pada sapi Brahman berumur 2 tahun. Terlihat dari morfologi larva cacing tersebut pada bagian anterior menunjukkan kepala yang akan membentuk susunan gigi, kemudian bagian posterior tubuh menunjukkan ujung yang tumpul. serta memiliki karakteristik kulit yang tipis. Ancylostoma sp. ini termasuk kedalam subfamilia Ancylostomatoidea, dimana parasit ini menghisap darah, cairan tubuh, serum bahkan seluruh darah sehingga mengakibatkan gangguan nutrisi pada ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noble dan Noble (1989), Ancylostoma sp. termasuk cacing kait yang memiliki gigi-gigi ventral yang berfungsi untuk mengoyak sehingga menyebabkan kerusakan mekanis pada usus. Cacing dewasa hidup dan melekat pada mukosa jejunum dan bagian atas ileum. Pada cacing Ancylostoma sp. dapat memproduksi 10.000 sampai 30.000 telur sehari. Cacing dewasa ini dapat bertahan hidup selama satu tahun. Pada ternak ruminansia, jenis cacing ini mampu menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ternak. Menurut Rahayu (2015) bahwa gejala yang akan ditimbulkan pada ternak yakni penurunan berat badan yang diakibatkan diare, karena parasit tersebut akan ikut menyerap bahan makanan didalam usus, serta memakan jaringan induk semang. Infeksi jangka panjang dipengaruhi oleh pemberian pakan, dan beberapa hal lainnya sehingga berpengaruh terhadap perkembangbiakannya. Ancylostoma sp. yang biasa disebut cacing kait termasuk ke dalam Kelas Nematoda yang merupakan parasit yang terdapat pada mukosa kecil pada ruminansia seperti sapi. Menurut Noble dan Noble (1989), apabila larva akan menjadi dewasa, larva cacing tesebut akan bermigrasi mencapai mukosa. Siklus hidup Ancylostoma sp. dimulai dari telur yang telah dibuahi, kemudian pengeluaran telur setiap harinya oleh cacing betina dalam waktu 24 jam. Oksigen

31 bebas merupakan faktor yang sangat penting untuk penetasan dan perkembangan larva yang berikutnya, dapat dilihat pada Gambar 4.4. a A b B Gambar 4.4. larva rabditoide Ancylostoma sp. A. Anterior B. Posterior (Perbesaran 4 x 10) a. Anterior; b. Strobila; c. Posterior c 4.3.2. Moniezia sp. Telur cacing jenis ini ditemukan pada sampel feses sapi anakan dari peternakan sapi Sukawinatan, Kecamatan Sukarami, Palembang dan hanya didapatkan satu jenis pada sapi anakan. Telur ini ditemukan dengan menggunakan metode kato-katz. Terlihat dari morfologi telur cacing yang jumlah mucoid plug (sumbat jernih) pada setiap sudutnya berbentuk triangular (3 sudut). Dan memiliki cangkang telur yang transparan. Menurut Widnyana (2013), kebanyakan telur cacing ini mengandung embrio yang mempunyai tiga pasang kait, hermaprodit, dan kadang-kadang berbiak dalam bentuk larva apabila infeksi umumnya oleh larva didalam kista.

32 Moniezia sp. temasuk kedalam famili Anoplocephalidae, dimana anggota dari famili ini hidup didalam usus ruminansia liar maupun yang dipelihara. Menurut Noble dan Noble (1989) Moniezia sp. merupakan cacing pita yang umumnya terdapat pada domba atau pada ruminansia lainnya. M. expansa dewasa ukuran panjangnya mencapai 600 cm. Stadium Sistiserkoid terdapat pada tungau oribatida dan insekta. Telur cacing pita didalam feses hospes akan mencemari rumput dan tungau oribatida kecil akan merayap diatas tanah kemudian akan menelan telur bersama bahan makanannya. Sapi akan menelan tungau yang seringkali melekat pada rumput makanan ternak dan sisterkoid akan dibebaskan didalam usus kecil sapi dan akan menjadi dewasa. Cacing ini termasuk kedalam Kelas Cestoda, dimana apabila sapi terserang M. expansa, akan mengakibatkan ternak khususnya sapi menjadi terinfeksi, dan mengakibatkan ternak menjadi hilang nafsu makan. Menurut Akoso (1996), Gejala klinis pada anak sapi atau kerbau terjadi diare dan ternak menjadi kurus. Pernah dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian. Anak sapi yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan pada sapi tersebut Moniezia sp. termasuk cacing pita dalam Famili Anoplocephalidae. Spesies termasuk dalam Moniezia benedeni dan Moniezia expansa. Ditemukan dalam usus kecil pada ternak dan ruminansia usia muda. Ditemukan pula pada domba, kambing dan lainnya. Bentuk telur dengan bentuk segitiga sesuai dengan pernyataan Basrul (2015) bahwa, bentuk telur. Persegi empat untuk M. benedeni sedangkan segitiga untuk M. expansa. bahwa kebanyakan telur cacing ini mengandung embrio yang mempunyai tiga pasang kait terlihat pada Gambar 4.5

33 a b A B 4.3.3. Strongyloides sp. Gambar 4.5. Telur Moniezia sp. (Perbesaran 4 x 10) (Sumber: A. Moniezia sp. ; B. Moniezia sp.) a. Cangkang Telur; b. Sel telur Pada penelitian ini hanya larva filariform yang ditemukan pada sapi anakan yang berumur 8 bulan. Terlihat dari bentuk morfologi pada posterior yang menggembung hal itu sesuai dengan pendapat Zaman (1997) bahwa salah satu larva filariform Strongyloides bagian ekor menunjukkan ekor yang mengembung, dan memiliki warna yang cenderung transparan. Menurut Noble and Noble (1989) bahwa Strongyloides sp. termasuk kedalam ordo strongylida dimana karakteristik cacing ini tidak memiliki gigi atau lempeng-lempeng pemotong, kemudian pelebaran kutikula berbentuk lonceng yang menunjukan suatu pola tertentu dan mulut tidak dikelilingi oleh bibir yang jelas. Strongyloides sp. yang ditemukan pada sapi anakan yang berumur 8 bulan sesuai dengan pernyataan Rahayu (2015), bahwa Strongylides sp. terdapat pada usus halus domba, sapi dan ruminansia lain dan lebih banyak terdapat pada hewan muda daripada dewasa. Strongyloides sp. juga memiliki perkembangan sebagai parasit di dalam tubuh hewan. Menurut Dhewiyanty (2015) Strongyloides sp. memiliki dua jalur dalam menghasilkan telur yang kemudian akan berkembang menjadi larva infektif dan cacing dewasa. Pertama, melewati telur yang dihasilkan cacing dewasa di dalam saluran pencernaan inang dan kedua, melewati telur yang dihasilkan oleh cacing dewasa yang hidup bebas di alam. Selain itu parasit ini

34 dapat menginfeksi inang dengan cara menembus kulit ataupun termakan, terlihat pada Gambar 4.6. dibawah ini. a b c Gambar 4.6. Larva Filariform Strongyloides sp. (Perbesaran 4 x 10) a. Anterior; b. Posterior; c. Ekor 4.3.4. Taenia sp. Pada stadium yang dinamakan larva onkosfer ini ditemukan pada sapi dewasa yang berumur 2 tahun. Morfologi onkosefer Taenia sp. ini terlihat pada bentuk posterior yang meruncing dan memiliki bentuk tubuhnya bersegmensegmen yang disebut dengan proglotid, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Noble dan Noble (1989), dimana onkosfer dan metasoda kadang-kadang mengalami modifikasi menjadi serkomer atau ekor. Pada bagian ekor sebenarnya berfungsi sebagai ujung anterior dan disertai kait-kait sehingga pada onkosfer yang dapat bergerak maju dengan menggunakan bagian posteriornya. Pada stadium ini adalah stadium yang masak, dimana merupakan stadium pra dewasa yang telah mengalami diferensiasi yang sempurna. Taenia sp. merupakan cestoda yang siklus hidupnya membutuhkan lebih dari satu inang atau dua dan telur diproduksi dalam jumlah banyak. Menurut Tantri et al., (2013). sapi sebagai inang definitif terinfeksi Taenia sp. saat memakan makanan yang terkontamiasi larva pada usia 10-12 minggu. Cacing dewasa berbentuk scolex dan menyerang usus, diikuti cacing muda dan proglotid yang dapat dilihat pada Gambar 4.7.

35 a b c d Gambar 4.7. Larva onkosfer Taenia sp. (Perbesaran 10 x 10) a. Anterior; b. Kolum; c. Proglotid; d. Ekor

36 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap jenis parasit cacing pada sapi Bali (Bos sondaicus) dan sapi Brahman (Bos indicus) di Peternakan Sapi Sukawinatan, Kecamatan Sukarami Kota Palembang didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Parasit cacing yang didapatkan pada sapi Bali (Bos sondaicus) terdapat 4 spesies yakni, Ancylostoma sp, Moniezia sp., Strongyloides sp. dan Taenia sp. sedangkan pada sapi Brahman (Bos indicus) tidak ditemukannya spesies Strongyloides sp. sehingga hanya didapatkan 3 spesies yakni, Ancylostoma sp, Moniezia sp. dan Taenia sp. serta faktor lingkungan yang terdapat di sekitar kandang Peternakan Sapi Sukawinatan, Kecamatan Sukarami Kota Palembang yaitu, sanitasi kandang, pakan dan feses. 5.2. Saran Berdasarkan penelitian ini disarankan agar dilakukan penelitian serupa mengenai stadium parasit cacing, selain itu perlu dilakukan penelitian mengenai perhitungan tingkat infeksi jenis parasit cacing pada sapi Bali (Bos sondaicus) dan sapi Brahman (Bos indicus) di Peternakan Sapi Sukawinatan, Kecamatan Sukarami Kota Palembang. 36

37 DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal. 2008. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka: Jakarta. Akoso, T, B. 1996. Kesehatan Sapi Panduan bagi Petugas Teknis, Mahasiswa, Penyuluh dan Peternak. Kanisius: Yogyakarta. Andrianty, Vivi. 2015. Kejadian Nematodiasis Gastrointestinal pada Pedet Sapi Bali di Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar. Basrul, Zulfikar. 2015. Identifikasi Endoparasit Pada Saluran Pencernaan Rusa Tutul (Axis Axis) Di Taman Pintu Satu Universitas Hasanuddin Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar. Blakely, J dan Blade, D, H. 1992. Pedoman Pengelolaan Sapi Perah. Gadja Mada University Press: Yogyakarta Darmin, Suharmita. 2014. Prevalensi Paramphistomiasis Pada Sapi Bali Di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makasar. Dhewiyanty, V., Setyawati, R, T., dan Yanti, H, A. 2015. Pravalensi dan Intensitas Larva Infektif Nematoda Gastrointenstinal Strongyloida dan Rhabditida pada Kultur Feses Kambing (Capra sp.) di Tempat Pemotongan Hewan Kambing Pontianak. Jurnal Protobiont. 4 (1): 178-183 Fachrul, M, F. 2012. Metode Sampling Bioekologi. PT. Bumi Aksara: Jakarta. Fadilah, R. 2005. Panduan Mengelola Peternakan Ayam Boiler Komersial. Agromedia Pustaka: Jakarta. Firdausi, A., Susilawati, T., Nasich, M., dan Kuswati. 2013. Pertambahan Bobot Badan Harian Sapi Brahman Cross Pada Bobot Badan Dan Frame Size Yang Berbeda. Jurnal Ternak Tropika Vol. 13 (1) :48-62. Gunawan. 2008. Petunjuk Pemeliharaan Sapi Brahman Cross. PT. Rambang: Sumatera Selatan. Guntoro, Suprio. 2002. Membudayakan Sapi Bali. Kanisius: Yogyakarta. Haryanto, D., Hartono, M., dan Surayati, S. 2015. Beberapa Faktor Yang Memengaruhi Service Per Conception Pada Sapi Bali Di Kabupaten Pringsewu. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol. 3(3): 145-150. 37

38 Levine, N. D. 1994. Parasitology Veteriner. Alih Bahasa. G. Ashadi. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Natadisastra, D., Agoes, R. 2009. Parasitologi Kedokteran. EGC: Jakarta Nezar, M, R. 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi di TPA Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang. Noble, E.R., dan Noble, G.D. 1989. Biologi Parasit Hewan. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta. Nugraheni, N., Marlina, T, E., dan Hidayati, A, Y. 2015. Identifikasi Cacing Endoparasit Pada Feses Sapi Potong Sebelum dan Sesudah Proses Pembentukan Biogas Digester Fixed-Dome. Skripsi. Universitas Pdjadjaran. Bandung. Nurdin, S, A., Fariani, A., dan Sriati. 2014. Pengembangan Populasi Ternak Ruminansia Berdasarkan Ketersediaan Lahan dan Tenaga Kerja di Kota Palembang. Jurnal Peternakan Sriwijaya. 3 (2): 1-11. Pradana, P, D., Haryono, T., dan Ambarwati, R. 2015. Identifikasi Cacing Endoparasit pada Feses Ayam Pedaging dan Ayam Petelur. Jurnal Lentera Bio. 4 (2). 119-123. Purbowati, Endang. 2012. Sapi Dari Hulu ke Hilir dan info Mancanegara. Agriflo: Depok. Rahayu, Sri. 2015. Pravalensi Nematodiasis Saluran Pencernaan pada Sapi Bali (Bos sondaicus) di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang. Skripsi. Universitas Hasanudin. Makasar. Rahmah, F., Dahelmi., dan Salmah, S. 2013. Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Hewan Primata di Taman Satwa Kandi Kota Sawah Lunto Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2 (1): 14-19. Sayuti, Linda. 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp.) pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem Bali. Skripsi. Institirut Pertanian Bogor. Bogor. Setiati, N., Susanti, R., dan Nezar, M, R. 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi di TPA Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Jurnal Universitas Semarang. 3 (2): 93-102.

39 Suwandi. 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik Pada Ternak. Balai Penelitian Ternak: Bogor. Syamprina, I. N. 2014. Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus Pada Ternak Sapi (Bos taurus), dan Kambing (Capra hircus) di Kota Lubuk Linggau. Skripsi.. Indralaya. Tanjung, Fatmayanti. 2014. Jenis dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit Pada feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. Tantri, N., Setiawati, R, T., dan Khotimah, S. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan Kota Pontianak Kalimantan Barat. Jurnal Protobiont. 2 (2): 102-106. Tethool, N, A., and Seseray, Y, D. 2009. Identifikasi Jenis Cacing Sapi Bali yang dipelihara di Taman Ternak FPPK. Jurnal Ilmu Peternakan. 4 (1): 30-34. Triani, R., Haryono, T., dan Faizah, U. 2014. Identifikasi Telur Endoparasit Saluran Pencernaan Macaca fascicularis yang Dipergunakan pada Pertunjukan Topeng Monyet Melalui Pemeriksaan Feses. Jurnal Lentera Bio. 3 (3). 174 180. Widnyana., I, G, N, P. 2013. Prevalensi Infeksi Parasit Cacing Pada Saluran Pencernaan Sapi Bali Dan Sapi Rambon Di Desa Wosu Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali. Jurnal Agropet. 10 (2): 40-46. Zaman, V. 1997. Atlas Parasitologi Kedokteran Edisi Kedua. Hipokrates: Jakarta.

40 Lampiran 1. Gambar Alat dan Bahan Gambar 2.1. Mikroskop Binokuler Gambar 2.2. Kawat Saring Gambar 2.3. Larutan Gliserin

41 Gambar 2.4. Malachite green Gambar 2.5. Akuades Gambar 2.6. Formalin 4%

42 Lampiran 2. Gambar Sampel Gambar 3.1. Sampel feses yang telah dibasahi dengan formalin 4 % Gambar 3.2. Sampel Feses Sapi Bali dan Sapi Brahman yang akan diamati Gambar 3.3. Sampel preparat yang akan diamati

43 Lampiran 3. Diagram Pembuatan Larutan Kato Gambar 4.1 Pembuatan 1 ml Malachite green 3% 3 gr Malachite green 100 ml akuades Dicampurkan 1 ml Malachite green 3% Gambar 4.2. Pembuatan Larutan Kato Malachite green + + 100 ml gliserin 100 ml akuades 1 ml Malachite green 3% Larutan kato (Larutan Malachite green)

44 Lampiran 4. Klasifikasi 1. Ancylostoma sp. Klasifikasi Ancylostoma menurut Zaman (1997) sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Nemanthelminthes Class : Nematoda Ordo : Srongilid Family : Ancylostomatidae Genus : Ancylostoma sp. 2. Moniezia sp. Klasifikasi Moniezia sp. menurut Zaman (1997) sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Plathyhelminthes Class : Cestoda Ordo : Cyclophyllidea Family : Anoplocephalidae Genus : Moniezia sp. 3. Strongyloides sp. Klasifikasi Strongyloides sp. menurut Zaman (1997) sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Nemanthelminthes Class : Nematoda Ordo : Rhabditida Family : Rhabditidae Genus : Srongyloides sp.

45 4. Taenia sp. Klasifikasi Taenia sp. menurut Zaman (1997) sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Platyhelminthes Class : Cestoda Ordo : Cyclophyllidea Family : Taeniidae Genus : Taenia sp.

46 RIWAYAT PENULIS Penulis yang bernama Zahra Nurul Hikmah Lahir di Tanjung Enim, Sumatera Selatan pada tanggal 13 November 1994. Penulis adalah anak Pertama dari tiga bersaudara dari bapak Khairul Rizal M. Hum dan Ibu Zelva. Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak Kasih Ibu, Cibinong, Bogor pada tahun 2000, di Sekolah Dasar (SD) Negeri Ciriung 2 Cibinong, Kemudian di tahun 2003 melanjutkan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 62 Palembang, Sumatera Selatan selesai sampai tahun 2006 dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 8 Kota Palembang pada tahun 2009 kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Bina Warga 2 Kota Palembang dan selesai pada tahun 2012. Penulis melanjutkan pendidikan di, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Biologi pada tahun 2012. Penulis menyelesaikan pendidikan di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sriwijaya dan menyandang gelar Sarjana Sains. Juni 2016 dengan lama pendidikan 3 tahun 10 bulan dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,17 (Sangat Memuaskan) Contact Person Adress : Asrama TNI-AD Blok QQ No 1/2 RT 13 RW 03 Kelurahan Kalidoni, Kecamtan Kalidoni, Kota Palembang Handphone : 085357718941 E-mail : zahranurulh@yahoo.com