BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Hal ini karena perkembangan kasusnya di dunia yang terus mengalami peningkatan. Terlihat dari data UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS) dalam laporan hari AIDS sedunia tahun 2012 menyatakan hingga tahun 2011 diperkirakan sebanyak 34 juta orang hidup dengan HIV/AIDS, sebanyak 2,5 juta kasus baru terinfeksi HIV, dan 1,7 juta kematian disebabkan oleh AIDS. Asia merupakan salah satu benua dengan jumlah kasus HIV/AIDS kedua terbanyak setelah Sub Sahara yaitu 4,8 juta kasus (UNAIDS, 2012). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di Asia Tenggara, menduduki urutan ke-3 terbanyak kasus HIV/AIDS yaitu 380.000 kasus (UNAIDS, 2012). Hampir setiap tahunnya Indonesia mengalami peningkatan jumlah HIV/AIDS. Pada 2011 ditemukan sebanyak 112.772 kasus dan meningkat tahun 2012. Menurut Ditjen PPM-PL Kemenkes RI (2012) hingga September 2012, jumlah kumulatif pengidap HIV/AIDS mencapai 131.685 kasus. Demikian pula kasus HIV di Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang menduduki posisi lima besar terbanyak yaitu 5.935 kasus (Kemenkes RI, 2012). Peningkatan kasus terlihat dari banyaknya jumlah
kunjungan pasien HIV/AIDS di poliklinik Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan survey data awal peneliti pada Mei 2013 di poliklinik Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan didapatkan kumulatif kasus HIV tahun 2003 hingga Maret 2013 sebanyak 3519 kasus (51,6%) dari seluruh kasus HIV di Sumut yakni 6824 kasus. Infeksi HIV dan gangguan psikiatrik mempunyai hubungan yang kompleks. Terinfeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai konsekuensi psikologis (Chandra, 2005 dalam Saragih, 2008). Penderita dapat terus diselubungi oleh emosi seperti rasa bersalah, cemas, malu, dan takut karena berbagai kehilangan seperti penolakan oleh keluarga serta sahabatnya, jaminan finansial, dan fungsi seksual terganggu (Smeltzer & Bare, 2005). Kondisi fisik yang memburuk, ancaman kematian, serta tekanan sosial yang begitu hebat menyebabkan ODHA cenderung mengalami masalah emosional yaitu depresi (Douaihy, 2001 dalam Kusuma, 2011). Beck (1996) membagi tingkatan depresi atas tidak depresi, depresi ringan, sedang, dan berat. Vardhana (2007, dalam Saragih, 2008) menemukan bahwa pasien yang terinfeksi HIV positif rata-rata mengalami depresi berat berkisar 8%-67% dan hingga 85% melaporkan gejala-gejala depresi. Sedangkan, di Indonesia dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Iskandar (2008, dalam Kusuma, 2011) pada 6 orang pasien HIV/AIDS di Jakarta didapatkan keseluruhan informan mengalami depresi. Penelitian terkait dilakukan oleh Kusuma (2011) di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan lebih dari setengah pasien mengalami depresi yaitu 51,1%. Tingginya prevalensi kasus depresi juga
didukung oleh penelitian Saragih (2008) di RSUP H. Adam Malik Medan didapatkan sindrom depresi sedang paling banyak terjadi pada penderita HIV/AIDS 34%, diikuti sindrom depresi ringan 28%, tidak depresi 26% dan sindrom depresi berat 12%. Melihat tingginya prevalensi kasus depresi diatas maka masalah HIV/AIDS saat ini bukan hanya masalah penyakit menular semata, tetapi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu, penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi melibatkan aspek psikososial. Agar ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) mampu beradaptasi akibat kesedihan, kegelisahan dan depresi yang dialaminya (Djoerban, 2000). Selain itu, kondisi depresi pada ODHA dapat mempengaruhi motivasi untuk terlibat aktif dalam pelayanan kesehatan dan mengalami frustasi (Potter & Perry, 2009). Sehingga, depresi dapat menyebabkan penurunan fisik dan mental, karena ketidakpatuhan pasien terhadap terapi anti retrovirus dan obatobatan lainnya, nafsu makan berkurang, tidak ingin berolahraga, dan kesulitan tidur dapat memperberat penyakit (Holmes, et al, 2007 dalam kusuma, 2011). Memiliki anggota keluarga yang positif HIV/AIDS mempengaruhi keluarga secara ekonomis, sosial, fungsional, dan mengganggu pengambilan keputusan keluarga (Potter & Perry, 2009). Dampak psikologis pada keluarga berupa denial, marah, sedih, dan respon kehilangan menyebabkan keluarga merasa tidak percaya bahwa ada anggota keluarga yang terinfeksi virus tersebut (Stuart & Laraia, 2001). Akibatnya, keluarga tidak memberikan dukungan yang efektif terhadap anggota keluarga yang menderita HIV/AIDS.
Hasil wawancara peneliti dengan 10 orang pasien HIV/AIDS di Pusyansus RSUP Haji Adam Malik Medan pada Mei 2013, didapatkan enam dari sepuluh orang pasien mengatakan kurang mendapat perhatian, keluarga tidak perduli dengan kondisi mereka dan bersikap menjauh setelah pasien terdiagnosa HIV/AIDS. Hasil wawancara tersebut didukung oleh penelitian Kusuma (2011) di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta bahwa didapatkan dominan dukungan keluarga non supportif 55,4% pada pasien HIV/AIDS. Li, Wu, Wu, Sun, Cui, & Jia (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa semua pasien HIV/AIDS membutuhkan sumber utama dukungan dari keluarga, termasuk dukungan keuangan, proses pengungkapan, kegiatan rutinitas sehari-hari, bantuan kesehatan, atau dukungan psikologi. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Rihaliza (2010) di Lantera Minangkabau Support terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dari kelompok dukungan sebaya dengan kejadian depresi pada pasien HIV/AIDS dengan p < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga memiliki pengaruh yang baik terhadap pasien HIV/AIDS yang mengalami depresi. Menurut Friedman (1998) dukungan keluarga terbagi atas dukungan informasi, penghargaan, instrumental, dan emosional. Keberadaan dukungan keluarga yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi (Setiadi, 2008). Oleh karena itu, dukungan sebagai support system atau sistem pendukung yang utama bagi penderita sehingga ia dapat mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam
menangani stresor terkait penyakitnya baik fisik, psikologis, maupun sosial (Lasserman & Perkins, 2001 dalam Kusuma, 2011). Berdasarkan uraian dan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah adalah Bagaimana hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013?. 1.3 Hipotesa Penelitian Hipotesis penelitian adalah hipotesis alternatif (Ha) yaitu: Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. 1.4.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi dukungan keluarga pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013.
b. Mengidentifikasi tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. c. Mengidentifikasi hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Praktek a. Menambah pengetahuan dan kesadaran perawat tentang pentingnya memperhatikan aspek psikososial pada penanganan pasien HIV/AIDS sehingga pelayanan yang diberikan semakin berkualitas dan profesional. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi perawat untuk meningkatkan partisipasi keluarga dalam perawatan pasien HIV/AIDS. 1.5.2 Bagi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi institusi pendidikan untuk pengembangan ilmu keperawatan medikal bedah khususnya aspek psikososial dan dapat digunakan sebagai bahan referensi/bacaan bagi mahasiswa keperawatan. 1.5.3 Bagi Penelitian Selanjutnya Dapat dijadikan acuan sebagai data dasar dalam penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan dukungan keluarga terhadap depresi pada pasien HIV/AIDS.