BAB IV STUDI LAJU INFILTRASI LAPANGAN DAN ANALISIS SIFAT FISIK AIR TANAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

GEOLOGI DAN STUDI INFILTRASI AIR TANAH DAERAH CIHIDEUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT SKRIPSI

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR INTISARI

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA dan ANALISIS

Bab I. Pendahuluan. I Putu Krishna Wijaya 11/324702/PTK/07739 BAB I PENDAHULUAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

GEOLOGI DAN STUDI INFILTRASI AIRTANAH DAERAH CIBOGO, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

Perancangan Perkuatan Longsoran Badan Jalan Pada Ruas Jalan Sumedang-Cijelag KM Menggunakan Tiang Bor Anna Apriliana

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

ZONASI DAERAH BAHAYA LONGSOR DI KAWASAN GUNUNG TAMPOMAS KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3,28x10 11, 7,10x10 12, 5,19x10 12, 4,95x10 12, 3,10x xviii

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI

HALAMAN PENGESAHAN...

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah

Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Sungai dan Daerah Aliran Sungai

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Oktober 2014

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat

GEOLOGI DAERAH KLABANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL...

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

PENYELIDIKAN GEOLISTRIK DAN HEAD-ON DAERAH PANAS BUMI SEMBALUN, KABUPATEN LOMBOK TIMUR - NTB

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL...

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii KATA PENGANTAR...iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN...iv DAFTAR ISI...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GERAKAN TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran...

18 Media Bina Ilmiah ISSN No

BAB V PEMBAHASAN. lereng tambang. Pada analisis ini, akan dipilih model lereng stabil dengan FK

GERAKAN TANAH DI CANTILLEVER DAN JALUR JALAN CADAS PANGERAN, SUMEDANG Sumaryono, Sri Hidayati, dan Cecep Sulaeman. Sari

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi.

Transkripsi:

BAB IV STUDI LAJU INFILTRASI LAPANGAN DAN ANALISIS SIFAT FISIK AIR TANAH Pengujian infiltrasi dilakukan pada 8 titik lokasi (Gambar 4-36), penentuan lokasi ini didasarkan pada satuan batuan pembentuk tanah dan kemiringan lereng di lokasi tersebut. Satuan batuan yang terdapat dalam pengujian ini yaitu Satuan Tuf Skoria, Satuan Piroklastik, Satuan Lava Basalt, dan Satuan Tuf Lapili. Sedangkan kemiringan lerengnya secara kuantitatif berkisar antara datar sampai curam berdasarkan klasifikasi van Zuidam (1985). Pengukuran dilakukan terhadap tanah yang dilakukan pada horison A dari masing-masing satuan batuan yang ada di daerah penelitian. 107 35 30 107 37 30 06 49 00 IF-8 IF-5 IF-2 06 49 00 1 km IF-6 IF-4 IF-1 : Uji : Satuan Piroklastik 06 51 00 IF-7 IF-3 06 51 00 : Satuan Tuf Skoria : Satuan Lava Basalt : Satuan Tuf Lapili 107 35 30 107 37 30 Gambar 4-36. Peta lokasi titik uji infiltrasi Pembahasan laju infiltrasi dan analisa kuantitatifnya dibedakan atas dua kelompok data, yaitu: A) Kelompok Data 1 yang memiliki kesamaan litologi untuk mencari pengaruh kemiringan lereng terhadap laju infiltrasi dan, B) Kelompok Data 2 yang memiliki kesamaan kemiringan lereng untuk mencari pengaruh litologi terhadap laju infiltrasi. 45

Tabel 4.2. Contoh tabel perhitungan data infiltrasi pada lokasi IF-1 di daerah Sungai Cirapohan Waktu ( menit) Mat ketinggian (cm) : pengukuran : perhitungan 0 30 1 28 2.00 2.00 2.52 2 26.2 1.80 0.90 0.92 3 24.8 1.40 0.47 0.51 4 23.7 1.10 0.28 0.34 5 22.5 1.20 0.24 0.24 6 20.6 1.90 0.32 0.19 7 19.7 0.90 0.13 0.15 8 18.3 1.40 0.18 0.12 9 17.5 0.80 0.09 0.10 10 16.2 1.30 0.13 0.09 11 15 1.20 0.11 0.08 12 14.1 0.90 0.08 0.07 13 13.5 0.60 0.05 0.06 14 12.6 0.90 0.06 0.05 15 11.7 0.90 0.06 0.05 16 10.9 0.80 0.05 0.05 17 10.1 0.80 0.05 0.04 18 9.5 0.60 0.03 0.04 19 9.3 0.20 0.01 0.04 20 8.8 0.50 0.03 0.03 21 7.4 1.40 0.07 0.03 22 7 0.40 0.02 0.03 23 5.9 1.10 0.05 0.03 24 5.5 0.40 0.02 0.03 25 5 0.50 0.02 0.02 26 4.3 0.70 0.03 0.02 27 4.1 0.20 0.01 0.02 28 3 1.10 0.04 0.02 29 2 1.00 0.03 0.02 30 1 1.00 0.03 0.02 Rata-rata 0.19 0.20 0.19 46

( cm/menit) 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 y = 2,311x -1,40 R² = 0,871 0 10 20 30 = IF-1 Satuan Batuan = Piroklastik Lereng = 8 0 ( miring) () = cm/menit Waktu (menit) Gambar 4-34. Contoh grafik persamaan pada lokasi pengamatan IF-1 di Sungai Cirapohan Hasil perhitungan laju infiltrasi akhir 8 lokasi ditunjukkan pada Tabel 4-3. Tabel 4-3. Tabel laju infiltrasi di 8 lokasi pengambilan data Kelas kemiringan 1 S.Cirapohan 8 miring 2 Tuf lapili Pasirhandap 2 miring landai 6 ratarata 3 Tuf lapili S.Cipaganti 5 miring 3 4 Babakan Laksana 12 terjal sedang 0,16 5 Tuf skoria S.Cihideung 7 miring 6 Lava basal S.Cihideung Barat 10 terjal sedang 7 Tuf skoria S.Cibeureum 4 miring landai 2 8 Tuf skoria S. Cihideung utara 10 terjal sedang 0,17 47

4.1 KELOMPOK DATA 1 Pengujian infiltrasi pada kelompok ini terdiri atas 4 titik pengukuran yaitu IF- 1 (kemiringan lereng miring) dan IF-4 (kemiringan terjal sedang) yang keduanya berada pada Satuan Batuan Piroklastik, IF-2 (kemiringan lereng miring landai) dan IF-3 (kemiringan lereng miring) yang keduanya berada pada Satuan Batuan Tuf Lapili, dan IF-5 ( kemiringan lereng terjal) dan IF-7 ( kemiringan lereng miring landai) yang keduanya berada pada Satuan Batuan Tuf Skoria. Untuk mengetahui pengaruh kemiringan lereng terhadap laju infiltrasi, maka dilakukan perbandingan nilai laju infiltrasi di setiap titik yang berada pada satuan batuan sama namun memiliki kemiringan lereng lokal berbeda. Pertama, yaitu perbandingan nilai laju infiltrasi dalam Satuan Batuan Piroklastik yang diwakili oleh titik IF-1 dan IF-4. Sedangkan yang kedua yaitu perbandingan dalam Satuan Tuf Lapili, diwakili oleh titik IF-2 dan IF-3, dan yang terakhir yaitu perbandingan dalam Satuan Tuf Skoria, diwakili oleh titik IF-5 dan IF-7. 1 4 Tabel 4-4. Tabel perbandingan titik IF-1 dan IF-4 Kelas kemiringan S.Cirapohan 8 miring Babakan Laksana 12 terjal sedang 0,16 IF-1 vs IF-4 0,18 0,17 0,16 0,15 IF-1 IF-4 0,16 Gambar 4-35. Grafik perbandingan titik IF-1 dan IF-4 48

Tabel 4-5. Tabel perbandingan titik IF-2 dan IF-3 Kelas kemiringan 2 Tuf lapili Pasirhandap 2 miring landai 6 3 Tuf lapili S.Cipaganti 5 miring 3 IF-2 vs IF-3 0,5 5 5 IF-2 6 IF-3 3 Gambar 4-36. Grafik perbandingan titik IF-2 dan IF-3 Tabel 4-6. Tabel perbandingan titik IF-5 dan IF-7 Kelas kemiringan 5 Tuf skoria S.Cihideung 7 miring 7 Tuf skoria S.Cibeureum 4 miring landai 2 (cm/menit 3 2 1 0 0,18 IF-5 vs IF-7 IF-7 2 IF-5 4 5 6 7 8 Gambar 4-37. Grafik perbandingan titik IF-5 dan IF-7 49

Secara umum, dengan mengabaikan faktor tanah, maka akan didapatkan hasil seperti pada Gambar 4-38. 0,5 0,1 0 LAJU INFILTRASI TERHADAP KEMIRINGAN LERENG y = -0,017x + 94 R² = 75 0 5 10 15 1 8 2 2 6 3 5 3 4 12 0,16 5 7 6 10 7 4 2 8 10 0,17 Gambar 4-38. Grafik yang menunjukkan data laju infiltrasi yang dibandingkan dengan faktor kemiringan lereng yang menunjukkan indikasi semakin kecil sudut lereng maka laju infiltrasi akan semakin besar Berdasarkan ketiga perbandingan tersebut, dapat dilihat bahwa adanya perbedaan kemiringan lereng menyebabkan adanya perbedaan signifikan terhadap nilai laju infiltrasi walaupun berada dalam satu satuan batuan yang sama. Hal ini menyimpulkan bahwa kemiringan lereng memiliki indikasi berpengaruh terhadap laju infiltrasi, dimana semakin besar kemiringan lereng maka laju infiltrasi akan semakin lambat dikarenakan air akan relatif bergerak secara lateral daripada secara vertikal mengikuti besar dari kemiringan lereng di suatu lokasi, sehingga daerah yang landai akan mempunyai laju infiltrasi yang besar yang ditunjukkan oleh data di lokasi IF-1, IF-2, dan IF 5. Apabila faktor litologi diabaikan dari keseluruhan data dapat disimpulkan bahwa IF-2 yang memiliki kemiringan lereng terkecil memiliki laju infiltrasi terbesar dan IF-4 yang memiliki kemiringan lereng terbesar memiliki laju infiltrasi terkecil. 4.2 KELOMPOK DATA 2 Pengujian infiltrasi pada kelompok ini terdiri atas 3 titik perbandingan yaitu IF-1 (Satuan Piroklastik), IF-3 (Satuan Tuf Lapili), IF-5 (Satuan Tuf Skoria) yang kemiringan lokalnya termasuk dalam kelas miring serta IF-4 (Satuan Piroklastik), IF-6 (Satuan Lava Basalt), dan IF-8 (Satuan Tuf Skoria) yang termasuk 50

dalam kelas terjal sedang dan IF-2 (Satuan Tuf Lapili) dan IF-7 (Satuan Tuf Skoria) yang memiliki kemiringan lereng lokal termasuk kelas miring landai. Untuk mengetahui pengaruh litologi terhadap laju infiltrasi, maka dilakukan perbandingan nilai laju infiltrasi di setiap titik yang memiliki kemiringan lereng lokal sama. Pertama, yaitu perbandingan nilai laju infiltrasi pada titik IF-1, IF-3, dan IF-5. Kedua, yaitu perbandingan nilai laju infiltrasi pada titik IF-4, IF-6, dan IF-8. Ketiga, yaitu perbandingan nilai laju infiltrasi pada titik IF-2, dan IF-7. Tabel 4-7. Tabel perbandingan titik IF-1, IF-3, dan IF-5 Kelas kemiringan 1 S.Cirapohan 8 miring 3 Tuf lapili S.Cipaganti 5 miring 3 5 Tuf skoria S.Cihideung 7 miring IF-1 vs IF-3 vs IF-5 (cm/menit 5 5 0,15 0,1 IF-1 IF-3 3 IF-5 Gambar 4-39. Grafik perbandingan titik IF-1, IF-3, dan IF-7 Tabel 4-8. Tabel perbandingan titik IF-4, IF-6, dan IF-8 4 6 Lava basal 8 Tuf skoria Babakan Laksana S.Cihideung Barat S. Cihideung utara Kelas kemiringan 12 terjal sedang 0,16 10 terjal sedang 10 terjal sedang 0,17 51

IF-4 vs IF-6 vs IF-8 (cm/menit 0,5 0,1 IF-4 0,16 IF-6 IF-8 0,17 Gambar 4-40. Grafik perbandingan titik IF-4, IF-6, dan IF-8 Tabel 4-9. Tabel perbandingan titik IF-2, dan IF-7 Kelas kemiringan 2 Tuf lapili Pasirhandap 2 miring landai 6 7 Tuf skoria S.Cibeureum 4 miring landai 2 IF-2 vs IF-7 (cm/menit 0,5 6 IF-2 IF-7 2 Gambar 4-41. Grafik perbandingan titik IF-2, dan IF-7 Berdasarkan data-data diatas, dapat dilihat bahwa setiap litologi memiliki nilai laju infiltrasi yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa litologi (pembentuk tanah) memberi pengaruh terhadap laju infiltrasi yang secara umum, dengan mengabaikan faktor kemiringan lereng, maka akan didapatkan hasil seperti pada Gambar 4-42. 52

0,5 0,1 0 LAJU INFILTRASI TERHADAP TANAH PELAPUKAN SATUAN BATUAN Lava basalt Gambar 4-42. Grafik yang menunjukkan data laju infiltrasi yang dibandingkan dengan faktor tanah satuan batuan yang menunjukkan indikasi lava basalt memiliki laju infiltrasi yang paling besar Pada perbandingan data pertama didapatkan hasil yaitu perbandingan nilai laju infiltrasi pada titik IF-1, IF-3, dan IF-5 pada kemiringan lereng yang sama yaitu kelas miring yang didapatkan nilai infiltrasi IF-1 sebesar, IF-3 sebesar 3 dan IF-5 yaitu sebesar, maka dapat disimpulkan bahwa Satuan Tuf Lapili mempunyai nilai infiltrasi yang lebih besar dibandingkan Satuan Piroklastik dan Satuan Tuf Skoria. Tuf skoria Tuf lapili Pada perbandingan data kedua didapatkan hasil yaitu perbandingan nilai laju infiltrasi pada titik IF-4, IF-6, dan IF-8 pada kemiringan lereng yang sama yaitu kelas terjal sedang yang didapatkan nilai infiltrasi IF-4 sebesar 0,16, IF-6 sebesar dan IF-8 sebesar 0,17, maka dapat disimpulkan bahwa Satuan Lava Basalt mempunyai nilai infiltrasi yang lebih besar dibandingkan Satuan Piroklastik dan Tuf Skoria, dimana nilai infiltrasi terkecil dimiliki oleh Satuan Piroklastik Pada perbandingan data ketiga didapatkan hasil perbandingan nilai laju infiltrasi pada titik IF-2 dan IF-7 pada kemiringan yang sama yaitu kelas miring laindai dimana didapatkan hasil infiltrasi IF-2 sebesar 6 dan IF-7 sebesar 2, sehingga dapat disimpulkan bahwa Satuan Tuf Lapili mempunyai nilai infiltrasi yang lebih besar dibandingkan Satuan Tuf Skoria. 0,16 0,175 2 Tuf skoria 0,17 3 Lava basalt Tuf lapili 6 95 3 Kesimpulan akhir maka dapat disimpulkan, satuan lava basalt mempunyai nilai infiltrasi terbesar dibandingkan ketiga satuan yang lain, diikuti oleh satuan tuf lapili,satuan tuf skoria dan yang memiliki nilai infiltrasi terkecil adalah satuan breksi 53

. Kemudian tanah hasil lava basalt lebih tinggi dibandingkan tuf lapili disebabkan karena kondisi tempat pengambilan data pada tanah lava basalt terdapat pada litologi lava basalt yang memiliki banyak rekahan sehingga diindikasikan bahwa faktor rekahan pada lava basalt akan melewatkan air lebih banyak dibandingkan tanah tuf lapili yang umumnya memiliki nilai laju infiltrasi yang lebih besar dibandingkan semua tanah hasil satuan lainnya dikarenakan tanah hasil tuf lapili mempunyai ciri-ciri material yang lepaslepas sehingga lebih mudah untuk melewatkan air atau memiliki permeabillitas yang terbaik dibandingkan semua satuan pada daerah penelitian. 4.3 ANALISIS SIFAT FISIK AIR TANAH Analisis sifat fisik air tanah berdasarkan kepada pengukuran parameter debit, suhu air, ph, dan TDS. Parameter tersebut diukur dengan alat ukur portabel Hanna Instrument. Pengambilan data dilakukan pada 10 mata air yang ditemukan di daerah penelitian, data dapat dilihat pada Lampiran D. pengamatan sifat fisik mata air dapat dilihat pada Gambar 4-43. A B Gambar 4-43. Mata air pada daerah penelitian : (A) Mata air rekahan di RCH-5, (B) Mata air rekahan di RCH-10 Hasil dari pengukuran, menunjukkan nilai parameter, yaitu debit sebesar 0,05 sampai >1 L/s, ph dari 6 sampai 1, suhu air dari 23 sampai 26, dan TDS dari 109 ppm sampai 331 ppm. Dari nilai-nilai tersebut dapat diintepretasikan bahwa mata air yang ada di di daerah penelitian memiliki karakter umum sebagai berikut: 54

1) Mata air diduga memiliki keterkaitan erat dengan curah hujan dan musim ditandai dengan debit yang umumnya kurang dari 1 L/s. 2) Air tanah diduga memiliki karakter air meteorik (air hujan) dengan nilai TDS kurang dari 1000 ppm. 3) Parameter-parameter yang diukur juga mengindikasikan sistem air tanah yang bersifat lokal, yaitu memiliki imbuhan yang letaknya tidak jauh dari mata air dengan kendali morfologi yang dominan. 55