PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hampir setiap negara saat ini menghadapi dampak perubahan global yang berkaitan dengan bahan bakar minyak. Dampak tersebut yaitu meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak karena ketersediaan minyak mentah yang semakin sedikit dan desakan untuk menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Semua hal di atas menyebabkan semakin berkembangnya usaha dalam melakukan diversifikasi bahan bakar terbarukan. Salah satunya adalah berkembangnya penelitian bahan bakar yang berasal dari nabati, khususnya biodiesel. Biodiesel merupakan bahan bakar pengganti solar yang memiliki sifat kimia yang mirip dengan solar dan ramah lingkungan karena memiliki emisi dan gas buang lebih baik dibandingkan dengan solar (BPPT, 2004). Biodiesel dapat digunakan dengan mudah karena bercampur dengan minyak solar, mempunyai sifat-sifat fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang ada hampir tanpa modifikasi (Prakoso dan Hidayat, 2005). Sifat-sifat yang dimiliki oleh biodiesel menurut Prakoso dan Hidayat (2005) antara lain dapat terdegradasi dengan mudah (biodegradable), 10 kali tidak beracun dibanding minyak solar biasa, memiliki angka setana yang lebih baik dari minyak solar biasa, asap buangan biodiesel tidak hitam, tidak mengandung sulfur serta senyawa aromatik sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan. Selain itu, pembakaran biodiesel tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer sehingga mengurangi efek pemanasan global atau sering disebut dengan zero CO 2 emission. Penelitian dan pengembangan tentang biodiesel telah dimulai sejak tahun 1980 di berbagai negara. Sebagai contoh, di dunia telah ada lebih dari 85 pabrik biodiesel dengan kapasitas 500-120.000 ton/tahun, dan pada tujuh tahun terakhir ini 28 negara telah menguji-coba, 21 di antaranya kemudian memproduksi. Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa telah menetapkan Standar Biodiesel (Prakoso dan Hidayat 2006). Produksi biodiesel di berbagai negara dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Bahkan pada tahun 2005 diperkirakan
sebanyak 4000 juta liter biodiesel diproduksi diseluruh dunia dan sebagian besar diproduksi di Eropa (Denys et al, 2006). Tingkat produksi biodiesel di dunia dapat dilihat pada Gambar 1. Keterangan : Tingkat produksi dalam jutaan liter per tahun Sumber : Denys et al, 2006 Gambar 1. Produksi Biodiesel dunia tahun 2000-2005 Minyak tumbuhan yang dapat digunakansebagai bahan baku untuk memproduksi biodiesel di dunia adalah Crude Palm Oil (CPO), minyak jarak, minyak kedelai, minyak kelapa, minyak biji kapok randu, dan masih ada lebih dari 30 macam tumbuhan Indonesia yang potensial untuk dijadikan sumber energi bentuk cair. Berbagai bahan baku yang dapat digunakanuntuk produksi biodiesel adalah, minyak kanola di Eropa, minyak kedele di Amerika serikat, minyak kelapa di Filipina, minyak sawit (Malaysia dan Indonesia), dan lain-lain (Prakoso dan Hidayat, 2006). Minyak Jelantah (minyak goreng bekas) juga telah digunakandi Amerika Serikat khususnya di Hawaii, dengan nama perusahaan Pacific Biodiesel Incorporation yang memiliki kapasitas pabrik kecil (40 ton/bln), di Jepang khususnya di Nagano, jelantah dari 60 restoran cepat saji telah digunakan sebagai bahan baku biodiesel (Prakoso dan Hidayat, 2006) sehingga, biodiesel telah merebut 5 persen pangsa pasar ADO (automotive diesel oil) di Eropa. Khusus di Malaysia telah dikembangkan pilot plant biodiesel dengan skala 3000 ton/hari (Prakoso dan Hidayat, 2006) yang telah siap memenuhi kebutuhan solar jika sewaktu-waktu diperlukan. Walaupun demikian, menurut Prakoso dan Hidayat (2006) beberapa hal harus dipertimbangkan dalam mengembangkan industri biodiesel untuk dikonsumsi masyarakat sebagai berikut: 1. Memenuhi spesifikasi/standar bahan bakar 2. Memiliki tingkat harga yang bersaing 3. Adanya jaminan kontinyuitas bahan baku. Hal tersebut dapat dicapai bila didukung oleh teknologi produksi yang efisien dan penggunaan bahan baku yang jumlahnya memadai serta murah harganya. Dengan demikian harga biodiesel yang dihasilkan dapat bersaing dengan bahan bakar
minyak lainnya karena harga biodiesel sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku serta biaya produksi. Beberapa bahan baku pembuatan biodiesel yang dinilai potensial di Indonesia antara lain adalah minyak sawit dan jarak pagar (Rahayu, 2005). Minyak sawit dinilai potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pengembangan industri biodiesel di Indonesia karena berdasarkan kuantitasnya saat ini sudah tersedia banyak perkebunan kelapa sawit dan industri pengolahan buah sawit menjadi CPO. Namun, selain beberapa keunggulan yang ada pada minyak sawit, terdapat pula beberapa hal yang kurang mendukung pemanfaatannya sebagai bahan baku biodiesel. Kebutuhan CPO dalam negeri saat ini sebagian besar terserap oleh pabrik minyak goreng dengan kebutuhan rata-rata 3,5 juta ton per tahun. Untuk menghindari terganggunya pasokan CPO ke pabrik minyak goreng tersebut maka pemerintah perlu menyiapkan lahan khusus perkebunan sawit bahan baku biodiesel. Mengingat saat ini harga CPO masih relatif mahal maka berpengaruh terhadap harga biodiesel yang dihasilkan. Bila harga CPO melonjak maka harga biodiesel yang dihasilkan akan menjadi mahal sehingga tidak dapat bersaing dengan harga solar (Suarna, 2005) Penggunaan jarak pagar sebagai bahan baku pembuatan biodiesel pun menemui kendala yaitu belum tersedianya jumlah jarak yang mencukupi saat ini. Keterbatasan areal penanaman mempengaruhi ketersediaan biji jarak sebagai bahan baku. Pada proses pembuatan biodiesel yang berbahan baku biji jarak, untuk menghasilkan satu liter biodiesel diperlukan 2,5 kg biji kering dengan rendemen 40 persen. Penggunaan biji non unggul hanya menghasilkan biji jarak 2-3 kg/pohon/tahun. Artinya setiap hektar lahan yang terdiri dari 2000-2500 tanaman hanya menghasilkan 4-5 ton biji kering atau mengeluarkan 1000-1500 liter biodiesel/tahun (Prastowo, 2006). Saat ini areal penanaman jarak masih terbatas. Padahal, untuk memproduksi 15000 liter /hari dibutuhkan 2700 ha areal pertanaman jarak. Jika kebutuhannya mencapai dua juta kiloliter minyak jarak dengan rendemen 25 persen, maka diperlukan sebanyak 2 juta sampai 3 juta ha lahan pada tahun 2009. Artinya harus tersedia lahan pertanaman jarak minimal 500 ribu ha per tahun. Langkah yang diambil oleh pemerintah untuk memenuhi
jumlah jarak yang dibutuhkan dalam produksi biodiesel adalah merencanakan penanaman jarak di beberapa daerah yang memiliki lahan kosong (Prastowo, 2006). Bila dikaji dari segi biaya, produksi minyak jarak jauh lebih murah, yaitu Rp 3.800/liter, tetapi tanaman jarak belum dibudidayakan secara luas (www.indobiofuel.com, 25 Januari 2007). Tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia sangat tinggi seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2. Hal tersebut menggambarkan potensi yang besar dari pemanfaatan minyak jelantah di Indonesia. Namun kenyataannya di Indonesia, pemanfaatan minyak jelantah masih dinilai kontroversial. Sampai saat ini sebagian minyak jelantah dari perusahaan besar dijual ke pedagang kaki lima dan kemudian digunakan untuk menggoreng makanan dagangannya dan sebagian lain hilang begitu saja ke saluran pembuangan (Suess dalam www.kompas.com, 20 Juli 2002). Jumlah restoran yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakunya pun banyak terdapat di Indonesia, sehingga potensi untuk mengembangkan industri biodiesel yang berbahan baku di Indonesia terbuka luas. Tingkat konsumsi minyak goreng (ton/thn) Sumber: www.wartaekonomi.com, 7 April 2006 Gambar 2. Perkembangan Konsumsi Minyak Goreng Sawit dan Minyak Goreng Kelapa di Indonesia. Produksi biodiesel di Indonesia saat ini masih berorientasi pada pasar ekspor. Pasar ekspor yang paling banyak meminta produk biodiesel Indonesia adalah Eropa, seperti Jerman, Belanda, Perancis, dan Italia (www.kompas.com, 9 September 2006). Sementara beberapa produsen di dalam negeri masih memproduksi biodiesel untuk memenuhi kebutuhan internal (www.kompas.com, 9 September 2006). Tingkat konsumsi bahan bakar solar di Indonesia selalu meningkat seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Selain terdapatnya potensi bahan
baku, terbuka pula pasar yang luas untuk menjual produk biodiesel berbahan baku minyak jelantah di Indonesia. Konsumsi bahan bakar Indonesis Volume (Kl) 35,000,000 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 0 2001 2002 2003 2004 2005 rumah tangga transportasi Industri Listrik Tahun Sumber : Direktorat Jenderal Minyak Bumi dan Gas, 2001-2004 Gambar 3. Konsumsi Bahan Bakar Minyak di Indonesia 1.2 Perumusan Masalah Dari uraian tersebut maka dapat dirumuskan masalah dalam tesis ini sebagai berikut: 1) Apakah ketersediaan minyak jelantah di Indonesia dapat menjamin kontinuitas produksi industri biodiesel berbasis minyak jelantah? 2) Faktor-faktor ekternal dan internal apa saja yang mempengaruhi pengembangan industri biodiesel minyak jelantah di Indonesia? 3) Strategi apa yang diperlukan dalam pengembangan industri biodiesel berbasis minyak jelantah di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Menganalisa potensi ketersediaan minyak jelantah dari restoran, industri pengolahan makanan, dan masyarakat di Indonesia sebagai bahan baku biodiesel. 2) Menganalisa lingkungan internal dan eksternal dalam mengembangkan industri biodiesel di Indonesia. 3) Merumuskan strategi pengembangan industri biodiesel berbasis minyak jelantah di Indonesia.