1 PENDAHULUAN Latar Belakang Anak sebagai modal sumber daya manusia yang unggul di negara ini, diharapkan dapat memiliki kecerdasan secara intelektual, spiritual bahkan kecerdasan secara emosional karena generasi muda (remaja) merupakan motor penggerak kemajuan sebuah negera. Sebuah negara menjadi kuat eksistensinya ketika para pemudanya mampu tampil aktif dan dinamis di tengah masyarakat. Tongkat estafet pembangunan karakter bangsa dan negera ini terus berganti dari masa ke masa sehingga dibutuhkan sosok generasi yang tangguh dan ulet. Mendapatkan generasi yang kuat perlu memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah pola pengasuhan dalam keluarga, kecerdasan emosional serta pergaulan dengan teman sebaya pada remaja (Papalia 2008). Pada masa remaja tersebut juga rentan terhadap beberapa permasalahan kenakalan remaja yang dihadapi seperti pemakaian narkotika, merokok, tawuran, seks bebas dan bullying serta beberapa kasus kenakalan lainnya. Bullying dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah perundungan, menurut Olweus (1994) dimaknai sebagai perilaku agresif dari seseorang / kelompok anak terhadap anak lain yang lebih lemah dan dilakukan secara berulang-ulang serta terstruktur dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Menurut Sejiwa (2006), menyatakan biasanya orang tua atau guru menganggap bahwa hal itu adalah salah satu cara berteman mereka. Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang kompleks. Faktor tersebut antara lain dari keluarga, sekolah, teman sebaya dan dalam diri remaja itu sendiri. Beberapa macam cara yang dilakukan dalam bullying, yaitu secara verbal, fisik, sosial dan elektronik. Faktor keluarga yaitu anak yang melihat orang tua atau saudara melakukan bullying maka akan mengembangkan perilaku bullying pula di lingkungan sekitar anak. Ketika anak menerima pesan negatif berupa hukuman fisik, verbal dan psikologis di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif pula, kemudian dengan pengalaman tersebut mereka cenderung lebih dulu menyerang orang lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang
2 mengancam. Oleh karena itu perlu mengembalikan fungsi keluarga dengan baik. Menurut Landis (1989) keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anaknya baik dari segi materiil maupun spirituil, sehingga dengan memperhatikan prinsip pengasuhan secara sosial dan emosi anak akan selalu terkontrol dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pola asuh sosial-emosi dapat dilihat dari beberapa dimensi yaitu kehangatan, emosi dan pengarahan. Pola asuh sosial-emosi yang diberikan kepada anak, hendaknya berorientasi pada kasih sayang dan pengawasan serta dorongan. Pengasuhan memiliki peran yang sangat penting bagi seorang anak, karena dalam proses pengasuhan mencakup: 1) Interaksi antara anak, orang tua dan lingkungan masyarakat (termasuk guru dan teman sekolah), 2) Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) Proses mendukung atau menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) Proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya. Kelima proses tersebut akan membentuk gaya pengasuhan yang diterapkan kepada anak yaitu penerimaan dan kehangatan (Bern 1997). Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberi masukan negatif pada siswa, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah padahal lingkungan sekolah merupakan rumah kedua bagi anak. Anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anakanak yang lainnya. Rata-rata anak menghabiskan waktu di sekolah sekitar 6-8 jam sehari (Sarwono 2002). Hal ini menunjukkan bahwa sepertiga waktunya dihabiskan di sekolah bersama dengan guru dan teman sekolah. Menurut Papalia (2008), sekolah merupakan pengorganisir pusat pengalaman dalam kehidupan sebagian besar remaja. Interaksi yang terjadi di sekolah dan di sekitar rumah dengan teman sebaya, kadang kala anak akan terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying pada anak yang lain dalam rangka untuk membuktikan bahwa bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun dirasa tidak nyaman
3 dengan perilaku tersebut. Interaksi yang ideal dengan teman sebaya hendaknya merupakan proses yang simetris dan timbal balik. Bersama teman sebaya pula diharapkan remaja belajar menjadi pasangan yang terampil dan sensitif dalam membentuk hubungan. Pertemanan dengan sebaya membutuhkan kemampuan kognisi dan sosial emosi yang baik, agar tidak terjadi penolakan dan agresi (Papalia 2008). Keadaan dalam diri remaja menyangkut perkembangan fisik, kognitif maupun sosial-emosi. Dijelaskan oleh Soesilowidradini (1990) dalam Puspitawati (2009) bahwa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan yang lain, yaitu (a) Status remaja dalam masyarakat masih tidak menentu; (b) Rasa emosional yang tinggi, cepat marah, takut, cemas, ingin tahu, iri hati, sedih dan kasih sayang; (c) Perasaan yang tidak stabil, mempunyai masalah dengan keadaan jasmani, kebebasan, nilai-nilai yang dianut, peranan pria dan wanita dewasa, lawan jenis dan masyarakat; (d) Kemampuan mengerjakan sesuatu yang terkadang sukar diselesaikan karena menganggap orang tua dan guru terlalu tua untuk mengerti pikiran dan perasaannya. Oleh karena itu hendaknya remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosi diri sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif (Goleman 2002). Bullying sudah menjadi masalah global yang kemudian tidak bisa diabaikan lagi. Oleh sebab itu banyak elemen harus ikut terlibat, baik orang tua, pihak sekolah, bahkan pemerintah yang mempunyai andil sangat besar untuk menentukan kebijakan-kebijakan undang-undang yang berkaitan dengan moralitas bangsa. Berdasarkan uraian diatas maka dirasa perlu untuk lebih mengenali kecerdasan emosional diri anak terkait dengan pola asuh sosial-emosi yang diterapkan orang tua pada anaknya, sehingga anak dapat mengembangkan konsep diri dalam pertemanan dengan sebaya dan pada akhirnya diharapkan dapat menekan perilaku bullying.
4 Perumusan Masalah Bullying merupakan bagian dari suatu kenakalan yang dilakukan oleh para remaja. Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa. Menurut Santrock (2007), kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal. Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa terjadinya perubahanperubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan 2006). Permasalahan lain yang biasa dihadapi adalah adanya pola pengasuhan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Terdapat banyak hal yang dapat membentuk cara dan gaya pengasuhan orang tua. Salah satunya adalah pengalaman masa lalu yang menjadi bagian dari sejarah kehidupan orang tua. Orang tua yang memiliki pengalaman traumatis karena disiksa dan dianiaya oleh orang tua mereka akan melakukan hal yang sama pada pengasuhan terhadap anaknya, jadi pada perkembangan sosial-emosi seorang anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh sosial-emosi yang dilakukan kepada anaknya (Hastuti 2008). Secara umum pola asuh yang diberikan orang tua terhadap anak, terutama pola asuh sosial emosi akan membawa dampak terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. Emosi seseorang berkembang secara alamiah sejak individu dilahirkan hingga mencapai tahap kedewasaan. Perkembangan emosi disebabkan adanya situasi perkembangan usia dan kematangan individu (Baradja 2005). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Khajehpour di Teheran (2011) menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan keterlibatan orang tua dalam pengasuhannya dapat memprediksi prestasi akademik siswa. Seiring dengan bertambahnya usia anak, maka anak remaja akan keluar dari lingkungan keluarga dan memasuki lingkungan pergaulan sosial dalam masyarakat yang lebih luas. Pada lingkungan yang baru tersebut para remaja akan membentuk kelompok dalam melakukan kegiatan bersama teman (Gunarsa & Gunarsa 2001). Hasil penelitian Puspitawati (2009) menunjukkan bahwa perilaku kenakalan pelajar dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung
5 oleh kedua variabel yaitu komunikasi orang tua yang rendah dan keterikatan teman yang tinggi, ditambah dengan pengaruh langsung dari perilaku agresif pelajar itu sendiri. Data yang diperoleh dari Kepolisian Resort Kota (Polresta) Bogor antara tahun 2000 2004 mengenai kenakalan remaja adalah 49 kasus yang meliputi membawa senjata tajam, tawuran, mengeroyok, pemakaian psikotropika, menganiaya bahkan membunuh yang dilakukan oleh pelajar SMA di Bogor. Berdasarkan data dari Sejiwa (2006), mengatakan bahwa dari penelitian selama tahun 2004-2006 pada tiga SMA di dua kota besar di Pulau Jawa, satu dari lima guru menganggap bullying adalah hal biasa dalam kehidupan remaja dan tak perlu dipermasalahkan. Bahkan, satu dari empat guru berpendapat bahwa sesekali penindasan tidak akan berdampak buruk terhadap kondisi psikologis siswa. Kecanggihan tehnologi komunikasi seperti telepon genggam selular maupun akses internet membawa dampak positif dan negatif bagi pemakainya karena bullying juga tengah merambah di dunia maya tersebut. Pelaku bisa orang yang dikenal ataupun tidak, dan biasanya mereka memakai nama samaran agar tak dapat dideteksi. Hampir disetiap penjuru dunia, orang sudah memakai internet dan telepon genggam, karena itu bullying secara elektronik juga menjelma menjadi bentuk bullying yang marak di abad 21. Seseorang yang berniat mengganggu bisa menggunakan pesan pendek, e-mail, chat room, dan aneka jejaring sosial atau bahkan membuat situs khusus untuk mempermalukan orang lain. Bullying secara elektronik mengakibatkan dampak yang bisa jauh lebih berbahaya dari sekedar luka fisik. Permasalahan bullying secara elektronik lebih sulit untuk ditindaklanjuti karena sulit untuk mengendalikan sesuatu yang tersebar melalui dunia maya (Sejiwa 2006). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS 2006) menyatakan bahwa terdapat sejumlah 25 juta kasus kekerasan mulai dari kasus ringan sampai berat di seluruh Indonesia, dan berdasar data dari Kepolisian Republik Indonesia (2009), melaporkan bahwa dari keseluruhan kasus yang ada terdapat 30 persen kasus yang dilakukan oleh anak-anak dan dari 30 persen tersebut, sebanyak 48 persen dilakukan di lingkungan sekolah. Data yang lain diperoleh dari Plan Indonesia (Sejiwa 2006), menyatakan dalam hasil penelitian yang dilakukan di
6 empat kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan Bogor terdiri dari 1500 siswa SMA dan 75 guru, diperoleh hasil sebanyak 67.9 persen terdapat kasus bullying secara verbal, fisik dan psikologis serta 27.9 persen pelajar terlibat sebagai pelaku sedangkan 25.4 persen adalah sebagai penonton atau hanya diam saja ketika melihat perilaku bullying terjadi di depan mata mereka. Penelitian lain yang dilakukan oleh Smith (2002) yang dilakukan di Inggris dengan sampel yang berusia 14 tahun, menyatakan bahwa sebanyak 62 persen pernah melakukan bullying secara sosial, 91 persen pernah melakukan bullying secara fisik dan 94 persen pernah melakukan bullying secara verbal. Penelitian mengenai bullying secara elektronik juga dilakukan oleh Rivers (2000) dalam Smith (2002) yang menggunakan sampel sebanyak 656 anak yang berusia 11 19 tahun, diperoleh hasil sebanyak 16 persen melakukan bullying dengan sms, 7 persen melakukan bullying dengan internet chat room dan 4 persen dengan e-mail. Dari beberapa uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pola asuh sosial-emosi yang tepat untuk menghindari perilaku bullying. 2. Bagaimana kecerdasan emosional yang baik untuk dapat mematangkan pribadi seorang anak sehingga dapat menurunkan tingkat perilaku bullying. 3. Bagaimana keterikatan teman sebaya dalam menghadapi perilaku bullying. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional dan keterikatan teman sebaya terhadap perilaku bullying anak Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, karakteristik contoh, karakteristik teman dan karakteristik sekolah pada anak laki-laki dan perempuan. 2. Mengidentifikasi pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional, keterikatan teman sebaya dan perilaku bullying pada anak laki-laki dan perempuan.
7 3. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecerdasan emosional, dan perilaku bullying pada anak laki-laki dan perempuan. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola asuh sosial-emosi, kecerdasan emosional, keterikatan teman sebaya dan perilaku bullying anak. Semoga penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi orang tua dalam menerapkan pola asuh secara sosial dan emosi yang tepat terhadap anak remaja sehingga dapat meningkatkan kecerdasan emosional dan diharapkan dapat menjadi manusia yang berkualitas. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi instansi terkait dalam mengambil kebijakan untuk mendukung gerakan anti bullying baik di rumah maupun di lingkungan sekitar termasuk lingkungan sekolah. Semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan landasan bagi pengembangan penelitian sejenis dimasa yang akan datang.