Suatu kali saya, mewakili Rektor, menghadiri sebuah acara akademik di salah satu perguruan tinggi ternama di Jawa Timur. Waktu sudah menunjukkan pukul 09. 10 WIB. Tetapi acara belum juga dimulai, karena salah seorang narasumber belum datang. kendati hampir semua tamu undangan telah datang. Panitia penyelenggara sudah mulai panik sambil mondar mandir keluar masuk ruang dengan melihat jam tangan. Kepanikan itu wajar karena di surat undangan yang harus dibawa oleh setiap tamu yang datang tertera kalimat Kegiatan Dimulai Tepat Waktu (09.00 WIB). Mohon Tidak Terlambat Datang. Saya jarang menerima surat undangn dengan peringatan seperti itu. Tepat pukul 09.30 WIB narasumber dari Jakarta yang ditunggu-tunggu datang sehingga acara segera dapat dimulai. Panitia sudah tidak lagi tampak panik. Tiba-tiba seorang pembawa acara yang berpakaian full dress menyampaikan pengumuman Para hadirin yang terhormat. Karena narasumber yang kita tunggu-tunggu telah datang, acara akan segera kita mulai. Tetapi perlu kami sampaikan bahwa demi kelancaran dan ketertiban acara, maka selama acara berlangsung yang membawa HP dimatikan!. Mendengar pengumuman itu, tentu saya bingung dan takut luar biasa karena saya adalah salah seorang di antara tamu undangan yang membawa HP. Mengapa takut? Karena jika menggunakan logika linguistik sebagaimana diumumkan, maka saya akan dimatikan. Berarti saya akan dibunuh karena saya membawa HP. Kalau saya akan dibunuh, mengapa saya menghadiri acara ini? pikir saya. Atau, mungkin karena ini pula Rektor meminta saya menghadiri acara ini karena tahu akan dibunuh, karena Rektor juga memiliki HP dan selalu membawanya kemana pun beliau pergi. Ha ha. Saya juga sempat berpikir berarti berapa banyak di antara tamu undangan tersebut yang akan mati dibunuh. Sebab, hampir semuanya juga membawa HP. Berarti pula akan terjadi pembunuhan masal pada acara tersebut. Anehnya yang merasa takut karena akan dibunuh ya saya sendiri. Saya perhatikan orang-orang di sekeliling saya mengambil HP dari sakunya dan mematikannya satu persatu. Saya sangat heran mengapa orang-orang kok tidak takut dibunuh. Padahal, menurut saya itu kan mati konyol, dibunuh karena membawa HP. Pemberani benar orang-orang ini pikir saya lebih lanjut. 1 / 6
Tiba-tiba saja saya menjadi orang asing di tengah keramaian itu a stranger in the crowds, meminjam terminologi Scott Gordon dalam The History and Philosophy of Social Science (1991) dan sering saya kutip ketika memberikan kuliah kepada mahasiswa tingkat-tingkat akhir. Kendati merasa ketakutan akan dibunuh, saya tetap mengikuti acara tersebut sampai usai sambil tetap waspada dan melindungi diri dari upaya dan ancaman pembunuhan. Ha ha. Acara inti sudah dimulai dan narasumber utama, seorang pejabat tinggi dari salah satu institusi pemerintah di pusat, menyajikan makalah. Saya ikuti dengan cermat setiap kata-kata narasumber. Inti dari penyajian sangat menarik, karena menyangkut kebijakan pemerintah dalam ekonomi makro yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat luas. Kendati saya bukan pengkaji ekonomi, saya dapat mengikuti paparan narasumber karena membicarakan hal-hal yang bersifat umum. Tetapi selang sepuluh menit kemudian, saya mulai gelisah. Kegelisahan itu terjadi bukan karena saya akan dibunuh, tetapi karena mendengarkan narasumber mengucapkan kata-kata yang tidak tepat menurut kaidah bahasa Indonesia. Sungguh saya sangat merasa terganggu. Setidaknya, saya mendengar kesalahan ucap sebagai berikut: kata produk prodak, kata publik pablik, kata sukses sakses, kata pasca paska, kata kredit kridit dan kata manajemen menejemen, 2 / 6
kata target tarjet Kesalahan ucap ini dilakukan berkali-kali hampir sepanjang penyajian makalah. Saya sangat heran mengapa kesalahan sepele seperti itu terjadi pada seorang narasumber itu, yang berpendidikan sangat tinggi dan bergelar doktor dari perguruan tinggi di Barat. Kegelisahan saya bertambah ketika memasuki sesi tanya jawab, karena para penanya juga melakukan hal yang sama dengan narasumber, sehingga menambah daftar panjang kesalahan pengucapan kata. Penanya pertama juga mengucapkan prodak (mestinya produk), signifiken (mestinya signifikan), temen-temen (mestinya teman-teman), zunit (mestinya unit). Lebih parah lagi, penanya kedua mengucapkan ungkapan seperti kita sangat apresiasi atas pikiran bapak yang cemerlang, pemerintah sangat deskriminasi terhadap swasta, dan kita harus lebih demokrasi dalam mengelola ekonomi negara. Pembaca yang terhormat, Apa yang dapat dijelaskan dan pelajaran apa yang dapat dipetik dari peristiwa bahasa seperti itu? Setidaknya terdapat tiga jenis kesalahan bahasa. Pertama, kalimat.yang punya HP dimatikan menunjukkan kesalahan logika linguistik yang sangat jelas karena sama sekali tidak memerhatikan subjek kalimat dan objeknya. Seharusnya pengumuman itu berbunyi Demi kelancaran dan ketertiban acara, maka selama acara berlangsung HP harap dimatikan. Jadi yang dimatikan itu adalah HP, bukan orang yang membawa HP. Atau Demi kelancaran dan ketertiban acara, maka selama acara berlangsung yang membawa HP harap mematikan HP-nya. Kesalahan sejenis juga pernah saya dapatkan ketika memarkir mobil dan hendak mendatangi acara pesta pernikahan putri seorang kolega. Tiba-tiba dari petugas parkir keluar pengumuman 3 / 6
Perhatian, perhatian. Yang membawa mobil harap diparkir di sebelah kiri jalan agar tidak mengganggu mobil umum yang lewat. Yang diparkir mobil, atau yang punya mobil. ha ha Sekali lagi ungkapan tersebut menunjukkan logika linguistik yang sangat lemah. Sebab, seperti contoh sebelumnya, ungkapan itu juga tidak mengindahkan subjek dan objek. Agar tidak membingungkan, seharusnya kalimat itu berbunyi Perhatian. Mohon mobil diparkir di sebelah kiri jalan agar tidak mengganggu mobil umum yang lewat. Atau, yang membawa mobil harap memarkir mobilnya di sebelah kiri jalan... Hanya saja kesalahan kali ini tidak begitu menyita perhatian saya karena saya tahu yang mengucapkan kalimat itu orang awam, bukan cerdik cendekia sebagaimana narasumber di atas. Jadi saya ya agak cuek. Kedua, kata publik pablik, sukses sakses, produk prodak, kre dit kridit, manajemen menejemen dan seterusnya menunjukkan pengingkaran kaidah dan sistem bunyi dalam bahasa Indonesia. Sebab, dalam bahasa Indonesia ucapan sama dengan tulisan. Karena itu, kesalahan jenis kedua ini selain menunjukkan pengingkaran kaidah dan sistem bunyi dalam bahasa Indonesia juga menunjukkan sikap berbahasa yang sangat sembrono. Sikap sembrono dalam berbahasa bisa terjadi tidak saja pada orang awam, tetapi juga pada akademisi dan orang-orang terdidik lainnya. Sebagai bahasa yang belum jadi, bahasa Indonesia memang mengimpor kata-kata asing secara melimpah untuk menggambarkan realitas yang semakin hari semakin kompleks seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi ejaan dan ucapan kata-kata impor itu disesuaikan dengan kaidah dan sistem yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Karena itu, pengguna bahasa Indonesia juga harus segera menyesuaikan baik ejaan maupun ucapan kata-kata impor ke dalam bahasa Indonesia. Jangan sampai terjadi ejaannya sudah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, tetapi ucapannya masih seperti pada bahasa asal. Ketiga, ungkapan-ungkapan sangat apresiasi, sangat diskriminasi, lebih demokrasi dan sebagainya menunjukkan pengguna bahasa itu salah dalam menggunakan kata sangat dan lebih sebagai intensifier dan tidak dapat membedakan kata benda dan sifat. Kata apresiasi, diskriminasi dan demokrasi adalah kata benda yang tidak mungkin diberi intensifier 4 / 6
. Sebab, penggunaan intensifier hanya untuk kata sifat ( adjective ) dan kata keterangan kerja ( adverb ). Karena itu, sangat salah jika kita mengucapkan sangat apresiasi, sangat diskriminasi, dan sangat demokrasi. Seharusnya ungkapan itu berbunyi sangat apresiatif, sangat diskriminatif dan sangat demokratis. Pembaca, mengapa di masyarakat kita pengguna bahasa Indonesia membuat kesalahan-kesalahan seperti itu? Terdapat beberapa penjelas. Pertama, masyarakat kita tergolong masyarakat sembrono, tidak saja dalam berbahasa tetapi juga dalam berbagai hal. Selain itu, masyarakat kita sering menyepelekan hal-hal yang mereka pandang remeh, kendati sesugguhnya serius. Bagi pengkaji bahasa, kesalahan-kesalahan di atas sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai masalah remeh dan sepele. Itu persoalan besar. Kedua, di masyarakat kita sering muncul anggapan bahwa yang penting maksud dapat disampaikan dan orang yang diajak bicara mengerti maksud pembicaraan. Jadi kerapian dan keteraturan bahasa adalah nomor dua, dan itu urusan orang-orang bahasa. Anggapan seperti itu tentu salah besar. Coba perhatikan! Bukankah kesalahpahaman sering berawal dari penggunaan kata dan ucapan yang tidak tepat? Jadi sungguh aneh jika kerapian dan keteraturan bahasa dianggap hanya milik orang bahasa. Jika kita ingin menghindari kesalahpahaman dengan lawan bicara kita, maka kerapian dan keteraturan bahasa mutlak diperlukan. Ketiga, jika menggunakan logika sosiolinguistik bahwa bahasa merupakan cermin dunia batin penggunananya, maka dapat digambarkan dunia batin macam apa yang terjadi pada pengguna bahasa sebagaimana dipaparkan di atas. Setidaknya, terjadi kekacauan pola pikir yang serius pada pengguna bahasa lisan seperti itu. Ini sekaligus mengokohkan tesis filsuf bahasa kenamaan Wittgenstein bahwa ketika berbahasa lisan orang cenderung sembrono dan tidak mau mengindahkan kaidah bahasa secara cermat. Akibatnya, ketika bahasa lisan ditranskrip kedalam bahasa tulis diketahui betapa banyak terjadi kesalahan gramatika. Usai menulis artikel ini, saya menuju masjid untuk menunaikan shalat dhuhur. Seperti biasanya, usai shalat seorang petugas takmir menuju mimbar dan mengumumkan siapa yang akan memberi kuliah lima menit (walaupun kenyataannya bisa bermenit-menit lamanya) dan permintaan shalat ghaib bagi keluarga, sahabat dan handai taulan yang meninggal. Betapa 5 / 6
terkejutnya saya mendengar petugas mengucapkan Inna lilahi wa inna ilaihi roji un. Telah menginggal dunia bapak almarhum Haji. Moh. Imron, orangtua dari mahasiswa Jurusan Psikologi, UIN Malang. Karena itu, diminta para jama ah untuk melakukan shalat ghaib ditujukan kepada almarhum bapak Haji Moh. Imron. Saya melihat jama ah segera berdiri dan melakukan shalat ghaib. Jika petugas cermat, dia tidak akan mengucapkan pengumumnan seperti itu. Mestinya pengumuman itu berbunyi Telah meninggal dunia bapak Haji Moh. Imron.. Tidak perlu menyebut almarhum Haji Moh. Imron, kecuali memang nama orang yang meninggal adalah Almarhum Haji Moh. Imron. Ha ha. Tetapi apa ada orang di dunia ini yang namanya almarhum. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (2001: 32) kata almarhum berarti yang telah meninggal; mendiang, dan kata untuk menyebut orang yang telah meninggal. Saya yakin nama orang yang meninggal dunia itu adalah Moh. Imron, bukan a(a?)lmarhum Haji Moh. Imron. Dengan demikian, keterkejutan saya bukan saja karena saya mendengar kesalahan kalimat almarhum haji Moh. Imron, tetapi juga karena kesalahan seperti itu justru terjadi di lembaga tempat saya bekerja. Kalau begitu kekacauan bahasa dan logika juga melanda sebagian warga kampus kita. Dan, itu bisa saja termasuk saya sendiri karena saya adalah warga kampus ini. H e he 6 / 6