BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia tidak mengenal adanya sistem sentralistik seperti yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 tentang Pemerintah Daerah. Ditambah dengan munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998 yang menuntut daerah-daerah diberikan otonomi daerah. Untuk mendukung dan mewujudkan keinginan tersebut pemerintah pusat memberi otonomi daerah seluas-luasnya kepada daerah-daerah yang ada di Indonesia. Asas penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sehingga terdapat pemerintah daerah dan daerah otonom atau wilayah yang bersifat administratif. Penyerahan wewenang ini sering juga disebut dengan desentralisasi. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, keadilan nasional, mengembangkan kehidupan demokrasi, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Dalam menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk dapat menjalankan roda pemerintahan yang efektif, efisien, dan mampu mendorong peran masyarakat dalam meningkatkan pemerataan dan keadilan dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. 1
2 Dari hal tersebut utamanya setelah reformasi dan awal dibentuknya Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang kemudian diperbaharui melalui ditetapkannya Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dengan perubahan-perubahan tersebut telah membuktikan bahwa pembenahan sistem pemerintahan daerah terus berjalan dinamis seiring dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Menurut Undang Undang Nomor 23 Pasal 1 ayat 6 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk melaksanaan Otonomi Daerah terdapat empat elemen penting yang diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Ke empat elemen tersebut adalah Desentralisasi Politik, Derajat Desentralisasi Fiskal, Desentralisasi Administrasi dan Desentralisasi Ekonomi. Keempat elemen tersebut menjadi kewajiban daerah untuk mengelola secara efisien dan efektif. Sehingga dengan demikian akan terjadi kemampuan/kemandirian suatu daerah untuk melaksaakan fungsinya dengan dengan baik. Salah satu elemen yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi pelaksanaan otonomi daerah karena memungkinkan pemerintah mempunyai keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya seseuai dengan aspirasi masyarakat, sehingga daerah dapat memaksimalkan segenap potensi yang dimiliki untuk mewujudkan
3 kesejahteraan dan kemajuan daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin besar, sehingga tanggung jawab yang diemban juga akan bertambah banyak. Namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaannya, karena semakin bertambah urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Menurut Undang-undang Nomor 32 Pasal 21 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak : mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; memilih pimpinan daerah; mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Adapun menurut pasal 22 menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban : melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; mengembangkan kehidupan demokrasi; mewujudkan keadilan dan pemerataan; meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; mengembangkan sistem jaminan sosial; menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
4 melestarikan lingkungan hidup; mengelola administrasi kependudukan; melestarikan nilai sosial budaya; membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi daerah, antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana daerah. Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Dimana daerah mampu membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin mengecil. Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Keuangan daerah merupakan sumber daya yang dominan dalam menopang kemampuan otonomi daerah. Hampir tidak ada satupun kegiatan pemerintah di daerah yang tidak memerlukan biaya. Oleh sebab itu pengelolaan keuangan
5 daerah merupakan satu variable yang penting dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah dan pemerintahan di daerah pada umumnya. Kemampuan keuangan daerah dalam era otonomi daerah sering diukur dengan menggunakan kinerja PAD. Besar-kecilnya penerimaan PAD seringkali dihubungkan dengan keberhasilan daerah dalam menjalani otonomi daerah. Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian yang terbesar dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah. Dalam rangka melaksanakan fungsinya secara efektif, maka pemerintah daerah harus didukung sumber-sumber pendapatan yang pasti agar pelaksanaan dan kelangsungan kegiatan pemerintah di daerah terjamin. Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dijelaskan bahwa Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
6 Dengan demikian, wilayah kajian kemampuan keuangan daerah dapat mencakup aspek hak, yaitu pendapatan; dan aspek kewajiban, yaitu belanja. Untuk membiayai kewenangan daerah, PAD idealnya menjadi sumber pendapatan pokok daerah. Sumber pendapatan lain dapat bersifat fluktuatif dan cenderung di luar control kewenangan daerah. Melalui kewenangan yang dimiliki, daerah diharap dapat meningkatkan PAD, seraya tetap memperhatikan aspek ekonomis, efisiensi, dan netralitas. Diharapkan daerah memiliki tingkat kejelian yang tinggi dan kemampuan dalam melihat dan memanfaatkan sumber-sumber potensial yang dimiliki. Sebaliknya, ketidakmampuan pemerintah daerah dalam melihat dan memanfaatkan sumber-sumber pendapatan potensial yang ada dapat mengakibatkan rendahnya kemampuan keuangan daerah yang pada akhirnya akan menghambat kelancaran pelaksanaan otonomi daerah. Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan terhadap Data Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ( APBD ) Kabupaten Ciamis tahun anggaran 2013 2016 dan Capaian Indikator Makro yang sumber data nya di dapat dari Badan Pengelolaan Keuangan Daerah ( BPKD ) Kabupaten Ciamis, masih ada beberapa masalah yang berkaitan dengan keuangan daerah, pembangunan masyarakat dan perekomonian yang akan mempengaruhi terlaksananya otonomi daerah, diantaranya :
7 Tabel 1.1 Realisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan Kabupaten Ciamis Tahun Anggaran 2013 2016 Tahun Anggaran Uraian 2013 2014 2015 2016 PAD 117.475.935.245 182.320.228.014 180.304.950.790 204.758.434.819.60 Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian dari BUMD Lain-lain Pendapatan 28.824.967.342 22.920.807.541 2.840.893.502 62.889.266.860 42.117.034.935 9.489.640.021 3.318.035.285 127.395.517.773 45.367.527.583 13.251.357.693 3.154.728.979 118.531.336.535 54.483.343.101.00 15.770.601.671.00 3.501.875.937.00 131.003.614.110.60 Dana Perimbangan 1.494.016.559.741 1.270.347.101.219 1.342.252.394.342 1.413.397.717.898.00 Dana Bagi Hasil Pajak Dana Bagi Hasil Bukan Pajak 68.102.406.275 26.393.946.466 49.541.065.434 19.208.539.785 33.779.039.156 23.882.040.186 Dana Alokasi Umum 1.303.907.527.000 1.068.289.296.000 1.156.989.995.000 Dana Alokasi Khusus 95.612.680.000 133.308.200.000 12.601.320.000 Sumber : Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Ciamis 53.757.014.103.00 20.088.440.795.00 1.203.476.252.000.00 136.076.011.000.00 Dari tabel realisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan pemerintah Kabupaten Ciamis tahun anggaran 2013 2016, menunjukkan bahwa Dana Perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus masih mendominasi penerimaan daerah dibandingkan dengan PAD. Hal ini mengindikasi masih tingginya ketergantungan fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis terhadap Pemerintah Pusat selama kurun waktu 2013 2016, meskipun pelaksanaan otonomi daerah telah dilaksanakan.
8 Dampak dari munculnya permasalahan diatas adalah daerah akan tetap selalu menggantungkan diri pada bantuan pemerintah pusat yang tentunya tidak menguntungkan bagi pemerintah pusat karena daerah dianggap sebagai beban, dan bagi pemerintah daerah sendiri hal ini merupakan faktor yang menghambat kemandirian daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah akan kesulitan dalam mengelola sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). 250000000000.00 200000000000.00 150000000000.00 100000000000.00 50000000000.00 Realisasi PAD 0.00 2013 2014 2015 2016 Gambar 1.1 Grafik Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Ciamis Tahun Anggaran 2013-2016 Sumber : Data diolah, 2017 Dapat dilihat dari Grafik Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Ciamis tahun anggaran 2013 2016, menunjukan bahwa realisasi PAD pada tahun 2013 sebesar Rp. 117.475.935.245. Pada tahun tahun 2014 meningkat menjadi Rp. 182.320.228.014 atau sebesar 35.57 % jika dibandingkan dengan tahun 2013. Kemudian pada tahun 2015 mengalami penurun dari tahun
9 sebelumnya sebesar Rp. 180.304.950.790. Walapun penurunnya tidak signifikan tetapi hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan daerah Kabupaten Ciamis khusus nya pada tahun 2015. Dan pada tahun 2016 mengalami peningkatan kembali sebesar Rp. 204.759.434.819,60 atau 12 % dari tahun sebelumnya. Penurunan realisasi pendapatan asli daerah pada tahun 2015 tersebut dikarenakan tidak tercapainya beberapa faktor pendukung pendapatan asli daerah. Pada tahun 2015 ada 2 faktor yang mengakibatkan penurunan yaitu tidak tercapainya retribusi daerah dan lain-lain pendapatan. Retribusi daerah yang dianggarkan sebesar Rp. 17.592.671.276, tetapi hanya tercapai sebesar Rp. 13.251.537.693. sedangkan lain-lain pendapatan yang dianggarkan sebesar Rp. 120.917.003.628, tetapi hanya dapat tercapai sebesar Rp. 118.531.336.535. Kedua faktor tersebut adalah faktor terbesar dalam mendukung penerimaan PAD, selain itu ada juga pendukung yang tidak kalah besar dalam mendukung PAD yaitu pendapatan dari pajak daerah. Tabel 1.2 Surplus / Defisit Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ciamis Tahun Anggaran 2013 2016 Tahun Penerimaan Daerah Belanja Daerah Surplus / (Defisit) 2013 2.196.493.936.848 2.184.752.025.186 11.741.911.662 2014 2.005.675.646.809 2.007.151.405.720 (1.475.758.911) 2015 2.292.554.400.814 2.319.078.153.287 (26.523.752.473) 2016 2.372.854.213.034,60 2.460.806.671.948,00 (87.952.458.913,40) Sumber : Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Ciamis
10 Dilihat dari tabel Surplus / Defisit Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ciamis tahun 2013 2016, menujukan bahwa pada tahun 2013 terjadi surplus sebesar Rp. 11.741.911.662, hal tersebut karena total penerimaan daerah Kabupaten Ciamis lebih besar dari pada total belanja daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Ciamis pada tahun tersebut. Pada tahun 2014 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ciamis mengalami defisit sebesar ( Rp. 1.475.758.911 ), dikarenakan total penerimaan daerah Kabupaten Ciamis tidak bisa menutupi pembiayaan/total belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Ciamis pada tahun tersebut. Pada tahun 2015 terjadi peningkatan defisit sebesar ( Rp. 26.523.752.473 ) atau 94,44 %, jika dibandingkan dengan tahun 2014. Pada tahun 2016 terjadi peningkatan defisit kembali yang cukup besar yaitu ( Rp. 87.952.458.913,40 ) atau 69,84 % jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 100 80 60 40 20 0 77.37 77.45 78.06 78.29 61.39 63.87 62.49 63.93 62.58 64.43 63.13 64.74 68.02 68.40 67.19 67.64 2013 2014 2015 2016 Indeks Pendidikan Indeks Kesehatan 70 69 68 67 66 65 Gambar 1.2 Grafik Indeks Pembangunan Masyarakat Kabupaten Ciamis Tahun 2013-2016 Sumber : Capian Indikator Makro, BPKD Kabupaten Ciamis
11 Dapat dilihat dari grafik IPM Kabupaten Ciamis Tahun 2013 2016, menujukan bahwa IPM Kabupaten Ciamis yang terdiri dari 3 indeks yaitu indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks pengeluaran mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Pada tahun 2013 IPM Kabupaten Ciamis mencapai 67,19, untuk tahun selanjutnya meningkat menjadi 67,64. Pada tahun 2015 IPM Kabupaten Ciamis juga mengalami peningkatan yaitu sebesar 68,02 dan diikuti pada tahun 2016 capaian IPM Kabupaten Ciamis sebesar 68,40. Walaupun IPM Kabupaten Ciamis setiap tahun mengalami peningkatan tetapi hal tersebut masih belum mencapai target yang ditetapkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ( RPJMD ) Jawa Barat, selain belum mencapai target IPM Kabupaten Ciamis dari kurun waktu 2013 2016 masih tergolong dalam kategori IPM Sedang. Berdasarkan RPJMD Jawa Barat Periode 2013 2018, tahun 2015 telah ditetapkan target IPM Kabupaten Ciamis sebesar 73,74. Dengan demikian di angka IPM dari tahun 2013 2016 masih belum mencapai target yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa Indeks Pembangunan Masyarakat ( IPM ) adalah salah satu pengukuran kinerja pemerintah, karena IPM bertujuan untuk mengukur keberhasilan dalam membangun kualitas hidup manusia, dapat menentukan peringkat atau level pembangunan suatu wilayah/negara. Selain hal tersebut IPM juga bisa diartikan sebagai alat ukur untuk menilai seberapa tinggi tingkat ketercapaian pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan umum. Pada intinya IPM bertujuan
12 untuk mensejahterakan masyarakat, kesejarterahaan masyarakat adalah salah satu tujuan dari dilaksanakan nya otonomi daerah. Berdasarkan uraian permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut : Pertama, Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kabupaten Ciamis dari kurun waktu 2013 sampai dengan 2016, masih lebih kecil dari pada dana perimbangan. Hal ini mengindikasi masih tingginya ketergantungan fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis terhadap Pemerintah Pusat, meskipun pelaksanaan otonomi daerah telah dilaksanakan. Keadaan tersebut akan menghambat kemandirian daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kedua, Realisasi Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kabupaten Ciamis pada tahun anggaran 2015 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Hal tersebut karena retribusi daerah dan lain-lain pendapatan tidak mencapai target yang telah dianggarkan. Ketiga, Pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ( APBD ) Kabupaten Ciamis tahun anggaran 2014 sampai dengan 2016 mengalami defisit dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Hal tersebut dikarenakan penerimaan daerah tidak dapat menutupi pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah pada tahun tersebut, hal itu karena pemerintah daerah kurang memaksimalkan potensi penerimaan pajak. Keempat, Indeks Pembangunan Masyarakat ( IPM ) Kabupaten Ciamis pada tahun 2013 sampai 2016 belum mencapai target yang telah di tetapkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ( RPJMD ) Jawa Barat. Hal tersebut
13 karena 3 faktor pendukung pembangunan masyarakat yang terdiri dari indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks pengeluaran masih kurang berkontribusi terhadap tercapainya target IPM Kabupaten Ciamis yang ditetapkan oleh RPJMD Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis karena melihat dari potensi sumber daya alam yang ada di Ciamis yang begitu besar terutama dari segi pariwisata dan sektor agraris. Dengan adanya otonomi daerah seharusnya sektor ini dapat dikembangkan secara optimal sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah. Berdasarkan latar belakang diatas penulis melakukan penelitian dengan judul Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Ciamis Tahun 2013-2016. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kabupaten Ciamis dari kurun waktu 2013 sampai dengan 2016, masih lebih kecil dari pada dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Hal tersebut menandakan bahwa Pemerintah Kabupaten Ciamis masih mengandalkan penerimaan daerahnya dari bantuan pemerintah provinsi / pusat. Keadaan tersebut akan
14 menghambat kemandirian daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. 2. Realisasi Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kabupaten Ciamis pada tahun anggaran 2015 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Hal tersebut karena retribusi daerah dan lain-lain pendapatan tidak mencapai target yang telah dianggarkan. 3. Pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ( APBD ) Kabupaten Ciamis tahun anggaran 2014 sampai dengan 2016 mengalami defisit dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Hal tersebut dikarenakan penerimaan daerah tidak dapat menutupi pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah pada tahun tersebut, hal itu karena pemerintah daerah kurang memaksimalkan potensi penerimaan pajak. Selain hal tersebut pemerintah banyak mengeluarkan dana untuk kebutuhan kebutuhan yang tidak produktif dan hanya menghabiskan dana yang ada tanpa adanya pengaruh terhadap perkembangan daerah. 4. Indeks Pembangunan Masyarakat ( IPM ) Kabupaten Ciamis pada tahun 2013 sampai 2016 belum mencapai target yang telah di tetapkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ( RPJMD ) Jawa Barat. Hal tersebut karena 3 faktor pendukung pembangunan masyarakat yang terdiri dari indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks pengeluaran masih kurang berkontribusi terhadap tercapainya target IPM Kabupaten Ciamis yang ditetapkan oleh RPJMD Jawa Barat.
15 C. Rumusan Masalah Untuk menjadi suatu daerah otonom maka salah satu unsur penting yaitu diperlukan adanya sumber keuangan yang cukup karena itu perlu dilakukan analisis terhadap realita kondisi keuangan daerah pada Kabupaten Ciamis. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah nya adalah Bagaimana Kemampuan Keuangan Daerah dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Ciamis Tahun 2013-2016? D. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan Otonomi daerah di Kabupaten Ciamis Tahun 2013-2016. E. Kegunaan Penelitian Sehubungan dengan tujuan di atas, maka kegunaan penelitian ini ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Kegunaan secara Teoritis Adapun kegunaan teoritis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagi Peneliti Diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan secara luas tentang kesuaian antara teori dan praktek.
16 b. Bagi Instansi Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan mampu memperluas ilmu pengetahuan khususnya dibidang pemerintahan mengenai kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Ciamis. c. Bagi Pihak Lainnya Untuk memberikan sumbangan bagi pengembangan Administrasi Publik khususnya Administrasi Keuangan Sektor Publik. Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Ciamis. 2. Kegunaan secara Praktis Adapun kegunaan praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagi Peneliti Untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan menambah wawasan khususnya yang berkaitan dengan kemampuan keuangan daerah dan pelaksanaan otonomi daerah. b. Bagi Instansi Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kabupaten Ciamis dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam melihat sumbersumber pendapatan daerah yang ada di Kabupaten Ciamis.
17 c. Bagi Pihak Lainnya Sebagai bahan informasi untuk menambah wacana bagi pihak pihak lain guna penelitian lebih lanjut, khusus nya dengan judul atau materi yang sama. F. Kerangka Pemikiran Untuk membahas dan memecahkan permasalahan yang ada, maka diperlukan adanya landasan teori. Teori dapat menjadi acuan dalam menyusun kerangka pemikiran dan rancangan teori. Menurut Rosidin (2010:85). Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Menurut Mamesah (dalam Halim, 2009). Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang sebelum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku. Indikator dari pengukuran kemampuan keuangan daerah Kabupaten Ciamis dalam mendukung pelaksanakaan otonomi daerah tahun 2013-2016, digunakan Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) yang ditetapkan oleh Badan
18 Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS dalam Savitry, 2013) adalah : 1. Rasio Kemandirian 2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal 3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin 4. Rasio Keserasian 5. Rasio Pertumbuhan Hubungan konsep otonomi daerah dan keuangan daerah dijadikan landasan utama untuk mengukur tingkat kemandirian daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya sehinggga dapat meminimalisir tingkat ketergantungan terhadap pusat. Dimana, semakin besar tingkat kemandirian suatu daerah terhadap pemerintah pusat, maka dapat dianggap daerah tersebut berhasil melaksanakan otonomi daerah. Dari penjelasaan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa jika kemampuan keuangan daerah yang diukur oleh rasio kemandirian, rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio indeks kemampuan rutin, rasio keserasian dan rasio pertumbuhan hasilnya baik, maka hal tersebut akan mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
19 Adapun bentuk kerangka pemikiran penelitiannya disajikan dalam bentuk gambar sebagai berikut : Otonomi Daerah Keuangan Daerah Indek Kemampuan Keuangan ( BAPPENAS dalam Savitry, 2013 ) 1. Rasio Kemandirian 2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal 3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin 4. Rasio Keserasian 5. Rasio Pertumbuhan Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan Kemampuan Keuangan Daerah Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran