BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan umum Penegakan Hukum dalam Hukum Administrasi Negara Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa instrumen penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif yang dilakukan untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. a. Pengawasan dalam Hukum Administrasi Negara Paulus E. Lotulung mengemukakan beberapa macam pengawasan/kontrol dalam Hukum Administrasi Negara (Ridwan HR, 2011:296) : 1) Ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap terhadap badan/organ yang dikontrol, terdiri dari : a) Kontrol intern, berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri. b) Kontrol ekstern, berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris/struktural berada di luar pemerintah. 2) Ditinjau dari waktu dilaksanakannya, terdiri dari: a) Kontrol a-priori adalah bilamana pengawasan itu dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan pemerintah. 14
15 b) Kontrol a-posteriori adalah bilamana pengawasan itu baru dilaksanakan sesudah dikeluarkannya keputusan pemerintah. 3) Ditinjau dari segi objek yang diawasi, terdiri dari: a) Kontrol dari segi hukum (rechtmatigheid) yaitu kontrol yang dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukumnya saja (sisi legalitas). b) Kontrol dari segi kemanfaatannya (doelmatigheid) yaitu kontrol yang dimaksudkan untuk menilai benar tidaknya peraturan pemerintah itu dari segi atau pertimbangan kemanfaatannya. Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah dalam menjalankan aktifitasnya sesuai dengan norma-norma hukum, sebagai suatu upaya preventif, dan juga dimaksudkan untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai suatu upaya represif. b. Penerapan Sanksi dalam Hukum Administrasi Negara Pada umumnya macam-macam dan jenis sanksi itu dicantumkan dan ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan bidang administrasi tertentu. Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum administrasi, yaitu (Ridwan HR, 2011:303) : 1) Paksaan Pemerintah (bestuurdwang) Kewenangan paksaan pemerintah merupakan kewenangan organ pemerintahan untuk melakukan suatu bentuk eksekusi nyata sebagai reaksi dari pemerintah atas pelanggaran norma hukum yang dilakukan oleh warga negara. Paksaan pemerintah dilaksanakan tanpa perantaraan hakim (parate executie). 2) Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi, pembayaran, dan sebagainya)
16 Keputusan yang menguntungkan artinya keputusan itu memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu melalui keputusan atau bilamana keputusan itu memberikan keringanan yang ada. Pencabutan keputusan yang menguntungkan ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu keputusan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi keputusan yang terdahulu. 3) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom) Pengenaan uang paksa dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon mengemukakan uang paksa dimaksudkan untuk keadaan-keadaan ketika bestuurdwang sulit dilakukan atau akan berlaku suatu yang terlalu berat. Pada masa yang akan datang, undang-undang dalam semua hal akan mengaitkan upaya alternatif ini pada kewenangan bestuurdwang. (Philipus M. Hadjon, 2005:258) 4) Pengenaan denda administratif Pada umumnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan, hukuman yang berupa denda ini telah ditentukan mengenai jumlah yang dapat dikenakan kepada pihak yang melanggar ketentuan. Dengan kata lain, denda administrasi hanya dapat diterapkan atas dasar kekuatan wewenang yang diatur dalam undang-undang dalam arti formal.
17 2. Tinjauan umum tentang Perlindungan dan Pengawasan Ketenagakerjaan a. Perlindungan Tenaga Kerja Kedudukan pekerja pada hakikatnya dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi yuridis dan sosial ekonomis. Dari segi yuridis, kedudukan pekerja/buruh berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUD 1945 adalah sama dengan pengusaha/majikan. Kenyataannya, secara sosial ekonomis kedudukan antara pekerja dengan pengusaha adalah tidak sama, dimana kedudukan pengusaha lebih tinggi daripada pekerja ( Asri Wijayanti, 2010:8). Ketimpangan antara pekerja dan pengusaha ini mengingat ada yang beranggapan pengusaha sebagai pemilik dari perusahaan, sehingga setiap kegiatan apapun tergantung dari kehendak pengusaha. Keadaan inilah yang menimbulkan kecenderungan pengusaha untuk berbuat sewenang-wenang kepada pekerja. Maka, perlu adanya campur tangan dari pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus, yakni: Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian, yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha (Asri Wijayanti, 2010:10). Pada dasarnya, perlindungan tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
18 Ketenagakerjaan, dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Secara umum, perlindungan tenaga kerja harus memuat normanorma sebagai berikut: 1) Norma Keselamatan Kerja, meliputi keselamatan kerja yang berkaitan dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja dan proses pengerjaannya, keaadan tempat kerja, dan lingkungan serta caracara melakukan pekerjaan. 2) Norma Kesehatan Kerja dan Kesehatan Perusahaan, meliputi pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan dengan cara mengatur pemberian obat-obatan, perawatan tenaga kerja yang sakit. Mengatur pula tentang persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi kehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat kesehatan bagi perumahan pekerja. 3) Norma Kerja, meliputi perlindungan yang berkaitan degnan waktu kerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja wanita, anak, kesusilaan ibadah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tingi serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral. 4) Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan atau penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan,
19 ahli warisnya berhak mendapatkan ganti rugi (Zainal Asikin dkk, 1993:96). Menurut Soepomo bahwa perlindungan tenaga kerja menjadi dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : 1) Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja diluar kehendaknya. 2) Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 3) Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. (Abdul Khakim, 2003:61). b. Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pengawasan bukanlah sebagai alat perlindungan, melainkan suatu cara untuk menjamin pelaksanaan peraturan perlindungan para buruh, terutama perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (Zainal Asikin dkk, 1993:63). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 Tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia, pengawasan dilakukan pegawai-pegawai yang ditunjuk oleh menteri yang diserahi urusan ketenagakerjaan untuk
20 melakukan pengawasan dimana pegawai tersebut harus mengunjungi tempat kerja pada waktu-waktu tertentu untuk menjalankan tiga tugas pokok, yaitu: (Zainal Asikin dkk, 1993: 62-63). 1) Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah ketentuan peraturan perundang-undangan dan jika tidak demikian halnya mengambil tindakan-tindakan yang wajar untuk menjamin pelaksanaanya itu. 2) Membentuk baik buruh maupun pimpinan perusahaan dengan jalan memberi penjelasan teknik dan nasihat yang mereka perlukan agar mereka menyelami apakah yang dimintakan peraturan dan bagaimanakah melaksanakannya. 3) Menyelidiki keadaan perburuhan dan mengumpulkan bahan untuk penyusunan perundang-undangan perburuhan dan penetapan kebijaksanaan pemerintah. Pengawasan ketenagakerjaan merupakan suatu sistem yang sangat penting dalam penegakan atau penerapan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan. Penegakan atau penerapan peraturan perundang-undangan merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi pengusaha dan pekerja/buruh. Keseimbangan tersebut diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha dan ketenangan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan tenaga kerja.. Dengan adanya ratifikasi Konvensi ILO Nomor 81 melalui Unddang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pengawaasn Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan memperkuat pengaturan pengawasan ketenagakerjaan yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
21 Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dan sebagai anggota ILO mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan ketentuan yang bersifat internasional termasuk standar ketenagakerjaan internasional. Adapun pengawasan ketenagakerjaan yang efektif menurut standar universal ini adalah: 1) Pengawasan ketenagakerjaan harus diselenggarakan sebagai sistem yang berlaku pada semua tempat kerja di mana ketentuanketentuan hukum yang terkait dengan kondisi kerja dan perlindungan pekerja ditegakkan 2) Pengawasan ketenagakerjaan harus ditempatkan di bawah pengawasan dan kontrol kekuasaan pusat sejauh hal tersebut sesuai dengan praktik administrasi di negara yang bersangkutan 3) Pengawasan harus memastikan adanya fungsi pendidikan dan penegakan hukum terkait dengan kondisi kerja (seperti jam kerja, upah, keamanan, kesehatan dan kesejahteraan, pekerja anak dan kaum muda dan hal terkait lainnya) dan mengingatkan otoritas yang kompeten atas setiap kekurangan atau penyalahgunaan yang tidak dicakup dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku 4) Pengawas haruslah pegawai negeri yang dijamin dengan hubungan kerja yang stabil dan mandiri dari perubahan pemerintahan dan pengaruh-pengaruh eksternal yang tidak pantas 5) Mereka harus direkrut semata-mata dengan mempertimbangkan kualifikasi mereka dan mereka harus dilatih secara memadai untuk pelaksanaan yang baik dari tugas-tugas mereka 6) Jumlah mereka harus memadai untuk menjamin pelaksanaan tugas-tugasnya secara efektif antara lain terkait dengan, jumlah, sifat, ukuran dan situasi tempat kerja, jumlah pekerja yang
22 dipekerjakan, dan jumlah serta kompleksitas ketentuan hukum yang akan ditegakkan 7) Mereka harus dilengkapi dengan kantor dan fasilitas transportasi serta material pengukuran yang memadai 8) Mereka harus diberikan kekuasaan yang memadai dan diberdayakan secara hukum 9) Tempat kerja harus diawasi sesering mungkin dan sedetil mungkin untuk memastikan penerapan yang efektif dari ketentuan hukum yang relevan. 10) Pengawas harus menyediakan informasi dan saran kepada pengusaha dan pekerja tentang bagaimana mematuhi undangundang 11) Hukuman yang memadai atas pelanggaran ketentuan hukum harus ditegakkan oleh pengawas ketenagakerjaan dan karena menghalangi pengawas ketenagakerjaan dalam menjalankan tugastugas mereka harus diatur dalam hukum dan peraturan nasional dan harus ditegakkan secara efektif; dan 12) Pelaksanaan operasional sistem pengawasan ketenagakerjaan dapat dicapai melalui kerjasama dengan badan-badan pemerintahan lainnya dan lembaga-lembaga swasta yang terlibat dalam perlindungan pekerja serta pengusaha dan pekerja dan organisasi mereka Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan bahwa pegawai pengawas ketenagakerjaan mempunyai hak untuk:
23 1) secara bebas, memasuki setiap tempat kerja yang dapat diawasi di setiap saat, baik siang maupun malam, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu; dan 2) pada siang hari, memasuki setiap tempat yang diperkirakan dapat diawasi; dan 3) melakukan pemeriksaan, pengujian atau penyelidikan yang dipandang perlu untuk meyakinkan bahwa ketentuan hukum benar-benar ditaati dan khususnya: a) memeriksa pengusaha atau pegawai perusahaan, baik sendiri atau dengan kehadiran saksi mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan hukum b) meminta buku-buku, catatan atau dokumen lain yang penyimpanannya diwajibkan oleh perundang-undangan atau peraturan nasional mengenai kondisi kerja, untuk memastikan bahwa buku-buku, catatan atau dokumen tersebut sudah sesuai dengan perundangundangan atau peraturan tersebut, dan untuk menyalin atau mengutip dokumen tersebut c) mewajibkan pemasangan peringatan yang diharuskan oleh ketentuan hukum. d) mengambil atau membawa contoh bahan-bahan dan zat yang digunakan atau dipakai untuk dianalisa dengan pemberitahuan kepada pengusaha atau wakilnya. 4) pada saat kunjungan pengawasan, pengawas harus memberitahu pengusaha atau wakilnya tentang kehadirannya, kecuali bila pengawas tersebut mempertimbangkan bahwa pemberitahuan itu akan merugikan pelaksanaan tugasnya
24 3. Tinjauan umum tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kecelakaan adalah kejadian yang tak terduga dan tidak diharapkan terjadi. Tidak terduga karena hal tersebut terjadi tanpa adanya unsur kesengajaan. Tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan disertai dengan kerugian material ataupun penderitaan dari yang paling ringan sampai yang paling berat. (Zaeni Asyhadie, 2008: 127). Dalam perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dijelaskan bahwa Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui. Dengan adanya sebab, maka suatu kejadian akan membawa akibat. Akibat dari kecelakaan kerja ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (Lalu Husni, 2005: 136-137) a. Kerugian yang bersifat ekonomis, antara lain: 1) Kerusakan/ kehancuran mesin, peralatan, bahan dan bangunan; 2) Biaya pengobatan dan perawatan korban; 3) Tunjangan kecelakaan; 4) Hilangnya waktu kerja; 5) Menurunnya jumlah maupun waktu produksi; b. Kerugian yang bersifat non ekonomis Pada umumnya berupa penderitaan manusia yaitu tenaga kerja yang bersangkutan, baik itu merupakan kematian, luka/cedera berat maupun luka ringan. Ditinjau dari segi keilmuan, K3 dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
25 tempat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja harus diterapkan dan dilaksanakan di setiap tempat kerja (perusahaan) agar tidak menimbulkan kerugian yang mungkin terjadi akibat kecelakaan kerja. (Lalu Husni, 2005: 132) Mengingat perlunya K3 sebagai perlindungan terhadap pekerja kemudian diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan ditekankan dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: 1) Keselamatan dan kesehatan kerja 2) Moral dan kesusilaan 3) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. 4. Tinjauan umum tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) a. Pengertian SMK3 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Penerapan praktis Keselamatan dan Kesehatan Kerja di berbagai sektor di dalam kehidupan atau di suatu organisasi tidak secara sembarangan. Karena itu dalam rangka menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja ini diperlukan juga pengorganisasian
26 secara baik dan benar. Dalam hubungan inilah diperlukan SMK3 yang terintegrasi dan perlu dimiliki oleh setiap perusahaan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 87 ayat (1) dituliskan bahwa : Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, maka mempertegas kewajiban bagi perusahaan untuk menerapkan SMK3. Kewajiban tersebut sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) berlaku bagi perusahaan yang: 1) Mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau 2) Mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. Yang dimaksud dengan tingkat potensi bahaya tinggi adalah perusahaan yang memiliki potensi bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan yang merugikan jiwa manusia, terganggunya proses produksi dan pencemaran lingkungan kerja b. Tujuan penerapan SMK3 Tujuan penerapan SMK3 adalah untuk menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi, dan lingkungan kerja dalam rangka: (Notoatmodjo, 2007) 1) Mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. 2) Menciptakan tempat kerja yang aman terhadap kebakaran, peledakan, dan kerusakan yang pada akhirnya akan melindungi investasi yang ada serta membuat tempat kerja yang sehat.
27 3) Menciptakan efisiensi dan produktifitas kerja karena menurunnya biaya kompensasi akibat sakit atau kecelakaan kerja. c. Kerangka Pemikiran interpretasi Premis Mayor (Peraturan Perundang-undangan) a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan c) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakta Hukum: 1. Fungsi pengawasan Dinas Sosial dan Transmigrasi Surakarta terhadap pemenuhan SMK3 2. Implikasi hukum terhadap perusahaan yang tidak menerapakan SMK3 Premis Minor (penerapan hukum ): 1..Fungsi pengawasan Dinas Sosial dan Transmigrasi Surakarta terhadap pemenuhan SMK3 2. Implikasi hukum terhadap perusahaan yang tidak menerapakan SMK3 Konklusi (Kesimpulan) : 1. Berfungsi/ tidak fungsi pengawasan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta dalam pemenuhan SMK3 pada perusahaan-perusahaan di Surakarta 2. Ada/tidak sanksi bagi perusahaan yang tidak menerapkan SMK3 Ragaan 1. Kerangka Pemikiran
28 Keterangan : Kerangka pemikiran ini menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum terkait pemenuhan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada perusahaan-perusahaan di Surakarta. Perlindungan tenaga kerja khususnya terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja diakomodir melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang pada penelitian ini adalah premis mayor yang merupakan aturan hukum. Sedangkan untuk premis minor dan fakta hukumnya, Dinas Sosial Teanga Kerja dan Transmigrasi Surakarta mempunyai fungsi melakukan pengawasan terhadap perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja khususnya Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dimana tiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 Dari kedua premis tersebut kemudian ditarik sebuah konklusi atau kesimpulan yang menjadi tujuan dalam penelitian hukum ini yaitu untuk mengetahui berfungsi atau tidaknya fungsi pengawasan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Surakarta dalam pemenuhan SMK3 dan ada/tidaknya sanksi bagi perusahaan yang tidak menerapkan SMK3.