KAJIAN EMISI KARBON DARI GALIAN DAN PEMBAKARAN GAMBUT TOPOGEN DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI SUMATERA UTARA RIO STEPANUS TARIGAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

BAB III METODE PENELITIAN

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

IV. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN. (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

III. METODOLOGI PE ELITIA

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Iklim Perubahan iklim

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

TINJAUAN PUSTAKA. didalamnya, manfaat hutan secara langsung yakni penghasil kayu mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

INDONESIA DIJULUKI NEGARA RING OF FIRE KARENA DIKELILINGI GUNUNG BERAPI YANG AKTIF. MEMILIKI BANYAK DEPOSIT MINERAL UNTUK MEMPERTAHANKAN KESUBURAN

Tanah adalah kumpulan tubuh alami pada permukaan bumi yang dapat berubah atau dibuat oleh manusia dari penyusunnya yang meliputi bahan organik yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

I. PENDAHULUAN. terdiri dari sekumpulan vegetasi berkayu yang didominasi oleh pepohonan. Hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

III. METODE PENELITIAN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

Transkripsi:

KAJIAN EMISI KARBON DARI GALIAN DAN PEMBAKARAN GAMBUT TOPOGEN DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI SUMATERA UTARA RIO STEPANUS TARIGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Emisi Karbon dari Galian dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan di cantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2011 Rio Stepanus Tarigan NRP E451080111

ABSTRACT RIO STEPANUS TARIGAN. A Study of Carbon Emission from the Digging and Burning of Topogen Peat Soil in Humbang Hasundutan Regency North Sumatra Province. Under direction of LAILAN SYAUFINA and ISTOMO. This research aimed to get carbon emission and to count the carbon potential on and under the surface of topogen peat soil area in Humbang Hasundutan, North Sumatera. The research was conducted in two stages: (1) to count the carbon potential (above ground and below ground), which involved the counting of weight volume (bulk density), C content, peat soil thickness and the size of peat soil area, and (2) to count the carbon emission. The below ground biomass was covering 1,43 until 3,71 tons/ha. The biggest carbon reserve was in nonvegetation soil which reached 0,.400 tons, while the smallest carbon reserve was in vegetation soil which reached 0,333 tons. The average of below ground carbon reserve in peat soil areas in Humbang Hasundutan regency was 0,180 tons. The CO 2 emission in peat soil areas in Humbang Hasundutan regency could be predicted that 7,9 tons would be emitted out of 2,07 ha of peat soil areas in Humbang Hasundutan regency for 5 years, with a burning efficiency of 25%. Keywords: carbon emission, carbon potential, burning efficiency

RINGKASAN RIO STEPANUS TARIGAN. Kajian Emisi Karbon Dari Galian Dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan ISTOMO. Lahan gambut sangat berperan sebagai penyangga (buffer) lingkungan serta memiliki cadangan karbon yang besar. Cadangan karbon yang besar pada lahan gambut menyebabkan tingginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut mengalami pembakaran secara berulang yang pada akhirnya dapat memicu pemanasan global. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung potensi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dan memperoleh emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 pada lahan yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah Sumberdaya Lingkungan IPB dan analisis bahan bakar dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB. Potensi karbon yang terdapat di atas permukaan diperoleh dari perhitungan total berat kering dari semua tumbuhan hidup termasuk herba dan rumputrumputan. Simpanan karbon bawah permukaan diperoleh dari perhitungan Bulk density, ketebalan gambut, kandungan C-organik, dan luas tanah gambut. Sedangkan jumlah emisi CO 2 diperoleh dari pengukuran emisi karena terbakarnya jaringan tanaman di atas permukaan tanah, emisi karena kebakaran gambut, emisi dari dekomposisi gambut, sequestrasi atau penambatan karbon oleh tanaman, dan perbedaan atau lamanya waktu yang diperhitungkan. Pada areal penelitian ditemukan beberapa vegetasi yang tumbuh berupa semak dengan tinggi rata-rata satu meter tumbuh jarang dan tersebar bercampur dengan tumbuhan herba paku-pakuan dan rumput. Terdapat delapan jenis tumbuhan yang tumbuh dominan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang dibagi menjadi empat kelompok yaitu semak (tumbuhan kecil berkayu), herba, rumput, dan paku-pakuan. Jenis semak yang paling banyak dijumpai adalah Vaccinium varingifolium, Daphniphyllum glaucescens, dan Leptospermum flavescens. Ketiga jenis tersebut mempunyai perakaran besar dan rapat yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat di Lintongnihuta. Biomasa tumbuhan bawah yang terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan berkisar antara 1,43 3,71 ton ha -1 dengan rata-rata sebesar 2,24 ton ha -1. Estimasi C tumbuhan bawah yang terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan berkisar antara 0,6 1,70 ton ha -1 dengan rata-rata sebesar 1,03 ton ha -1. hasil dari potensi biomasa bawah permukaan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan. Simpanan karbon terbesar terdapat pada jenis tanah tidak bervegetasi sebesar 0,400 ton. Sedangkan simpanan karbon terkecil terdapat pada jenis tanah bervegetasi sebesar 0,333 ton. Total

simpanan karbon bawah permukaan pada luas areal 2,07 ha yang terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan sebesar 1,118 ton. Dari hasil yang diperoleh bahwa emisi CO 2 pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan dapat diinterpretasi bahwa 7,9 ton akan teremisi dari 2,07 ha selama 5 tahun dan emisi per tahun sebesar 1,58 ton dengan efisiensi pembakaran sebesar 25%. Di daerah tropis, tanah gambut dapat melepaskan sekitar 26,9 juta ton C dengan emisi karbon (C yang hilang) sebesar 0,185 ton/ha per tahun. Sedangkan di daerah sub tropis tanah gambut dapat melepaskan sekitar 30,9 juta ton C dengan emisi karbon (C yang hilang) sebesar 1,897 ton/ha per tahun. Kata Kunci : Emisi Kabon, Potensi Karbon, Biomasa, Gambut.

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KAJIAN EMISI KARBON DARI GALIAN DAN PEMBAKARAN GAMBUT TOPOGEN DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI SUMATERA UTARA RIO STEPANUS TARIGAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Omo Rusdiana, M. Sc

Judul Tesis Nama NRP : Kajian Emisi Karbon Dari Galian Dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan Provinsi Sumatera Utara : Rio Stepanus Tarigan : E451080111 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc Ketua Dr. Ir. Istomo, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Silvikultur Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R., MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 10 Agustus 2011 Tanggal Lulus :

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih dan rahmat-nya yang selalu menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pemilihan judul tesis Kajian Emisi Karbon Dari Galian Dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan Provinsi Sumatera Utara berangkat dari beralih fungsinya penatagunaan lahan gambut topogen yang merupakan salah satu ekosistem yang jarang ditemukan di tempat lain. Dan dampak negatif akibat pembakaran dan galian gambut di Kabupaten Humbang Hasunduntan. Melalui tesis ini, penulis mencoba memberi beberapa masukan kepada warga di sekitar lokasi penelitian dalam pengambilan akar pohon dan penambangan gambut pada lapisan terbatas, sehingga perbaikan lahan gambut dapat dilakukan dengan penambahan unsur-unsur mineral untuk meningkatkan kesuburan tanah. Tanah-tanah bekas galian dapat dijadikan tanah pertanian yang lebih produktif terutama untuk tanaman holtikultural. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini memberi manfaat bagi kita semua. Bogor, Agustus 2011 Rio Stepanus Tarigan

UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang sangat berperan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan beliau-beliau mustahil tesis ini akan selesai. Oleh karena itu dengan tulus ikhlas penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dukungan kepada penulis, khususnya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 2. Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R,. MS, selaku Ketua Mayor Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 3. Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc, selaku Pembimbing Pertama dengan segala kesabaran, perhatian dan kemurahan hatinya untuk membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini. 4. Bapak Dr. Ir. Istomo, MS, selaku Pembimbing Kedua atas segala kesabaran dan kemurahan hatinya dalam memberikan tambahan ilmu yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. 5. Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc, selaku Dosen Penguji atas segala masukannya yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. 6. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Civitas Akademika Mayor Silvikultur Tropika yang selalu memberikan pelayanan ilmu pengetahuan kepada penulis. 7. Kedua orangtuaku Bukti Agustinus Tarigan, SPd dan Dra. Dahlia Purba atas dukungan semangat dan doanya. 8. Adik-adikku Joppie Immanuel Tarigan, SE dan Astri Novita Bernadeta Tarigan, SE serta seluruh keluarga atas dukungan semangat dan doanya. 9. Kantor Pertambangan dan Energi Kab. Humbang Hasunduntan, terutama Pak Munte,dan staf-staf lainnya atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan. 10. Bang Paul Simamora dan Kak Astri serta Masyrakat desa Nagasaribu 1 kecamatan Lintongnihuta atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

11. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Silvikultur Tropika dan Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya angkatan 2008 dan 2009 yang selalu memberikan semangat dan juga atas kebersamaannya selama melaksanakan tugas belajar. 12. Teman-teman, adik-adik dan khususnya penghuni di Wisma Kartika atas semangat dan dukungannya.

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 23 Januari 1981 dari pasangan Bukti Agustinus Tarigan, SPd dan Dra. Dahlia Purba. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Untuk jenjang pendidikan SD, SLTP dan SMU, penulis menyelesaikan di Medan. Setelah tamat dari sekolah menengah umum, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Kehutanan. Pada saat kuliah, penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan untuk ditekuni dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains (M.Si) di Mayor Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... viii ix x I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 2 1.3. Tujuan Penelitian... 3 1.4. Manfaat Penelitian... 3 1.5. Kerangka Pemikiran... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA... 7 2.1. Efisensi Pembakaran... 7 2.2. Hasil Pembakaran... 8 2.3. Karbon... 11 2.3.1. Karbon Tanah... 12 2.3.2. Siklus Karbon... 13 2.4. Emisi Gas Rumah Kaca Pada Lahan Gambut... 16 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN... 19 3.1. Luas dan Lokasi Penelitian... 19 3.2. Aksesibilitas... 19 3.3. Kondisi Fisik Wilayah... 20 3.4. Kondisi Biotik Wilayah... 22 IV. METODE PENELITIAN... 25 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 25 4.2. Alat dan Bahan... 25

4.3. Jenis Data... 25 4.4. Survei Lokasi Penelitian... 25 4.5. Pengukuran Luas Lahan... 26 4.6. Pembuatan Petak Contoh... 26 4.7. Penentuan Karbon Tersimpan Dalam Gambut... 27 4.7.1. Berat Volume... 27 4.7.2. Kandungan Karbon Gambut... 27 4.7.3. Kematangan Gambut... 28 4.7.4. Penentuan Ketebalan Gambut... 29 4.8. Analisis Data... 30 4.8.1. Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Atas Permukaan... 30 4.8.2. Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan... 30 4.8.3. Perhitungan Jumlah Emisi CO 2... 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 33 5.1. Hasil... 33 5.1.1. Biomasa Atas Permukaan... 33 5.1.2. Biomasa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan... 37 5.1.2.1. Berat Volume Contoh... 37 5.1.2.2. Kandungan Karbon Gambut Contoh... 37 5.1.2.3. Kematangan Gambut Contoh... 38 5.1.2.4. Ketebalan Gambut... 38 5.1.2.5. Luas Tanah Gambut Contoh... 39 5.1.2.6. Pengukuran Tinggi Muka Air Saluran... 40

5.1.3. Perhitungan Simpanan Karbon Bawah Permukaan... 40 5.1.4. Perhitungan Jumlah Emisi CO 2... 41 5.2. Pembahasan... 42 5.2.1. Biomasa Atas Permukaan... 42 5.2.2. Biomasa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan... 42 5.2.2.1. Berat Volume Contoh... 42 5.2.2.2. Kandungan Karbon Gambut Contoh... 43 5.2.2.3. Kematangan Gambut Contoh... 43 5.2.2.4. Ketebalan Gambut... 43 5.2.2.5. Pengukuran Tinggi Muka Air Saluran... 44 5.2.2.6. Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan... 45 5.2.3. Jumlah Emisi CO 2... 45 VI. SIMPULAN DAN SARAN... 47 6.1. Kesimpulan... 47 6.2. Saran... 47 DAFTAR PUSTAKA... 49 LAMPIRAN... 55

DAFTAR TABEL Halaman 1. Estimasi Kehilangan C Pada Lahan Gambut... 17 2. Sepuluh Negara Penghasil Emisi Terbesar Dunia... 18 3. Daftar Jenis Tumbuhan... 33 4. Potensi Biomasa Tumbuhan Bawah... 36 5. Berat Volume (Bulk density)... 37 6. Hasil Penilaian Sifat Kimia Tanah Gambut... 38 7. Luas Tanah Gambut... 39 8. Potensi Biomasa Bawah Permukaan... 40 9. Perhitungan Jumlah Emisi CO 2... 41

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran... 5 2. Siklus Karbon... 15 3. Peta Lokasi Penelitian Bedasarkan Tata Guna Lahan... 21 4. Desain Petak Penelitian... 26 5. Kondisi Penutupan Vegetasi... 34 6. Jenis Tumbuhan Yang Dijumpai... 35

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Matriks Metode Penelitian... 57 2. Tingkat Kematangan Gambut... 58 3. Ketebalan Gambut... 60 4. Perhitungan Emisi CO 2... 62

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang mempunyai peran penting sebagai penyangga (buffer) lingkungan. Hal ini berhubungan dengan fungsi gambut dalam gatra hidrologis, biogeokimia dan ekologis. Gambut secara hidrologis dapat menyimpan air dimana gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500% - 1000% bobot. Gambut rawa alami selain sebagai daerah tampung air juga penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air (aquifer) selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya (Noor. 2001). Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Luas lahan gambut di Indonesia menempati separuh luas gambut tropik. Di kawasan Asia, negara yang mempunyai gambut terluas setelah Indonesia (70%) adalah Malaysia dengan luas 2,36 juta ha disusul Brunei Darussalam dengan luas 1,65 juta ha. Lahan gambut di Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera dan Papua (Notohadiprawiro. 1997). Kabupaten Humbang Hasundutan adalah kabupaten baru yang terletak di Provinsi Sumatera Utara hasil pemekaran dari kabupaten induk Tapanuli Utara pada tahun 2003 berdasarkan Undang undang Nomor 9 tahun 2003. Luas lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan diperkirakan seluas 2.358 ha (Istomo. 2006). Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang jarang terdapat di Pulau Sumatera termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia mempunyai lahan gambut tropika terbesar di dunia (seluas kurang lebih 17 juta ha), namun umumnya lahan gambut tersebut berupa gambut ombrogen yang berada di dataran rendah dan pada awalnya didominasi oleh hutan lebat. Lahan gambut yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar berada

2 di luar kawasan hutan dan tumbuhan yang mendomisasi di lahan gambut tersebut berupa semak belukar (herba, paku-pakuan dan rumput). Kejadian kebakaran hutan/lahan meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar terjadi pada lahan/hutan gambut. Kebakaran lahan gambut ini tidak lepas dari sifat gambut itu sendiri yang rawan terbakar sehingga menuntut pengelolaan dan perlindungan secara khusus. Kebakaran di lahan gambut berlangsung lambat dan lama serta sangat sukar dikendalikan karena api menjalar di bawah permukaan gambut. Penelitian Wetlands International (2006) dalam Peace (2007), menunjukkan dampak yang dahsyat atas perusakan lahan gambut terhadap perubahan iklim. Setiap tahun 2.000 juta ton CO 2 terlepas dari hutan, 600 juta ton diantaranya disebabkan oleh dekomposisi dari lahan gambut kering (sebuah proses yang akan terus berlanjut sampai seluruh gambut habis) dan 1.400 juta ton dihasilkan dari kebakaran tahunan. Selanjutnya sebuah studi yang dilakukan Page (2002) menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia pada tahun 1997 telah menyebabkan kehilangan karbon antara 810 sampai 2.470 juta ton. Nilai tersebut didukung oleh fakta antara lain bahwa pada tahun tersebut telah tercatat peningkatan paling tinggi emisi CO 2 di atmosfer (Peace. 2007). Kandungan karbon pada suatu vegetasi diduga berkorelasi positif dan signifikan dengan besarnya biomassa suatu tegakan, namun saat ini belum banyak penelitian mengenai kandungan karbon di bawah permukaan gambut. Mengingat begitu pentingnya peran hutan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dan kurangnya penelitian mengenai karbon di bawah permukaan gambut maka diperlukan suatu kajian tentang emisi karbon dari kebakaran bawah permukaan lahan gambut. 1.2 Perumusan Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Lahan gambut di

3 Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera dan Papua (Notohadiprawiro. 1997). Seperti halnya di Pulau Sumatera tepatnya Sumatera Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luasan gambut yang cukup besar sekitar 2.358 ha. Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang jarang terdapat di Pulau Sumatera termasuk Indonesia. Gambut dikenal kaya akan bahan organik dan mempunyai cadangan karbon yang besar. Adanya aktivitas penggalian tanah untuk diambil akar dan dilakukan pembakaran pada lahan gambut tersebut dapat merusak dan mengganggu kestabilan areal gambut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengestimasi potensi biomassa dan emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan yang mengalami pembakaran dan galian. Dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Berapa potensi biomassa lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan galian? 2. Berapa karbon yang diemisikan (C emisi) pada lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan galian? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menghitung potensi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. 2. Memperoleh emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam menghitung potensi dan emisi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen sebagai masukan untuk pengelolaan hutan yang baik.

4 1.5 Kerangka Pemikiran Penyusunan model kajian emisi karbon di atas dan bawah permukaan lahan gambut bekas terbakar dengan kerangka pemikiran seperti yang disajikan pada Gambar 1.

5 Lahan Gambut Tata air/hidrologi Aspek Lingkungan Lahan Gambut Cadangan karbon (C) tinggi sebagai penambat dan penyimpan karbon sumber emisi gas rumah kaca sumber potensi lahan gambut aspek hidrologi dan subsiden Terjadi pembakaran dan galian Kerusakan lahan gambut Peningkatan emisi gas rumah kaca Kehilangan Cadangan karbon Pengukuran Emisi karbon Pengelolaan yang tepat Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran

6

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efisiensi Pembakaran Efisiensi pembakaran menunjukkan sampai sejauh mana suatu bahan dapat terbakar dalam satuan persen. Bila pembakaran tidak sempurna, sebagian dari hasil pembakaran akan tetap mengendap sebagai tetesan cairan yang sangat kecil (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008). Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pembakaran maka pelaksanaan pembakaran terkendali dapat berlangsung dengan baik karena dampak kebakaran dapat diminimalkan (DeBano et al. 1998 dalam Syaufina. 2008). Terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh pada efisiensi pembakaran sebagai berikut : 1. Kadar Air bahan bakar Kandungan air bahan bakar meningkatkan jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu pada suatu titik dimana gas-gas yang mudah terbakar dihasilkan. Air tersebut akan menyerap sebagian panas yang tersedia untuk pirolisis dan melarutkan gas-gas yang dihasilkan. Oleh karena itu, kadar air bahan bakar meningkatkan waktu penyalaan dan menurunkan laju pembakaran (Countryman 1976b dalam DeBano et al. 1998). Pada dasarnya, bahan bakar kering akan terbakar sempurna dan cepat, sementara bahan bakar basah mungkin lambat terbakar dengan suhu yang rendah. Pengaruh kadar air dalam bahan bakar pada emisi total pada pembakaran bisa berasal dari pembakaran sempurna (bersih) bahan kering dengan tingkat emisi yang rendah sampai proses smoldering yang lebih lama daripada bahan bakar basah yang bersamaan dengan tingkat emisi yang lebih tinggi, tetapi juga bahan yang tidak terbakar dengan sempurna juga mengarah pada tingkat emisi yang rendah. 2. Suplai Oksigen Faktor utama yang mempengaruhi efisiensi proses pembakaran adalah suplai udara. Apabila pergerakan udara ke dalam dan di sekitar pembakaran flaming tidak cukup memadai untuk pencampuran O 2 dengan

8 gas-gas yang mudah terbakar yang dilepaskan dengan pirolisis kurang baik maka oksidasi menjadi tidak sempurna dan efisiensi pembakaran akan menurun. Gejala ini menghasilkan produk emisi CO yang lebih besar. 3. Laju dan arah penjalaran api Efisensi pembakaran juga dipengaruhi oleh laju dan arah penjalaran api. Umumnya, semakin cepat nyala api menembus tumpukan bahan bakar, semakin rendah efisiensi pembakaran. Pembakaran permukaan dapat bergerak lebih cepat searah angin menembus permukaan bahan bakar yang banyak akan menghasilkan zona smoldering yang besar di belakang zona zona utama pembakaran. Sebaliknya, pembakaran terbalik biasanya bergerak lambat ke arah angin, menghasilkan pembakaran bahan bakar yang sempurna. 4. Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar merupakan faktor-faktor lain yang mempengaruhi efisiensi pembakaran. Kebakaran yang terjadi pada bahan bakar yang ringan seperti rerumputan dan serasah segar akan lebih mudah menyala dan terbakar dengan sempurna daripada bahan bakar yang berat seperti kayu. Kunci utamanya adalah ukuran bahan bakar. Menurut (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008), efisiensi pembakaran dalam kebakaran hutan tidak akan pernah mencapai 100% tetapi berkisar antara 50% sampai 95%. Pengukuran efisiensi pembakaran didasarkan pada rasio karbon aktual yang terkandung dalam emisi karbon dioksida terhadap nilai teori karbon yang mungkin dilepaskan dalam bentuk karbon dioksida. Umumnya, efisiensi pembakaran terendah terjadi pada pembakaran smoldering dan tertinggi terjadi pada pembakaran dengan rongga udara yang baik dan pembakaran flaming. 2.2 Hasil Pembakaran Proses pembakaran menghasilkan produk utama berupa emisi asap yang secara langsung atau tidak dapat berdampak pada lingkungan, baik lokal, nasional, maupun global. Asap dapat menurunkan kualitas udara, memperburuk jarak pandang, dan menimbulkan masalah kabut asap (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina.

9 2008). Menurut Levine (1994) dalam Syaufina (2008), sebagai produk pembakaran, asap dapat mengandung campuran gas dan partikel yang kompleks, bergantung pada tipe bahan bakar, kandungan kimia bahan bakar, dan perilaku api. Proses pembakaran yang sempurna menghasilkan karbondioksida (CO 2 ) dan uap air (H 2 O). Akan tetapi, proses pembakaran pada kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi pembakaran sempurna. Menurut Brown dan Davis (1973) dan Fuller (1991) dalam Syaufina (2008), klasifikasi bahan bakar berdasarkan lokasinya di dalam hutan terdiri dari : 1. Bahan Bakar Bawah (Ground Fuels) Merupakan bahan bakar serasah (di bawah permukaan tanah), duff atau humus, bagian-bagian kayu dan akar pohon, bahan organik yang membusuk atau mati, gambut dan batu bara. Kebakaran dapat berjalan terus dan berawal dari kebakaran permukaan. 2. Bahan Bakar Permukaan (Surface Fuels) Merupakan bahan bakar yang berada di lantai hutan, antaralain berupa bahan bakar mati, serasah, log-log sisa tebangan, tunggak pohon, kulit kayu, cabang kecil dan tumbuhan bawah yang berada di lantai hutan. 3. Bahan Bakar Atas (Aerial Fuels) Disebut juga crown fuels atau bahan bakar tajuk, yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan bawah sampai tajuk tumbuhan tingkat tinggi. Contohnya antara lain cabang-cabang pohon, daun pohon dan semak pohon mati yang masih berdiri. Pohon atau semak belukar lebih tinggi dari 1-2 meter di atas tanah. Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Saharjo (2003), terdapat tiga kebakaran hutan berdasarkan atas tipe bahan bakarnya, yaitu: 1. Kebakaran Bawah (Ground Fire) Tipe kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan. Yang paling mudah dan klasik adalah pada hutan gambut. Kebakaran

10 hutan ini dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda areal itu terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 1997/1998 yang terjadi di lahan gambut yang terdapat di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Karena berada di bawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan. 2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire) Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Tipe kebakaran ini merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah. Kebakaran permukaan biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon. 3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire) Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya. Kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari adanya api loncat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/semak yang terbakar atau karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang pohon yang terbakar, kulit pohon yang berminyak, atau karena pemanasan dari permukaan. Kadangkala bara api yang berasal dari tajuk pohon akan jatuh menimpa lantai hutan, sehingga menimbulkan

11 kebakaran permukaan. Kebakaran ini sangat sulit untuk ditanggulangi karena menjalar sangat cepat. 2.3 Karbon Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman. Sejak kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Hutan gambut merupakan salah satu hutan yang memiliki potensi dalam penyimpanan karbon. Karbon dapat tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh kepermukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore. 1985). Karbon juga merupakan komponen penting penyusun biomasa tanaman melalui proses fotosintesis. Adanya peningkatan kandungan karbondioksida di atmosfer secara global telah menyebabkan timbulnya masalah bagi lingkungan. Hal ini mempengaruhi kebijakan negara-negara di dunia untuk mempertahankan keberadaan hutan yang dianggap sebagai buffer terhadap kandungan karbon. Karbondioksida merupakan penyerap inframerah yang kuat dan sifat ini membantu mencegah radiasi inframerah meninggalkan bumi. Dengan demikian CO 2 memainkan peranan penting dalam mengatur suhu permukaan bumi. Efek "rumah kaca " ini dipengaruhi oleh proporsi karbondioksida dalam atmosfer bumi (Salim. 2005) Semua tipe hutan mempunyai kemampuan untuk mengabsorpsi karbon. Adapun lokasi utama cadangan karbon terbesar adalah di hutan tropika. baik di permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk menyerap CO 2. Hutan mampu menyerap karbon sekitar 16,5 juta metrik ton

12 karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan (Whitmore. 1985). Pada ekosistem daratan karbon tersimpan dalam tiga komponen pokok (Hairiah dan Rahayu 2007) yaitu: a. Biomasa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. b. Nekromasa yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan atau telah tumbang tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk. c. Bahan organik tanah yaitu sisa makhluk hidup (tanaman. hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm. 2.3.1 Karbon Tanah Kandungan karbon tanah secara umum akan menurun sejalan dengan kedalaman tanah. Kecenderungan ini disebabkan oleh masukan bahan organik yang terutama disimpan di permukaan tanah atau topsoil. Hendri (2001) melaporkan bahwa kandungan karbon tanah di KPH Cepu pada kedalaman 60 cm lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan karbon pada kedalaman 20 cm. Van Noordwijk et al. (1997) melaporkan kecenderungan yang sama yakni kandungan karbon tanah bagian atas (topsoil) lebih tinggi dibandingkan bagian bawah (subsoil) di daerah dataran rendah Sumatera. Adapun variabel-variabel yang berpengaruh pada kandungan karbon tanah antara lain : kedalaman tanah, kerapatan massa tanah (bulk density) dan konsentrasi karbon organik (Eggleston et al. 2006). Jumlah CO 2 di atmosfer tetap sangat stabil pada tingkat sekitar 280 µmol/mol selama ribuan tahun belakangan ini, dan cukup stabil antara 200 dan 300 µmol/mol selama 150.000 tahun sebelum itu. Sejak sekitar tahun 1850, CO 2 di atmosfer meningkat secara eksponensial sampai mencapai 352

13 µmol/mol pada tahun 1990. CO 2 meningkat sekitar 1,4 µmol/mol/tahun selama 15 tahun terakhir tetapi pada tahun 1988 peningkatannya lebih dari 2 µmol/mol, sebuah lompat terbesar dan lebih dari 0.5% dari kandungan CO 2 saat ini. Alasan utama peningkatan sejak tahun 1850 ini ialah pembakaran bahan bakar fosil, tetapi pembukaan lahan khususnya pembakaran hutan tropika juga ikut berperan (Salisbury. 1995). Peningkatan CO 2 di atmosfer di seluruh dunia mendapat perhatian karena CO 2 dan beberapa gas lainnya yang disebut gas rumah kaca seperti metan, menyerap lebih banyak energi cahaya pada panjang gelombang panjang daripada panjang gelombang pendek. Panjang gelombang pendek terdapat dominan pada cahaya matahari dan menembus atmosfer, memanaskan bumi dan apa saja yang ada di atas bumi. Bumi kemudian memancarkan panjang gelombang yang lebih panjang (karena bumi jauh lebih dingin daripada matahari) yang diserap oleh gas rumah kaca, yang selanjutnya memancarkan sebagian energi (pada panjang gelombang panjang) kembali ke bumi, sehingga lebih memanaskan bumi lagi (Salisbury. 1995). 2.3.2 Siklus Karbon Karbon yang berada di atmosfer bumi bagian terbesarnya adalah gas karbon dioksida (CO 2 ). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0.04% dalam basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini dan berperan dalam pemanasan global. Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Hutan mempunyai peranan penting sebagai salah satu reservoir karbon di darat. hutan tropis dengan luasan sekitar 17,6 x 10 6 km 2 mengandung karbon

14 sebesar 428 Pg (1Pg = Petagram = 1 milyar ton) yang disimpan dalam vegetasi dan tanah. Di kawasan tropis Asia, dapat diperkirakan bahwa penanaman hutan, agroforestry, regenerasi dan kegiatan-kegiatan menghindari deforestasi mempunyai potensi menyerap karbon yang bervariasi dari 0,50;2,03;3,8 7,7 dan 3,3 5,8 Pg antara 1995 sampai 2050 (Brown el al. 1996). Tempat penyimpanan karbon adalah biomasa (meliputi batang, daun, ranting, bunga, buah dan akar), bahan organik mati (nekromas) dan tanah. Atmosfer berperan sebagai media perantara dalam siklus karbon. Aliran C biotik antara atmosfer dan hutan adalah fiksasi netto C melalui proses fotosintesis dan respirasi. Fotosintesis disebut juga asimilasi zat karbon, dimana zat-zat CO 2 di udara dan di air diubah menjadi molekul C 6 H 12 O 6 dengan bantuan cahaya matahari dan klorofil. Fotosintesis didefinisikan sebagai proses pembentukan gula dari dua bahan baku sederhana yaitu karbondioksida dan air dengan bantuanklorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energy (Gardner et al. 1991 dalam Hariyadi. 2005). Secara umum produksi berbagai macam gula pada proses fotosintesis diwakili oleh persamaan sebagai berikut : 6CO 2 + 12H 2 O C 6 H 12 O 6 + 6H 2 O + O 2 cahaya dengan pigmen Proses fotosintesis di atas hanya menggunakan sebagian kecil radiasi matahari yang diterima oleh tumbuhan tingkat tinggi, karena sebagian besar radiasi tersebut segera ditransformasi ke dalam bentuk panas (Packham dan Harding. 1982). Karbohidrat stabil yang pertama diproduksi dalam proses fotosintesis adalah glukosa yang biasanya dikonversi ke dalam bentuk pati sebagai produk yang disimpan sementara. Siklus karbon di daratan dapat dikontrol oleh proses fotosintesis, respirasi dan dekomposisi. Siklus karbon tersebut berbeda-beda tergantung tipe ekosistem serta faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, radiasi matahari dan kecepatan angin (Forseth dan Norman. 1993). Siklus karbon mempunyai empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer,

15 biosfer terestial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material nonhayati organik seperti karbon tanah (soil carbon), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Secara umum, siklus karbon disampaikan dalam Gambar 2. Gambar 2. Siklus Karbon (IPCC. 2001) Gambar di atas merupakan siklus karbon yang terjadi pada 3 lapisan yaitu atmosfer, biosfer, dan laut. Jumlah karbon di atmosfer diperkirakan sebesar 750 GtC, di biosfer diperkirakan sebesar 1900 GtC, dan jumlah karbon yang terkandung di lautan diperkirakan sebesar 38000 GtC. Jumlah karbon di laut diperkirakan 50 kali lebih besar dibandingkan jumlah karbon yang ada di atmosfer. Pertukaran karbon di laut dan atmosfer terjadi dalam skala waktu beberapa ratus tahun.

16 2.4 Emisi Gas Rumah Kaca Pada Lahan Gambut Pemanfaatan lahan gambut tropis, khususnya di Indonesia sangat dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan penduduk akan lahan, pangan, kayu bakar dan bahan bangunan. Pemanfaatan tersebut sangat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam kegiatan konversi hutan, industry perkayuan, transmigrasi dan pemukiman penduduk serta perluasan lahan pertanian. Praktek yang biasanya dilakukan adalah dengan melakukan deforestrasi yang diikuti dengan pembangunan kanal atau saluran drainase untuk mengeringkan air yang tertahan di lahan gambut (Murdiyarso et al. 2004). Lahan gambut berpotensi nyata dalam menghasilkan gas rumah kaca seperti CO 2 dan CH 4 (Aerts dan Caluwe. 1999). Apabila gambut terbakar atau mengalami kerusakan karena dikelola tanpa memperhatikan sifat gambut, maka bahan gambut akan mengeluarkan gas terutama CO 2, N 2 O, dan CH 4 (Sabiham. 2006), yang akan diemisikan ke udara yang dikenal sebagai gas rumah kaca. Kehilangan C-organik melalui oksidasi menghasilkan CO 2. Faktorfaktor yang mempengaruhi kehilangan C-organik antara lain temperatur, O 2, ph, dan Eh gambut. Temperatur gambut merupakan pengendali utama terhadap laju dekomposisi gambut, dan peranannya akan sangat dominan bila berinteraksi dengan O 2 (Chapman et al. 1996) suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu udara hutan gambut alami di Sumatra berkisar 22 0 C 34,5 0 C. Pada keadaan tertutup hutan, suhu gambut berkisar 27,5 0 C 29,0 0 C dan jika keadaan terbuka berkisar 40,0 0 C 42,5 0 C. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuaka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor. 2001). Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar 90% - 96%. Pada musim kemarau, kelembaban menurun menjadi 80% (Rieley et al. 1996). Reklamasi atau pembukaan lahan gambut akan mengubah kondisi alam gambut. Perubahan iklim seperti suhu yang

17 meningkat dan kelembaban yang menurun merupakan dampak dari perubahan komposisi vegetasi alami karena pembukaan lahan (Noor. 2001). Di daerah tropis, tanah gambut hutan dapat melepaskan sekitar 26,9 juta ton CH 4 dan tanah gambut budidaya sebesar 30,9 juta ton CH 4 sementara pada tanah alluvial sebesar 5,0 juta ton CH 4 (Barlett dan Harris. 1993). Kuantitas C yang hilang dari lahan-lahan gambut di dunia akibat konversi lahan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Estimasi kehilangan C pada lahan gambut Penggunaan lahan Pertanian/Kehut anan Subtropis Luas lahan sebelumnya (juta ha) Luas lahan yang hilang (juta ha) Akumulasi C yang hilang akibat emisi (juta ton C) C hilang/tahun (juta ton C) 399 20 4140 5600 63 85 Pertanian/Kehut an Tropis 44 1,76 3,8 746 53 114 Bahan bakar 5 590 780 32 39 Hortikultura 5 >100 33 Total 5476 7126 181 271 Sumber : Maltby dan Immirzi (1993) Kebakaran hutan dan gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO 2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai 2 miliar ton CO 2 per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO 2 di dunia (Hooijer et al. 2006) Kebakaran hutan pada lahan gambut yang terjadi di Indonesia tahun 1997 1998 di estimasi sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dolar Amerika. Kejadian

18 ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca sebanyak 0,81 2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13 40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global (WWF Indonesia). Penghasil emisi karbon terbesar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sepuluh negara pengahasil emisi terbesar dunia No Negara Emisi Karbon (ton) Persentase (%) 1 Amerika Serikat 1.614 21,2 2 China 1.405 18,5 3 Rusia 468 6,2 4 Jepang 348 4,6 5 India 312 4,1 6 Jerman 230 3 7 Kanada 161 2,1 8 Inggris 159 2,1 9 Korsel 139 1,8 10 Italy 132 1,7 Negara lain 2627 34 Sumber : Earth Institut tahun 2005 dalam Fatimah (2009)

19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan 98 o 10'-98 o 58' Bujur Timur berada di barat daya Danau Toba. Batas wilayah Humbang Hasundutan, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Samosir, sebelah timur dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah selatan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah barat dengan Kabupaten Pakpak Barat. Kabupaten Humbang terdiri dari 10 Kecamatan dengan 117 desa dan satu kelurahan. Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Parlilitan seluas 598,70 m 2 atau 26 % dari luas kabupaten dan kecamatan yang paling kecil adalah Kecamatan Bhakti Raja sekitar 50,36 km 2 (atau 2 % dari luas kabupaten). 3.2 Aksesibilitas Aksesibilitas wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk lancar. Mengingat Kabupaten Humbang Hasundutan berada di tengah-tengah wilayah Provinsi Sumatera Utara bagian barat, maka wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dibelah oleh jalan provinsi yang menghubungkan wilayah bagian selatan (Kabupaten Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah) ke arah utara (Kabupaten Samosir dan Dairi) dan wilayah bagian timur (Kabupaten Tapanuli Utara) ke barat (Kabupaten Pakpak Barat), jalur-jalur perjalanan tersebut bertemu di perempatan jalan di ibu kota kabupaten (Dolok Sanggul). Aksesibilitas Ibu Kota Kabupaten (Dolok Sanggul) dari Ibu Kota Provinsi (Medan) dapat ditempuh dari dua arah, yaitu arah utara melalui Kabanjahe (sebelah utara Danau Toba) selama kurang lebih 6 jam (dengan jalan bergunung-gunung) atau dari arah selatan melalui Tebing Tinggi dan Balige (sebelah selatan Danau Toba) selama kurang lebih 8 jam dengan kondisi jalan relatif datar.

20 3.3 Kondisi Fisik Wilayah Wilayah kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar berada pada wilayah pegunungan dengan ketinggian 330-2.075 m dari permukaan laut, sebagian besar wilayah berupa pegunungan terjal/kemiringan tinggi (69 %), 20 % areal berada di wilayah yang landai dan hanya 11 % areal berada pada wilayah yang datar (Humbang Hasundutan dalam Angka. 2004). Seperti halnya di wilayah pulau Sumatera pada umumnya jenis tanah sebagian besar dataran pulau Sumatera terdiri dari tanah Podsolik Merah Kuning yang terbentuk dari berbagai bahan induk. Tanah-tanah di daerah pegunungan (seperti halnya di Kabupaten Humbang Hasundutan) mempunyai penyebaran yang sangat rumit, tetapi umumnya masih terdiri dari berbagai bentuk tanah Podsolik Merah Kuning yang berasosiasi dengan Latosol dan Litosol. Daerah berbatu kapur ditutupi oleh tanah Podsolik Coklat dan tanah Renzina. Tanah Andosol dan tanah Podsolik Coklat Kelabu dijumpai di atas batuan vulkanik. Iklim di Sumatera ditandai dengan curah hujan yang banyak dan penyebarannya cukup merata sepanjang tahun dan tidak jelas batas antara musim hujan dan musim kering seperti di Jawa atau di daerah Indonesia bagian timur. Curah hujan di Sumatera sangat bervariasi menurut letak topografi yang berbeda. Besarnya berkisar lebih 6000 mm/tahun di sebelah barat Bukit Barisan, sampai kurang dari 1500 mm/tahun di beberapa daerah seperti daerah sebelah timur Aceh. Dari 594 stasiun pencatat curah hujan di Sumatera, 70 % diantaranya mencatat curah hujan lebih dari 2500 mm. Di sebagian besar pulau Sumatera bulan-bulan kering biasanya terjadi bersamaan dengan angin timur laut yang terjadi antara bulan Desember dan Maret. Musim hujan utama biasanya terjadi selama periode peralihan sebelum angin timur taut dan sesudah angin barat daya yaitu pada akhir bulan Mei sampai September. Musim hujan yang kurang lebat (pada bulan April) terjadi sebelum musim angin barat daya. Bagian selatan Sumatera mempunyai pola curah hujan yang serupa dengan pola hujan di Jawa yaitu dengan satu musim kering yang nyata, di sekitar bulan Juli.

21 Berdasarkan Oldeman et al. (1979) berdasarkan jumlah bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering wilayah Pulau Sumatera dibagi kedalam 5 zone iklim dari Zone A - Zone E. Wilayah studi Kabupaten Humbang dan sekitarnya berada pada Zone A di bagian barat-utara dan B di bagian timur-selatan : 1. Zone A: daerah dengan bulan-bulan basah selama sembilan bulan berturutturut dan dua bulan atau kurang dari dua bulan berturut-turut masa kering. 2. Zone B: daerah dengan bulan-bulan basah selama tujuh sampai sembilan bulan berturut-turut per tahun, dan bulan kering selama tiga bulan berturutturut atau kurang. Gambar 3. Peta lokasi penelitian berdasarkan tata guna lahan Humbang Hasundutan (Istomo. 2006) kabupaten Mengingat letak geografi Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar terletak di wilayah pegunungan (yang merupakan bagian dari pegunungan Bukit Barisan) sehingga wilayah ini memang penting bagi penyangga tata air baik untuk Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri maupun wilayah di bawahnya. Walaupun wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan yang berada di pegunungan

22 dan sebagian berbentuk plato (dataran luas di pegunungan) dan sebagian berbentuk perbukitan dan di beberapa tempat terdapat cekungan-cekungan yang membentuk danau-danau dan lahan gambut. Wilayah yang berupa cekungan baik berupa danau, persawahan dan lahan gambut berfungsi sebagai penyimpan air. Oleh karena itu wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan menjadi sebagian huluhulu sungai besar. 3.4 Kondisi Biotik Wilayah Sebagian besar penutupan vegetasi berupa kawasan hutan (68 %) baik berupa hutan produksi dan hutan lindung, belum termasuk hutan rakyat. Jenis utama pohon baik secara alam maupun hasil penanaman adalah jenis Pinus merkusii. Jenis ini memang jenis asli Sumatera dan kadang-kadang dijumpai pada ketinggian 1000-1600 m dpl. Batang pohon ini di habitat alamnya dapat mencapai diameter satu meter, lebih besar dari pohon-pohon hasil penanaman. Di sekitar Danau Toba pohon ini ditanam pada tahun 1927 (Alphen de Veer. 1953). Sedangkan jenis pohon yang sekarang banyak ditanam baik kawasan hutan produksi maupun hutan rakyat melalui sistem PIR adalah jenis Eucalyptus alba. Jenis pohon berumur pendek ini ditanam untuk keperluan industri pulp dan kertas PT. TPL. Jenis tumbuhan semak yang telah lama dipelajari oleh Janzen (1973) di daerah pegunungan Sumatera dalam kaitannya dengan kabakaran hutan adalah jenis Vaccinium dan Hypericum. Jenis semak Vaccinium merupakan jenis yang dominan pula di lahan gambut Kabupaten Humbang Hasundutan. Setelah kebakaran tunas-tunas dari kedua jenis tersebut terus tumbuh pada pangkal batang tumbuhan yang berada di atas permukaan tanah. Secara rata-rata tunas-tunas ini tumbuh kurang dari 50 cm selama tiga tahun. Tiga tahun setelah kebakaran batang kayu tidak menunjukkan membusuk. Hal ini disebabkan karena suhu yang rendah, sedikitnya pengurai dan tingginya kelembaban tanah yang tidak pernah manjadi cukup panas untuk mendukung kehidupan mikroorganisme pengurai. Pada sub-sektor kehutanan, berdasarkan fungsi kawasan hutan, kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2004 tercatat seluas 159.392 ha (atau mencapai 68 % dari luas Kabupaten Humbang Hasundutan),

23 yang terdiri dari hutan produksi seluas 84.540 ha dan hutan lindung seluas 74.852 ha. Berdasarkan penyebarannya kawasan hutan tersebut terdapat di sembilan kecamatan dari sepuluh kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan. Kecamatan yang tidak mempunyai hutan adalah Kecamatan Tarabintang. Kecamatan yang mempunyai kawasan hutan terluas adalah Kecamatan Parlilitan seluas 61.490 ha (37.590 ha hutan produksi dan 23.900 ha hutan lindung). Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Peternakan dart Perikanan Kebupaten Humbang Hasundutan (2004) produksi hasil hutan terdiri dari : log kayu Eucalyptus alba (PT. TPL) 17.403,25 m 3 ; log kayu rakyat campuran 82.370,05 m 3 ; kayu pinus hutan rakyat 45.366,58 m 3 dan hasil hutan ikutan berupa rotan 100 ton dan getah pinus 66,50 ton.

24

25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 di lahan gambut yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah Sumberdaya Lingkungan IPB, analisis bahan bakar dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB, serta analisis karbon dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB. 4.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompas, GPS (Global Positioning System) Garmin 60CSx, bor gambut, ring contoh, phi band, parang/golok, meteran, timbangan, timbangan analitik, kamera serta perlengkapan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel tanaman, tanah gambut, tali rafia, kertas koran, ring sampel, alkohol 70%, kantong plastik (2 kg), kertas label, amplop, sealed plastic untuk menyimpan sampel, serta tally sheet. 4.3 Jenis Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Data Primer : data yang diperoleh langsung dari kegiatan di lapangan yaitu jenis dan potensi vegetasi pada lahan gambut bekas terbakar, sifat fisik dan kimia tanah serta kandungan karbon. b. Data sekunder : kondisi umum lokasi penelitian meliputi luas dan lokasi, aksesibilitas, kondisi fisik, cuaca (suhu, kelembaban dan curah hujan), biotik wilayah, serta kejadian kebakaran. 4.4 Survey Lokasi Penelitian Survey pendahuluan lokasi penelitian dilakukan pada Bulan April 2010, yang bertujuan untuk menentukan lokasi pembuatan petak contoh dan

26 pengambilan sampel penelitian. Pada kegiatan tersebut dilakukan pengamatan terhadap kondisi vegetasi pada lahan gambut bekas terbakar. 4.5 Pengukuran Luas Lahan Penentuan luas lahan dilakukan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) dan pita meteran melalui perekaman titik deliniasi sesuai dengan bentuk bentang lahan yang ada di lapangan. 4.6 Pembuatan Petak Contoh Petak yang digunakan untuk penelitian adalah petak lahan gambut bekas pembakaran dan galian. Pembuatan petak ini sesuai dengan prosedur analisis vegetasi (Soerianegara dan Indrawan. 2008) yaitu dilakukan dengan metode jalur berpetak. Jalur yang dibuat sebanyak 5 jalur dengan jumlah plot sebanyak 45 plot. Pengukuran dilakukan pada petak ukuran 2 m x 2 m (Gambar 4). Pemilihan petak berukuran 2 m x 2 m dikarenakan pada lokasi penelitian didominasi oleh tumbuhan bawah. 20 m d c b a 20 m Arah Kompas Gambar 4. Desain petak penelitian Keterangan : a. Sub-petak ukuran 2 m x 2 m untuk analisis vegetasi tumbuhan bawah,serasah dan nekromasa b. Sub-petak ukuran 5 m x 5 m untuk analisis vegetasi tingkat pancang c. Sub-petak ukuran 10 m x 10 m untuk analisis vegetasi tingkat tiang d. Petak ukuran 20 m x 20 m

27 4.7. Penentuan Karbon Tersimpan Dalam Gambut Pada umumnya parameter yang diamati adalah: 1. Berat volume (Bulk density) [g cm -3 atau kg dm -3 atau t m -3 ] 2. Kandungan karbon [% berat] 3. Tingkat kematangan gambut 4. Ketebalan gambut 5. Luas lahan gambut 4.7.1 Berat Volume Berat volume (Db) adalah masa fase padat tanah (Ms), dibagi dengan volume total tanah (Vt). Volume total tanah adalah jumlah volume dari fase padat tanah dalam keadaan di lapangan. Nilai Db yang umum untuk tanah gambut berkisar antara 0.05-0.3 g cm -3, namun kadangkala bisa sampai <0.01 dan >0.4 g cm -3. Berbeda dengan tanah mineral, tanah gambut tidak membentuk bongkahan dan mudah terbakar. Dengan demikian penentuan berat volume dengan metode bongkahan (clod method) yang memerlukan keberadaan bongkahan dan proses pembakaran bongkahan, tidak dapat diberlakukan untuk tanah gambut. Db (berat volume) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (dimodifikasi dari Agus et al. 2007): Dimana : Ms = Berat kering contoh tanah Vt = Volume contoh tanah Db = Berat volume (Bulk density) [g cm -3 atau kg dm -3 atau t m -3 ] 4.7.2 Kandungan Karbon Gambut Kandungan karbon gambut dapat ditentukan dengan salah satu dari beberapa metode yaitu, pengabuan kering (lost in ignition), Walkley and Black (pengabuan basah), atau C analyzer. Metode yang paling sederhana, namun memberikan angka yang cukup akurat adalah metode pengabuan kering. Dengan banyaknya serat setengah lapuk, pengabuan basah dikhawatirkan tidak merombak

28 semua bahan organik dalam analisisnya. Penggunaan auto analyzer merupakan metode langsung (mengukur carbon atau CO 2 ), namun dengan sangat sedikitnya (15-30 mg) contoh yang dianalisis maka pengambilan contoh yang paling mewakili merupakan bagian yang kritis metode ini. Kerapatan karbon (C density, Cd) yaitu berat karbon per satuan volume, dapat dihitung dengan persamaan (Agus et al. 2007): C d = D b x C Dimana : Cd = Kerapatan karbon Db = Berat volume (Bulk density) [g cm -3 atau kg dm -3 atau t m -3 ] C = Kandungan karbon dalam persen Kisaran Db gambut adalah sekitar 0,02 kg dm -3 pada gambut mentah dan pada bagian gambut yang berongga (hollow) sampai 0,40 kg dm -3 pada gambut matang yang sudah mengalami pemadatan atau bercampur liat. Kisaran kandungan C gambut adalah 30-58%. 4.7.3 Kematangan Gambut Pengamatan kematangan gambut berguna untuk menaksir kesuburan dan kandungan C gambut. Gambut yang lebih matang biasanya lebih subur, walaupun banyak faktor lain yang menentukan kesuburan gambut, misalnya campuran liat dan abu. Gambut yang lebih matang juga mempunyai kerapatan karbon, Cd, lebih tinggi. Pengamatan kematangan gambut dapat dilakukan di lapangan atau di laboratorium berdasarkan kadar seratnya. Penetapan Kematangan Gambut di Lapangan 1) Segenggam gambut diambil lalu diperas di telapak tangan. 2) Kematangan gambut di kelompokkan dengan kriteria sebagai berikut:

29 Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan < sepertiga jumlah semula. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah matang, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan antara sepertiga dan dua pertiga jumlah semula. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan > dua pertiga jumlah semula. 4.7.4 Penentuan Ketebalan Gambut Pengambilan Contoh Gambut Bentuk contoh tanah gambut dilakukan dengan cara menggunakan bor gambut (contoh hampir tidak terganggu). Dengan menggunakan bor gambut contoh gambut dapat diambil dari permukaan sampai ke dasar (substratum) gambut tergantung jumlah batang besi penyambung (extension rod) yang dipunyai. Bahkan gambut yang berada dalam keadaan terendam airpun dapat diambil contohnya dengan menggunakan bor gambut. Contoh gambut yang diambil dengan bor gambut dapat digunakan untuk analisis berat volume (Db), kadar air (% volume), dan sifat kimia termasuk kandungan karbon (C). Pengambilan contoh gambut menggunakan bor gambut Bor gambut terdiri dari tangkai, tiang sambungan (extension rod) dan sampler. Sampler terdiri atas sayap penutup dan setengah tabung silinder yang mempunyai satu sisi yang tajam untuk memotong gambut. Bagian-bagian dari bor ini dapat dihubungkan dengan mudah satu sama lainnya dengan menggunakan dua buah kunci pas nomor 23. Bila bor diputar 180 o searah jarum jam maka sayap akan tetap pada posisinya sehingga menutup tabung silinder yang berisi contoh tanah gambut. Kedalaman contoh yang dapat diambil dengan bor ini adalah 50 cm. Diameter

30 tabung bor adalah 60 mm dan diameter contoh 52 mm, sehingga volume contoh yang diambil adalah 500 cm 3. Tangkai bor panjangnya 60 cm dan dibalut dengan karet sintetis insulasi arus listrik. 4.8 Analisis Data 4.8.1 Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi: biomassa tumbuhan bawah, nekromsa, dan serasah.tumbuhan bawah yang diambil sebagai contoh adalah semua tumbuhan hidup termasuk herba dan rumput-rumputan. Total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dengan rumus sebagai berikut (Hairiah K dan Rahayu S. 2007): Dimana : BK = berat kering dan BB = berat basah Konsentrasi C dalam bahan organik biasanya sekitar 46%, oleh karena itu estimasi jumlah C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan total berat masanya dengan konsentrasi C, sebagai berikut (Hairiah dan Rahayu, 2007) : Estimasi C = Total BK x 0.46 Dimana : Total BK = Biomasa Total (ton ha -1 ) 4.8.2 Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan Parameter yang digunakan dalam perhitungan pendugaan simpanan karbon bawah permukaan adalah luas lahan gambut, kedalaman tanah gambut, bobot isi (Db) dan simpanan karbon (C-Organik) pada setiap jenis tanah gambut. Dengan diketahui parameter-parameter tersebut, maka simpanan karbon bawah permukaan dapat dihitung.

31 Persamaan yang digunakan (Murdiyarso et al. 2004) adalah : KC = B x A x D x C Dimana : KC = Simpanan karbon dalam ton B = Bobot isi (Db) tanah gambut dalam g/cc atau ton/m 3 A = Luas tanah gambut dalam m 2 D = Ketebalan gambut dalam m C = Kadar karbon (C-Organik) dalam persen (%) 4.8.3 Perhitungan Jumlah Emisi CO 2 Jumlah emisi dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada tanah gambut. Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada gambut itu sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan pada seresah. Masingmasing simpanan karbon tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur tangan manusia. Dengan demikian jumlah emisi CO 2 pada selang waktu tertentu dapat diperkirakan dengan rumus (Agus et al. 2007) sebagai berikut: Dimana : Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan tanaman di atas permukaan tanah. Ea = C tanaman yang terbakar x 3,67 (Angka 3,67 adalah faktor konversi dari C menjadi CO 2 ). Ebb = Emisi karena kebakaran gambut. Ebb = volume gambut yang terbakar (m 3 ) x Cd (t C m -3 ) x 3,67 CO 2 /C. Ebo = Emisi dari dekomposisi gambut. Pendugaan berdasarkan penurunan permukaan gambut (subsiden) Sa = Sequestrasi atau penambatan karbon oleh tanaman = rata-rata waktu simpanan pertambahan kandungan karbon pada jaringan tanaman (t/ha) x 3,67. Δt = Perbedaan atau lamanya waktu yang diperhitungkan.

32

33 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Biomasa Atas Permukaan Pada areal penelitian ditemukan beberapa vegetasi yang tumbuh di atas lahan gambut berupa semak belukar dengan tinggi rata-rata satu meter tumbuh jarang dan tersebar bercampur dengan tumbuhan herba, paku-pakuan dan rumput. Hasil identifikasi jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Daftar jenis tumbuhan yang terdapat di lahan gambut Kab. Humbang Hasundutan No Jenis Suku Kategori 1 Vaccinium varingifolium Ericaceae Semak 2 Neprolepis biserrata Polypodiaceae Paku-pakuan 3 Melastoma malabathricum. Melastomataceae Herba 4 Daphniphyllum glaucescens Daphniphyllaceae Semak 5 Ficus deltoidea Moraceae Herba 6 Lepinoria mucronata Cyperaceae Rumput 7 Leptospermum flavescens Myrtaceae Semak 8 Cycas rumphii Cycadaceae Pakis Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa ada delapan jenis tumbuhan yang tumbuh dominan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang dibagi menjadi empat kelompok yaitu semak (tumbuhan kecil berkayu), herba, rumput dan paku-pakuan. Jenis semak yang paling banyak dijumpai adalah Vaccinium varingifolium, Daphniphyllum glaucescens, dan Leptospermum flavescens. Dimana ketiga jenis tersebut mempunyai perakaran besar dan rapat dan selama ini yang digali oleh masyarakat di Lintongnihuta untuk dibuat arang. Gambaran umum penutupan vegetasi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Sedangkan foto beberapa jenis tumbuhan yang umum dijumpai di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

34 Gambar 5. Kondisi penutupan vegetasi di lahan gambut Kab. Humbang Hasundutan yang didominasi oleh semak dan paku-pakuan. Neprolepis biserrata (Polypodiaceae) Daphniphyllum glaucescens (Daphniphyllaceae) Vaccinium varingifolium (Ericaceae) Leptospermum flavescens (Myrtaceae) Gambar 6. Foto-foto jenis tumbuhan yang dijumpai pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan (Istomo. 2006)

35 Ficus deltoidea (Moraceae) Lepinoria mucronata (Cyperaceae) Melastoma malabathricum (Melastomataceae) Cycas rumphii (Cycadaceae) Gambar 6. Foto-foto jenis tumbuhan yang dijumpai pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan (Istomo. 2006).