VIII. KELAYAKAN USAHATANI LIDAH BUAYA 8.1. Deskripsi Usahatani Lidah Buaya Usahatani lidah buaya dalam penelitian ini dikelola petani pada lahan sebagian besar status hak milik. Jenis tanah yang digunakan petani di Kota Pontianak untuk budidaya tanaman ini pada umumnya adalah tanah gambut. Tanaman lidah buaya cukup cocok dibudidayakan pada lahan gambut, dengan sistem drainase yang baik. Luas lahan setiap usahatani bervariasi dan berkisar antara 0.05 sampai 2 ha. Dari kisaran luas lahan yang digunakan untuk mengusahakan tanaman ini, dapat dipahami bahwa skala usahatani lidah buaya sangaat bervariasi. Sebagian berskala usaha kecil, sehingga umumnya meiupakan pekesjaan sambilan dan sebagian berskala selatif besar yang umumnya dikelola secara komersial. Usahatani lidah buaya membutuhkan input faktor produksi antara lain : bibit, pupuk, tenaga kerja, peralatan dan modal. Input yang pertama yang digunakan pada usahatani lidah buaya di lokasi penelitian yakni bibit. Pada umumnya bibit berasal dari daerah setempat dan dipesoleh secara turun temurun. Bibit yang diperoleh dengan cara membeli dari pihak lain (petani - lain), harga bibit tanaman yang berumus kurang lebih 2 bulan, dengan kisaran harga antara Rp 300 sampai dengan Rp 700 per tanaman. pupuk. Input lain yang digunakan dalam pengusahaan lidall buaya adalah Pupuk yang digunakan petani meliputi pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik antara lain abu dan kotoran ayam. Namun
penggunaan pupuk kandang ayam jarang digunakan, karena kekhawatiran masalah jamur pada pupuk tersebut. Pupuk Abu lebih banyak digunakan be~tujuan untuk menetralisir keasaman tanah gambut, ha1 ini cukup beralasan mengingat budidaya lidah buaya ini umumnya di tanah gambut yang memiliki tingkat keasaman yang relatif tinggi. Pupuk anorganik yang digunakan antara lain : pupuk urea, pupuk TSP, KC1 dan NPK. Pupuk TSP dan NPK jarang digunakan. Pupuk kimia yang secara luas digunakan dan secara periodik yakni pupuk Urea dan KC1. Tanaman lidah buaya ditanam dengan jarak tanam yang bervariasi, dari jarak tanam 200 x 100 cm (populasi tanaman 5 000 per hektar) sampai 120 x 75 cm (populasi tanaman 10 800 per hektar). Secara teknis Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak merekomendasikan popolasi tanaman 10 000 per hektar (jarak tanam dalam baris 1 m dan antar baris 1-1.5 m). Kondisi umur tanaman di lapangan rata-rata 3 tahun. Tindakan pengendalian hama dan penyakit umumnya jarang dilakukan, karena perawatan yang intensif umumnya tanaman lidah buaya tidak mudah terserang hama dan penyakit. Sejumlah responden dari penelitian ini menyebutkan tidak pen~ah menggunakan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit. 'Tindakan pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara membuang tanaman yang terserang hama bekicot (Achatina fulica). Sedangkan penyakit yang sering menyerang tanaman ini dari golongan jamur seperti Fusariunl yang menyerang pangkal batang atau akar sehingga tanaman mati.
Pemanenan pelepah lidah buaya sudah dapat dilakukan setelah tanaman beiumur 7-8 bulan sejak anakan ditanam dan setelah umur tersebut dapat dilakukan pemanen 1 kali dalam 1 bulan atau 2 kali dalam 1 bulan tergantung kondisi dan peitumbulian tanaman seita permintaan pasar. Produksi pelepah setiap pohon per bulan untuk tanaman yang beiumur satu tahun minimal 0.6-0.8 kg dengan panjang berkisar 35-50 cm dan lebar di bagian pangkal antara 8-13 cm dengan tingkat produksi berkisar 70% sedangkan pada tahun kedua, berat satu pelepah bisa mencapai 0.8-1.2 kg dengan tingkat produksi sekitar 80%. 8.2. Investasi dan Biaya Produksi Usahatani Lidah Buaya Pengelolaan usahatani lidah buaya memerlukan dana investasi dan biaya produksi. Investasi adalah biaya yang dikeluarkan satu kali untuk memperoleh beberapa kali manfaata atau dapat juga dikatakan sebagai pengeluaran sebelum suatu kegiatan memberikan hasil (Nasendi, 1983). Investasi juga dapat diartikan biaya tetap fixed cost), beberapa pun hasil yang diperoleh hanya diperlukan suatu biaya awal (tetap) tertentu. Biaya produksi atau biaya operasional adalah biaya langsung berpengaruh terhadap volume produksi dalam satu periode tertentu (~~ariable cost). Kuncoro (1983) menjelaskan bahwa biaya produksi dalam usahatani tanaman perkebunan adalah biaya yang habis digunakan.dalam satu periode proses produksi atau yang dikeluarkan setiap tahun, misalnya untuk upah tenaga kerja, pupuk dan insektisida.
insektisida. Berdasarkan terminologi di atas maka investasi yang diperlukan dalam usahatani lidah buaya adalah seluruh pengeluaran yang tidak habis manfaatnya dalam satu tahun, sebaliknya untuk biaya produksi. Jenis pengeluaran investasi untuk usahatani lidah buaya (1) bibit tanaman, (2) sewa lahan, (3) biaya pembelian alat-alat pertanian, dan (4) pondok pembakaran. Jumlah investasi pada tahun pertama (Tl) mencapai Rp 20 537 000. Jumlah investasi tersebut terdiri atas biaya pembelian bibit (16.43%), pupuk ofganik (19.48%), pupuk buatan (5.1 I%), peralatan (7.38%), pondok (4.26%), pembukaan dan pengolahan tanah sampai siap tanam (13.58%), penanaman dan penyulaman (3.64%). Pupuk organik meliputi biaya pengadaan pupuk abu, pupuk kandang, sedang pupuk buatan meliputi biaya pengadaan pupuk urea dan KCl. 8.3.Tingkat Produksi Lidah Buaya dan Umur Ekonomis Sebagaimana diljelaskan didepan lidah buaya pada usahatani bervaiasi dari tanaman yang belum menghasilkan sampai umur tanaman tujuh tahun. Tingkat produksi lidah buaya per tahun didekati tingkat produksi lidah buaya per bulan. Dalam satu tahun petani panen 9 bulan, interval panen petani ratarata 2 minggu. Tingkat produksi lidah buaya terlihat pada Tabel 17 berikut ini.
Tabel 17. Tingkat produksi lidah buaya, Pontianak tahun 2001 Tahun Produksi Nilai Produksi 5 Jumlah Su~nb er : data primer Tanaman lidah buaya dari bibit yang baik umumnya dipanen pada umur 7-8 bulan sejak ditanam dilapangan dengan maia puncak produksi pada umur 4-5 tahun. Penentuan umur ekonomis didasarkan rata-rata nilai produksi per tal~un yang maksimum. Umur ekonomis terjadi pada tahun ke 3 dengan nilai produksi Rp 32 880 978. Mulai tahun ke 4, tampak nilai produksi lidah buaya mulai menurun sampai umur 7 tahun 8.4. Analisis Pendapatan Usahatani Lidah Buaya Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk melihat seberapa besar pendapatan dan biaya penanaman untuk luasan 1 Ha dalam 7 tahun masa produksi tanaman yang ditampilkan pada Lampiran 3.
Analisis pendapatan usahatani lidah buaya untuk penanaman 1 hektar, pada tahun pertama menunjukkan penerimaan dari hasil produksi lidah buaya masih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (Tabel 18). Tabel 18. Biaya total, total nilai produksi dan keuntungan usahatani lidah buaya, Pontianak tahun 200 1 Tahun I Produksi I Nilai Produksi Biaya I Keuntungan (Rp) (Rp) 20 537 000 1-17 702 000 7 Jumlah Pada Tabel 18 terlihat pada tahun pertama produksi 3 150 kgha dan harga rata-rata Rp 900/kg, maka nilai penjualan sebesar Rp 2 835 000 masih kecil dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan yaitu Rp 20 537 000. Pada tahun pertama ini keuntungan masih negatif, karena digunakan untuk investasi, selanjutnya pada tahun kedua keuntungan mulai positif sampai umur tujuh tahun. Tahun kedua produksi mulai meningkat sekitar 44 325 kgtahunlha. Apabila diasumsikan harga jual sama dengan tahun pertama maka penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 39 892 500 masih lebih besar dibandingkan biaya
buaya belum mendukung. Hal ini karena prosedur perkreditan dari perbankan yang memerlukan persyaratan antara lain jaminan (garansi). Disisi lain, petani sebagian besar tidak mempunyai jaminan yang dipersyaratkan oleh pihak perbankan. 8.5. Analisis Kelayakan Usahatani Lidah Buaya Pada penelitian ini perhitungan usahatani yang dilakukan hanya secara finansial, karena yang ingin dilihat adalah hasil dari modal yang ditanamkan dalam proyek yang merupakan penerimaan langsung bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaannya. Selain itu, usahatani didaerah penelitian masih dilakukan secara perorangan dan bukan merupakan suatu proyek pengembangan yang berdampak luas pada masyarakat. Analisis finansial usahatani lidah buaya yaitu untuk melihat secara keseluruhan investasi yang dimiliki petani. Dalam ha1 ini petani memiliki rata- rata penguasaan lahan 0.5 Ha. Manfaat dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk penanaman 1 ha dapat dilihat pada Lampiran 3. Analisis finansial usahatani lidah buaya dengan memasukkan PBB sebesar Rp 55 000 per tahunnya, maka diperoleh Net Present Value (NPV) sebesar Rp 78 282 779 selama tujuh tahun. Tingkat diskonto yang ditetapkan dalam analisis ini adalah 13.97 %, ha1 ini merupakan nilai rata-rata suku bunga deposit0 berjangka 1 tahun untujk Bank Umum per 22 Juni 2001, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Nilai Gross BIC yang diperoleh adalah sebesar 2.25, iiltinya untuk
setiap nilai pengeluaran sebesar Rp 100.00 akan memberikan manfaat sebesar Rp 225 atau manfaat yang diperoleh sebesar 2.25 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Perhitungan tingkat pengembalian internal atau IRR (Internal Rate of Reilrrn) menunjukkan nilai yang sangat besar (>50%). Bera~ti tingkat pengembalian modal dari usahatani lidah buaya ini lebih besar da~i tingkat suku bunga yang ditentukan dalam penelitian ini. Dengan demikian lebih menguntungkan petani untuk melaksanakan usahatani lidah buaya dibandingkan bila modal yang diinvestasikan tersebut didepositokan di Bank. Payback period merupakan jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal dapat kembali, semakin baik untuk kegiatan bisnis. Proyek dikatakan layak jika suatu proyek dapat mengembalikan modal sebelum berakhirnya umur proyek. Dari hasil perhitungan (Lampiran 4) usahatani li-dah buaya yang dilaksanakan petani terlihat bahwa modal dapat kembali setelah proyek berjalan selama 2 tahun 7 bulan. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan discount rate sebesar 13.97% ternyata diperoleh Net Present Val~te (NPV) >50, Gross B/C> 1 dan IRR > tingkat diskonto. Sehingga dapat disimpulkan bahwa usahatani lidah buaya sangat menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan didaerall penelitian. 8.6.,Analisis Sensitivitas.. Pada analisis ini kemungkinan pembahan keadaan yang terjadi adalah peningkatan biaya total 18%, penurunan harga jual sebesar 20%, penurunan
8.6. Anaiisis Sensitivitas Pada analisis ini kemungkinan pe~ubahan keadaan yang terjadi adalah peningkatan biaya total IS%, penurunan harga jual sebesar 20%, penurunan produksi sebesar 25% serta peningkatan input tenaga ke ja,pupuk organik dan pupuk buatan sebesar 10% (Tabel 19). Tabel 19. Analisis sensitivitas kelayakan finansial usahatani lidah buaya luas 1 Ha, Pontianak, 2001. +IS% Binya Total Naik v -2036 l a Juvl Tuntn Perubal~an -2590 +lo% Produhi Tmagu Tamtn Kejs Naik +I009 ~upuk Organik Nuik 61036 ~upuk Buatatl Nnik NPV (RP) 57 869 83 Nilai indikator Gros SIC 1.83 IRR (%) >50 Payback Period 3 tahun 3 blilmi 30 227 19 1.47 45.90 3 tahun 6 bulan 18 686 85 1.35 34.98 3 taliun 7 bulan Y v 11 7 884 015 1.17 13.96 4 laliun 5 bulan Su~nkr :Data primer Berbagai perubahan yang diujikan tidak banyak merubah kondisi usahatani lidah buaya, sehingga kondisi-kondisi yang diajukan tidak menyebabkan investasi tidak layak untuk diusahakan, tetapi hanya mengakibatkan terjadinya penurunan nilai. Jika terjadi perubahan biaya total, harga jual turun, produksi
turun, pemakaian input tenaga kerja, pupuk organik dan pupuk buatan secara bersamaan, maka diperoleh nilai Gross B/C 1.22, IRR 2.74% dan NPV sebesar Rp 1 431 854, maka usahatani lidah buaya tidak layak diusahakan (Tabel 19). Hal ini karena nilai IRR 2.74 % lebih kecil dari tingkat suku bunga deposit0 sebesar 13.97% sehingga lebih baik mendepositokan uang di Bank dari pada usahatani iidah buaya. Dari Tabel 19 terlihat bahwa beberapa perubahan yang diujikan pada analisis sensitivitas tersebut diatas, maka peluang terjadinya pada skenario kenaikan 18% biaya total, penurunan harga jual 20% dan penggunaan input tenaga kerja, pupuk organik dan pupuk buatan 10%. Hal ini cukup beralasan bahwa kenaikan biaya total sebesar 18% didasarkan atas dasar kondisi perekonomian nasional yang belum pulih sampai pada saat ini. Pengruuh inflasi menyebabkan kenaikan biaya total produksi usahatani lidah buaya. Sedangkan penurunan harga jual produk lidah buaya didasarkan atas kencenderungan peimintaan produk lidah yang meningkat untuk keperluan indusb.i sehingga ada kecenderungan produksi meningkat sedangkan faktor lain tetap (ceter~s paribzrs) yang mengakibatkan harga produk turun. Penggunaan input tenaga kerja, pupuk organik dan pupuk buatan didasarkan bahwa petani akan memaksimum keuntungan dengan menambah input produksinya.