BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

KEBIJAKAN AKUNTANSI PELAPORAN KEUANGAN

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa

LAPORAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

KOREKSI KESALAHAN, PERUBAHAN KEBIJAKAN AKUNTANSI, PERUBAHAN ESTIMASI AKUNTANSI, DAN OPERASI YANG TIDAK DILANJUTKAN

PEMERINTAH KABUPATEN SUBANG DINAS PENDAPATAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH

LAPORAN KEUANGAN POKOK

PEMERINTAH KABUPATEN SUBANG DINAS PETERNAKAN

BAB VI PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN PPKD

LAPORAN REALISASI ANGGARAN (LRA) Oleh : Nathasia dan Susanti

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

BAB II KEBIJAKAN AKUNTANSI BEBAN DAN BELANJA

LAPORAN KEUANGAN POKOK

LAPORAN REALISASI ANGGARAN

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB I PENDAHULUAN. untuk menerapkan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dapat diartikan sebagai bentuk

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23), keuangan daerah dapat diartikan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

LAPORAN REALISASI ANGGARAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PROGRAM S-1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DEPARTEMEN AKUNTANSI

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Catatan Atas Laporan Keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan ini 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

KERTAS KERJA PENYUSUNAN NERACA KONSOLIDASI POSISI PER TANGGAL.

PEMERINTAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NERACA Per 31 Desember 2015 dan 2014

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

PROFIL KEUANGAN DAERAH

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

CATATAN LAPORAN KEUANGAN DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KOTA BANDUNG TAHUN 2015

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG LAPORAN ARUS KAS UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2013 DAN 2012.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH BARAT DAYA NERACA Per 31 Desember 2015 dan 2014

Frequently Asked Questions (FAQ)

ANGGARAN SETELAH PERUBAHAN 2015 (Rp)

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

ANGGARAN SETELAH PERUBAHAN 2014 REALISASI (Rp)

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA INSPEKTORAT KABUPATEN N E R A C A PER 31 DESEMBER 2012 DAN 2011 (Dalam Rupiah)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

Tinjauan Atas Laporan Penerimaan Dan Pengeluaran Kegiatan APBD Pada Dinas Pertanian, Tanaman Dan Pangan Provinsi Jawa Barat

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Frequently Asked Questions (FAQ)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan. daerah sebagai penyelenggara pemerintah daerah.

AKUNTANSI PEMBIAYAAN

BUPATI SAMPANG KATA PENGANTAR

PEMERINTAH KOTA SEMARANG NERACA PER 31 DESEMBER 2014 DAN 2013 (Audited)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Keuangan Kabupaten Karanganyar

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR LAPORAN REALISASI ANGGARAN UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2015 DAN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN REALISASI ANGGARAN Untuk Tahun yang Berakhir Sampai Dengan Tanggal 31 Desember 2015 (dalam rupiah dan persen)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

Anggaran Realisasi Realisasi Cat

PEMERINTAH KOTA SEMARANG NERACA PER 31 DESEMBER 2014 DAN 2013 (Audited)

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR LAPORAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2014 DAN 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN ATAS LAPORAN KEUANGAN

Laporan Keuangan. Deskripsi Prosedur

KEBIJAKAN AKUNTANSI NOMOR 8 AKUNTANSI TRANSFER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN KEUANGAN POKOK 1. Neraca Komparatif NERACA PEMERINTAH KABUPATEN SAROLANGUN Per 31 Desember 2009 Dan 2008 (Dalam Rupiah)

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 71 TAHUN 2014

BAB I KEBIJAKAN AKUNTANSI PENDAPATAN

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BERBASIS KAS

8.1. Keuangan Daerah APBD

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II CATATAN ATAS LAPORAN ALIRAN KAS DAERAH

Metodologi Pengertian Produk Domestik Regional Bruto Beberapa Pendekatan Penyusunan PDRB

Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI DPPKAD KABUPATEN GRESIK

BUPATI SAMPANG KATA PENGANTAR

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2005

WALIKOTA MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN

BUPATI MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS,

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Analisis Kinerja Belanja Pemerintah daerah Kotamobagu dan Bolaang Mongondow Timur tahun Herman Karamoy

AKUNTANSI PEMERINTAHAN SOAL PERSAMAAN AKUNTANSI PEMERINTAHAN

STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PERNYATAAN NO. 02 LAPORAN REALISASI ANGGARAN

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ANGGARAN DAN REALISASI PADA APBD PEMERINTAHAN PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN ANGGARAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Adolf Wagner Adolf Wagner menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dan kegiatan pemerintah semakin lama semakin meningkat. Dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan, dan sebagainya. Berkaitan dengan hukum Wagner, dapat dilihat beberapa penyebab semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah, yakni meningkatnya fungsi pertahanan keamanan dan ketertiban, meningkatnya fungsi kesejahteraan, meningkatnya fungsi perbankan, dan meningkatnya fungsi pembangunan. 2.1.2 Belanja Daerah 2.1.2.1 Pengertian Belanja Daerah Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q) menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya. Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Menurut Lesminingsih dalam Halim (2001:199) menyatakan bahwa pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah. Sedangkan menurut Halim (2002) yang mengemukakan bahwa belanja daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau deplesi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekiutas dana. Kemudian menurut Bastian (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah adalah penurunan manfaat ekonomis

masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas keluar, atau konsumsi aktiva/ ekuitas neto, selain dari yang berhubungan dengan distribusi ke entitas ekonomi itu sendiri. Dan menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat. 2.1.2.2 Karakteristik Belanja Daerah Biaya adalah penurunan manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas, konsumsi aktiva atau terjadinya kewajiban yang ditimbulkan karena pengurangan dalam aktiva/ ekuitas neto, selain dari yang berhubungan dengan distribusi entitas ekonomi itu sendiri. Menurut Bastian (2002), Biaya dapat dikategorikan sebagai belanja dan beban. Belanja adalah jenis biaya yang timbulnya

berdampak langsung kepada berkurangnya saldo kas maupun uang entitas yang berada di bank. Beban dapat berarti pengakuan biaya-biaya non-kas baik karena penyusutan, amortisasi, penyisihan atau cadangan. Penyisihan per persediaan itu sendiri. Berdasarkan manfaatnya, biaya yang telah terjadi pada suatu periode dapat diklasifikasikan sebagai operasi dan non-operasi. Belanja atau biaya diklasifikasikan menurut penggunaan belanja/biaya dimana dirinci berdasarkan kelompok jenis belanja/biaya, sedangkan pusat pertanggungjawaban dirinci berdasarkan bagian atau fungsi dan unit organisasi pemerintah daerah (Bastian, 2002). Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan mengenai karakteristik belanja daerah yaitu adanya penurunan manfaat ekonomis yang berdampak terhadap penurunan saldo kas maupun uang entitas yang ada di bank, berada dalam tahun anggaran tertentu, dan belanja daerah diklasifikasikan menurut penggunaan belanja/ biaya dan pusat pertanggungjawaban. 2.1.2.3 Klasifikasi Belanja Daerah Belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri 13/2006 terdiri atas: belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.

Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran uang dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu belanja atau pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Belanja rutin pada dasarnya berunsurkan pos-pos belanja untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan sehari-hari meliputi belanja pegawai, belanja barang: berbagai macam subsidi, angsuran, dan lainlain. Sedangkan belanja atau pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik. Sistem penganggaran Kepmendagri nomor 29 tahun 2002 pada pasal 6 mengklasifikasi belanja daerah dalam dua

klasifikasi utama yaitu pertama, Belanja daerah yang terdiri dari bagian belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik. Kedua, masing-masing belanja dirinci menurut kelompok belanja yang meliputi belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Mardiasmo (2002) mengemukakan bahwa belanja daerah diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, dan Belanja Tidak Tersangka. Sedangkan menurut Manurung dalam Halim (2001) yang mengemukakan bahwa belanja daerah dibagi menjadi Belanja Rutin, Belanja Investasi yang terdiri dari Belanja Pelayanan Publik dan Belanja Aparatur/ pegawai, Pengeluaran Transfer, serta Pengeluaran Tidak Tersangka. Menurut Halim (2004), belanja daerah digolongkan menjadi 4, yakni: belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal.

Belanja aparatur daerah adalah belanja yang berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/ pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik) sedangkan belanja pelayanan publik adalah belanja yang berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/ pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). 2.1.2.4 Belanja Pelayanan Publik Pengertian belanja pelayanan publik menurut Mardiasmo (2002) adalah belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/ pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampaknya (impact) secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). Seperti yang dikemukakan oleh Nirzwan dalam Halim (2001) bahwa belanja pelayanan publik adalah belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Belanja pelayanan publik merupakan belanja modal yang berupa investasi fisik (pembangunan infrastruktur) yang

mempunyai nilai ekonomis yang lebih dari satu tahun dan mengakibatkan terjadinya penambahan asset daerah. Sedangkan menurut Halim (2002) yang mengemukakan bahwa belanja pelayanan publik yaitu belanja yang manfaatnya bisa dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contohnya, pembangunan jembatan, pembangunan jalan raya, pembelian alat transportasi masa, pembelian alat ambulans. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa belanja pelayanan publik adalah segala pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset kekayaan daerah dan secara langsung dapat langsung dinikmati oleh masyarakat. Bentuk dari belanja pelayanan publik ini dapat berupa proyek-proyek fisik seperti pembangunan jalan, jembatan, gedung-gedung. Dan dapat pula berbentuk proyek-proyek nonfisik seperti peningkatan kesehatan, penataran, pembinaan mental dan spiritual masyarakat. Dari beberapa pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik belanja pelayanan publik yaitu semua pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran, berada dalam tahun anggaran tertentu, dapat menambah kekayaan asset daerah dan dampaknya dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

2.1.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah atau provinsi dalam periode tertentu ditunjukan oleh data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Produk Domestik Regional Bruto didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah seluruh nilai tambah yang timbul dari berbagai kegiatan ekonomi di suatu wilayah, tanpa memperhatikan pemilikan atas faktor produksinya, apakah milik penduduk wilayah tersebut ataukah milik penduduk wilayah lain (Sukirno, 2000). Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.

Badan Pusat Statistik menjelaskan untuk lebih jelas dalam penghitungan angka-angka PDRB ada tiga pendekatan yang kerap digunakan dalam melakukan perhitungan, yaitu menurut pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Pengertian PDRB dapat pula dilihat dari tiga pendekatan tersebut, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Dilihat dari pendekatan Produksi, PDRB merupakan nilai produksi netto dari barang dan jasa yang dihasilkan daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi sembilan sektor lapangan usaha, yaitu sektor pertanian, pertambangan, perdagangan hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa. Dilihat dari pendekatan pendapatan, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi dalam suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa yang diterima adalah upah, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan dikurangi pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB, kecuali balas jasa faktor produksi di atas termasuk pula komponen penyusutan dan pajak tak langsung netto. Seluruh komponen pendapatan ini secara sektoral disebut sebagai nilai tambah bruto.

Adapun dilihat dari pendekatan Pengeluaran, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah semua komponen permintaan akhir seperti: pengukuran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi, pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, dan ekspor netto. Sebagai tambahan, selain ketiga pendekatan yang digunakan untuk menghitung PDRB seperti yang telah dijelaskan diatas, masih terdapat satu lagi pendekatan untuk menghitung PDRB yakni metode alokasi. Metode ini digunakan jika data suatu unit produksi di suatu daerah tidak tersedia. Nilai tambah suatu unit produksi di daerah tersebut dihitung dengan menggunakan data yang telah dialokasikan dari sumber yang tingkatannya lebih tinggi, misalnya data suatu kabupaten diperoleh dari alokasi data provinsi. Beberapa alokator yang dapat digunakan adalah nilai produksi bruto atau neto, jumlah produksi fisik, tenaga kerja, penduduk, dan alokator lainnya yang dianggap cocok untuk menghitung nilai suatu unit produksi. 2.1.4 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) 2.1.4.1 Pengertian SILPA Menurut PP No. 24 tahun 2005 Lampiran III, IV Pernyataan Sistem Akuntansi Pemerintahan, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) adalah Selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD selama satu periode

pelaporan. Menurut PP No. 71 Tahun 2010 tentang Sistem Akuntansi Pemerintahan (Lampiran I.02), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) adalah selisih lebih/kurang antara realisasi pendapatan-lra dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBN/APBD selama satu periode pelaporan. Dalam penyusunan Anggaran Penyusunan Belanja Daerah (APBD) angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol. Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaranyang terjadi. Jika angka SILPA-nya positif berarti bahwa ada pembiayaan netto setelah dikurangi dengan defisit anggaran, masih tersisa. Jika angka SILPA-nya negatif berarti bahwa pembiayaan netto belum dapat menutup defisit anggaran yang terjadi. Untuk itu perlu dicari jalan keluarnya. Misalnya dengan mengusahakan sumber-sumber penerimaan pembiayaan yang lain seperti utang dan lain sebagainya. Atau dengan mengurangi Belanja dan atau pengeluaran pembiayaan sehingga angka SILPA ini sama dengan nol. 2.1.4.2 Penerimaan pembiayaan Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun

anggaran sebelumnya (SILPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. 2.1.4.3 Pengeluaran pembiayaan Pengeluaran pembiayaan adalah pengeluaran yang akan diterima kembali pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penerimaan modal (investasi) pemda, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah. 2.1.5 Pertumbuhan Ekonomi 2.1.5.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Menurut Kuznet, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada

penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologinya dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukan. Todaro (1998) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses yang mantap dimana kapasitas produksi dari suatu perekonomian meningkat sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan nasional yang semakin besar. Menurut Budiono (1994), pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses pertumbuhan output perkapita jangka panjang yang terjadi apabila ada kecenderungan (output perkapita untuk naik) yang bersumber dari proses intern perekonomian tersebut (kekuatan yang berada dalam perekonomian itu sendiri), bukan berasal dari luar dan bersifat sementara. Atau dengan kata lain bersifat self generating, yang berarti bahwa proses pertumbuhan itu sendiri menghasilkan suatu kekuatan atau momentum bagi kelanjutan pertumbuhan tersebut dalam periode-periode selanjutnya (Budiono, 1994). Sadono Sukirno berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlaku dari tahun ke tahun. Sehingga untuk mengetahuinya harus diadakan perbandingan pendapatan nasional dari tahun ke tahun, yang dikenal dengan laju pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 1985).

2.2 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan mengenai pengalokasian anggaran belanja daerah. Prakoso meneliti hubungan antara pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan produk domestik regional bruto terhadap belanja daerah. Penelitian menunjukkan pendapatan asli daerah positif dan belanja daerah, dana alokasi umum positif dan belanja daerah, dan produk domestik regional bruto positif dan belanja daerah. Kusnandar dan Siswantoro meneliti hubungan antara dana alokasi umum, pendapatan asli daerah, sisa lebih pembiayaan anggaran, luas wilayah terhadap belanja modal. Secara parsial, dana alokasi umum positif namun tidak belanja modal, pendapatan asli daerah positif dan belanja modal, sisa lebih pembiayaan anggaran positif dan belanja modal, dan luas wilayah positif dan belanja modal. Wertianti dan Dwirandra meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, terhadap belanja modal. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi positif dan belanja modal, pendapatan asli daerah positif dan belanja modal, dana alokasi umum positif dan belanja modal, pendapatan asli daerah mampu

memoderasi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap belanja modal, namun dana alokasi umum tidak mampu memoderasi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap belanja modal. Maharani meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi (PDRB), pendapatan asli daerah, dana alokasi umum terhadap belanja modal. PDRB, pendapatan asli daerah, dan dana alokasi umum secara simultan terhadap belanja modal. Secara parsial, PDRB negatif dan tidak belanja modal, pendapatan asli daerah positif dan belanja modal, dan dana alokasi umum positif dan belanja modal. Purnama meneliti hubungan antara dana alokasi umum (DAU), pendapatan asli daerah (PAD), sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA), luas wilayah terhadap belanja modal. Secara parsial, DAU positif namun tidak belanja modal, PAD positif dan belanja modal, SILPA bepengaruh positif namun tidak belanja modal, dan luas wilayah positif dan belanja modal. Arwati dan Hadiati meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana alokasi umum terhadap pengalokasian belanja modal. Pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dan dana alokasi umum secara simultan terhadap pengalokasian belanja modal. Secara parsial, pertumbuhan ekonomi positif namun tidak pengalokasian belanja modal, pendapatan asli daerah

positif dan pengalokasian belanja modal, dan dana alokasi umum positif namun tidak pengalokasian belanja modal. Mappayunki meneliti hubungan antara surplus of financing budget, special allocation fund, general allocation fund, regional revenue, characteristics of local government, terhadap the decision of capital expenditure. Secara parsial surplus of financing budget positif dan signifikan terhadap the decision of capital expenditure, special allocation fund positif dan the decision of capital expenditure, general allocation fund positif dan signifikan terhadap the decision of capital expenditure, regional revenue positif dan the decision of capital expenditure, characteristics of local government tidak terhadap the decision of capital expenditure. Nurlis meneliti hubungan antara local revenue, general allocation fund, economic growth, population density, income per capita terhadap capital expenditure. Secara parsial, local revenue positif namun tidak capital expenditure, general allocation fund positif namun tidak capital expenditure, economic growth positif dan capital expenditure, population density positif dan capital expenditure, income per capita positif dan capital expenditure.

Beberapa penelitian terdahulu dengan hasil pengujiannya dapat dilihat dari Tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti Judul Variabel Penelitian Rendy Yulian Bayu Prakoso (2009) Kusnandar dan Dodik Siswantoro (2012) I G A Gede Wertianti dan A. A. N. B. Dwirandra (2013) Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Produk Domestik Regional Bruto terhadap Belanja Daerah Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi pada Belanja Modal dengan PAD dan DAU sebagai variabel pemoderasi Pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, produk domestik regional bruto, dan belanja daerah Dana alokasi umum, pendapatan asli daerah, sisa lebih pembiayaan anggaran, luas wilayah dan belanja modal Pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan belanja modal Kesimpulan Penelitian PAD belanja daerah, DAU pengalokasian belanja daerah, PDRB pengalokasian belanja daerah DAU tidak terhadap alokasi belanja modal, PAD sangat terhadap alokasi belanja modal, SILPA sangat terhadap alokasi belanja modal Pertumbuhan ekonomi belanja modal, PAD signifikan terdahap belanja modal, DAU belanja modal, PAD mampu memoderasi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap

Mayzestika Maharani (2010) Arif Purnama (2014) Dini Arwati dan Novita Hadiati (2013) Pertumbuhan Ekonomi (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja modal Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Periode 2012-2013 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Barat PDRB, PAD, DAU, dan Belanja modal Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA), Luas Wilayah, dan Belanja Modal Pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, pengalokasian belanja modal belanja modal, DAU tidak mampu memoderasi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap belanja modal PDRB tidak terhadap belanja modal, PAD terhadap belanja modal, DAU terhadap belanja modal DAU tidak terhadap alokasi belanja modal, PAD mempunyai pengaruh terhadap alokasi belanja modal, SILPA tidak mempunyai pengaruh terhadap alokasi belanja modal, Luas wilayah mempunyai pengaruh terhadap alokasi belanja modal Pertumbuhan ekonomi tidak pengalokasian belanja modal, PAD pengalokasian belanja modal, DAU tidak pengalokasian belanja modal

Ratna Mutiah Mappanyuki (2015) Nurlis (2016) The Effect of Surplus Budget Financing, Special Allocation Fund, General Allocation Fund, Regional Revenue, and Characteristics of Local Government on Decision of Capital Expenditure (Survey in Local Government in Indonesia) The Factors Affecting of The Capital Expenditure Allocation Case : The Local Government of Indonesia Surplus of financing budget, special allocation fund, general allocation fund, regional revenue, characteristics of local government, and the decision of capital expenditure Local Revenue, General Allocation Fund, Economic Growth, Population Density, Income Per Capita, and Capital Expenditure Surplus of financing budget positif terhadap the decision of capital expenditure, special allocation fund positif terhadap the decision of capital expenditure, general allocation fund terhadap the decision of capital expenditure, regional revenue tidak the decision of capital expenditure, characteristics of local government terhadap the decision of capital expenditure Local Revenue tidak Capital Expenditure, General Allocation Fund tidak Capital Expenditure, Economic Growth Capital Expenditure, Population Density Capital Expenditure, Income Per Capita

Capital Expenditure. 2.3 Kerangka Konseptual Adanya berbagai kendala dalam proses pembangunan di daerah salah satunya disebabkan oleh proses pengalokasian anggaran belanja daerah yang belum dilakukan dengan baik. Seringkali alokasi belanja daerah disusun tanpa memperhatikan faktor-faktor yang juga berperan dalam mempengaruhi anggaran belanja daerah yang baik dan tepat sasaran. Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang dialokasikan/dianggarkan menjadi beban daerah. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) adalah selisih lebih/kurang antara realisasi pendapatan-lra dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBN/APBD selama satu periode pelaporan. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Daerah adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu daerah secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu.

Pendapatan domestik regional bruto (PDRB), sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA), dan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah diduga memiliki peranan dalam proses pengalokasian anggaran belanja daerah. Oleh sebab itu, diadakan penelitian mengenai pengaruh produk domestik regional bruto (PDRB), sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) dan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah terhadap pengalokasian anggaran belanja daerah. Model dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (X1) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) (X2) Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Daerah (X3) Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah (Y) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Berdasarkan gambar kerangka konseptual tersebut, Produk Domestik Regional Bruto sebagai variabel independen (X1) mempunyai pengaruh positif yang Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah sebagai variabel dependen (Y). Artinya apabila X1 meningkat maka Y juga meningkat serta X1 benar-benar memiliki pengaruh terhadap Y atau dengan kata lain tidak terjadi secara kebetulan. Kemudian Sisa Lebih Pembiayaan

Anggaran (SILPA) sebagai variabel independen (X2) mempunyai pengaruh positif yang Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah sebagai variabel dependen (Y). Artinya apabila X2 meningkat maka Y juga meningkat serta X2 benar-benar memiliki pengaruh terhadap Y atau dengan kata lain tidak terjadi secara kebetulan. Kemudian Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Daerah sebagai variabel independen (X3) mempunyai pengaruh positif yang Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah sebagai variabel dependen (Y). Artinya X3 benar-benar memiliki pengaruh terhadap Y atau dengan kata lain tidak terjadi secara kebetulan. Terakhir, Produk Domestik Regional Bruto (X1), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (X2), dan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Daerah (X3) secara simultan terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah (Y). 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan dugaan sementara atau penjelasan sementara yang belum bisa dibuktikan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji apakah dugaan tersebut benar atau salah. Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teoritis, serta kerangka konseptual, maka hipotesis penelitian sebagai berikut: H1: Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) secara parsial terhadap pengalokasian anggaran belanja daerah. H2: Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) secara parsial terhadap pengalokasian anggaran belanja daerah.

H3: Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Daerah secara parsial terhadap pengalokasian anggaran belanja daerah. H4: Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA), dan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Daerah secara simultan terhadap pengalokasian anggaran belanja daerah.