BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa (Hurlock, 2004). Kehidupan remaja menarik untuk diteliti karena kompleksnya berbagai permasalahan yang ada di dalamnya. Stanley Hall (dalam Yusuf dan Sugandi, 2011) berpendapat bahwa masa remaja adalah masa storm and stress masa penuh konflik, yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi, antara kegoncangan, penderitaan, asmara, dan pemberontakan dengan otoritas orang dewasa. Gunarsa dan Gunarsa (2008) juga mengungkapkan pada masa ini kerap ditemukan perilaku bermasalah yang dihadapi oleh remaja baik yang menyangkut dirinya maupun masyarakat sekitarnya. Erickson (dalam Santrock, 2002) menyebut masa remaja sebagai masa kebingungan identitas, remaja dihadapkan dengan banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa. Seorang remaja menurut Dariyo (2004) seringkali mengalami kesulitan dan tidak mampu untuk menghadapi masalah masalah perubahan fisiologis, psikologis maupun psikososial dengan baik dan ditambah lagi adanya tuntutan untuk menyelesaikan tugas perkembangannya baik itu dari keluarga maupun lingkungan. Terjadinya perubahan pada harapan sosial, peran, dan perilaku remaja menyebabkan periode transisi ini sebagai periode yang penuh dengan konflik sehingga Hurlock (2004) mengemukakan bahwa masa remaja sebagai masa yang penuh masalah dan membutuhkan banyak penyesuaian diri. 1
2 Schneiders (1964) mengemukakan penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu. Seperti yang telah diungkapkan oleh Hurlock (2004) masa remaja adalah masa yang berada di antara masa anak-anak dan masa dewasa. Kemampuan yang masih kurang dalam penguasaan fungsi fisik maupun psikisnya, namun sudah harus menerima peranan sebagai orang dewasa dan harus memenuhi tuntutan sosial yang melampaui tugas masa perkembangannya saat ini (Monks, Knoers, dan Haditono, 2006; Hurlock 2004), dikhawatirkan akan menyebabkan kegagalan dalam penyesuaian diri remaja tersebut. Sunarto (2006) menyatakan bahwa remaja yang mengalami kegagalan dalam penyesuaian diri mengakibatkan remaja tersebut melakukan penyesuaian diri yang salah. Penyesuaian diri yang salah dapat meliputi tindakan tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, dan agresif (Sunarto, 2006). Perlu disadari bahwa remaja sebagai bagian dari generasi muda akan menjadi pelaku-pelaku pembangunan masa datang. Remaja selalu berperan penting di tengah-tengah masyarakat, yakni sebagai agent of change dan agent of social control. Remaja memerlukan penyesuaian diri yang baik dalam peran yang diembannya ini. Hurlock (2004) menyebutkan bahwa penyesuaian diri merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan remaja. Remaja perlu mengadakan penyesuaian diri karena mereka harus mempersiapkan diri menerima peranan sebagai orang dewasa, dan memenuhi tanggung jawab sosial yang diharapkan masyarakat kepadanya. Permasalahan yang semakin kompleks akan timbul apabila remaja tidak mampu melakukan penyesuaian. Berbagai permasalahan yang dihadapi remaja ini mendorong remaja agar melakukan penyelesaian agar
3 tidak menjadi masalah yang tidak terselesaikan sehingga mengganggu perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu Hurlock (2004) menyebutkan bahwa permasalahan yang kompleks dan membutuhkan suatu penyelesaian menyeluruh merupakan penyebab mengapa masa remaja dinilai lebih rawan daripada tahaptahap perkembangan manusia yang lain. Penelitian Suryani, Syahniar dan Zikra (2013) menemukan bahwa pada masa pubertas yang ditandai dengan gejolak emosi yang meninggi, remaja kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik dan cenderung lebih suka menyendiri. Menurut Hurlock (2004) remaja yang berada diantara masa anak-anak dan dewasa masih belum dapat mengontrol emosinya dengan baik. Salovey dan Suyter (dalam Nisfiannoor dan Kartika, 2004) mengemukakan bahwa regulasi emosi diperlukan oleh remaja karena mereka masih memiliki emosi yang tidak stabil. Regulasi emosi ialah kemampuan yang dimiliki oleh individu agar dapat mengendalikan emosi yang sedang dirasakan sehingga dapat ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan (Denham dalam Coon, 2005). Saat melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau membangun emosi positif (Kostiuk dan Fouts, 2002). Thompson (dalam Garnefski, Kraaij, dan Spinhoven, 2003) mengasumsikan regulasi emosi sebagai faktor penting dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam usahanya untuk berfungsi dengan normal di kehidupannya seperti dalam proses adaptasi, dapat berespon sesuai, dan fleksibel.
4 Remaja yang memiliki regulasi emosi yang baik akan mampu menyadari dan mengatur pemikiran. Seseorang yang mampu meregulasi emosinya akan mendapatkan dampak positif bagi kesehatannya, tingkah laku, dan hubungan sosial (Davidson, Putnam, dan Larson dalam Gross, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Nisfiannoor dan Kartika (2004) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kemampuan regulasi emosi dan penerimaan teman sebaya, dimana remaja yang diterima oleh kelompok teman sebayanya adalah remaja yang mampu menyesuaikan diri secara tepat dalam berbagai situasi dan pergaulan sosial (Hurlock, 2004). Desmita (2011) juga menyebutkan salah satu aspek penyesuaian diri dapat dilihat dari aspek kematangan sosial yang salah satunya adalah keakraban dan pergaulan dengan teman sebaya. Remaja diharapkan mampu meningkatkan kemampuannya dalam meregulasi emosi sehingga dapat mengurangi tingkat risiko terjadinya maladjustment atau ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri. Hal ini disebabkan karena keadaan emosional yang tidak stabil juga berpengaruh terhadap mental seseorang. Selain kemampuan regulasi emosi, komunikasi menjadi hal penting dalam melakukan interaksi dengan sesama, khususnya remaja dalam menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya. Seperti contoh kasus tawuran antar-pelajar yang telah dipaparkan sebelumnya, kasus ini sendiri kerap terjadi akibat kesalahpahaman antar-pelajar di jalanan. Bermula dari saling melihat lalu tersinggung dan terjadilah perkelahian. Rakhmat (2012) mengemukakan komunikasi merupakan peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia saling berinteraksi. Sebagai seorang remaja kecakapan dalam berkomunikasi menjadi hal
5 yang sangat penting dalam berhubungan dengan teman dan lingkungan sekitarnya. Cassagrande (dalam Liliweri, 1997) menyatakan bahwa manusia berkomunikasi karena memerlukan orang lain untuk dapat saling mengisi kekurangan serta membagi kelebihan, dan ingin membentuk hubungan dengan orang lain. Senada dengan hal tersebut, Mulyana (2007) mengemukakan bahwa komunikasi penting untuk membangun konsep diri kita, kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, terhindar dari ketegangan dan tekanan, yaitu melalui komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. Myers dan Myers (1992) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai transaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang mencakup orang-orang sebagai teman, keluarga, anak-anak, rekan sekerja, bahkan orang asing. Komunikasi interpersonal menurut Bebee, Bebee, dan Raymond (2008) dapat meningkatkan kualitas hubungan dengan keluarga, teman, kolega, dan pasangan juga meningkatkan hubungan fisik dan emosi. Seseorang memerlukan komunikasi untuk dapat menciptakan hubungan sosial yang ramah dengan orang lain. Suranto (2011) menegaskan bahwa setiap orang telah menggunakan banyak waktu untuk komunikasi interpersonal guna membangun dan memelihara hubungan sosial dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki komunikasi interpersonal baik akan mampu membina hubungan dengan orang lain sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan keadaan maupun lingkungan tempat ia berada. Sementara itu, untuk membina hubungan sosial, individu memerlukan komunikasi yang merupakan dasar interaksi antarmanusia (Fajar, 2009). Oleh karena itu kemampuan dalam menjalin komunikasi
6 interpersonal penting untuk dimiliki remaja guna memenuhi kebutuhan akan persahabatan dalam penyesuaian dirinya. Semakin baik komunikasi interpersonal maka semakin baik pula penyesuaian diri (Kusumaningsih dan Mulyana, 2013). Santrock (2002) mengungkapkan bahwa sekolah-sekolah menengah lanjutan mempertahankan orientasinya yang komprehensif, yang dirancang untuk melatih remaja tidak hanya secara intelektual tetapi dalam banyak hal lain seperti kejuruan (vocational) dan sosial. Seperti halnya pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), berdasarkan isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 3 mengenai tujuan pendidikan nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja di bidang tertentu. Berbagai macam jurusan pada SMK ini, salah satunya adalah Sekolah Menengah Musik (SMM). Sekolah ini memiliki dasar pendidikan keterampilan bermain musik klasik bagi para siswanya. Scheneiders (1964) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri individu adalah kondisi lingkungan atau sekolah bagi siswa. Sebagai upaya melakukan proses penyesuaian diri yang baik, lingkungan sekolah menjadi salah satu sarana remaja dalam mengembangkan kemampuan penyesuaian diri. Soeparwoto, Hariyadi, Hendriyani, dan Litfiah (2004) menyebutkan kondisi sekolah yang kondusif dimana remaja betah dan bangga terhadap sekolahnya memberikan dasar bagi remaja untuk berperilaku harmonis di masyarakat. Sebaliknya kondisi yang kurang kondusif dimana remaja kurang betah, kurang menyukai guru-gurunya, sering terjadi pelanggaran hukum,
7 perkelahian dan sebagainya maka akan berpengaruh terhadap proses penyesuaian diri siswanya. Sejalan dengan itu, Desmita (2011) juga menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dapat dilihat dari konsep sosiopsikogenik, yaitu faktor iklim lembaga sosial dimana individu terlibat di dalamnya. Bagi siswa yang berada di lingkungan sekolah, faktor sosiopsikogenik yang mempengaruhi penyesuaian dirinya terletak pada hubungan sosial dalam sekolah yaitu hubungan antara guru dengan siswa. Keberhasilan siswa dalam menjalin hubungan sosial akan mempengaruhi penyesuaian dirinya. Salah satu sekolah yang memberikan kenyamanan kondisi sekolah adalah Sekolah Menengah Musik (SMK Negeri 2 Kasihan Bantul). Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum (Kamis, 28 November 2013), sekolah ini menerapkan sebuah hubungan keakraban layaknya hubungan orang tua dengan anak antara guru dan siswa. Berdasarkan penuturan pihak sekolah, konsep hubungan terbuka antara guru dengan murid diterapkan untuk mendukung kelancaran pembelajaran di sekolah. Selain itu para siswa juga mendapat kelonggaran dari pihak sekolah untuk berlatih dan bermain alat musik di luar jam pelajaran sekolah. Menurut David Ewen seorang pakar musik menjelaskan bahwa musik sendiri adalah ilmu pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritmik dari nadanada, baik vokal maupun instrumental, yang meliputi melodi dan harmoni, sebagai ekspresi dari segala sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek emosional. Musik dikenal memiliki kekuatan khusus yang mampu melampaui pikiran, emosi dan kesehatan fisik dalam masyarakat kuno.
8 Seperti yang diungkapkan oleh American Music Therapy Association (2009), mendengarkan musik dapat membantu dalam proses relaksasi, menenangkan emosi, mengurangi stress dan mengatur fungsi tubuh seperti denyut jantung dan pernafasan. Merritt (2003) juga menyatakan bahwa dengan melakukan aktivitas musik seperti mendengarkan sebuah karya musik atau bermain alat musik dapat mempengaruhi tubuh, jiwa maupun fikiran seseorang. Musik berfungsi sebagai sarana katarsis, yakni sebagai sarana pengekspresian diri. Musik diakui mempunyai kekuatan untuk mengantar dan menggugah emosi. Baik dituangkan melalui penjiwaan terhadap alur cerita, musik, dan watak tokoh yang diperankan, maupun sebagai sarana untuk mengkspresikan diri (Djohan, 2009). Berdasarkan pada kondisi sekolah yang nyaman, hubungan terbuka antara guru dengan siswa, kegiatan memainkan instrument musik bagi siswa yang secara tidak langsung berfungsi sebagai sarana pengekspresian diri, diasumsikan bahwa siswa Sekolah Menengah Musik (SMK Negeri 2 Kasihan Bantul) memiliki penyesuaian diri yang baik. Oleh karena itu dengan adanya kemampuan penyesuaian diri yang dimiliki, maka siswa Sekolah Menengah Musik (SMK Negeri 2 Kasihan Bantul) diharapkan mampu mengembangkan kemampuan penyesuaian diri mereka sebagai generasi muda yang akan menjadi pelaku-pelaku pembangunan masa datang. Sebagai agent of change dan agent of social control yang selalu berperan penting di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum (Kamis, 28 November 2013), para siswa Sekolah Menengah Musik (SMK Negeri 2 Kasihan Bantul) yang sebagian besar berasal dari luar kota seperti Jakarta,
9 Pekan Baru, Kendal, Banjarmasin, dan berbagai daerah di seluruh pelosok Indonesia, juga mengalami penyesuaian diri di lingkungan baru. Studi awal berdasarkan wawancara kepada beberapa siswa diperoleh data bahwa siswa dapat dengan mudah menyesuaikan diri di lingkungan baru. Latar belakang budaya dan sistem sosial yang berbeda tentunya membuat proses penyesuaian diri ini terhambat karena menurut Schneiders (1964), determinan kultur atau budaya dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu. Berdasarkan studi pendahuluan fenomena kegagalan penyesuaian diri terlihat tidak begitu nampak pada siswa-siswa sekolah ini. Siswa dapat mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan, seperti kesediaan untuk membantu orang lain, ramah, santun, terbuka dengan orang lain, dan menjalin hubungan keakraban dengan para guru. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti ingin meneliti mengapa siswa-siswa Sekolah Menengah Musik (SMM) dapat dengan mudah melakukan penyesuaian diri padahal seharusnya seperti kebanyakan remaja di usianya, mereka akan bermasalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya akibat masa transisi ini. Penelitian ini juga melanjutkan penelitian terdahulu oleh Prasetyorini (2004) yang menemukan bahwa remaja awal yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler musik memiliki penyesuaian diri yang lebih baik dibanding remaja yang tidak ikut serta. Peneliti tertarik untuk meneliti faktor apakah yang mempengaruhi penyesuaian diri siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler musik sehingga peneliti mengajukan dua faktor yang diduga memiliki hubungan dengan penyesuaian diri yakni kemampuan regulasi emosi dan komunikasi interpersonal.
10 Berlandaskan latar belakang diatas, peneliti ingin meneliti bagaimana penyesuaian diri dalam hubungannya dengan kemampuan regulasi emosi dan komunikasi interpersonal pada siswa Sekolah Menengah Musik (SMK Negeri 2 Kasihan Bantul). Berdasarkan paparan yang telah diuraikan, peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara Kemampuan Regulasi Emosi dan Komunikasi Interpersonal dengan Penyesuaian Diri Siswa Sekolah Menengah Musik. B. Perumusan Masalah 1. Apakah ada hubungan antara kemampuan regulasi emosi dan komunikasi interpersonal dengan penyesuaian diri siswa Sekolah Menengah Musik? 2. Apakah ada hubungan antara kemampuan regulasi emosi dengan penyesuaian diri siswa Sekolah Menengah Musik? 3. Apakah ada hubungan komunikasi interpersonal dengan penyesuaian diri siswa Sekolah Menengah Musik? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui hubungan antara kemampuan regulasi emosi dan komunikasi interpersonal dengan penyesuaian diri siswa Sekolah Menengah Musik. b. Untuk mengetahui hubungan antara kemampuan regulasi emosi dengan penyesuaian diri siswa Sekolah Menengah Musik.
11 c. Untuk mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal dengan penyesuaian diri siswa Sekolah Menengah Musik. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi ilmuwan psikologi sehingga dapat memperkaya ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi sosial, perkembangan serta pendidikan, terutama mengenai hubungan antara kemampuan regulasi emosi dan komunikasi interpersonal dengan penyesuaian diri pada remaja. b. Manfaat Praktis 1) Peneltitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada remaja terkait peranan kemampuan regulasi emosi dan komunikasi interpersonal dalam menghadapi tugas-tugas perkembangan yang mereka emban sehingga remaja dapat melakukan penyesuaian diri di lingkungan sosial dengan baik. 2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihakpihak terkait seperti orang tua, pendidik, sekolah, psikolog, dan masyarakat sebagai upaya-upaya membantu remaja agar memiliki kemampuan regulasi emosi dan komunikasi interpersonal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik selain itu dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menangani kasus penyesuaian diri yang salah.
12 3) Sebagai masukan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian serupa di masa yang akan datang.