BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Hasil penelitian UN- Deutsche Bank (2009), Indonesia menyumbang sekitar 6 persen penduduk di Asia. Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas penduduk Indonesia merupakan permasalahan strategis. Salah satu permasalahan pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas yang dikemukakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yaitu masih tingginya angka kelahiran penduduk (Bappenas, 2010). Berdasarkan data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI, 2007, diketahui bahwa angka kelahiran total sebesar 2,3. Sekitar 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan jumlah kelahiran ini sama dengan jumlah total penduduk Singapura pada tahun 2000 (World Bank). Kondisi ini menyebabkan tingginya laju pertumbuhan dan jumlah penduduk karena tingkat kelahiran merupakan faktor utama yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk di Indonesia (Bappenas, 2010). Kesadaran akan pentingnya kontrasepsi sebagai upaya untuk pencapaian program keluarga berencana di Indonesia masih perlu ditingkatkan guna mencegah terjadinya ledakan penduduk. Ledakan jumlah penduduk merupakan salah satu permasalahan global yang muncul di seluruh dunia, selain isu tentang pemanasan
global, krisis ekonomi, dan masalah pangan serta menurunnya tingkat kesehatan penduduk. Kekhawatiran akan terjadinya ledakan penduduk pada tahun 2015 mendorong pemerintah Indonesia membuat beberapa kebijakan penting karena penduduk yang besar tanpa disertai dengan kualitas yang memadai justru menjadi beban pembangunan dan menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional (Emon, S, 2008). Salah satu kunci kesuksesan program keluarga berencana nasional adalah adanya keterlibatan semua pihak, baik dari institusi pemerintah, swasta maupun masyarakat itu sendiri, dalam lingkup yang lebih kecil keterlibatan seluruh anggota keluarga. Pelayanan keluarga berencana ditujukan kepada pasangan usia subur yang berarti harus melibatkan kedua belah pihak yakni istri maupun suami. Namun pada kenyataannya hanya perempuan saja yang dituntut untuk menggunakan alat kontrasepsi, hal ini dapat dilihat dari data peserta KB yang lebih banyak wanita dari pada pria (Siswosudarmo, dkk, 2001). Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003, diketahui bahwa partisipasi suami sebagai peserta KB masih sangat rendah, yaitu 1,3% yang terdiri dari pemakai kondom 0,9% dan vasektomi 0,4%. Persentase ini tentu sangat rendah dibandingkan perempuan yang mencapai 59% dari total 60,3% peserta KB (BPS, 2004). Tingkat pemakaian kondom terutama pada pasangan usia subur di Sumatera Utara dinilai masih rendah. Anthony (2011) yang merupakan Kepala Seksi Advokasi dan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN), mengatakan bahwa pencapaian pemakaian kondom di Sumatera Utara pada tahun 2011sekitar 20,20 % (15.718 orang) dari 60.000 target. Anthony juga menyatakan bahwa salah satu penyebab rendahnya tingkat pemakaian kondom di kalangan masyarakat diperkirakan karena berkurangnya kepuasan istri, serta masih minimnya sosialisasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota tentang pentingnya penggunaan kondom. Berbagai penelitian dan survey yang pernah dilakukan lembaga riset, khususnya di pedesaan hingga saat ini menunjukkan bahwa kaum pria kurang paham, tidak paham dan sama sekali tidak mau tahu soal-soal KB. Urusan yang merepotkan dan terkadang harus mengorbankan nyawa seakan tidak terkait terhadap pria (Hermansyah dan Perangin-angin, 2005). Abdi, Z, (2008), menyatakan bahwa rendahnya kesadaran pria untuk ikut ber KB terkait dengan kurangnya pemahaman kaum pria mengenai kontrasepsi pria, rendahnya minat suami dalam mengakses informasi tentang KB dan kesehatan reproduksi, peran tokoh agama yang masih kurang, dan sarana pelayanan KB bagi pria yang masih perlu ditingkatkan dan terbatasnya pilihan alat kontrasepsi yang tersedia. Pada masyarakat juga masih ada pandangan negatif yang muncul terhadap pria ber KB berupa kenyamaan dengan pengebirian, disalahgunakan oleh pria untuk penyimpangan seksual, memengaruhi kenikmatan berhubungan seksual dan anggapan sulit untuk ereksi. Kecamatan STM Hulu adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang yang memiliki jumlah pencapaian peserta KB aktif yang cukup besar, akan
tetapi tingkat pemakaian alat kontrasepsi pria di Kecamatan STM Hulu masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah PUS yang ada, yaitu sebanyak 107 (4,65%) dari 2.300 PUS. Pencapaian tersebut masih cukup jauh bila dibandingkan dengan perkiraan permintaan masyarakat (PPM) peserta KB aktif tahun 2011 untuk Kecamatan STM Hulu yaitu 8,24% (Badan KB Kabupaten Deli Serdang, 2011). Rendahnya kesertaan pria dalam keluarga berencana di Kecamatan STM Hulu dapat dikarenakan komunikasi mengenai kontrasepsi masih jarang dibicarakan, banyak faktor yang menghambat masyarakat membicarakan hal tersebut. Faktor sosial dan kultural merupakan salah satu penyebab yang menghambat diskusi mengenai kontrasepsi ini, karena mereka menganggap pembicaraan mengenai seks, dan kontrasepsi masih sangat tabu untuk dijadikan topik dalam pembicaraan seharihari. Dari hasil survei awal di Kecamatan STM Hulu diketahui adanya keluhan dari suami tentang layanan KB yang berkaitan dengan ketersediaan alat kontrasepsi yang ingin digunakan. Mereka menyatakan bahwa ketersediaan alat kontrasepsi bagi pria di Kecamatan STM Hulu sangat kurang, sehingga secara langsung berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan jika ingin menggunakan alat Berdasarkan survei awal di Puskesmas STM Hulu, diketahui bahwa didalam penyediaan alat dan obat kontrasepsi, puskesmas mendapat suplai dari kantor/dinas KB di Kabupaten. Sehingga Puskesmas STM Hulu memiliki persediaan alat dan obat kontrasepsi, namun persediaan alat dan obat kontrasepsi terbanyak di puskesmas adalah pil dan suntik, dimana kondom laki-laki jarang tersedia di puskesmas dan meskipun ada jumlahnya sangat sedikit. Selain itu, layanan KB di Puskesmas STM
Hulu belum menjadi prioritas, sehingga puskesmas tidak memiliki strategi khusus untuk mempromosikan dan meningkatkan layanan KB di puskesmas. Hal ini ditandai dengan jumlah petugas KB di Kecamatan STM Hulu masing sangat kurang. Dengan kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang program KB melalui pemakaian kondom, dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan suami tentang KB. Sehingga hal tersebut membuat suami masih ada yang merasa bahwa KB merupakan urusan para istri. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul faktor-faktor yang memengaruhi pemakaian alat kontrasepsi pada pria di Kecamatan STM Hulu. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah rendahnya keikutsertaan suami didalam pemakaian alat kontrasepsi di Kecamatan STM Hulu. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pemakaian alat kontrasepsi pada pria di Kecamatan STM Hulu Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui pengaruh umur suami terhadap pemakaian alat b. Untuk mengetahui pengaruh jumlah anak terhadap pemakaian alat
c. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan suami terhadap pemakaian alat d. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendapatan terhadap pemakaian alat e. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan suami terhadap pemakaian alat f. Untuk mengetahui pengaruh sikap suami terhadap pemakaian alat g. Untuk mengetahui pengaruh akses pelayanan terhadap pemakaian alat 1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan informasi bagi penduduk di Kecamatan STM Hulu terhadap penggunaan alat kontrasepsi pria, sehingga meningkatkan jumlah pemakaian alat kontrasepsi pada pria. 2. Sebagai bahan masukan bagi Badan Kependudukan, Catatan Sipil, KB dan Keluarga Sejahtera Kabupaten Deli Serdang untuk perencanaan Program Keluarga Berencana (KB). 3. Sebagai referensi dan bahan masukan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas Kecamatan STM Hulu dan PLKB (petugas lapangan keluarga berencana) untuk upaya peningkatan jumlah pemakaian alat kontrasepsi pada pria.