Epidermophyton (Kahn dan Line, 2007). Ketiga genus ini telah dikelompokkan

dokumen-dokumen yang mirip
All about Tinea pedis

BAB I PENDAHULUAN. kuku yang menyebabkan dermatofitosis.penyebab dermatofitosis terdiri dari 3

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Mikosis adalah infeksi jamur. 1 Dermatomikosis adalah penyakit

Si Musuh Kulit Kepala Anak-Anak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan kematian. Scabies merupakan salah satu penyakit kulit yang

BAB I PENDAHULUAN. Istilah onikomikosis merupakan suatu istilah yang merujuk pada semua

ABSTRAK. Kata kunci : Dermatitis, ekstrak daun mimba, antifungal, Microsporum gypseum

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna (2004),

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan

BAB I PENDAHULUAN. serta terkadang sulit untuk menemui seorang ahli/pakar dalam keadaan

PENDAHULUAN LAPORAN KASUS

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium.

BAB I PENDAHULUAN diantaranya meninggal akibat penyakit tersebut (Lester, 2004 ;

ABSTRAK. Kata kunci: dermatitis kompleks, anjing, tingkat kerusakan

Isolasi dan Identifikasi Microsporum canis dari Anjing Penderita Dermatofitosis di Yogyakarta

I. PENDAHULUAN. Luka bakar derajat II (partial thickness) merupakan kerusakan pada kulit yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan kesetiaannya. Selain itu anjing dan kucing mempunyai kesamaan yaitu sangat

KOMPETENSI MATA KULIAH PARA KLINIK

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

BAB I PENDAHULUAN. Dermatitis Kontak Alergika (DKA) merupakan suatu penyakit keradangan

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dermatofita, non dermatofita atau yeast, 80-90% onikomikosis disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. kemudian akan mengalami asma dan rhinitis alergi (Djuanda, 2007). inflamasi dan edukasi yang kambuh-kambuhan (Djuanda,2007).

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Dermoskopi Sebagai Teknik Pemeriksaan Diagnosis dan Evaluasi Lesi

TINEA KAPITIS, apa tuh??

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. : Ilmu penyakit kulit dan kelamin. : Bagian rekam medik Poliklinik kulit dan kelamin RSUP Dr.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini membawa manusia

MICROSPORUM GYPSEUM. Microsporum Scientific classification

Gambar 1. Perluasan lesi pada telapak kaki. 9

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Yang paling sering : Itching (Pruritus) Ekimosis Dryness Lumps (Bengkak)

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI JUNI 2016

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Notoatmodjo(2011),pengetahuan mempunyai enam tingkatan,yaitu:

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

MODUL PROBLEM BASED LEARNING KELAS REGULER SISTEM INDRA KHUSUS

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

DESKRIPSI KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA PENDIDIKAN KEDOKTERAN

PEMERIKSAAN LAMPU WOOD PADA PASIEN DERMATOSIS DI RUMAH SAKIT GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dengan istilah tinea unguium (Monero dan Arenas, 2010). merupakan kelainan kuku paling sering (Welsh et al, 2010).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akut, TBC, diare dan malaria (pidato pengukuhan guru besar fakultas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar.

BAB I PENDAHULUAN. meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi perhatian

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan

BAB I PENDAHULUAN. klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papula, vesikel, skuama) dan

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

Konsep Perawatan Tujuan Kebersihan Diri Meningkatkan drajat kesehatan seseorang Memelihara kebersihan diri seseorang Memperbaiki kebersihan diri yang

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi

DETEKSI PENYAKIT KULIT MENGUNAKAN FILTER 2D GABOR WAVELET DAN JARINGAN SARAF TIRUAN RADIAL BASIS FUNCTION

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini penyakit mata merupakan salah satu penyakit yang jumlah

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik.

DEFINISI Ketombe (juga disebut sindap dan kelemumur; dengan nama ilmiah Pityriasis capitis) adalah pengelupasan kulit mati berlebihan di kulit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KOMPETENSI MATA KULIAH KLINIK

LAPORAN PRAKTIKUM. Oleh : Ichda Nabiela Amiria Asykarie J Dosen Pembimbing : Drg. Nilasary Rochmanita FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms. Levi Aulia Rachman

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat terutama di negara negara berkembang termasuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR. dr. Agung Biworo, M.Kes

1 Universitas Kristen Maranatha

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR

BAB 3 KERANGKA KONSEP. Gambar 3.1: Kerangka konsep tentang pola kelainan kulit pada pasien AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi jamur yang menyebabkan penyakit kulit dan kuku

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu penyakit zoonotik yang sering ditemukan pada hewan peliharaan adalah dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan keratinisasi berlebih pada sel permukaan terluar kulit (epidermis), kuku dan rambut yang disebabkan oleh infeksi fungi dalam genus dermatofita yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Kahn dan Line, 2007). Ketiga genus ini telah dikelompokkan dalam strain zoophylic dan dilaporkan sebagai agen penyebab dermatofitosis pada anjing dan kucing diseluruh dunia. Menurut Grøndalen et al., (2004) kejadian dermatofitosis yang disebabkan oleh M. canis pada kucing lebih tinggi dibandingkan anjing, penelitian yang telah dilakukan Bernado et al., (2005) menunjukkan bahwa dari 89 sampel yang diambil dari kucing yang mengalami gejala klinis dermatofitosis sebanyak 82% menunjukkan positif M. canis. Kejadian dermatofitosis di negara Indonesia banyak dilaporkan secara lisan oleh praktisi dokter hewan di berbagai daerah dan tingkat kejadian penyakit cukup tinggi pada hewan muda. Dalam pengamatan klinis, dermatofitosis dicurigai pada hewan dengan lesi yang terdiri dari kombinasi alopecia, erythema, papula, serta scaly dan crusty (Miller et al., 2013). Lesi klasik pada kucing umumnya memiliki batasan dengan radang aktif di pinggiran lesi, biasanya ditemukan pada bagian wajah atau anggota badan (Budgine, 2011). 1

Diagnosis dermatofitosis baik dengan metode konvensional dan molekuler perlu ditinjau terutama yang khusus berkaitan dalam praktek dokter hewan. Tujuan utama dalam mendiagnosis adalah untuk membuktikan adanya invasi dermatofita pada lapisan epidermis atau batang rambut. Metode diagnostik utama yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan (1) lampu Wood's,(2) pemeriksaan mikroskop secara langsung dan (3) kultur fungi. Ketiga jenis metode diagnosis harus dilakukan secara rutin dan dipertimbangkan untuk saling melengkapi dalam penentuan diagnosis (Bond, 2010). Kejadian dermatofitosis secara klinis sering dijumpai oleh dokter hewan, tetapi laporan dermatofitosis masih sangat minim. Penelitian yang telah dilakukan oleh Normalia, (2013), mendekripsikan tentang lesi kulit yang diinfeksi M. canis secara histopatologis pada anjing secara buatan, bentukan lesi berupa keradangan pada bagian dermis dan epidermis disertai hiperplasia pada lapisan epitelium kulit. Penelitian tentang pemeriksaan klinis dan laboratoris kucing yang terinfeksi M. canis dilaporkan oleh Porvebio et al., (2014) di Italia yang menyebutkan bahwa tingkat kejadian dermatofitosis pada kucing yang disebabkan oleh M. canis mencapai 98%. Kejadian infeksi M. canis pada kucing didominasi oleh hewan dalam usia dini (kitten) dan kucing betina. Kejadian dermatofitosis di Yogyakarta telah dilaporkan bahwa sebanyak 17 ekor dari 50 ekor sampel anjing yang diduga dermatofitosis (34%) ditemukan adanya infeksi M. canis (Soedarmanto, et al., 2014). Diferensial diagnosa dermatofitosis adalah dermatitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit dan ganguan iritasi lain yang disebabkan karena reaksi alergi (Miller et al., 2013). 2

Terapi yang digunakan dalam pengobatan dermatofitosis diantarnya adalah penggunaan salep miconazole dan ketokonazole, pemberian tablet oral yang biasa digunakan adalah ketokonazole, itraconazole, griseofulvin, dan terbinafine. (Ackerman, 2008). Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Dinni (2013), kombinasi antara ketokonazol salep dan pemberian griseofulvin secara oral pada anjing memberikan efek yang signifikan terhadap kesembuhan penyakit dermatofitosis. Pemberian terapi pada kejadian dermatofitosis sebelum mengetahui agen kausatif penyebab dermatitis merupakan langkah awal yang diambil dokter hewan untuk mengurangi infeksi sekunder pada kucing ataupun mengurangi gejala klinis yang muncul. Terapi yang biasanya dilakukan adalah pemberian salep yang mengandung hidrokortison, injeksi antihistamin, ataupun penggunaan sampo yang bertujuan untuk mengurangi adanya hiperkeratosis pada kulit kucing (Miller et al., 2011). Permasalah yang timbul dalam pendiagnosaan dermatofitosis adalah : 1) apakah dengan pemeriksaan tanpa melakukan uji secara laboratoris sudah menunjang diagnosa penyakit?, 2) Bagaimana pemeriksaan yang seharusnya dilakukan dalam menentukan diagnosa dermatofitosis?. Keterbatasan informasi tentang gejala klinis dan karakteristik lesi spesifik yang diakibatkan oleh infeksi M. canis menyulitkan praktisi dokter hewan untuk melakukan diagnosa penyakit kulit. Kajian secara ilmiah tentang karakteristik lesi dapat membantu dan memudahkan diagnosa penyakit yang disebabkan oleh dermatofita, sehingga informasi berkaitan dengan dermatofitosis pada kucing sangat diperlukan. 3

Rumusan Masalah 1. Apakah ada infeksi M. canis pada pasien kucing penderita dermatitis dan bagaimana tingkat kejadiannya?. 2. Bagaimana gejala klinis pasien kucing yang mengalami infeksi M. canis?. 3. Bagaimana gambaran laboratoris (makroskopis dan mikroskopis fungi, gambaran darah dan patologi anatomis) kucing yang mengalami infeksi M. canis?. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kejadian M. canis yang menginfeksi kucing. 2. Mengetahui gejala klinis kucing yang menderita infeksi M. canis. 3. Mengetahui tentang gambaran laboratoris (makroskopis dan mikroskopis fungi, gambaran darah dan patologi anatomis) infeksi M. canis pada pasien kucing penderita dermatitis. Manfaat Penelitian Penelitian memberikan kontribusi yang sangat diperlukan dalam mendapatkan informasi keanekaragaman bentuk lesi dan gejala klinis spesifik infeksi M. canis yang dapat dijadikan acuan pemeriksaan dermatofitosis pada kucing secara komprehensif. 4

Keaslian Penelitian Penelitian Soedarmanto et al., (2014) telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi M. canis pada anjing penderita dermatitis di Yogyakarta. Brilhalten et al., (2005), telah melakukan penelitian pada sampel kucing dan anjing di Brazil, dan melaporkan infeksi M. canis dapat menimbulkan jenis lesi yang bevariasi. Penelitian yang telah dilakukan Bernado et al., (2005) menunjukkan bahwa dari 89 sampel yang diambil dari kucing yang mengalami gejala klinis dermatofitosis sebanyak 82% menunjukkan positif M. canis. Normalia, (2013), mendeskripsikan tentang lesi kulit yang diinfeksi M. canis secara histopatologis pada anjing. Penelitian tentang pemeriksaan klinis dan laboratoris secara mikrobiologis fungi, gambaran darah dan patologi anatomis pada kucing yang terinfeksi M. canis di Yogyakarta belum dilaporkan. 5