PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu penyakit zoonotik yang sering ditemukan pada hewan peliharaan adalah dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan keratinisasi berlebih pada sel permukaan terluar kulit (epidermis), kuku dan rambut yang disebabkan oleh infeksi fungi dalam genus dermatofita yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Kahn dan Line, 2007). Ketiga genus ini telah dikelompokkan dalam strain zoophylic dan dilaporkan sebagai agen penyebab dermatofitosis pada anjing dan kucing diseluruh dunia. Menurut Grøndalen et al., (2004) kejadian dermatofitosis yang disebabkan oleh M. canis pada kucing lebih tinggi dibandingkan anjing, penelitian yang telah dilakukan Bernado et al., (2005) menunjukkan bahwa dari 89 sampel yang diambil dari kucing yang mengalami gejala klinis dermatofitosis sebanyak 82% menunjukkan positif M. canis. Kejadian dermatofitosis di negara Indonesia banyak dilaporkan secara lisan oleh praktisi dokter hewan di berbagai daerah dan tingkat kejadian penyakit cukup tinggi pada hewan muda. Dalam pengamatan klinis, dermatofitosis dicurigai pada hewan dengan lesi yang terdiri dari kombinasi alopecia, erythema, papula, serta scaly dan crusty (Miller et al., 2013). Lesi klasik pada kucing umumnya memiliki batasan dengan radang aktif di pinggiran lesi, biasanya ditemukan pada bagian wajah atau anggota badan (Budgine, 2011). 1
Diagnosis dermatofitosis baik dengan metode konvensional dan molekuler perlu ditinjau terutama yang khusus berkaitan dalam praktek dokter hewan. Tujuan utama dalam mendiagnosis adalah untuk membuktikan adanya invasi dermatofita pada lapisan epidermis atau batang rambut. Metode diagnostik utama yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan (1) lampu Wood's,(2) pemeriksaan mikroskop secara langsung dan (3) kultur fungi. Ketiga jenis metode diagnosis harus dilakukan secara rutin dan dipertimbangkan untuk saling melengkapi dalam penentuan diagnosis (Bond, 2010). Kejadian dermatofitosis secara klinis sering dijumpai oleh dokter hewan, tetapi laporan dermatofitosis masih sangat minim. Penelitian yang telah dilakukan oleh Normalia, (2013), mendekripsikan tentang lesi kulit yang diinfeksi M. canis secara histopatologis pada anjing secara buatan, bentukan lesi berupa keradangan pada bagian dermis dan epidermis disertai hiperplasia pada lapisan epitelium kulit. Penelitian tentang pemeriksaan klinis dan laboratoris kucing yang terinfeksi M. canis dilaporkan oleh Porvebio et al., (2014) di Italia yang menyebutkan bahwa tingkat kejadian dermatofitosis pada kucing yang disebabkan oleh M. canis mencapai 98%. Kejadian infeksi M. canis pada kucing didominasi oleh hewan dalam usia dini (kitten) dan kucing betina. Kejadian dermatofitosis di Yogyakarta telah dilaporkan bahwa sebanyak 17 ekor dari 50 ekor sampel anjing yang diduga dermatofitosis (34%) ditemukan adanya infeksi M. canis (Soedarmanto, et al., 2014). Diferensial diagnosa dermatofitosis adalah dermatitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit dan ganguan iritasi lain yang disebabkan karena reaksi alergi (Miller et al., 2013). 2
Terapi yang digunakan dalam pengobatan dermatofitosis diantarnya adalah penggunaan salep miconazole dan ketokonazole, pemberian tablet oral yang biasa digunakan adalah ketokonazole, itraconazole, griseofulvin, dan terbinafine. (Ackerman, 2008). Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Dinni (2013), kombinasi antara ketokonazol salep dan pemberian griseofulvin secara oral pada anjing memberikan efek yang signifikan terhadap kesembuhan penyakit dermatofitosis. Pemberian terapi pada kejadian dermatofitosis sebelum mengetahui agen kausatif penyebab dermatitis merupakan langkah awal yang diambil dokter hewan untuk mengurangi infeksi sekunder pada kucing ataupun mengurangi gejala klinis yang muncul. Terapi yang biasanya dilakukan adalah pemberian salep yang mengandung hidrokortison, injeksi antihistamin, ataupun penggunaan sampo yang bertujuan untuk mengurangi adanya hiperkeratosis pada kulit kucing (Miller et al., 2011). Permasalah yang timbul dalam pendiagnosaan dermatofitosis adalah : 1) apakah dengan pemeriksaan tanpa melakukan uji secara laboratoris sudah menunjang diagnosa penyakit?, 2) Bagaimana pemeriksaan yang seharusnya dilakukan dalam menentukan diagnosa dermatofitosis?. Keterbatasan informasi tentang gejala klinis dan karakteristik lesi spesifik yang diakibatkan oleh infeksi M. canis menyulitkan praktisi dokter hewan untuk melakukan diagnosa penyakit kulit. Kajian secara ilmiah tentang karakteristik lesi dapat membantu dan memudahkan diagnosa penyakit yang disebabkan oleh dermatofita, sehingga informasi berkaitan dengan dermatofitosis pada kucing sangat diperlukan. 3
Rumusan Masalah 1. Apakah ada infeksi M. canis pada pasien kucing penderita dermatitis dan bagaimana tingkat kejadiannya?. 2. Bagaimana gejala klinis pasien kucing yang mengalami infeksi M. canis?. 3. Bagaimana gambaran laboratoris (makroskopis dan mikroskopis fungi, gambaran darah dan patologi anatomis) kucing yang mengalami infeksi M. canis?. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kejadian M. canis yang menginfeksi kucing. 2. Mengetahui gejala klinis kucing yang menderita infeksi M. canis. 3. Mengetahui tentang gambaran laboratoris (makroskopis dan mikroskopis fungi, gambaran darah dan patologi anatomis) infeksi M. canis pada pasien kucing penderita dermatitis. Manfaat Penelitian Penelitian memberikan kontribusi yang sangat diperlukan dalam mendapatkan informasi keanekaragaman bentuk lesi dan gejala klinis spesifik infeksi M. canis yang dapat dijadikan acuan pemeriksaan dermatofitosis pada kucing secara komprehensif. 4
Keaslian Penelitian Penelitian Soedarmanto et al., (2014) telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi M. canis pada anjing penderita dermatitis di Yogyakarta. Brilhalten et al., (2005), telah melakukan penelitian pada sampel kucing dan anjing di Brazil, dan melaporkan infeksi M. canis dapat menimbulkan jenis lesi yang bevariasi. Penelitian yang telah dilakukan Bernado et al., (2005) menunjukkan bahwa dari 89 sampel yang diambil dari kucing yang mengalami gejala klinis dermatofitosis sebanyak 82% menunjukkan positif M. canis. Normalia, (2013), mendeskripsikan tentang lesi kulit yang diinfeksi M. canis secara histopatologis pada anjing. Penelitian tentang pemeriksaan klinis dan laboratoris secara mikrobiologis fungi, gambaran darah dan patologi anatomis pada kucing yang terinfeksi M. canis di Yogyakarta belum dilaporkan. 5