BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah. Sebagaimana menurut James B. Whittaker (1995) dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH DI KOTA GORONTALO (Studi Kasus DPPKAD Kota Gorontalo)

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

ANALISIS KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR. Calen (Politeknik Bisnis Indonesia) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah semua penerimaan daerah yang

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

PROFIL KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

Keywords : income, improvement, local, government, original, tax

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. tetapi untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA GORONTALO (Studi Kasus Pada DPPKAD Kota Gorontalo) Jurusan Akuntansi Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. perubahan regulasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dilakukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB V PENUTUP Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan,

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan keuangan dengan. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya yang berkesinambungan, yang

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Selama ini dominasi Pusat terhadap Daerah menimbulkan besarnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka Pengelolaan Keuangan Daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, perlu dilakukan analisis rasio keuangan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk menilai kinerja keuangan pemerintah daerah. Sebagaimana menurut James B. Whittaker (1995) dalam government performance and result act, a madate for strategic planning and performance measurement menyatakan bahwa pengukuran/penilaian kinerja adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Terdapat unsur akuntabilitas dalam good governance yang baik, dimana pemerintah diharapkan dapat melaporkan hasil dari program yang telah dilaksanakan agar masyarakat dapat menilai. Beberapa rasio yang dapat digunakan salah satunya adalah rasio kemandirian keuangan daerah dan rasio desentralisasi fiskal. Ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi, yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya, dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat dan provinsi jangan menjadi prioritas, agar pendapatan asli daerah dapat menjadi 1

2 bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar (Nataludin Darise, 2009:2). Sedangkan pada realita yang ada, hampir 18 tahun sejak otonomi daerah diberlakukan, saat ini kemampuan keuangan beberapa pemerintah daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat, dan beberapa daerah masih belum mampu mengurus daerahnya sendiri. Hal ini terlihat dari tingkat kemandirian pemerintah daerah masih rendah. Berdasarkan data dari laporan analisis data/pelaporan keuangan daerah Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2013, rasio kemandirian Kabupaten Bandung Barat tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.1 Rasio Kemandirian Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2013 No Kabupaten/Kota Capaian (%) 1 Kota Cirebon 17,59 2 Kabupten Majalengka 8,82 3 Kabupaten Tasikmalaya 4,90 4 Kabupaten Kuningan 9,61 5 KabupatenSubang 9,39 6 Kabupaten Cianjur 12,57 7 Kabupaten Sumedang 14,35 8 Kabupaten Sukabumi 12,15 9 Kota Sukabumi 28,36 10 Kabupaten Bogor 38,46 11 Kota Bogor 38,27

3 12 Kota Depok 41,64 13 Kabupaten Karawang 31,50 14 Kabupaten Purwakarta 17,90 15 Kabupaten Bekasi 51,78 16 Kota Bekasi 59,20 17 Kabupaten Cirebon 16,30 18 Kabupaten Indramayu 12,12 19 Kabupaten Garut 8,77 20 Kota Tasikmalaya 19,21 21 Kabupaten Ciamis 5,24 22 Kota Banjar 14,91 23 Kabupaten Bandung 19,26 24 Kota Cimahi 27,64 25 Kabupaten Bandung Barat 11,68 26 Kota Bandung 59,23 Sumber:Laporan analisis data/pelaporan keuangan daerah provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2013 Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa kemandirian pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah Jawa Barat tahun 2013 masih rendah dengan rasio rata-rata 22,73%, artinya bahwa dalam mencukupi kebutuhan pembiayaan untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat masih rendah dan ketergantungan kepada pemerintah pusat dan provinsi sangat tinggi. Pada sumber data diatas, Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa Kabupaten Bandung Barat mendapat 11,68% dalam

4 kemandirian keuangan daerahnya. Hal ini disebabkan karena nilai pendapatan asli daerah masih dibawah total nilai transfer pusat, provinsi maupun pinjaman. Mengacu pada fenomena yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat, mengenai kemandirian keuangan daerah dalam laporan realisasi anggaran, dilihat dari kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) pada sumber pendapatan daerah dalam kurun waktu lima tahun pada tabel 1.2 berikut ini : Tabel 1.2 Sumber-sumber Pendapatan Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun PAD % Sumber Pendapatan Daerah Pendapatan Transfer % Lain-lain Pendapatan yg sah % Total Pendapatan Daerah 2012 136,241,257,300 9.6 1,215,236,019,873 85.3 72,383,936,505 5.1 1,423,861,213,678 2013 187,170,467,143 11.2 1,366,204,428,523 81.7 117,987,444,249 7.1 1,671,362,339,915 2014 248,697,185,722 13.0 1,564,194,843,526 81.8 98,951,557,858 5.2 1,911,843,587,106 2015 314,621,268,982 14.6 1,839,587,823,643 85.4 130,078,083,696 6.0 2,154,209,101,625 2016 376,220,675,006 16.8 1,786,253,844,497 79.7 79,777,753,009 3.5 2,242,252,272,512 Sumber: Laporan Realisasi Anggaran KBB didapat dari data BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat diolah oleh Peneliti Dari tabel 1.2 terlihat bahwa besarnya pendapatan transfer masih mendominasi penerimaan daerah dibandingkan dengan pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini mengindikasikan masih rendahnya kemandirian daerah Kabupaten Bandung Barat akibat tingginya ketergantungan pada dana ekstern selama kurun waktu 5 tahun (2012-2016). Rasio kemandirian pemerintah daerah ini dihitung dengan cara membandingkan jumlah penerimaan pendapatan asli daerah dengan jumlah pendapatan transfer dari pemerintah pusat dan provinsi serta pinjaman daerah.

5 Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah. Berkaitan dengan hal ini, rasio kemandirian keuangan daerah sangat diperlukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat, jika dilihat dari pengelolaan daerahnya sendiri sudah diberikan hak atas daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan asli daerahnya. Sedangkan, rasio desentralisasi fiskal menunjukan kemampuan pemerintah daerah menjalankan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan. Hal ini dilihat pada kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) pada Total Pendapatan Daerah. Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasilhasil pembangunan (keadilan) diseluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap.

6 Pendapatan asli daerah dapat ditinjau dari pendapatan pajak daerah, pendapatan retribusi daerah, pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah merupakan indikator paling besar untuk mewujudkan kemandirian keuangan suatu daerah. Dapat dilihat pada tabel 1.3 mengenai persentase kontribusi pendapatan asli daerah Kabupaten Bandung Barat dalam kurun waktu lima tahun, berikut ini : Tabel 1.3 Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun Anggaran 2012-2016 Tahun 2012 2013 2014 Pendapatan Asli Daerah Sumber PAD Realisasi % Total PAD Pendapatan Pajak Daerah Pendapatan Retribusi Daerah Lain-lain PAD yang sah Pendapatan Pajak Daerah Pendapatan Retribusi Daerah Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang di pisahkan Lain-lain PAD yang sah Pendapatan Pajak Daerah Pendapatan Retribusi Daerah Pendapatan hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang di pisahkan 106.722.746.973,00 78,4 13.287.705.910,00 9,6 16.230.804.417,00 12 152.990.207.963,08 81,7 18.565.917.945,00 9,9 100.000.000,00 0,1 15.514.341.234,97 8,3 169.333.416.634,00 68,1 16.388.651.707,00 6,6 0,00-136.241.257.300 187.170.467.143 248.697.185.722

7 Lain-lain PAD yang sah 62.975.117.381,70 25,3 Pendapatan Pajak Daerah 217.833.359.547,00 69,2 Pendapatan Retribusi Daerah 22.683.827.569,00 7.2 Pendapatan hasil 2015 314.621.268.982 Pengelolaan 0,00 - Kekayaan Daerah yang di pisahkan Lain-lain PAD yang sah 74.104.081.866,71 23,6 Pendapatan Pajak Daerah 263.711.525.744,00 70,1 2016 Pendapatan 20.683.889.515,00 5,5 Retribusi Daerah 376.220.675.006 Pendapatan hasil Pengelolaan 239.502.271,00 0,1 Kekayaan Daerah yang di pisahkan Lain-lain PAD yang sah 91.585.757.476,00 24,3 Sumber : LKPD Kabupaten Bandung Barat, diperoleh dari BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Berdasarkan pada tabel 1.3 menunjukan bahwa pajak daerah merupakan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berkontribusi lebih dari pendapatan yang lain pada laporan realisasi anggaran Kabupaten Bandung Barat dalam kurun waktu 5 (lima) tahun. Kabupaten Bandung Barat dalam melakukan pengelolaan pada pendapatan asli daerah (PAD) memiliki hambatan dan kendala yang ada dalam pencapaian target yang telah di tetapkan, seperti masih kurangnya tingkat kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak, sumber data manusia (SDM) pengelola pajak dan retribusi daerah yang masih terbatas, baik jumlah maupun kompetensi dalam mengelola pajak daerah, etos kerja yang

8 masih perlu ditingkatkan, khususnya SKPD pengelola Retribusi Daerah. Hal ini menjadi salah satu unsur permasalahan kinerja keuangan pada desentralisasi fiskal dalam pengelolaan dan pertanggung jawaban pendapatan asli daerah di Kabupaten Bandung Barat. (dilansir dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bandung Barat tahun anggaran 2012-2015 dari BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat) Dilansir dari (Pojokjabar.com 2015) sejumlah hotel dan restoran di Kabupaten Bandung Barat (KBB) masih banyak yang melakukan penggelapan pajak. Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Bandung Barat mencatat, ada tiga hotel dan tiga restoran yang melakukan penggelapan pajak di tahun 2015. Kepala bidang DPPKAD Bandung Barat, Hasanudin menuturkan bahwa hasil dari pendataan yang dilakukan bersama timnya di wilayah lembang, pihaknya menemukan ada tiga hotel dan tiga restoran yang telah melakukan penggelapan pajak. Rupiah pajak yang digelapkan dari satu restoran atau hotel sekitar Rp.100 juta hingga Rp.200 juta sepanjang tahun ini. (Perdana 2017) Pendapatan daerah kurang, PemKab Bandung Barat akan tagih pajak parkir akibat pendapatan daerah dari parker di luar bahu jalan masih minim, PemKab Bandung Barat segera menagih pajak parkir dari hotel dan restoran, serta sejumlah tempat komersil lain yang memiliki lahan parkir. Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Bandung Barat Asep sodikin menjelaskan bahwa sebenarnya peraturan ini sudah ada didalam peraturan daerah tentang parkir hotel dan restoran yang sudah disahkan. Saat ini pihak kami masih mensosialisasikan tentang Perda tersebut. Ia juga

9 menambahkan bahwa tertulis dalam perda, pemilik hotel, restoran dan tempat komersi lainnya wajib menyetorkan paja parkir kepada pemerintah daerah. perhitungannya sesuai dengan luas areal parkir dan volume kendaraan yang menggunakan areal parkir tersebut. (Gunawan 2018) dilansir dari pojokjabar.com PAD dari sektor pariwisata di Bandung Barat masih minim. Meskipun belum memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan, sektor pariwisata di Kabupaten Bandung Barat (KBB) memiliki target ingin Go Internasional. Pendapatan asli daerah menjadi salah satu tulang punggung dalam hal pembiayaan daerah. Karena itu, kemampuan suatu daerah menggali pendapatan asli daerah akan mempengaruhi perkembangan dan pembangunan daerah tersebut. Di samping itu, semakin besar kontribusi pendapatan asli daerah terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah maka akan semakin kecil pula ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat. Sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah lebih penting dibanding dengan sumber yang berasal dari luar pendapatan asli daerah. Hal ini karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan sesuai dengan kehendak dan inisiatif pemerintah daerah demi kelancaran penyelenggaraan urusan daerahnya. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode. Hal ini harus dilakukan untuk menilai seberapa jauh pemerintah daerah melakukan penggalian,

10 pengelolaan dan pertanggung jawaban pada pendapatan asli daerah (PAD) di Kabupaten Bandung Barat. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik dan melakukan penelitian dengan judul Penerapan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dan Rasio Desentralisasi Fiskal dalam Perhitungan Kinerja Keuangan Daerah di Kabupaten Bandung Barat Tahun Anggaran 2012-2016. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat di identifikasikan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Rendahnya tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten Bandung Barat dengan nilai 11,68% dibawah rata-rata rasio kemandirian 22,73% di Provinsi Jawa Barat; 2. Rendahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah pada Total Pendapatan daerah Kabupaten Bandung Barat dengan nilai 7,40% dibawah rata-rata 12,99% di Provinsi Jawa Barat; 3. Masih rendahnya tingkat kinerja keuangan daerah Kabupaten Bandung Barat dalam melaksanakan tanggungjawab mengelola pendapatan asli daerah. 1.3. Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut diatas, maka peneliti menetapkan batasan masalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini lebih menekankan pada bidang ilmu manajemen dan akuntansi, khususnya Manajemen/Akuntansi Sektor Publik. Kajiannya diarahkan pada

11 penerapan rasio kemandirian keuangan daerah dan rasio desentralisasi fiskal pada perhitungan kinerja keuangan daerah; 2. Locus dibatasi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat dengan alasan bahwa kemandirian keuangan daerah yang masih rendah dan laporan keuangan yang selalu dinyatakan WDP (Wajar Dengan Pengecualian) akibat kinerja keuangan daerah yang masih rendah; 3. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif-deskriptif, yaitu pengamatan dan dokumen. 1.4. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Seberapa besar nilai kinerja keuangan daerah dengan penerapan rasio kemandirian keuangan daerah Kabupaten Bandung Barat tahun 2012-2016? 2. Seberapa besar nilai kinerja keuangan daerah dengan penerapan rasio desentralisasi fiskal di Kabupaten Bandung Barat tahun 2012-2016? 1.5. Maksud & Tujuan Berdasarkan pada uraian diatas, maka adapun maksud dan tujuan pada penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1.5.1. Maksud Penelitian Mengumpulkan data secara empiris dan informasi mengenai kemandirian keuangan daerah serta penerapan rasio kemandirian keuangan

12 daerah dan rasio desentralisasi fiskal pada perhitungan kinerja keuangan daerah di Kabupaten Bandung Barat. 1.5.2. Tujuan Tujuan penelitian ini untuk menganalisis, mengkaji dan mengetahui: 1. Untuk mengetahui besaran/nilai kinerja keuangan daerah dengan penerapan rasio kemandirian keuangan daerah Kabupaten Bandung Barat tahun 2012-2016; 2. Untuk mengetahui besaran/nilai kinerja keuangan daerah dengan penerapan rasio desentralisasi fiskal pada Kabupaten Bandung Barat tahun 2012-2016. 1.6. Kegunaan Penelitian Penulis dalam penelitian ini berharap dapat memberikan kegunaan, sebagai berikut: 1.6.1. Kegunaan Teoritis Bagi penulis, seluruh rangkaian penelitian serta hasilnya diharapkan dapat lebih memahami dan menambah pengetahuan dalam analisis laporan keuangan sektor publik dengan menggunakan rasio keuangan daerah dan menerapkan berbagai teori yang diperoleh selama perkuliahan pada Jurusan Administrasi Publik terutama dalam konsentrasi Akuntansi Keuangan Sektor Publik. 1.6.2. Kegunaan Praktisi

13 Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan yang berguna untuk meningkatkan dalam menggali dan mengelola potensi daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), meningkatkan kinerja keuangan daerah serta meningkatkan kualitas dalam penyajian laporan keuangan daerahnya. 1.7. Kerangka Pemikiran Menurut UU 23 Tahun 2014 pasal 1 Ayat 32, bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah : rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, didanai dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam sistem keuangan daerah menurut Utang Rosidin (2015, 399-400), APBD berfungsi sebagai berikut: 1) Otorisasi. Artinya APBD berfungsi sebagai dasar kewenangan daerah dalam menetapkan besaran dan pengelolaan pendapatan dan belanja daerah pada tahun yang bersangkutan; 2) Perencanaan. Artinya APBD berfungsi sebagai pedoman dalam merencanakan berbagai kegiatan yang pasti disediakan dananya pada tahun yang bersangkutan; 3) Pengawasan. Artinya APBD berfungsi sebagai tolok ukur kesesuaian antara kegiatan yang dilakukan dan kegiatan yang direncanakan;

14 4) Alokasi. Artinnya APBD berfungsi mengarahkan penggunaan sumber daya yang efisien dan efektif dalam memajukan perekonomian daerah; 5) Distribusi. Artinya APBD berfungsi membagikan sumber daya yang memenuhi rasa keadilan dan kepatutan; 6) Stabilisasi. Artinya APBD berfungsi memelihara dan menciptakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah setiap tahun anggaran. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pada Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2010 tentanng Standar Akuntansi Pemerintahan, menyebutkan bahwa : Laporan realisasi anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode laporan. Unsur yang dicakup secara langsung oleh laporan realisasi anggaran terdiri dari Pendapatan-LRA, belanja, transfer dan pembiayaan. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2006 dalam Pasal 1 Ayat 2 dan 3 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, menjelaskan bahwa : Kinerja adalah keluaran/ hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. Laporan kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) Nomor 73 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan

15 Pemerintahan Daerah Pasal 1 Ayat 8 menyebutkan bahwa : Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Menurut Mahmudi (2016, 140-144) dalam mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah dapat menggunakan rasio-rasio seperti berikut ini : 1) Rasio kemandirian Pendapatan Asli Daerah Transfer Pusat/Provinsi dan Pinjaman 2) Rasio ketergantungan daerah Pendapatan Transfer Total Pendapatan Daerah 3) Rasio derajat desentralisasi Pendapatan Asli Daerah Total Pendapatan Daerah 4) Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah Rasio Efektivitas PAD Realisasi Penerimaan PAD Target Penerimaan PAD Rasio Efisiensi PAD Biaya Perolehan PAD Realisasi Penerimaan PAD

16 5) Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pajak Daerah Rasio Efektivitas PD Realisasi Penerimaan PD Target Penerimaan PD Rasio Efisiensi PD Biaya Pemungutan PD Realisasi Pemungutan PD 6) Derajat Kontribusi BUMD Penerimaan Bagian Laba BUMD Penerimaan PAD 7) Debt Service Coverage Ratio (DSCR) {PAD + (DBH DBHDR) + DAU} Belanja Wajib Angsuran Pokok Pinjaman + Bunga + Biaya Lain Pengukuran rasio kemandirian karena dapat menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi Rasio Kemandirian berarti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstren (terutama pemerintah pusat atau propinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Dan untuk melihat kemampuan suatu daerah menjalankan tanggung jawab yang diberikan pusat dalam menggali dan mengelola pendapatan yang dimiliki dapat diukur dengan rasio desentralisasi fiskal dengan membandingkan PAD dengan total pendapatan. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi.

17 Rasio kemandirian keuangan daerah dapat dihitung dengan rumus: Rasio KKD = Pendapatan Asli Daerah Bantuan Pusat + provinsi + pinjaman x 100 Analisis trend kemandirian keuangan daerah digunakan untuk mengetahui arah perkembangan kemandirian keuangan daerah tersebut. Bila persentase kurang dari 100% maka terjadi penurunan kemandirian keuangan daerah. Maka trend kemandirian keuangan daerah dapat diformulasikan sebagai berikut : Trend KKN = KKD Tahun pembanding KKD Tahun dasar x 100 Rasio desentralisasi fiskal menunjukan kemampuan pemerintah daerah menjalankan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan. Semakin tingg kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan desentraliasi. (Mahmudi 2007, 128) Berikut formal untuk mengukur tingkat desentralisasi fiskal: Desentralisasi Fiskal = total Pendapatan Asli Daerah total pendapatan daerah x 100 Analisis trend desentralisasi keuangan daerah digunakan untuk mengetahui arah perkembangan kemampuan pemerintah daerah memaksimalkan tanggungjawab yang diberikan. Semakin besar persentase trend desentralisasi dari

18 tahun ke tahun maka arah perkembangan kemampuan pemerintah kabupaten/kota dalam menggali potensi daerahnya semakin baik. Dari penjelasan ini, maka trend desentralisasi fiskal keuangan daerah dapat diformulasikan sebagai berikut: Trend Desentralisasi = Desentralisasi Tahun pembanding Total Pendapatan Daerah x 100 Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Apabila digambarkan dalam satu skema, maka peneliti membuat kerangka berfikir sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1.1 sebagai berikut: Gambar 1.1 Skema Kerangka Berfikir APBD A. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Analisis Laporan B. Keuangan Menggunakan Analisis Rasio dan Trend Rasio Kemandirian Rasio Desentralisasi Fiskal

19