III. METODOLOGI PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian

KONSEP EVALUASI LAHAN

METODOLOGI. dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

Gambar 2 Peta lokasi studi

III. BAHAN DAN METODE

Klasifikasi Kemampuan Lahan

I. PENDAHULUAAN. A. Latar Belakang. Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di

Gambar 7. Lokasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO

PENDAHULUAN Latar Belakang

LOGO Potens i Guna Lahan

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksploratif. Menurut Moh. Pabundu Tika

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PERSEBARAN LAHAN KRITIS DI KOTA MANADO

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

BAB IV INPUT DATA SPASIAL (PARAMETER LAHAN KRITIS)

III. METODE PENELITIAN

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui adalah sumber daya lahan. Sumber daya lahan sangat penting bagi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Program Studi Agro teknologi, Fakultas Pertanian UMK Kampus UMK Gondang manis, Bae, Kudus 3,4

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

III. METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 1 Lokasi penelitian.

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

BAHAN DAN METODE. Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

III. BAHAN DAN METODE

Arahan Penataan Lahan Kritis Bekas Kegiatan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan di Sekitar Kaki Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o LS-6 o LS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane)

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB III TINJAUAN KHUSUS Kawasan Outbound Training di Kabupaten Kulon Progo 3.1 TINJAUAN KONDISI UMUM KABUPATEN KULON PROGO

III. BAHAN DAN METODE

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BILAH DI KABUPATEN LABUHAN BATU

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Lampiran 1. Kriteria Lahan Kritis di Kawasan Hutan Lindung (HL), Budidaya Pertanian (BDP) dan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (LKHL)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN PERKEBUNAN DI KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN BERBASIS LAHAN

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

III. METODOLOGI PENELITIAN

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Gambar 2. Lokasi Studi

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV.

Transkripsi:

9 III. METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Alur Penelitian Penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk (aspek sosial) dan perkembangan ekonomi (aspek ekonomi). Di samping itu, kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan juga akan mempengaruhi penggunaan lahan. Seiring dengan perkembangan aspek sosial dan ekonomi, penggunaan lahan juga akan meningkat. Konsekuensinya kebutuhan akan lahan meningkat sedangkan lahan sendiri ketersediaannya tetap. Peningkatan kebutuhan lahan secara langsung berdampak terhadap perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan seringkali tidak memperhatikan karakteristik fisik lahan sehingga dapat menimbulkan terbentuknya lahan kritis. Pola dan struktur penggunaan lahan dan terbentuknya lahan kritis, dapat diidentifikasi dengan menganalisis perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dan sebaran lahan kritis, dapat digunakan sebagai dasar penyusunan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengarahkan penggunaan lahan yang sesuai dengan karakteristik fisiknya. Kerangka dari tahapan alur penelitian ini tersaji pada Gambar 2.

20 Citra Landsat Tahun 996 dan 2009 Band 42 Interpretasi Citra Kriteria Kehutanan Peta Jenis Tanah Peta Kelerengan Peta Erosi Klasifikasi Penggunaan Lahan Cek Lapangan Peta Solum Tanah Peta Drainase Penggunaan Lahan Tahun 996 dan 2009 Lahan Kritis Tahun 996 dan 2009 Peta Singkapan Batuan Peta Rawan Longsor Overlay Lahan Kritis yang Mendekati Kondisi Lapangan Overlay Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 996 dan 2009 Kelas Kemampuan Lahan RTRW Kabupaten Analisis : - Perubahan Penggunaan Lahan - Potensi Terbentuknya Lahan Kritis Pada Berbagai Penggunaan Lahan - Potensi Terbentuknya Lahan Kritis Pada Berbagai Kemampuan Lahan - Sebaran Lahan Kritis Terhadap RTRW Kabupaten Kulon Progo Masukan dan Arahan Pengembangan Wilayah Gambar 2 Diagram Alir Tahapan Penelitian

2.2 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas Kabupaten Kulon Progo ± 8. 027 ha (80,27 km 2 ), secara geografis terletak pada 0 0 7 0 0 6 26 Bujur Timur dan 7 0 8 42 7 0 9 Lintang Selatan. Kabupaten Kulon Progo sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah.. Metode Penelitian.. Persiapan Persiapan penelitian dilakukan dengan cara menginventarisasi dan penelusuran sumber data, baik data sekunder maupun data primer. Penelusuran data dilakukan melalui buku-buku pustaka, peta-peta terkait, internet, peraturan perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari instansi terkait baik instansi pemerintah daerah maupun pusat atau instansi/lembaga lainnya. Sumber data primer diperoleh melalui survei/cek di lapangan terutama terkait dengan penggunaan lahan hasil analisis citra Landsat dan lahan kritis dengan kondisi sesungguhnya di lapangan...2 Pengumpulan Data Data dan informasi dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan primer. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi yang meliputi: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kulon Progo, Bappeda Kabupaten Kulon Progo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo, Kantor Pertanahan Kabupaten Kulon Progo, BPKH Wilayah XI Jawa-Madura, Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo, dan instansi lain yang berkaitan dengan data yang diperlukan. Data primer diperoleh melalui cek lapangan dan pengambilan dokumentasi sebagai validasi dan verifikasi dari analisis penggunaan lahan dan lahan kritis. Verifikasi bertujuan untuk mengecek kebenaran, ketepatan dan kenyataan di

22 lapangan. Di samping itu, data primer juga diperoleh melalui wawancara terhadap stakeholder pemangku pengelola lahan, terkait perubahan penggunaan lahan dan terbentuknya lahan kritis. Stakeholder meliputi Penyuluh Kehutanan dan Pertanian, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo, Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo, dan BPKH Wilayah XI Jawa-Madura... Analisis Data Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan diperoleh dari interpretasi citra Landsat TM band 42 tahun 996 dan tahun 2009. Berdasarkan hasil interpretasi kemudian dilakukan klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine dengan metode klasifikasi secara terbimbing (supervised classification) pada kombinasi band, 4, dan 2 (RGB). Perubahan penggunaan lahan diperoleh dengan membandingkan penggunaan lahan hasil dari interpretasi citra tahun 996 dan 2009, yang diperkuat dengan pengecekan lapangan. Proses membandingkan perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui overlay kedua peta penggunaan lahan dengan software ArcGis versi 9. atau Arcview versi. Hasil overlay akan diperoleh jenis penggunaan lahan apa saja yang mengalami perubahan dari tahun 996 sampai 2009. Perhitungan dari luasan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dilakukan dengan program excel. Alur analisis perubahan penggunaan lahan tersaji pada Gambar.

2 Citra Landsat Tahun 996 Tahun 2009 Persiapan Citra :. Komposit Citra pada Band 42 (RGB) 2. Koreksi Geometri. Clip Citra dengan Peta Administrasi 4. Interpretasi Citra Klasifikasi Terbimbing :. Training area 2. Metode maximum likelihood. Recoding-clump-eliminite-filtering 4. Editing Peta Penggunaan Lahan Tahun 996 sementara Peta Penggunaan Lahan Tahun 2009 sementara Perbaikan Peta Penggunaan Lahan 996 Cek Lapangan Perbaikan Peta Penggunaan Lahan 2009 Peta Penggunaan Lahan Tahun 996 Overlay Peta Penggunaan Lahan Tahun 2009 Perubahan Penggunaan lahan Gambar Diagram Alir Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Analisis Kemampuan Lahan Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan adalah sistem USDA yang dikemukakan dalam Agricultural Handbook No. 20 (Klingebiel dan Montgomery, 96). Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang meliputi sifat tanah, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Lahan dikelompokkan ke dalam kelas I-VIII (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi kelas kemampuan lahan dilakukan terhadap satuan lahan. Satuan lahan diperoleh melalui overlay peta jenis tanah, peta kelerengan, peta erosi, peta kedalaman solum, peta rawan bahaya longsor, peta drainase, dan peta singkapan batuan. Overlay dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dari overlay tiap peta diperoleh kombinasi parameter, sehingga dapat dilakukan

24 identifikasi lahan. Besarnya hambatan dari masing-masng parameter, menentukan kelas kemampuan lahan. Kelas kemampuan lahan yang dihasilkan memuat informasi dan data yang berhubungan dengan karakteristik fisik lahan. Evaluasi kelas kemampuan lahan dilakukan dengan membandingkan setiap satuan lahan dengan kriteria yang digunakan. Klasifikasi kemampuan lahan dan arahan penggunaan lahan dijelaskan dalam Tabel. Tabel Klasifikasi kemampuan lahan dan arahan penggunaan lahan Kelas Kriteria Penggunaan I Tidak mempunyai atau hanya sedikit hambatan dalam penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan terutama pertanian. Pertanian tanaman semusim, tanaman rumput, hutan, dan cagar alam. II Mempunyai beberapa hambatan dan memerlukan tindakan konservasi sedang. Faktor penghambat ; lereng landai, erosi sedang, struktur tanah kurang baik, gangguan salinitas, kadang tergenang, drainase buruk yang mudah diperbaiki dengan saluran. III Faktor penghambat agak berat, yang meliputi : lereng agak curam, erosi cukup berat, sering tergenang banjir. Pertanian tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan, dan cagar alam. Pertanian : tanaman semusim, tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, rumput, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam. IV V VI VII Faktor penghambat yang berat, meliputi : lereng curam, kepekaan erosi besar, erosi yang terjadi berat, tanah dangkal, sering tergenang banjir, dan drainase terhambat meskipun telah dibuat saluran. Tidak ada ancaman erosi tetapi mempunyai penghambat lain yang sukar dihilangkan, misalnya drainase yang sangat buruk, sering kebanjiran, berbatu-batu, dan penghambat iklim yang besar. Mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput atau dihutankan. Faktor penghambat meliputi : lereng sangat curam, bahaya erosi dan erosi yang terjadi sangat berat, berbatu-batu, solum dangkal, drainase buruk, dan penghambat iklim besar. Lahan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan. Faktor penghambat meliputi : lereng terjal, erosi sangat berat, berbatu-batu, dangkal, drainase buruk, dan iklim sangat menghambat. Pertanian semusim, rumput, penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam. Tanaman rumput, penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam. Tanaman rumput, penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam. Padang rumput dan hutan produksi. VIII Lahan harus dibiarkan dalam keadaan alami, atau di bawah vegetasi hutan. Penghambat tidak dapat diperbaiki lagi yang meliputi : lereng sangat terjal, erosi sangat berat, iklim sangat buruk, berbatu-batu, dan selalu tergenang. Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Hutan lindung, rekreasi alam, dan cagar alam.

2 Analisis Potensi Lahan Kritis Penetapan lahan kritis dalam penelitian ini mengacu pada kriteria kehutanan, menurut SK Dirjen RLPS No: SK.67/V-SET/2004 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Gambar 4 menunjukkan tingkat kekritisan lahan menurut kriteria kehutanan. Peta Kelas Lereng Kelas Skor Datar Landai 4 Agak Curam Curam 2 Sangat Curam Peta Erosi Kelas Skor Ringan Sedang 4 Berat Sangat Berat 2 Overlay Peta Tutupan Lahan Kelas Skor Sangat Baik Baik 4 Sedang Buruk 2 Sangat Buruk Peta Manajemen Kelas Skor Baik Sedang Buruk Peta Tingkat Kekritisan Lahan Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Hutan Lindung Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Total Skor Total Skor Total Skor Sangat Kritis 80 200 200 Kritis 8-270 20-27 20-27 Agak Kritis 27-60 276-0 276-0 Potensial Kritis 6-40 -42-42 Tidak Kritis 4 426 426 Gambar 4 Kriteria Tingkat Kekritisan Lahan dari Kehutanan Penilaian lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yaitu lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan baik yang berada di dalam maupun diluar kawasan hutan. Sasaran penilaian lahan kritis dibedakan berdasarkan fungsi lahan yang berkaitan, yaitu fungsi kawasan lindung bagi hutan

26 lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan, dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Data spasial lahan kritis disusun setelah data spasial masing-masing parameternya disusun terlebih dahulu. Data spasial masing-masing parameter harus dibuat dengan standar yang sama, meliputi kesamaan dalam sistem proyeksi dan sistem koordinat yang digunakan serta kesamaan data atributnya. Setiap fungsi lahan, ditentukan parameter pendukungnya yang terbagi lagi ke dalam beberapa kelas. Untuk penilaiannya, masing-masing parameter diberi bobot dan masing-masing kelas diberi skoring. Total skor setiap parameter merupakan perkalian bobot dengan skor dari masing-masing parameter. Penjumlahan dari total skor masing-masing parameter setiap fungsi lahan menunjukkan tingkat kekritisan lahan seperti yang ditunjukkan pada gambar 4. Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan sesuai dengan SK Dirjen RLPS No: SK.67/V-SET/2004 meliputi : kondisi tutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, singkapan batuan (outcrop), kondisi pengelolaan (manajemen), dan produktivitas lahan. Informasi tentang tutupan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM+. Kondisi tutupan lahan dinilai berdasarkan persentase tutupan tajuk pohon dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas tutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Tutupan lahan dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi empat kelas yaitu: sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat buruk. Kemiringan lereng merupakan sudut yang terbentuk antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan satuan %(persen) dan o (derajat). Data spasial kemiringan lereng dapat disusun dari hasil pengolahan data ketinggian (garis kontur) dengan bersumber pada peta topografi atau peta rupa bumi. Pengolahan data ketinggian menghasilkan model elevasi digital (Digital Elevation Model/DEM). Kemiringan lereng yang dihasilkan selanjutnya diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi kemiringan lereng untuk identifikasi lahan kritis. Kemiringan lereng dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi empat kelas yaitu: datar, landai, agak curam, curam, dan sangat curam.

27 Data spasial tingkat erosi, salah satu sumbernya dapat diperoleh dari pengolahan data spasial sistem lahan (land system). Tingkat erosi pada suatu lahan dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi empat kelas yaitu: ringan, sedang, berat dan sangat berat. Data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian, yang berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Produktivitas lahan dalam penilaian lahan kritis dibagi menjadi lima kelas yaitu : sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi produktivitas lahan dan skoringnya untuk penilaian lahan kritis Kelas Besaran / Deskripsi Skor Total Skor Sangat Tinggi Tinggi Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : > 80% Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 6 80% 0 4 20 Sedang Rendah Sangat Rendah Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 4 60% Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 2 40% Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : < 20% Total skor = skor x % bobot (untuk produktivitas lahan adalah 0) 90 2 60 0 Manajemen dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan. Manajemen untuk fungsi kawasan lindung meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Manajemen pada kawasan lindung di luar kawasan hutan adalah ada atau tidak adanya penerapan teknologi konservasi tanah. Manajemen pada kawasan budidaya untuk pertanian berdasarkan usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan.

28 Manajemen pada prinsipnya merupakan data atribut yang berisi informasi mengenai aspek manajemen. Berkaitan dengan penyusunan data spasial lahan kritis, kriteria tersebut perlu dispasialisasikan dengan menggunakan atau berdasar pada unit pemetaan kriteria produktivitas, yaitu unit pemetaan land system atau unit pemetaan yang lebih detail. Kriteria manajemen dalam penentuan lahan kritis dibagi menjadi tiga kelas yaitu : baik, sedang, dan buruk. Singkapan batuan (outocrop) merupakan batuan yang tersingkap/terungkap di atas permukaan tanah yang merupakan bagian dari batuan besar yang terpendam dalam tanah. Parameter ini hanya digunakan untuk pemetaan lahan kritis pada kawasan budidaya tanaman pertanian. Klasifikasi singkapan batuan dibagi menjadi tiga kelas yaitu : sedikit, sedang, dan banyak. Setiap fungsi lahan mempunyai parameter masing-masing dalam penilaian tingkat kekritisannya. Berikut merupakan parameter yang digunakan dalam penilaian lahan kritis setiap fungsi lahan. Fungsi Kawasan Lindung Kawasan hutan lindung merupakan kawasan perlindungan dan pelestarian sumberdaya tanah, hutan, air, dan bukan sebagai daerah produksi. Parameter penilaian kekritisan lahan kawasan hutan lindung dikonsentrasikan pada parameter penilaian kekritisan yang berkaitan dengan fungsi perlindungan pada sumberdaya hutan (vegetasi), tanah dan air, faktor kemiringan lereng, tingkat erosi dan manajemen pengelolaan yang dilakukan. Penutupan lahan dinilai berdasarkan persentase penutupan oleh tajuk pohon. Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan hutan lindung disajikan pada Tabel.

29 Tabel Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan hutan lindung Parameter (% Bobot) Penutupan Lahan (0) Kelas Besaran/Deskripsi Skor. Sangat baik 2. Baik. Sedang 4. Buruk. Sangat buruk >80 % 6-80 % 4-60 % 2-40 % < 20 % 4 2 Total Skor 20 200 0 00 0 Lereng (20). Datar 2. Landai. Agak Curam 4. Curam. Sangat curam < 8 % 8- % 6-2 % 2-40 % > 40 % 4 2 00 80 60 40 20 Erosi (20). Ringan -Tanah dalam: Kurang dari 2 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-0 m -Tanah dangkal: Kurang dari 2 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak > 0 m 2. Sedang - Tanah dalam: 2-7 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 m - Tanah dangkal: 2-0 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur dengan jarak < 20-0 m. Berat - Tanah dalam: lebih dari 7 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-0 m - Tanah dangkal: 2-7 % lapisan tanah atas hilang 4. Sangat Berat - Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang lebih dari 2 % lapisan tanah bawah hilang dan atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m - Tanah dangkal: > 7 % lapisan tanah atas telah hilang dan sebagian lapisan tanah bawah tererosi Manajemen (0). Baik 2. Sedang. Buruk Lengkap *) Tidak lengkap Tidak ada 00 4 80 60 2 40 0 0 0 *) : - Tata batas kawasan ada - Pengamanan pengawasan ada - Penyuluhan dilaksanakan

0 Fungsi Kawasan Budidaya Untuk Usaha Pertanian Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan adalah produktivitas lahan, kelerengan lapangan, kenampakan erosi, penutupan oleh batu-batuan dan manajemen. Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan budidaya untuk usaha pertanian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kriteria penilaian lahan kritis di kawasan budidaya untuk usaha pertanian Parameter (% Bobot) Produktivitas (0) Lereng (20) Erosi () Batuan () Manajemen (0) Kelas Besaran/Deskripsi Skor. Sangat tinggi 2. Tinggi. Sedang 4. Rendah. Sangat rendah. Datar 2. Landai.. Agak Curam 4. Curam. Sangat curam >80 % 6-80 % 4-60 % 2-40 % < 20 % < 8 % 8- % 6-2 % 2-40 % > 40 %. Ringan - Tanah dalam: Kurang dari 2 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-0 m - Tanah dangkal: Kurang dari 2 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak > 0 m 2. Sedang - Tanah dalam: 2-7 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 m - Tanah dangkal: 2-0 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur dengan jarak < 20-0 m. Berat - Tanah dalam: lebih dari 7 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-0 m - Tanah dangkal: 2-7 % lapisan tanah atas hilang 4. Sangat Berat - Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang lebih dari 2 % lapisan tanah bawah hilang dan atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m - Tanah dangkal: > 7 % lapisan tanah atas telah hilang dan sebagian lapisan tanah bawah tererosi. Sedikit 2. Sedang. Banyak. Baik 2. Sedang. Buruk *) : - Penerapan teknologi konservasi - Lengkap*) - Tidak lengkap - Tidak ada < 0 % 0-0 % > 0 % 4 2 4 2 Total Skor 0 20 90 60 0 00 80 60 40 20 7 4 60 4 2 0 2 0 90 0

Kawasan budidaya untuk pertanian adalah kawasan yang fungsi utamanya adalah sebagai daerah produksi dan diusahakan agar berproduksi secera lestari. Oleh sebab itu penilaian kekritisan lahan di daerah produksi dikaitkan dengan fungsi produksi dan pelestarian sumberdaya tanah, vegetasi, dan air untuk produktivitas. Fungsi Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan adalah tutupan lahan, kelerengan lapangan, kenampakan erosi, dan manajemen. Kawasan lindung di luar kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung tetapi kawasan tersebut tidak lagi sebagai hutan. Pada umumnya daerah tersebut sudah diusahakan sebagai kawasan budidaya terutama untuk kegiatan produksi. Namun secara prinsip daerah ini masih tetap berfungsi sebagai daerah perlindungan atau pelestarian sumberdaya tanah, hutan, dan air. Oleh karena itu parameter penilaian kekritisan lahan di daerah ini harus dikaitkan dengan fungsi sumberdaya tanah, vegetasi permanen, kemiringan lereng, tingkat erosi dan tingkat pengelolaan atau manajemen lahan. Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan lindung di luar kawasan hutan disajikan pada Tabel 7.

2 Tabel 7 Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan lindung di luar kawasan hutan Parameter (% Bobot) Tutupan Lahan (0) Kelas Besaran/Deskripsi Skor. Sangat baik 2. Baik. Sedang 4. Buruk. Sangat buruk >40 % -40 % 2-0 % 0-20 % < 0 % 4 2 Total Skor 20 200 0 00 0 Lereng (20). Datar 2. Landai. Agak Curam 4. Curam. Sangat curam < 8 % 8- % 6-2 % 26-40 % >40 % 4 2 00 80 60 40 20 Erosi (20). Ringan 2. Sedang. Berat 4. Sangat Berat - Tanah dalam: Kurang dari 2 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-0 m - Tanah dangkal: Kurang dari 2 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak > 0 m - Tanah dalam: 2-7 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 m - Tanah dangkal: 2-0 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur dengan jarak < 20-0 m - Tanah dalam: lebih dari 7 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-0 m - Tanah dangkal: 2-7 % lapisan tanah atas hilang - Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang lebih dari 2 % lapisan tanah bawah hilang dan atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m - Tanah dangkal: > 7 % lapisan tanah atas telah hilang dan sebagian lapisan tanah bawah tererosi 4 2 00 80 60 40 Manajemen (0). Baik 2. Sedang. Buruk - Lengkap*) - Tidak lengkap - Tidak ada 0 0 0 *) : - Tata batas kawasan ada - Pengamanan pengawasan ada - Penyuluhan dilaksanakan

Analisis Karakteristik Lahan Terhadap Lahan Kritis Analisis ini digunakan untuk mendukung validasi dan verifikasi yang telah dilaksanakan melalui cek lapangan. Data dan informasi yang tidak dapat diperoleh di lapangan atau keterbatasan dalam melaksanakan cek lapangan, untuk memperkuat validasi dilakukan pendekatan dengan membandingkan peta karakteristik lahan terhadap lahan kritis yang diperoleh dari hasil analisis. Analisis Sebaran Lahan Kritis Terhadap RTRW Kabupaten Analisis dilakukan dengan overlay peta lahan kritis hasil analisis dengan peta RTRW Kabupaten. Hasil dari overlay akan diperoleh sebaran lahan kritis di setiap arahan pemanfaatan ruang yang terdapat pada RTRW. Data dan informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai masukan, dasar pertimbangan dan arahan pengembangan wilayah kabupaten.