HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (

BAB II TINJAUAN UMUM

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI

BAB II TINJAUAN UMUM

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB II TINJAUAN UMUM

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

Tahanan Jenis (Ohm meter)

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

PENGUKURAN TAHANAN JENIS (RESISTIVITY) UNTUK PEMETAAN POTENSI AIR TANAH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRAYA. Oleh:

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung

BAB II TINJAUAN UMUM

APLIKASI GEOLISTRIK UNTUK MENENTUKAN POTENSI AKUIFER AIR TANAH: STUDI KASUS DI KECAMATAN MASARAN, KEDAWUNG DAN SIDOHARJO, KABUPATEN SRAGEN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Gambar 3 Hidrostratigrafi cekungan airbumi Jakarta (Fachri M, Lambok MH dan Agus MR 2002)

FISIK PRASARANA WILAYAH

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Prosiding Seminar Nasional XII Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Jurnal APLIKASI ISSN X

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. prasarana dan sarana kota yang lengkap dan baik serta merupakan pusat utama

POTENSI AKUIFER DAERAH DESA WATUBONANG KECAMATAN TAWANGSARI KABUPATEN SUKOHARJO PROPINSI JAWA TENGAH BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK

BAB III TINJAUAN WILAYAH

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

Lampiran 1. Peta administrasi Kota Tangerang Selatan. Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. pembangkit tenaga listrik. Secara kuantitas, jumlah air yang ada di bumi relatif

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Barat, Jalan Jhoni Anwar No. 85 Lapai, Padang 25142, Telp : (0751)

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI

Sebaran akuifer dan pola aliran air tanah di Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda Kota Tangerang, Propinsi Banten

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB I PENDAHULUAN. modern ini, baik untuk kebutuhan sehari-hari yang bersifat individu maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Cekungan. Air Tanah. Penyusunan. Pedoman.

POLA SEBARAN AKUIFER DI DAERAH PESISIR TANJUNG PANDAN P.BELITUNG

BAB II GEOLOGI REGIONAL

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KONDISI W I L A Y A H

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Bab II Geologi Regional

PENYELIDIKAN PENDUGAAN GEOLISTRIK UNTUK PENELITIAN AIR TANAH, DI ASRAMA RINDAM - SENTANI, KABUPATEN 7AYAPURA, PROPINSI PAPUA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terhadap barang ini pun kian meningkat seiring bertambahnya jumlah

POTENSI AIR TANAH DAERAH KAMPUS UNDIP TEMBALANG. Dian Agus Widiarso, Henarno Pudjihardjo *), Wahyu Prabowo**)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENENTUAN TAHANAN JENIS BATUAN ANDESIT MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER (STUDI KASUS DESA POLOSIRI)

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1.1 Letak, Luas dan Batas wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat 106 38-106 47 Bujur Timur dan 06 13 30-06 22 30 Lintang Selatan. Secara administratif, wilayah Kota Tangerang Selatan terdiri dari tujuh kecamatan, 49 kelurahan dan lima desa dengan luas wilayah berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan adalah seluas 147,19 km 2 atau 14.719 ha. Namun berdasarkan hasil digitasi atas peta rupa bumi bakosurtanal luas wilayah adalah 16.506,8 ha. Untuk kepentingan akurasi pemetaan dan kajian dalam RTRW ini maka selanjutnya luas ini yang akan digunakan dalam proses analisa hingga rencana. Batas administrasi wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang Wilayah Kota Tangerang Selatan dilintasi oleh Kali Angke, Kali Pasanggrahan dan Sungai Cisadane sebagai batas administrasi kota di sebelah barat. Letak geografis Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pada Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga provinsi DKI Jakarta. Selain itu, wilayah ini juga menjadi daerah perlintasan yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Kota Tangerang Selatan terdiri dari tujuh kecamatan yang dahulunya bagian dari Kabupaten Tangerang, yaitu: Kecamatan Setu, Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong Utara, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur. Kecamatan dengan wilayah paling besar di Kota Tangerang Selatan terdapat di Kecamatan Pondok Aren dengan luas 2.993 ha atau 20,30% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan. Sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil adalah Kecamatan Setu dengan luas 1.696,9 ha atau 10,06%. 4.1.2 Topografi dan Geomorfologi Sebagian besar wilayah Kota Tangerang Selatan merupakan dataran rendah, dimana sebagian besar wilayah Kota Tangerang Selatan memiliki topografi yang relatif datar dengan kemiringan tanah rata-rata 0-3% sedangkan ketinggian wilayah antara 0-25 m dpl. Untuk kemiringan pada garis besarnya terbagi atas dua bagian, yaitu : 1. Kemiringan antara 0-3% meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Serpong dan Kecamatan Serpong Utara. 2. Kemiringan antara 3-8% meliputi Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Setu. Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 maka Kota Tangerang Selatan termasuk satuan morfologi dataran pantai dan kipas gunung api Bogor. Dataran pantai yang dicirikan oleh permukaannya yang nisbi datar dengan ketinggian antara 0-15 m di atas permukaan laut. Sedangkan kipas gunung api Bogor yang menyebar dari selatan ke utara dengan 17

Bogor sebagai puncaknya. Satuan ini ditempati oleh rempah-rempah gunung api berupa tuf, konglomerat dan breksi yang sebagian telah mengalami pelapukan kuat, berwarna merah kecoklatan. 4.1.3 Geologi Wilayah Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 (Lapmpiran 2) yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Departemen Pertambangan dan Energi, kondisi geologi Kota Tangerang Selatan pada umumnya terbentuk oleh dua formasi batuan yaitu: a. Batuan aluvium (Qa) yang terdiri dari aluvial sungai dan rawa yang berbentuk pasir, lempung, lanau, kerikil, kerakal dan sisa tumbuhan. Jenis tanah ini pada dasarnya merupakan lapisan yang subur bagi tanaman pertanian. b. Batuan gunung api yang berupa material lepas yang terdiri dari lava andesit, dasit, breksi tuf dan tuf. Secara fisik lava andesit berwarna kelabu-hitam dengan ukuran sangat halus, afanitik dan menunjukkan struktur aliran, dan breksi tuf dan tuf pada umumnya telah lapuk, mengandung komponen andesit dan desit. Pada umumnya tanah jenis ini digunakan sebagai kebun campuran, permukiman dan tegalan. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang relatif datar. Adapun pada beberapa Kecamatan terdapat lahan yang bergelombang seperti di perbatasan antara Kecamatan Setu dan kecamatan Pamulang serta sebagian di Kecamatan Ciputat Timur. Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan umumnya adalah batuan aluvium, yang terdiri dari batuan lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Berdasarkan klasifikasi dari United Soil Classification System, batuan ini mempunyai kemudahan dikerjakan atau workability yang baik sampai sedang, unsur ketahanan terhadap erosi cukup baik oleh karena itu wilayah Kota Tangerang Selatan masih cukup layak untuk kegiatan perkotaan. 4.1.4 Hidrogeologi Wilayah 1. Mandala Airtanah Berdasarkan peta hidrogeologi Kota Tangerang Selatan (Lampiran 3) mandala airtanah dapat dikelompokkan menjadi dua mandala berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu mandala airtanah perbukitan bergelombang lemah dimana litologi penyusunan dari mandala airtanah perbukitan bergelombang lemah terdiri endapan tersier dan endapan kuarter. Endapan tersier berupa batu lempung, tufa dan sisipan batu gamping. Endapan kuarter terdiri dari batuan volkanik muda dan batuan volkanik tua terdiri dari breksi, lahar, tufa batu apung di daerah landai. Penyebaran mata air mandala ini sedikit dijumpai dengan debit umum kurang dari 10 Liter/detik. Akuifer pada satuan mandala ini umumnya dikelompokkan dalam akuifer produktifitas rendah terutama pada daerah-daerah dengan lereng tajam yang merupakan pencerminan tingkat kelulusan batuan yang rendah, sehingga aliran permukaan semakin menonjol dibandingkan dengan tingkat peresapannya. Tata guna lahan di mandala ini berupa ladang, belukar, sawah, pemukiman, kebun karet. Sedangkan yang kedua yaitu mandala airtanah dataran dimana litologi penyusun satuan mandala airtanah dataran adalah adalah material bersifat lepas berupa endapan aluvial pantai dan rawa topografinya berupa dataran pantai yang tersusun oleh material, pasir, lanau, lempung dan lumpur. 18

Sistem akuifer pada mandala airtanah dataran ini adalah sistem aliran antar butir tipologi akuifer batuan sedimen dan endapan aluvial. Pada umumnya masyarakat mendapatkan air bersih dengan membuat sumur dangkal pada mandala airtanah dataran tersebut. 2. Tipologi Akuifer Tipologi akuifer di wilayah studi merupakan sistem akuifer endapan aluvial atau endapan permukaan, dan endapan sedimen, dengan sistem aliran airtanah pada akuifer ini adalah melalui ruang antar butir, aliran airtanah dangkal mengikuti bentuk umum topografi yaitu mengalir ke arah utara. 3. Sebaran Dan Sistem Akuifer Menurut peta hidrogeologi regional lembar Jakarta (Lampiran 3), Pusat Geologi Lingkungan tahun 1993, memetakan hidrogeologi berdasarkan lapisan akuifer endapan permukaan dan lapisan akuifer batuan dasar. Sistem akuifer endapan permukaan didasarkan pada telaah penyebaran aluvial sungai, kipas aluvial, ketebalan endapan permukaan diperoleh dari pengamatan pada sumur gali dengan kedalaman mencapai sekitar 15 m. Pada umumnya sistem akuifer endapan permukaan dijumpai pada endapan kuarter dan di beberapa bagian dijumpai di daerah pelapukan batuan tersier. Dari peta geohidrogeologi regional Jakarta untuk endapan permukaan di wilayah studi kisarannya antara 15-20 m. 4. Akuifer Endapan Permukaan Akuifer endapan permukaan pada umumnya menempati daerah dataran aluvial sungai dan endapan vulkanik muda. Berdasarkan pada telaah morfologi dan geologi secara ringkas hidrogeologi endapan permukaan di wilayah studi terbagi menjadi dua yaitu luah sumur 1-5 l/det dan luah sumur < 1 l/det. Wilayah luah sumur 15 l/det persebarannya cukup luas, berada di wilayah utara dan timur wilayah serpong yaitu mulai dari Rawa Mekarjaya dan Cilenggang, sedangkan yang diselatan yaitu di Rawakalo dan Pengasinan. Batuan penyususn wilayah tersebut adalah batuan endapan permukaan berupa kerikil dan pasir lempungan dengan ketebalan kurang dari 10 m. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), sistem akuifer melalui ruang antar butir, dengan debit mencapai < 5 l/detik. Wilayah luah sumur < 1 lt/det persebarannya di bagian tengah wilayah studi memanjang ke arah utara di sepanjang sungai Cisadane, terutama pada daerah dengan morfologi perbukitan bergelombang. Sebarannya berada di sebelah barat Serpong sampai wilayah Bogor. Batuan penyusun wilayah tersebut adalah batuan endapan permukaan berupa pasir lempungan dan sedikit kerikil dengan ketebalan kurang dari 7 m dan tidak menerus. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), sistem akuifer melalui ruang antar butir, dengan debit mencapai 0,2 l/detik, dengan kedalaman muka airtanah 10 m di bawah muka tanah Sistem aliran airtanah pada akuifer ini melalui ruang antar butir, umumnya dimanfaatkan melalui sumur gali dengan diameter kurang dari 2 m dengan kedalaman sumur sampai 15 m. Akuifer umumnya terdiri dari beberapa lapisan, ketebalannya kurang dari 4 m dengan selingan lapisan lempung. 19

5. Akuifer Batuan Dasar Berdasarkan pembagian lapisan akuifer endapan batuan dasar, wilayah Jakarta terbagi menjadi tiga satuan dengan luah sumur yaitu : luah sumur lebih dari 25 l/detik, luah sumur 5-25 l/det, luah sumur < 5 l/det, persebaran masing masih satuan seperti pada Lampiran 3 (peta hidrogeologi batuan dasar). Wilayah luah sumur > 25 l/det persebarannya tidak luas setempat-setempat, berada di wilayah utara Jakarta sepanjang pantai, yaitu antara muara Ancol dan muara Angke, dan dari pantau Dadap sampai wilayah barat pantai Jakarta berbatasan dengan Tangerang. Batuan penyususn wilayah tersebut adalah dengan batuan berupa batu gamping koral dan batu gamping pasiran. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), sistem akuifer aliran melalui celah, rekahan dan saluran pelarutan persebarannya setempat melalui ruang antar butir, dengan debit mencapai 10 l/detik. Wilayah luah sumur 5-25 l/det persebarannya sangat luas hampir seluruh wilayah berada pada wilayah dengan luah sumur 5-25 l/det. Batuan penyusun wilayah tersebut adalah batuan sedimen kuarter belum termampatkan sehingga sangat poros, berupa batu pasir dengan ketebalan antara 3-18 m, dijumpai sisipan lempung sehingga dibeberapa tempat dapat ditemukan sumur artesis pada kedalaman antara 3-21 m di bawah muka tanah. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), dan kuifer tertekan (confined) sistem akuifer aliran melalui ruang antar butir, dan setempat dijumpai melalui rekahan. Berdasarkan pembagian lapisan akuifer endapan batuan dasar, wilayah studi yaitu daerah Serpong dan sekitarnya hanya terdiri dari satu kelompok luah sumur yaitu luah sumur < 5 l/det. Persebaran masing-masing satuan seperti terlihat pada Lampiran 3 peta hidrogeologi batuan dasar. Batuan penyususn wilayah tersebut adalah sebagian kecil batuan sedimen kuarter belum termampatkan sehingga sangat poros, berupa batu pasir dan breksi, dan sebagian berupa batuan tersier berupa breksi, batu gamping pasiran dengan ketebalan antara 3-20 m, kedalaman antara 60-250 m di bawah muka tanah. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), dan akuifer tertekan (confined) sistem akuifer aliran melalui ruang antar butir, dan setempat dijumpai melalui rekahan dan saluran pelarutan. 4.1.5 Iklim dan Curah Hujan Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan tanaman, oleh karena itu iklim merupakan salah satu data yang sangat diperlukan dalam perencanaan wilayah terutama keperluan pertanian. Dari analisis data pada Tabel 5 yang diperoleh dari Stasiun Geofisika Klas I Tangerang, diketahui bahwa hujan rata-rata tahunan 145,3 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari, yaitu 664 mm, sedangkan rata-rata curah hujan dalam setahun adalah 145,3 mm. Hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu sebanyak 28 hari. 20

4.1.6 Jenis Tanah Tabel 5. Banyaknya curah hujan dan hari hujan Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan (Hari) Januari 138 13 Februari 664 28 Maret 98 12 April 198 14 Mei 55 7 Juni 141 8 Juli 1 1 Agustus 48 8 September 2 2 Oktober 81 11 November 174 13 Desember 144 20 Rata-Rata 145,3 11,4 Sumber : Stasiun Geofisika Klas I Tangerang-BMKG, 2009 Secara umum penyebaran dan sifat-sifat tanah berkaitan erat dengan keadaan landform-nya. Hal ini terjadi karena hubungannya dengan proses genetis dan sifat batuan atau bahan induk serta pengaruh sifat fisik lingkungan. Landform sebagai komponen lahan dan tanah sebagai elemennya sangat tergantung pada faktor-faktor tersebut. Dilihat dari data jenis tanah berdasarkan keadaan geologi, di wilayah Kota Tangerang Selatan sebagian besar terdiri dari batuan endapan hasil gunung api muda dengan jenis batuan kipas aluvium dan aluvium/aluvial. Sedangkan dilihat dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya di Kota Tangerang Selatan berupa asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan. Oleh karena itu secara umum lahan cocok untuk pertanian/perkebunan. Jenis tanah yang sangat sesuai dengan kegiatan pertanian tersebut makin lama makin berubah penggunaannya untuk kegiatan lainnya yang bersifat non-pertanian. Sedangkan untuk sebagian wilayah seperti di Kecamatan Serpong dan Kecamatan Setu jenis tanahnya ada yang mengandung pasir khususnya untuk daerah yang dekat dengan Sungai Cisadane. 4.2 IDENTIFIKASI AKUIFER DAN PENDUGAAN GEOLISTRIK Pada titik pengukuran pertama (GL.1), sebelum dilakukan iterasi pada invers modelling nilai RMS-nya sebesar 14,17 %, setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS Cut off-nya 1, nilai RMS-nya menjadi 5,63%. Pada GL.2 nilai RMS sebesar 15,62 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 12.61 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.3 nilai RMS sebesar 6,97 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 4,04 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.4 nilai RMS sebesar 11,21 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 8,19 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS Cut Off-nya 1. Pada GL.5 nilai RMS sebesar 17,28 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 13,14 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.6 nilai RMS sebesar 7,39 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 7,24 % setelah dilakukan iterasi dengan max. iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.7 nilai RMS sebesar 13,69 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 11,33 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.8 nilai RMS sebesar 10,23 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 8,41 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan 21

RMS cut off-nya 1. Pada GL.9 nilai RMS sebesar 12,47 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 7,14 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off- nya 1. Pada GL.10 nilai RMS sebesar 10,50 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 7,24 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.11 nilai RMS sebesar 5,22 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 4,65 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.12 nilai RMS sebesar 8,49 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 4,99 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.13 nilai RMS sebesar 7,20 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 5,13 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.14 nilai RMS sebesar 7,67 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 5,81 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Dari hasil pengukuran pada 14 lokasi setelah dikorelasikan dengan data geologi dan hidrogeologi setempat, diperoleh hasil pendugaan geolistrik sebesar 0,64-198,13 ohmmeter. Berdasarkan kisaran harga tahanan jenis tersebut secara umum dapat dikelompokan seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Dugaan tahanan jenis daerah lokasi penelitian Tahanan Jenis (Ohmmeter) Perkiraan Litologi Sifat Hidrogeologi 0,64-198,13 Permeabilitas rendah 2-5 Pasir lempungan Akuifer < 2 Nir Akuifer 6-10 Pasir tufaan Akuifer >10 Pasir Konglomeratan Akuifer Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keadaan lapisan batuan bawah tanah secara vertikal maka penampang tegak lapisan tanah tahanan dari setiap titik pengukuran geolistrik dapat digambarkan. 4.3 PENAMPANG TEGAK TAHANAN JENIS PENGUKURAN PRIMER Berdasarkan hasil intersepsi geolistrik secara kuantitatif yang dikorelasikan dengan data geologi dan data hidrogeologi setempat, maka diperoleh beberapa perbedaan tahanan jenis yang ditafsirkan sebagai perubahan lapisan batuan. Hasil interpretasi data geolistrik dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. 4.3.1 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.1 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.1 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 3,16 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,3 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,25 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 4 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 5,3 m dibawah permukaan tanah setempat (bmt). Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 1,37 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan lempung. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 8 m dengan kedalaman mencapai 13,7 m bmt. 22

Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 2,57 Ohm meter yang ditafsir sebagai pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 15 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 6,56 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (diduga akuifer). Kedalaman ini diduga mencapai kedalaman 80 m bmt. Kontras tahanan jenis keenam adalah 12,53 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir konglomeratan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.2 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.2 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.2 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 18,65 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,25 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 8,27 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 5 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 5,25 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 19,93 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir konglomeratan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 7 m dengan kedalaman mencapai 14 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 4,8 Ohm meter yang ditafsir sebagai pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 12 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 29,38 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai laisan pasir konglomeratan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 90 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.3 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.3 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.3 terdiri dari empat kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi empat jenis lapisan. Kempat kontras tahanan tersebut sebagai empatlapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 5,59 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,5 m Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 0,51 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan mencapai 23 meter dengan kedalaman mencapai 25 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 4,5 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 18 m dengan kedalaman mencapai 44 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 7,51 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan (diduga akuifer) dengan ketebalan > 75 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 23

4.3.4 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.4 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.4 terdiri dari empat kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi empat jenis lapisan. Keempat kontras tahanan tersebut sebagai empat lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 14,66 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,6 m Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 78,68 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir konglomeratan dengan ketebalan mencapai 20 meter dengan kedalaman mencapai 21,6 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 4,82 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 3 m dengan kedalaman mencapai 24 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 25,99-78,68 Ohmmeter yang ditafsir sebagai lapisan pasir konglomeratan (diduga akuifer) dengan ketebalan > 90 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.5 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.5 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.5 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 1,52 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,1 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,15 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 1,5 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 2,6 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 7,92 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 8 m dengan kedalaman mencapai 11 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 1,52 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 15 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 9,9 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (diduga akuifer) dengan ketebalan 34 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 62 m bmt. Kontras tahanan jenis keenam adalah 2,07 Ohmmeter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir lempungan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 60 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.6 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.6 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.6 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 0,64 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,25 m. 24

Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 1,70 ohmmeter, ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan mencapai 1,8 m. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 3,38 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan diduga sebagai akuifer dangkal. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 2 m dengan kedalaman mencapai 6,2 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 1,73 Ohmmeter yang ditafsir sebagai lempung dengan ketebalan 73,8 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 6,13 Ohmmeter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.7 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.7 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.7 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 63,10 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,3 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 17,56 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir konglomeratan diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 4 m dan kedalaman 5,7 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 2,28 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 25 m dengan kedalaman mencapai 33,33 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 8,52 Ohm meter yang ditafsir sebagai pasir tufaan diduga akuifer dengan ketebalan 40 m dan kedalaman 75 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 4,62 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.8 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.8 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.8 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 198,13 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,7 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 6,14 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan diduga akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 6 m dan kedalaman 8,3 m. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 3,38 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 3 m dengan kedalaman mencapai 12 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 0,9 Ohm meter yang ditafsir sebagai lempung dengan ketebalan 25 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 7,53 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 25

4.3.9 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.9 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.4 terdiri dari empat kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi empat jenis lapisan. Keempat kontras tahanan tersebut sebagai empat lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 3,84 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,7 m Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 4,64 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 5 meter dengan kedalaman mencapai 6 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 1,22 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan mencapai 65 m dengan kedalaman 72 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 8,81 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan (diduga akuifer) dengan ketebalan > 45 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.10 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.10 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.10 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 15,57 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,5 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,74 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 6 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 6,6 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 7,32 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 5,5 m dengan kedalaman mencapai 10 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 1,12 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 15 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 3,22 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 35 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 65 m bmt. Kontras tahanan jenis keenam adalah 7,8 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.11 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.11 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.11 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 2,8 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,6 m. 26

Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,1 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 8 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 10 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis 0,38 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 30 m. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis sebesar 4,25 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 30 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 78 m bmt. Kontras tahanan jenis kelima adalah 8,3 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasiran tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.12 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.12 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.12 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 2,26 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,3 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 5,4 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 2 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 3,7 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 8,95 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 6 m dengan kedalaman mencapai 10,3 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 4,4 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan diduga sebagai akuifer dengan ketebalan 30 m dan kedalaman 40 m bmt. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 1,13 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 30 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 74 m bmt. Kontras tahanan jenis keenam adalah 53,33 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir konglomeratan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.13 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.13 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.13 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 22,08 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,2 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 9,75 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 3 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 4,8 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan 4,41 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan dengan ketebalan 8,2 m. 27

Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis sebesar 1,16 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 70 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 86 m bmt. Kontras tahanan jenis kelima adalah 5,25 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasiran tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 30 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 4.3.14 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.14 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.14 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: sebesar 2,04 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,2 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 1,5 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan mencapai 8,8 meter. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis 3,30-5,5 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 25 m dan kedalaman 33 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis sebesar 1,19 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 30 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 68 m bmt. Kontras tahanan jenis kelima adalah 8,39 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasiran tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 50 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. Data yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan alat geolistrik di lokasi penelitian mengandung beberapa data yang error. Kesalahan data tersebut berupa nilai tahan jenis yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Kesalahan data tersebut berpengaruh terhadap interpretasi data untuk memperkirakan posisi lapisan akuifer berada. Besarnya nilai kesalahan data ditunjukkan dengan istilah RMS (Root Mean Square) dalam perangkat lunak Progress Version 3.0. kesalahan-kesalahan tersebut diakibatkan oleh kondisi lingkungan daerah penelitian dan teknis pengukuran, yakni : hubungan elektroda arus AB dengan tanah tidak terkontak dengan baik sehingga arus listrik tidak stabil, injeksi arus belum optimal dan kondisi lapisan tanah yang terbentuk akibat timbunan maupun adanya tumpukan sampah. Bila harga apparent resistivity menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya, kemungkinan ada kebocoran arus pada kabel atau menancapkan elektroda AB pada jarak yang lebih pendek dari yang seharusnya, atau jarak elektroda tegangan MN lebih panjang dari yang seharusnya. Bila harga apparent resistivity terlalu rendah, ada kemungkinan elektroda arus ditancapkan pada jarak yang lebih jauh dari yang seharusnya atau jarak elektroda tegangan MN lebih pendek dari yang seharusnya. 28

Tabel 7. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.1-GL.7) Titik Pendugaan Geolistrik GL.1 GL.2 GL.3 GL.4 GL.5 GL.6 GL.7 Kedalaman (m) 0 1,3 1,3 5.3 5,3 13,7 13,7 31,5 31,5 80 80-0 1,25 1,25 5,25 5,25 15,75 15,75 28,25 28,25-0 1,5 1,5 26,27 26,27 44,73 44,73-0 1,6 1,6 21,6 21,6 24,4 24,4 0 1,1 1,1 2,6 2,6 11,79 11,79 15,11 15,11 62,55 62,55 0 1,25 1,25 1,8 1,8 6,2 6,2 73,8 73,8-0 1,3 1,3 5,7 5,7 33,33 33,33 75 75 - Tahanan Jenis (Ohm meter) 3,16 2,25 1,37 2,57 6,56 12,53 0,01 18,65 8,27 19,93 4,8 29,38 5,59 0,51 4,5 7,51 14,66 78,68 4,82 25,99 78,68 1,52 2,15 7,92 1,52 9,9 2,07 0,64 1,7 3,38 1,73 6,13 63,10 17,56 2,28 8,52 4,62 Penafsiran Pasir Tufaan Pasir konglomeratan (diduga akuifer) Pasir konglomeratan Pasir konglomeratan (diduga akuifer) Pasir konglomeratan (diduga akuifer) Pasir konglomeratan (diduga akuifer) /tuf /tuf pasir tufaan (diduga akuifer) Pasir konglomeratan (diduga akuifer) Pasir lempungan Pasir lempungan 29

Tabel 8. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.8-GL.14) Titik Pendugaan Geolistrik Kedalaman (m) Tahanan Jenis (Ohm meter) Penafsiran GL.8 0 1,7 1,7 8,3 8,3 12,7 12,7 35,3 35,3 198,13 6,14 3,38 0,9 7,53 Pasir Tufaan (diduga akuifer) GL.9 GL.10 GL.11 GL.12 GL.13 GL.14 0 1,7 1,7 6,3 6,3 72,6 72,6 0 1.5 1,5 6,6 6,6 10,4 10,4 15,6 15,6 65,4 65,4-0 1,6 1,6 10,4 10,4 42,6 42,6 78,4 78,4-0 1,3 1,3 3,7 3,7 10,3 10,3 40,7 40,7 74,3 74,3 0 1,2 1,2 4,8 4,8 8,2 8,2 70,8 70,8-0 1,2 1,2 8,8 8,8 33,2 33,2 68,8 68,8-3,84 4,64 1,22 8,81 15,57 2,74 7,32 1,12 3,22 7,8 14,66 2,1 0,73 4,25 8,3 2,26 5,4 8,95 4,4 1,13 53,33 22,08 9,75 4,41 1,16 5,25 2,04 1,5 3,30 5,5 1,19 8,39 lempung Pasir lempungan lempung lempung 30

m (bmt) Top soil Pasir Tufaan Pasir Konglomeratan Pasir an Gambar 7. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.1-GL.7) 31

m (bmt) Top Soil Pasir Tufaan Pasir Konglomeratan Pasir an Gambar 8. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.8-GL.14) 32

4.4 SEBARAN AKUIFER Akuifer yang berkembang di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten secara administratif berlitologi pasir lempungan, pasir tufan, dan pasir konglomeratan dan dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya menjadi akuifer dangkal dan akuifer dalam. Akuifer dangkal dibatasi hanya untuk akuifer-akuifer yang terdapat hingga kedalaman sampai 50 m di bawah permukaan tanah (bmt), dan akuifer dalam adalah akuifer yang terdapat pada kedalaman lebih dari 50 m bmt. Ketebalan akuifer dangkal (pada kedalaman < 50 m) di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten bervariasi antara 2-12 m pada kedalaman 3-44,73 m, hingga ketebalan > 75 m untuk akuifer dalam (pada kedalaman > 50 m). Akuifer dangkal (pada kedalaman < 50 m) adalah akuifer tak tertekan dan pada tempat yang semakin dalam berubah menjadi akuifer semitertekan. Sedangkan akuifer dalam (pada kedalaman > 50 m) merupakan akuifer tertekan yang dibatasi oleh dua lapisan kedap air (impermeable layer) pada bagian atas dan bawahnya. Potongan melintang pada Gambar 14 dan Gambar 15 merupakan suatu contoh sebaran dalam kaitannya dengan sifat dan ketebalan akuifer di Kota Tanggerang Selatan, Provinsi banten. Sebaran akuifer di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten diduga dengan memetakan hasil pengukuran pada peta topografi (Gambar 9) sehingga didapatkan potongan melintang akuifer menurut arah Selatan-Utara dan Barat-Timur. Dimana akuifer bebas dari arah selatan ke utara semakin dangkal. Hal ini disebabkan keadaan topografi Kota Tangerang yang semakin rendah ke bagian utara. Gambar 9. Peta pengukuran geolistrik 33

Elevasi ( m dpl) Jarak (km) Gambar 10. Potongan melintang akuifer arah Selatan-Utara Kota Tangerang Selatan 37

Elevasi (m dpl) Gambar 11. Potongan melintang akuifer arah Barat-Timur Kota Tangerang Selata Jarak (km) 38