IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel

III. METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

III. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 Pembahasan Degumming

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

APLIKASI RESPONSE SURFACE METHOD UNTUK OPTIMASI KONDISI PROSES PRODUKSI BIODIESEL JARAK PAGAR MELALUI TRANSESTERIFIKASI IN SITU RATNA RUCITRA

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Bab III Pelaksanaan Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III RENCANA PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisa awal yang dilakukan pada minyak goreng bekas yang digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tugas Perancangan Pabrik Kimia Prarancangan Pabrik Amil Asetat dari Amil Alkohol dan Asam Asetat Kapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

Bab IV Hasil dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak. bumi sebagai salah satu tulang punggung produksi energi semakin

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

KEMIRI SUNAN. (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang)

A. Sifat Fisik Kimia Produk

Efek Lama Maserasi Bubuk Kopra Terhadap Rendemen, Densitas, dan Bilangan Asam Biodiesel yang Dihasilkan dengan Metode Transesterifikasi In Situ

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

ISOLASI BAHAN ALAM. 2. Isolasi Secara Kimia

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI

PENGARUH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma) YANG SUDAH DIPERLAKUKAN DENGAN KITOSAN

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumber energi alternatif saat ini terus digiatkan dengan tujuan

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU Persiapan bahan baku ini perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang digunakan, yaitu biji jarak pagar. Biji jarak pagar ini diperoleh dari buah jarak pagar yang telah dibersihkan dari kulit buahnya (cangkang). Karakteristik biji jarak pagar ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat yang dihitung berdasarkan by difference. Hasil dari karakteristik biji jarak pagar ini dapat dilihat pada Tabel 4. Parameter Uji Tabel 4. Hasil karakterisasi biji jarak pagar Hasil Penelitian Penelitian Sebelumnya Utami (2010) Wina (2008) 1. Kadar air (% bb) 5.66 6.29 5.64 2. Kadar abu (% bb) 3.76 4.20 3.14 3. Kadar protein (% bb) 17.19 19.43 17.09 4. Kadar lemak (% bb) 36.16 36.91 43.11 5. Kadar serat kasar (% bb) 36.24 8.63 12.31 6. Kadar karbohidrat (% bb) By difference 0.99 24.44 18.71 Berdasarkan Tabel 4, karakteristik dari biji jarak pagar berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan komposisi fisikokimia suatu bahan dipengaruhi oleh varietas, usia, kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman jarak pagar dan penanganan pasca panennya (Achten et al., 2008). Varietas biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini dengan yang dilakukan oleh Utami (2010) adalah sama yaitu varietas Lampung. Namun turunan varietas biji jarak pagar yang dipakai berbeda dimana penelitian Utami (2010) menggunakan IP2, sedangkan penelitian ini menggunakan IP3 begitu juga dengan penelitian yang dihasilkan oleh Wina (2008). Oleh karena itu, kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak dari penelitian ini dan penelitian Wina (2008), hasilnya tidak berbeda jauh. Namun, hasil yang menunjukkan sangat berbeda adalah kadar serat kasar dan kadar karbohidrat. Kadar serat kasar merupakan komponen selulosa, hemiselulosa, maupun lignin yang terkandung dalam biji jarak pagar. Selulosa, hemiselulosa dan lignin banyak terkandung dalam kulit biji. Pada biji jarak pagar, jumlah kulit biji sekitar 25% dan 75% kernel biji jarak pagar (Ketaren, 2008). Kadar serat bisa dipengaruhi oleh komposisi kulit biji dan kernel biji yang ada pada biji jarak pagar. Penelitian yang dilakukan Utami (2010) dan Wina (2008) mempunyai kadar serat yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar serat yang dihasilkan oleh penelitian ini. Hal ini bisa disebabkan karena komposisi kulit biji lebih kecil dibandingkan dengan kernel biji sehingga menghasilkan kadar serat yang rendah. Sementara penelitian ini mempunyai komposisi kulit biji yang lebih tinggi dibandingkan kernel biji sehingga kadar seratnya pun tinggi. Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan by difference yang berarti jumlah keseluruhan bahan 14

dikurangi kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar lemak dan kadar serat kasar. Apabila kadar serat kasar semakin tinggi, maka kadar karbohidrat akan semakin rendah. Kadar air bahan ditentukan oleh dimana biji jarak pagar diperoleh dan cara penanganan pasca panen. Biji jarak pagar yang diperoleh dari daerah yang kelembabannya tinggi, kemungkinan akan mempunyai kadar air yang tinggi pula. Selain itu, proses penanganan pasca panen juga menentukan tinggi rendahnya kadar air yang dimiliki oleh biji jarak pagar. Menurut Warsiki et al. (2007), peningkatan RH penyimpanan di atas RH ruangan menyebabkan peningkatan kadar air dibandingkan kadar air awal. Sebaliknya penyimpanan di bawah RH ruangan akan menurunkan kadar air biji. Kadar air yang tinggi pada biji jarak pagar dapat menurunkan keefektifan dari proses transesterifikasi. Hal ini dikarenakan kadar air yang tinggi dapat menginaktivasikan katalis yang digunakan sehingga reaksi transesterifikasi menjadi lambat. Kadar air yang tinggi juga menyebabkan terjadinya proses hidrolisis yang semakin tinggi juga, sehingga proses konversi trigliserida menjadi biodiesel semakin rendah. Kadar air yang dimiliki oleh bahan baku ini masih termasuk tinggi, yaitu sebesar 5.66%. Untuk meningkatkan keefektifan dari proses transesterifikasi, kadar air biji jarak pagar harus diturunkan. Itulah yang menyebabkan persiapan bahan baku diperlukan untuk mendapatkan kadar air 2%. Hal ini didasarkan pada penelitian Qian et al. (2008) yang mendapatkan rendemen sekitar 98% dengan kadar air biji kapas kurang dari 2%. Selain kadar air, syarat utama untuk melakukan transesterifikasi adalah kandungan asam lemak bebas (ALB) pada bahan. Jumlah kadar asam lemak bebas yang tinggi akan menyebabkan proses transesterifikasi menjadi tidak efektif. Selain itu, transesterifikasi menggunakan katalis basa pada kandungan asam lemak bebas yang tinggi akan menghasilkan produk berupa sabun. Oleh karena itu, kandungan asam lemak bebas dalam bahan harus dikurangi. Kandungan asam lemak bebas harus kurang dari 2% agar proses transesterifikasi dapat berjalan secara efektif (Corro et al., 2010). Menurut Warsiki et al. (2007), kandungan asam lemak bebas berbanding lurus dengan kadar air yang dimiliki bahan. Apabila kadar air bahan semakin rendah, maka kandungan asam lemak bebasnya juga semakin rendah. Hal ini dikarenakan kadar air yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis trigliserida dalam bahan menjadi asam lemak bebas. Kadar air biji jarak pagar yang digunakan dalam percobaan dikondisikan mempunyai kadar air 2%, sehingga kandungan asam lemak bebas dalam bahan juga diharapkan serendah mungkin dan proses transesterifikasi berjalan dengan efektif. Ukuran partikel juga mempengaruhi rendemen biodiesel yang dihasilkan. Semakin kecil ukuran partikelnya, rendemen biodiesel yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini dikarenakan biji jarak pagar yang telah mengalami pengecilan ukuran akan mengalami kerusakan pada dindingdinding selnya sehingga memudahkan pelarut dan pereaksi mengekstrak minyak yang ada dan mengubahnya menjadi biodiesel. Selain itu, luas permukaan biji jarak pagar yang bereaksi dengan pelarut dan pereaksi juga akan semakin meningkat. Hal ini dapat berarti bahwa kontak antara biji jarak pagar dengan pelarut dan pereaksi semakin meningkat sehingga peluang terbentuknya biodiesel juga semakin meningkat. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Shuit et al. (2009) didapatkan kesimpulan bahwa semakin kecil ukuran partikel semakin tinggi pula efisiensi ekstraksi dan transesterifikasi in situ serta rendemen biodiesel yang dihasilkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini, biji jarak pagar diperkecil ukurannya dengan menggunakan blender sehingga ukurannya mencapai ± 20 mesh. Menurut Dwi (2008), kandungan minyak biji jarak pagar sekitar 30-40%. Apabila kulit biji dipisahkan dari kernel bijinya, kandungan minyak pada kernelnya mencapai 50-60%. Pada 15

penelitian ini, kandungan minyak biji jarak pagar mencapai 36.16% dan masuk ke dalam rentang tersebut. Kandungan minyak yang tinggi inilah yang menyebabkan biji jarak pagar berpotensi dijadikan sebagai bahan baku biodiesel. Kadar lemak atau minyak biji jarak pagar dipengaruhi oleh cara pemanenan yang tepat (tingkat kematangan buah). Buah jarak pagar yang dipanen lebih awal (buah berwarna kuning), akan memiliki kandungan minyak yang rendah. Sementara buah jarak pagar yang dipanen lebih lama akan menyebabkan buah pecah sehingga biji jarak pagar yang jatuh ke tanah semakin banyak dan dapat mengurangi produktivitas. Sebaiknya buah jarak pagar dipanen saat kulit buah mulai membuka yang berarti biji jarak pagar juga telah masak (buah dan biji berwarna hitam) dan mempunyai kandungan minyak paling tinggi (BALITBANG, 2008). Oleh karena itu, proses pemanenan yang baik dan ketika buah sudah masak, akan menghasilkan kandungan minyak paling tinggi. Hal ini berarti rendemen biodiesel yang dihasilkan juga semakin tinggi. B. PENELITIAN UTAMA Penelitian utama ini bertujuan untuk menghasilkan biodiesel melalui transesterifikasi in situ biji jarak pada berbagai kondisi proses dan operasi dengan menggunakan reaktor 10 liter. Selanjutnya, biodiesel yang dihasilkan dikarakterisasi untuk mengetahui mutu dari biodiesel tersebut. Faktor yang dipelajari dalam pembuatan biodiesel ini adalah pengaruh waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan pada suhu 50 C terhadap rendemen dan mutu biodiesel yang dihasilkan. Selama ini, pembuatan biodiesel secara konvensional dilakukan melalui transesterifikasi dari trigliserida yang terdapat dalam minyak dengan menggunakan alkohol rantai pendek. Metode konvensional ini membutuhkan proses yang sangat panjang dan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan bahan baku yang digunakan berupa minyak, sehingga perlu dilakukan proses ekstraksi untuk mendapatkan minyak itu sendiri dan pemurnian minyak untuk menurunkan kandungan asam lemak bebasnya. Kedua proses tersebut membebani 70% dari biaya produksi biodiesel sehingga biaya produksi biodiesel menjadi tinggi (Zeng et al., 2009). Sekarang ini terdapat metode baru dalam menghasilkan biodiesel, yaitu dengan menggunakan proses transesterifikasi in situ. Proses transesterifikasi in situ ini menggunakan bahan baku yang mengandung sumber minyak sehingga proses ekstraksi dan pemurnian minyak dapat dihilangkan. Dengan kata lain, proses produksi biodiesel semakin sederhana, waktu yang dibutuhkan semakin singkat dan biaya produksi juga semakin rendah. Proses transesterifikasi in situ dipengaruhi oleh jumlah pereaksi dan katalis yang digunakan. Selain itu, juga dipengaruhi oleh kondisi proses dan operasi yang digunakan seperti suhu, waktu reaksi dan kecepatan pengadukan. Pereaksi yang digunakan dalam penelitian ini berupa metanol. Metanol merupakan alkohol rantai pendek yang mempunyai satu ikatan karbon. Metanol digunakan karena memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan etanol. Selain itu, menurut Tambun (2009), metanol mudah bereaksi dan lebih stabil dibandingkan dengan etanol. Satu ikatan karbon yang dimiliki oleh metanol menjadikannya mudah dipisahkan dengan gliserol pada proses penguapan hasil proses transesterifikasi in situ. Metanol yang digunakan pada reaksi transesterifikasi in situ harus berlebih karena reaksi ini merupakan reaksi reversible sehingga diperlukan metanol dalam jumlah yang berlebih untuk mendorong reaksi menuju arah produk. Selain itu, dalam proses transesterifikasi in situ ini metanol berfungsi sebagai pelarut dan pereaksi (Haas et al., 2004). Fungsi metanol secara detailnya dapat dilihat pada Gambar 6. 16

CH 3 OH sebagai pelarut ekstraksi + CH 3 OH (sebagai pereaksi) Metil Ester + Gliserol transesterifikasi Gambar 6. Fungsi metanol Pada penelitian Utami (2010) dan Shuit et al. (2009), penambahan heksan dilakukan untuk meningkatkan rendemen. Begitu juga pada penelitian ini dilakukan penambahan heksan. Heksan digunakan dengan tujuan agar minyak yang terdapat dalam biji jarak pagar dapat terekstrak sebanyak mungkin. Hal ini dikarenakan heksan dan minyak bersifat non polar, sehingga heksan diharapkan lebih optimal mengekstrak minyak yang ada dalam biji jarak pagar. Semakin banyak minyak yang dapat diekstrak diharapkan konversi minyak menjadi biodiesel juga semakin meningkat. Pada penelitian ini, rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) yang digunakan adalah 3:3:1, 4:2:1 dan 5:1:1. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan heksan terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan. Selain itu, rasio metanol/heksan/bahan minimal yang digunakan adalah 3:3:1 karena dalam satu kali reaksi dibutuhkan metanol paling sedikit 3 kali dari bahan yang digunakan. Selanjutnya dilakukan kombinasi rasio dengan mengurangi jumlah heksan dan menaikkan jumlah metanol. Selain pereaksi, proses transesterifikasi juga membutuhkan katalis. Katalis berfungsi untuk mempercepat reaksi dengan menurunkan energi aktivasinya sehingga waktu reaksi dapat berjalan dengan cepat. Katalis yang biasa digunakan dapat berupa katalis asam atau basa. Namun, pada penelitian kali ini digunakan katalis basa agar proses transesterifikasi dapat berjalan pada suhu rendah sehingga energi yang dibutuhkan juga semakin rendah. Katalis yang digunakan pada penelitian kali ini berupa KOH. Menurut Tambun (2009), KOH lebih elektropositif dibandingkan dengan NaOH sehingga mempermudah pembentukan ion dan menukar gugus karbonil dengan asam lemak. Pada penelitian ini digunakan konsentrasi KOH sebesar 0.075 mol/liter metanol. Hal ini berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kartika et al. (2009) yang menghasilkan rendemen tertinggi pada konsetrasi KOH tersebut. Suhu diperlukan untuk mencapai kondisi reaksi. Semakin tinggi suhu, semakin banyak energi yang digunakan oleh reaktan untuk mencapai energi aktivasi. Energi ini berasal dari tumbukan antar molekul-molekul reaktan yang lebih sering terjadi. Energi yang diperoleh tersebut mengakibatkan proses reaksi berjalan semakin cepat. Namun, adanya katalis KOH, energi aktivasi bisa diturunkan dan suhu yang digunakan juga rendah. Pada penelitian ini digunakan suhu 50 C karena katalis yang digunakan adalah KOH sehingga pada suhu tersebut reaksi sudah bisa berjalan dengan cepat. Selain itu, pertimbangan dari penelitian yang dilakukan oleh Utami (2010) yang mendapatkan rendemen tertinggi pada suhu tersebut. Waktu reaksi didefinisikan sebagai lamanya proses yang digunakan dalam melakukan proses transesterifikasi tersebut. Semakin lama waktu reaksi maka semakin lama waktu bereaksi antara bahan satu dengan bahan lainnya. Dengan kata lain, semakin lama waktu reaksi yang digunakan, maka semakin lama bahan (serbuk biji jarak pagar) kontak atau bereaksi dengan 17

alkohol atau metanol. Jika reaksi sudah mencapai kesetimbangan, waktu reaksi yang lama pun tidak akan mempengaruhi rendemen biodiesel yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan Utami (2010) waktu reaksi 3, 4 dan 5 jam tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Hal itulah yang mendasarkan perlakuan waktu reaksi 4 dan 6 jam pada penelitian ini. Kecepatan pengadukan berhubungan dengan kontak antar reaktan yang berpengaruh pada kecepatan reaksi. Selain itu, adanya pengadukan bertujuan untuk mendapatkan kontak antar reaktan yang lebih baik sehingga reaksi dapat berjalan dengan sempurna. Penelitian Utami (2010), didapatkan bahwa kecepatan pengadukan antara 700, 800 dan 900 rpm tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Pertimbangan tersebut yang akhirnya dijadikan dasar pengambilan kecepatan pengadukan 200 dan 600 rpm pada penelitian ini dimana diambil kecepatan pengadukan yang paling rendah dan paling tinggi. Setelah proses reaksi transesterifiksai in situ selesai, dilakukan pendinginan semalam. Hal ini dilakukan untuk menurunkan suhu dan memisahkan fasa padat dan fasa cair sehingga proses penyaringan akan lebih efisien. Pada proses penyaringan didapatkan campuran biodiesel dengan metanol dan heksan serta by product berupa ampas biji jarak pagar. Selanjutnya, campuran tersebut diuapkan untuk memisahkan metanol dan heksan sehingga didapatkan campuran biodiesel dan gliserol seperti yang ditampilkan pada Gambar 7a. Setelah itu biodiesel yang telah dipisahkan dari gliserol dicuci dengan menggunakan air agar biodiesel yang dihasilkan mempunyai ph yang netral (Gambar 7b). a b Biodiesel Gliserol Gambar 7. Pemisahan biodiesel dari gliresol (a) dan biodiesel yang telah dicuci (b) Biodiesel yang dihasilkan pada proses transesetrifikasi in situ ini perlu diketahui karakteristiknya seperti rendemen dan mutunya. Pada penelitian ini, karakteristik mutu biodiesel yang dilakukan meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan ester, viskositas dan kadar abu. By product dari proses transesterifikasi in situ ini yang berupa ampas dikarakterisasi kadar total volatile matter dan kadar bahan terekstraknya. Hasil dari karakterisasi biodiesel dan analisis terhadap ampas yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 3. 18

1. Rendemen Biodiesel Rendemen adalah salah satu parameter penting dalam memproduksi suatu produk. Selain itu, rendemen dapat digunakan sebagai nilai keefisienan proses yang digunakan dalam memproduksi suatu produk. Rendemen dihitung berdasarkan jumlah biodiesel yang telah dicuci terhadap jumlah minyak yang terkandung dalam bahan baku (biji jarak pagar). Proses pemisahan dan pencucian terhadap biodiesel yang tidak efektif dapat menyebabkan rendemen yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal ini dikarenakan kehilangan biodiesel yang ikut pada pembuangan gliserol maupun air bekas cucian. Selain itu, kontaminasi gliserol dan air dapat meningkatkan rendemen. Kontaminasi air sangat menganggu penyimpanan biodiesel dan menyebabkan biodiesel bersifat korosif. Hal ini dikarenakan akan terjadi proses hidrolisis yang menyebabkan biodiesel terurai menjadi asam lemak bebas (Hambali et al., 2007b). Rendemen biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8. Rendemen (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 A1 Perlakuan A2 B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3 Keterangan: A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam) B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm) C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1) Gambar 8. Rendemen biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai kondisi operasi Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan (Lampiran 4). Rendemen biodiesel yang diperoleh pada penelitian skala 10 liter ini berkisar antara 82.54-87.57%. Berdasarkan hasil penelitian ini, rendemen biodiesel yang dihasilkan paling baik dari semua perlakukan adalah 87.57% yang didapat dari perlakuan A2B2C2 dimana waktu reaksi selama 6 jam, kecepatan pengadukan sebesar 600 rpm dan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) sebesar 4:2:1. 19

Pertimbangan yang dilakukan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan, maka kondisi proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar yang dipilih adalah perlakuan A1B1C3 dimana waktu reaksi selama 4 jam, kecepatan pengadukan sebesar 200 rpm dan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) sebesar 5:1:1 yang menghasilkan rendemen biodiesel sebesar 82.54%. Semakin lama waktu reaksi dan semakin besar kecepatan pengadukan, energi yang dibutuhkan dalam sekali proses semakin tinggi dan juga berdampak pada peningkatan biaya produksi. Pemilihan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) sebesar 5:1:1 didasarkan pada harga heksan yang lebih mahal dari metanol dan heksan yang bersifat toksik dapat mencemari lingkungan sehingga penggunaan heksan perlu dikurangi. Jika penggunaan heksan dikurangi maka biaya produksi juga semakin rendah. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Utami (2010) pada skala 3 liter, rendemen biodiesel tertinggi yang dihasilkan sebesar 82.51% yang diperoleh pada kondisi proses dimana suhu reaksi 50 C, kecepatan pengadukan sebesar 800 rpm, waktu reaksi selama 5 jam dan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) sebesar 6:1:1. Pada penelitian skala 10 liter ini didapatkan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan hasil yang diperoleh Utami (2010). Hal ini dikarenakan penggunaan metanol yang berkurang dari 6 ml/g menjadi 5ml/g sehingga biaya produksi untuk membeli metanol berkurang. Selain itu, waktu reaksi yang lebih cepat (4 jam) dan kecepatan pengadukan yang lebih rendah (200 rpm) menghasilkan rendemen yang tidak berbeda jauh dengan yang dihasilkan oleh Utami (2010). Penelitian transesterifikasi in situ biji jarak pagar juga dilakukan oleh Shuit et al. (2009), rendemen biodiesel yang diperoleh sebanyak 99.8% pada kondisi suhu 60 C, waktu reaksi 24 jam, rasio metanol/bahan sebesar 7.5 ml/g dengan katalis asam (H 2 SO 4 ) sebanyak 15% dari jumlah minyak dalam bahan dan penambahan heksan sebanyak 10% dari jumlah pelarut yang digunakan. Apabila dibandingkan dengan penelitian tersebut, penelitian ini jauh lebih baik dan efektif. Hal ini karena penelitian yang dilakukan oleh Shuit et al. (2009) menggunakan katalis asam yang memerlukan suhu reaksi yang lebih tinggi sehingga konsumsi energi yang dibutuhkan juga semakin tinggi. Penggunaan metanol juga lebih banyak (7.5 ml/g), padahal metanol sebesar 5 ml/g sudah dapat menghasilkan rendemen biodiesel yang tinggi. Selain itu, waktu reaksi yang digunakan dalam penelitian Shuit et al. (2009) menggunakan waktu reaksi yang lebih lama (24 jam) dibandingkan dengan penelitian ini yang hanya 4 jam. Rendemen biodiesel oleh Shuit et al. (2009) ini bukan berdasarkan jumlah minyak yang terkandung dalam bahan, tetapi berdasarkan jumlah metil ester yang terdapat dalam biodiesel. Oleh karena itu, rendemen biodiesel pada penelitian tersebut lebih tinggi dari rendemen biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Utami (2010) dan Shuit et al. (2009) dapat disimpulkan bahwa proses transesterifikasi in situ pada penelitian ini mempunyai keunggulan. Keunggulan tersebut diantaranya rendemen biodiesel yang dihasilkan tinggi, metanol yang digunakan lebih rendah, penambahan heksan dapat meningkatkan rendemen, waktu reaksi yang lebih singkat, dan kecepatan pengadukan yang lebih rendah. Dengan demikian, hasil yang didapat pada penelitian ini dapat diaplikasikan pada skala yang lebih besar karena biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan juga semakin rendah. 20

2. Bilangan Asam Biodiesel Bilangan asam merupakan jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang ada dalam 1 gram biodiesel (Ketaren, 2008). Bilangan asam ini menunjukkan tingkat korosifitas biodiesel yang dihasilkan. Semakin kecil bilangan asam biodiesel, semakin tinggi mutu biodiesel yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan semakin kecil bilangan asam biodiesel maka tingkat korosifitas biodiesel terhadap mesin juga semakin kecil. Bilangan asam yang didapatkan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9. Bilangan asam biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 0.20-0.26 mg KOH/g. Standar Biodiesel Indonesia untuk bilangan asam adalah maksimal 0.8 mg KOH/g sehingga bilangan asam yang diperoleh dari penelitian ini telah memenuhi syarat tersebut. Tingginya bilangan asam biodiesel pada perlakuan A1B1C1 dan A2B1C2 yaitu sebesar 0.26 mg KOH/g, dapat disebabkan karena asam lemak-asam lemak dalam bahan belum terkonversi sepenuhnya menjadi metil ester. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam biodiesel (Lampiran 4). Bilangan asam biodiesel pada perlakuan yang menghasilkan rendemen paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2), yaitu sebesar 0.20 mg KOH/g. Begitu juga, bilangan asam biodiesel yang diperoleh dari pertimbangan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3), yaitu sebesar 0.20 mg KOH/g. Bilangan asam biodiesel yang diperoleh dari kedua perlakuan tersebut merupakan bilangan asam yang menghasilkan mutu biodiesel yang baik dan telah memenuhi Standar Biodiesel Indonesia. 0,30 Bilangan Asam (mg KOH/g) 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 A1 A2 Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3 Keterangan: A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam) B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm) C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1) Gambar 9. Bilangan asam biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jara pagar pada berbagai kondisi operasi 21

3. Bilangan Penyabunan Biodiesel Bilangan penyabunan merupakan jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menyabunkan 1 gram biodiesel. Bilangan penyabunan tergantung dari bobot molekul. Minyak atau lemak yang mempunyai bobot molekul rendah, akan mempunyai bilangan penyabunan semakin tinggi daripada minyak yang mempunyai bobot molekul tinggi (Ketaren, 2008). Selain itu, bilangan penyabunan biodiesel dipengaruhi oleh jumlah trigliserida, digliserida dan monogliserida yang terkandung dalam biodiesel setelah reaksi transesterifikasi in situ. Semakin tinggi bilangan penyabunan, tingkat konversi proses transesterifikasi in situ semakin tinggi. Hal ini dikarenakan jumlah trigliserida, digliserida dan monogliserida juga semakin rendah. Bilangan penyabunan biodiesel dari semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 10. Menurut Freedman et al. (1986), reaksi transesterifikasi terdiri atas serangkaian reaksi yang mengubah trigliserida secara bertahap menjadi digliserida, digliserida menjadi monogliserida serta monogliserida menjadi metil ester dan gliserol. Mekanisme dari serangkaian reaksi tersebut adalah sebagai berikut: Trigliserida () + R OH Digliserida (DG) + R OH Monogliserida (MG) + R OH katalis katalis katalis Digliserida (DG) + R COOR1 Monogliserida (MG) + R COOR2 Gliserol (GL) + R COOR3 Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 A1 Perlakuan A2 B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3 Keterangan: A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam) B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm) C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1) Gambar 10. Bilangan penyabunan biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagarpada berbagai kondisi operasi 22

Bilangan penyabunan biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 185.49-194.30 mg KOH/g. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan penyabunan biodiesel (Lampiran 4). Bilangan penyabunan yang diperoleh biodiesel dengan rendemen biodiesel yang paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2), yaitu sebesar 187.08 mg KOH/g. Sementara bilangan penyabunan yang diperoleh pada perlakuan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3), yaitu sebesar 193.44 mg KOH/g. Bilangan penyabunan yang dihasilkan kedua perlakuan tersebut mempunyai nilai bilangan penyabunan yang tidak jauh berbeda dan cukup tinggi sehingga cocok untuk diterapkan dalam skala yang lebih besar. 4. Bilangan Ester Biodiesel Bilangan ester merupakan selisih antara bilangan penyabunan dengan bilangan asam. Menurut Ketaren (2008), bilangan ester adalah jumlah asam lemak yang bersenyawa sebagai ester. Bilangan ester menunjukkan tingkat kemurnian biodiesel yang dihasilkan. Semakin tinggi bilangan ester maka semakin tinggi mutu biodiesel yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan semakin tinggi bilangan ester maka semakin tinggi senyawa alkil ester yang ada, sedangkan jumlah trigliserida, digliserida dan monogliserida semakin rendah. Adanya senyawa-senyawa tersebut selain dapat menurunkan tingkat kemurnian biodiesel yang dihasilkan juga dapat meningkatkan viskositas dari biodiesel. Bilangan ester biodiesel yang dihasilkan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11. Bilangan Ester (mg KOH/g) 200 150 100 50 0 A1 A2 Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3 Keterangan: A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam) B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm) C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1) Gambar 11. Bilangan ester biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai kondisi operasi 23

Bilangan ester biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 185.29-194.10 mg KOH/g. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan ester biodiesel (Lampiran 4). Bilangan ester yang diperoleh biodiesel dengan rendemen biodiesel yang paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2), yaitu sebesar 186.88 mg KOH/g. Sementara bilangan ester yang diperoleh pada perlakuan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3), yaitu sebesar 193.24 mg KOH/g. Bilangan ester kedua perlakuan tersebut memiliki bilangan ester yang tidak berbeda jauh dan cukup tinggi sehingga konversi trigliserida menjadi metil ester sudah efektif dan cocok untuk diterapkan dalam produksi biodiesel pada skala yang lebih besar. 5. Viskositas Biodiesel Minyak nabati tidak dapat langusng diaplikasikan ke mesin kendaraan karena minyak nabati mempunyai viskositas yang tinggi. Hal tersebut akan menghambat pengaliran bahan bakar menuju ruang bakar. Adanya proses transesterifikasi dapat menurunkan viskositas dari minyak nabati. Viskositas merupakan salah satu parameter mutu biodiesel yang sangat penting. Hal ini berhubungan dengan kemudahan alir bahan bakar menuju ruang bakar. Viskositas yang tinggi dapat menyulitkan injeksi bahan bakar ke dalam ruang bakar sehingga bisa terjadi kebocoran (Van Gerpen, 2005). Viskositas biodiesel dari semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 12. Viskositas (cst) 7 6 5 4 3 2 1 0 A1 Perlakuan A2 B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3 Keterangan: A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam) B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm) C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1) Gambar 12. Viskositas biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai kondisi operasi 24

Viskositas biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 3.49-6.36 cst. Viskositas biodiesel berdasarkan Standar Biodiesel Indonesia adalah 2.3-6.0 cst. Viskositas biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini telah memenuhi standar tersebut kecuali pada perlakuan A2B1C1, yaitu sebesar 6.36 cst. Viskositas tinggi ini bisa disebabkan karena metanol yang digunakan rendah sehingga konversi trigliserida dalam bahan menjadi biodiesel juga rendah. Oleh karena itu, trigliserida dalam biodiesel masih tinggi dan dapat menyebabkan viskositasnya menjadi tinggi. Selain komponen trigliserida, kandungan asam lemak tak jenuh juga mempengaruhi viskositas dari biodiesel yang dihasilkan. Menurut Knothe (2005b), viskositas biodiesel meningkat seiring dengan semakin panjang rantai karbon dan semakin sedikit ikatan rangkapnya. Biji jarak pagar mempunyai asam lemak tak jenuh tinggi, yang didominasi oleh asam lemak oleat dan linoleat. Hal inilah yang menyebabkan viskositas biodiesel dari jarak pagar sangat rendah. Namun, nilai tersebut masih mendekati batas atas dari Standar Biodiesel Indonesia. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas biodiesel (Lampiran 4). Viskositas yang diperoleh biodiesel dengan rendemen biodiesel yang paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2), yaitu sebesar 3.49 cst. Sementara viskositas biodiesel yang diperoleh pada perlakuan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi, dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3), yaitu sebesar 3.51 cst. Viskositas biodiesel dari kedua perlakuan tersebut tidak berbeda jauh dan mempunyai nilai viskositas yang rendah. 6. Kadar Abu Biodiesel Kadar abu bisa didefinisikan sebagai mineral anorganik sisa dari hasil pembakaran bahan organik. Menurut Winarno (1992), mineral anorganik ini meliputi garam organik (misal: asam malat, oksalat, asetat, pektat dan lain-lain) dan garam anorganik (misal: phospat, klorida, karbonat, sulfur nitrat dan logam alkali). Kadar abu merupakan salah satu parameter dalam biodiesel sehingga semakin rendah kadar abu biodiesel, maka mutu biodieselnya semakin baik. Kadar abu yang tinggi akan menyebabkan kerak yang banyak pada mesin kendaraan sehingga mesin kendaraan cepat aus dan harus sering diganti. Pengerakan tersebut terjadi akibat adanya proses pembakaran yang menyisakan mineral organik pada pipa-pipa injeksi dan ruang pembakaran mesin kendaraan. Hal inilah yang tidak diizinkan dalam biodiesel. Kadar abu biodiesel yang diperoleh dari seluruh perlakuan adalah 0%, kecuali untuk perlakuan A1B2C3 dimana waktu reaksi 4 jam, kecepatan pengadukan 600 rpm dan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) 5:1:1, yaitu sebesar 0.007%. Kadar abu biodiesel yang mempunyai rendemen biodiesel yang paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2) dan yang diperoleh dari segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3) adalah 0%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu biodiesel yang dihasilkan (Lampiran 4). 25

7. By Product Ampas biji jarak pagar merupakan produk samping dari proses produksi biodiesel melalui transesterifikasi in situ biji jarak pagar. Ampas biji jarak pagar ini dihasilkan dari proses penyaringan untuk memisahkan filtrat dari padatan (Gambar 13). Karakteristik yang dilakukan pada ampas jarak pagar meliputi analisis kadar total volatile matter dan kadar bahan terekstrak. (a) b) Gambar 13. Proses penyaringan (a) dan ampas biji jarak pagar (b) Kadar total volatile matter adalah jumlah bahan yang mudah menguap yang terkandung dalam ampas biji jarak pagar. Bahan mudah menguap ini berupa air, metanol dan heksan yang sebelumnya digunakan pada proses transesterifikasi in situ. Kadar total volatile matter ampas biji jarak pagar berkisar antara 1.80-3.64% (Gambar 14). Perbedaan hasil kadar total volatile matter ini dipengaruhi oleh keefektifan dalam proses penyaringan. Semakin besar kadar total volatile matter, semakin tinggi ampas biji jarak pagar mengandung bahan yang mudah menguap yang berarti proses penyaringan kurang efektif. Begitu sebaliknya, semakin rendah kadar total volatile matter, semakin rendah ampas biji jarak pagar mengandung bahan yang mudah menguap karena proses penyaringan yang efektif. Kadar bahan terekstrak adalah jumlah bahan yang terdapat dalam ampas biji jarak pagar yang tidak terekstrak dan terkonversi menjadi biodiesel pada proses transestrifikasi in situ serta biodiesel itu sendiri. Secara tidak langsung, kadar bahan terekstrak merupakan minyak dan biodiesel yang masih terkandung dalam ampas biji jarak pagar. Hasil dari kadar bahan terekstrak ampas biji jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 15. Kadar bahan terekstrak ampas biji jarak pagar berkisar 3.94-11.42%. Semakin tinggi kadar bahan terekstrak ampas biji jarak pagar, semakin rendah rendemen biodiesel yang dihasilkan karena minyak yang ada dalam biji jarak pagar tidak terkonversi sepenuhnya. Begitu sebaliknya, semakin rendah kadar bahan terekstrak ampas biji jarak pagar, semakin tinggi rendemen biodiesel yang dihasilkan. 26

Kadar Volatile Matter (%) 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 A1 A2 Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3 Keterangan: A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam) B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm) C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1) Gambar 14. Kadar total volatile matter ampas biji jarak pagar yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai kondisi operasi Kadar Bahan Terekstrak (%) 12 10 8 6 4 2 0 A1 Perlakuan A2 B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3 Keterangan: A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam) B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm) C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1) Gambar 15. Kadar bahan terekstrak ampas biji jarak pagar yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai kondisi operasi Ampas biji jarak pagar ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk lain. Kandungan protein kasar yang tinggi pada bungkil biji jarak pagar, yaitu sekitar 56.4-63.8% (Makkar et al., 1998), membuat produk samping dari proses produksi biodiesel ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Namun, kandungan kursin dan forbol ester yang sangat tinggi membuat ampas jarak pagar perlu didetoksifikasi untuk menghilangkan kedua senyawa 27

tersebut. Hal ini dikarenakan senyawa kursin dan forbol ester ini merupakan senyawa beracun yang bisa mengganggu metabolisme makhluk hidup dan berujung pada kematian. Selain ampas biji jarak pagar, dihasilkan gliserol sebagai produk samping. Gliserol merupakan plasticizer yang paling umum digunakan setelah air. Orliac et al. (2003) menyebutkan gliserol mempunyai sifat hidrofilik polar. Bobot molekul gliserol yang rendah daripada jenis plasticizer yang lainnya, membuat gliserol cocok untuk mengikat semua jenis protein. Selain itu, gliserol memiliki titik didih tinggi dan tekanan uap air rendah yang dapat membantu gliserol untuk tetap bertahan di dalam jaringan protein dan dapat mempertahankan sifat mekanik film dalam waktu yang relatif lebih lama. Keunggulan yang dimiliki oleh gliserol sebagai plasticizer dan ampas biji jarak pagar yang mempunyai kandungan protein dan serat tinggi ini dapat dijadikan sebagai bahan baku biokomposit seperti papan partikel. 28