BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Isfandiar M. Baihaqi

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Eko Yudha ( )

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

Proses Stereoplotting Data IFSAR untuk Memutakhirkan Peta RBI Skala 1: Daerah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PDF Compressor Pro BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

Citra Satelit IKONOS

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN.

SISTEM MENEJEMEN DATA CITRA SATELIT PENGINDERAAN JAUH RESOLUSI TINGGI UNTUK KEBUTUHAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Key word : digital surface model, digital terrain model, slope based filtering.

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1: Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Ilustrasi: Proses Produksi

ORTHOREKTIFIKASI DATA CITRA RESOLUSI TINGGI (ASTER DAN SPOT) MENGGUNAKAN ASTER DEM

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK

BAB I PENDAHULUAN I.1

KAJIAN SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT CARTOSAT-1 DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

TUTORIAL TEKNIK PENENTUAN SUDUT MATAHARI PADA CITRA SATELIT MENGGUNAKAN SOFTWARE ENVI

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Arrafi Fahmi Fatkhawati Noorhadi Rahardjo

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

PEMANFAATAN PERANGKAT LUNAK PCI UNTUK MENINGKATKAN AKURASI ANALISIS SPASIAL

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SISTEM MENEJEMEN DATA CITRA SATELIT PENGINDERAAN JAUH RESOLUSI TINGGI UNTUK KEBUTUHAN NASIONAL

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Data spasial merupakan data yang memiliki informasi letak, baik informasi terhadap garis bujur maupun garis lintang (astronomis). Menurut Burrough (1998), data spasial dapat direduksi ke dalam tiga konsep topologi dasar yaitu titik, garis, dan area. Data spasial ini dapat digunakan untuk memodelkan kenampakan permukaan bumi, dimana pada kenyataannya bumi merupakan objek tiga dimensi yang memiliki nilai ketinggian. Digital Elevation Model (DEM) merupakan data spasial yang disimpan dalam bentuk digital, yang dapat menyajikan kenampakan permukaan bumi dengan melibatkan aspek ketinggian, sehingga menimbulkan kesan 3 dimensi. Dewasa ini, aplikasi penggunaan DEM mulai diminati oleh berbagai pihak. Hal ini disebabkan oleh kemampuan DEM dalam merepresentasikan permukaan bumi dalam bentuk yang lebih mirip dengan kondisi di lapangan. DEM itu sendiri merupakan salah satu komponen utama dalam pembuatan pembuatan orthoimage/ orthophoto, peta topografi, penyusunan tata ruang, militer, serta untuk berbagai macam pemodelan lainnya. Pada umumnya DEM disajikan dalam bentuk format Grid Digital Elevation Model, Elevasi dalam Triangulated Irregular Network (TIN), dan garis kontur. Temfli (1991) dalam Purwanto (2008), mendefinisikan DEM sebagai data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut dengan menggunakan himpunan koordinat. Menurut Intermap (2012), DEM dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu Digital Surface Model (DSM) dan Digital Terrain Model (DTM). Oleh Intermap (2012), DSM diartikan sebagai model permukaan bumi digital yang memuat elevasi fitur-fitur alami permukaan tanah dan segala objek yang ada di permukaan tanah, baik objek alami maupun objek buatan manusia. Berbeda dengan DTM yang diartikan sebagai 1

model medan digital yang hanya memuat elevasi fitur-fitur alami permukaan tanah tanpa objek penutup di atasnya. DEM dapat diperoleh dengan beberapa metode, antara lain dengan pengukuran ketinggian secara langsung di lapangan, dimana pengukuran ketinggian ini dilakukan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). Citra RADAR juga mampu menghasilkan DEM dengan metode interferometri. Pembuatan DEM juga dapat memanfaatkan foto udara. Dewasa ini perkembangan teknologi penginderaan jauh yang cukup pesat mampu menghasilkan stereo imagery (citra stereo), dimana citra stereo ini juga mampu menghasilkan DEM. Selama ini sumber data untuk pembaruan data spasial masih mengandalkan foto udara, terutama dalam pembuatan ortoimage/ ortophoto, akan tetapi ketersediaan datanya masih sangat terbatas, baik terbatas dalam hal cakupan wilayahnya mapupun terbatas dalam hal kekinian. Seringkali foto udara yang digunakan merupakan foto udara yang sudah cukup lama, sehingga informasi yang terkandung pada foto udara sudah tidak relevan dengan keadaan terkini karena sudah banyak terjadi perubahan. Hal tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya yang diperlukan untuk perolehan data tersebut. Citra penginderaan jauh yang bersifat stereo memiliki beberapa kelebihan daripada foto udara, antara lain daerah cakupannya lebih luas, akuisisi datanya lebih cepat, dan secara ekonomis lebih murah. Hal tersebut yang mendasari perlunya pembaruan (updating) data spasial menggunakan citra penginderaan jauh, termasuk dalam pembuatan DEM. Dengan menggunakan citra penginderaan jauh ini diharapkan perolehan data DEM akan lebih efektif dan efesien tanpa meninggalkan kualitas datanya. Beberapa citra penginderaan jauh yang bersifat stereo, serta memungkinkan untuk menghasilkan DEM antara lain ialah SPOT 1-5 (HRG dan HRS), MISR, ASTER-VNIR, MISR, QuickBird, IRS 1-C, IKONOS, dan ALOS-PRISM (Perizza, 2004 dan Polli, 2005, dalam Faisal, 2009). Dalam Rokhmana (2005) menjelaskan bahwa ALOS memasang sensor PRISM 2

Stereo pada satelitnya akan menghasilkan 3 scene (forward, nadir, dan backward) yang bertampalan pada suatu daerah yang pada akhirnya mampu menghasilkan DEM seperti halnya pada foto udara. India juga memiliki satelit yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan citra stereo, yaitu Cartosat-1. DEM yang dihasilkan dari citra stereo ini berupa DSM (Digital Surface Model) karena informasi ketinggiannya mencakup nilai ketinggian penutup lahan. Di lain sisi, terdapat teknologi yang dirancang secara khusus untuk mengetahui ketinggian permukaan bumi, sebagai contoh ialah Shuttle Radar Topography Mission (SRTM); meskipun masih memiliki resolusi rendah, yaitu sekitar 90 meter. Sebagai upaya memperkaya khasanah keilmuan, penelitian ini menggunakan citra stereo Cartosat-1 dan citra stereo ALOS PRISM guna memperoleh informasi ketinggian permukaan bumi, dengan harapan pada penelitian ini memperoleh ketelitian lebih tinggi daripada data SRTM, yang mana misi ini dipelopori oleh U.S. National Geospatial- Intelligence Agency (NGA) dan the U.S. National Aeronautics and Space Administration (NASA) Satelit Cartosat-1 yang diluncurkan pada tangal 5 Mei 2005 dari Srihakota, India, ini memiliki misi utama untuk bidang kartografi dan pemetaan di India. Satelit yang menggunakan 2 buah kamera ini, yaitu Fore dan Aft, memiliki resolusi spasial 2,5 meter. Data citra Cartosat, yang diluncurkan dengan pesawat Polar Satellite Launch Vehicle (PSLV), banyak digunakan untuk pembentukan atau pembuatan Digital Elevation Model (DEM) serta orthoimage. Satelit Cartosat-1 ini memiliki waktu pengulangan setiap 126 hari dengan suatu pemisahan setiap 11 hari untuk daerah liputan yang berdekatan. Satelit ini terbasuk polar sun-synchronous dan mengorbit pada ketinggian 618 km. Satelit ALOS merupakan satelit milik Jepang yang memiliki misi hampir sama dengan JERS-1 dan ADEOS karena ALOS merupakan generasi lanjutan dari kedua satelit tersebut. Satelit yang dikembangkan dan diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) ini diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006. Satelit ALOS memberikan 3

kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan secara lebih presisi dan akurat. dengan menggunakan roket H-IIA. Periode kunjungan ulang (re-visiting period) dari satelit ALOS adalah 46 hari, akan tetapi untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat, satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu 2 hari. Satelit yang didesain untuk dapat beroperasi selama 3 5 tahun ini membawa 3 sensor, yaitu PRISM dengan resolusi 2,5 meter, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dengan resolusi 10 meter dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) dengan resolusi 10 meter dan 100 meter. Kelebihan lain dari satelit ALOS ini ialah pada satelit dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi utnuk kepentingan pemetaan yang lebih presisi dan akurat. Sensor PRISM memiliki tiga sistem optis yang memungkinkan data dapat direkam pada saat yang hampir bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah nadir, depan (forward), dan belakang (backward). Tingkat ketelitian suatu informasi sangat dipengaruhi oleh sumber data yang digunakan. Untuk peta skala besar diperlukan data spasial dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2013 mengenai: Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Tingkat ketelitian peta untuk rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang termasuk rencana tata ruang kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan lainnya disusun dalam tingkat ketelitian tertentu, hal ini tertulis pada pasal 10, Bab III, PP No 8 Tahun 2013. Pada pasal 13 hingga pasal 17 disampaikan mengenai unsur-unsur ketelitian peta rencana umum tata ruang mencakup sisitem referensi geospasial, peta dasar skala minimal, ketelitian muatan ruang, dan unit pemetaan yang dapat digunakan. Peta rencana tata ruang wilayah nasional digambarkan dengan peta dasar skala minimal 1:1.000.000. Peta rencana tata ruang wilayah provinsi digambarkan dengan peta dasar skala minimal 1:250.000. Peta rencana tata ruang wilayah 4

kabupaten digambarkan dengan peta dasar skala minimal 1:50.000. Peta dasar skala minimal 1:25.000 menggambarkan peta rencana tata ruang wilayah kota. Kemampuan stereo dan resolusi spasial yang semakin tinggi, diharapkan dapat menghasilkan DEM dengan akurasi yang tinggi pula, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan peta rencana tata ruang wilayah kota dengan skala peta 1:25.000. Dengan resolusi spasial 2,5 meter, kedua citra stereo ini diharapkan dapat memenuhi syarat ketelitian untuk pemetaan skala 1:25.000. Kedua citra ini juga dilengkapi Rational Polynomial Coefficients (RPC) yaitu data yang menyatakan hubungan matematis antara sistem koordinat objek dengan sistem koordinat citra dalam bentuk baris dan kolom. Penggunaan RPC dalam pembuatan DEM juga banyak digunakan karena proses pengolahannya yang cepat (tidak memerlukan Ground Control Point) serta kemampuannya mempertahankan akurasi posisi sensor. DEM dengan menggunakan data citra stereo beresolusi spasial tinggi dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif. DEM yang dihasilkan dari citra stereo ini berupa DSM. 1.1 Rumusan Masalah Digital Elevation Model (DEM) sangat diperlukan dalam berbagai bidang karena kemampuannya menggambarkan permukaan bumi kedalam bentuk yang lebih nyata dengan kondisi di sebenarnya. DEM juga diperlukan dalam pembuatan ortoimage/ ortophoto, dimana ortoimage/ ortophoto digunakan dalam pembaruan (updating) peta. Selama ini sumber data untuk pembaruan data spasial masih mengandalkan foto udara, akan tetapi ketersediaan data foto udara ini masih sangat terbatas, baik dalam hal cakupan wilayahnya mapupun dalam hal kekinian. Seringkali foto udara yang digunakan merupakan foto udara yang sudah cukup lama, sehingga informasi yang terkandung pada foto udara sudah tidak relevan dengan kondisi eksisting. Hal tersebut disebabkan tingginya biaya yang diperlukan untuk pemotretan foto udara. Seiring dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, kini teknologi tersebut mampu menghasilkan stereo imagery (citra 5

stereo) yang mampu pula menghasilkan DEM. Dengan metode penginderaan jauh ini, diharapkan perolehan data DEM akan lebih efektif dan efesien, baik waktu maupun biaya, tanpa meninggalkan kualitas datanya. Kualitas data spasial memegang peranan yang penting dalam analisis dan dalam pengambilan keputusan. Beberapa hal yang menentukan kualitas data adalah skala, presisi atau resolusi, akurasi, kekinian, dokumentasi atau metadata, serta standar (Briggs, 2007). Kualitas DEM merupakan ukuran seberapa akurat nilai ketinggian pada setiap pikselnya (akurasi absolut) dan seberapa akurat morfologi yang direpresentasikannya (Burrough dan McDonell, 1998). Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 8 Tahun 2013 mengenai ketelitian peta rencana tata ruang, disebutkan mengenai peta dasar skala minimal yang boleh dipergunakan untuk cakupan rencana umum tata ruang. Satelit Cartosat-1 hanya memiliki 2 buah kamera, yaitu aft dan fore, sedangkan pada ALOS memiliki 3 buah kamrea, yaitu forward, backward, dan nadir. Kondisi tersebut menjadikan kedua citranya memiliki kemampuan stereo. Pada saat perekaman kedua citra ini juga menghasilkan data RPC yang dapat digunakan untuk mempercepat proses pembentukan DEM tanpa perlu menggunakan Ground Control Point (GCP). DEM yang dihasilkan dari citra stereo ini berupa DSM. Proses ekstraksi DSM ini dilakukan secara otomatis menggunakan teknik pencocokan citra stereo (stereo image matching) dengan memanfaatkan data RPC. Kemampuan stereo dan resolusi spasial yang semakin tinggi, diharapkan dapat menghasilkan DSM dengan akurasi yang tinggi pula, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan peta rencana tata ruang wilayah kota dengan skala peta 1:25.000. Oleh karena itu perlu dikaji tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi dari kedua citra stereo tersebut guna keperluan pembuatan peta skala 1:25.000. Berdasarkan beberapa uraian tersebut, muncul pertanyaan penelitian: 1) Berapa tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi citra stereo Cartosat-1? 2) Berapa tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi citra stereo ALOS PRISM? 6

3) Bagaimana kualitas DSM hasil ekstraksi masing-masing citra stereo berdasarkan syarat ketelitian terhadap peta Rupabumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal untuk skala 1:25.000? Berdasarkan uraian tersebut, maka disusunlah penelitian ini dengan judul Perbandingan Tingkat Akurasi Digital Surface Model (DSM) Hasil Ekstraksi Citra Stereo Cartosat-1 dengan Citra Stereo ALOS PRISM. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian: 1) Mengetahui tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi citra stereo Cartosat-1 2) Mengetahui tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi citra stereo ALOS PRISM. 3) Mengetahui kualitas DSM hasil ekstraksi masing-masing citra stereo berdasarkan syarat ketelitian terhadap peta Rupabumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal untuk skala 1:25.000. 1.3 Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan dan menjadi bahan pertimbangan bagi praktisi maupun peneliti dalam memanfaatkan citra stereo untuk ekstraksi Digital Surface Model (DSM) serta dalam hal pemanfaatan DSM-nya. 7