BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Data spasial merupakan data yang memiliki informasi letak, baik informasi terhadap garis bujur maupun garis lintang (astronomis). Menurut Burrough (1998), data spasial dapat direduksi ke dalam tiga konsep topologi dasar yaitu titik, garis, dan area. Data spasial ini dapat digunakan untuk memodelkan kenampakan permukaan bumi, dimana pada kenyataannya bumi merupakan objek tiga dimensi yang memiliki nilai ketinggian. Digital Elevation Model (DEM) merupakan data spasial yang disimpan dalam bentuk digital, yang dapat menyajikan kenampakan permukaan bumi dengan melibatkan aspek ketinggian, sehingga menimbulkan kesan 3 dimensi. Dewasa ini, aplikasi penggunaan DEM mulai diminati oleh berbagai pihak. Hal ini disebabkan oleh kemampuan DEM dalam merepresentasikan permukaan bumi dalam bentuk yang lebih mirip dengan kondisi di lapangan. DEM itu sendiri merupakan salah satu komponen utama dalam pembuatan pembuatan orthoimage/ orthophoto, peta topografi, penyusunan tata ruang, militer, serta untuk berbagai macam pemodelan lainnya. Pada umumnya DEM disajikan dalam bentuk format Grid Digital Elevation Model, Elevasi dalam Triangulated Irregular Network (TIN), dan garis kontur. Temfli (1991) dalam Purwanto (2008), mendefinisikan DEM sebagai data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut dengan menggunakan himpunan koordinat. Menurut Intermap (2012), DEM dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu Digital Surface Model (DSM) dan Digital Terrain Model (DTM). Oleh Intermap (2012), DSM diartikan sebagai model permukaan bumi digital yang memuat elevasi fitur-fitur alami permukaan tanah dan segala objek yang ada di permukaan tanah, baik objek alami maupun objek buatan manusia. Berbeda dengan DTM yang diartikan sebagai 1
model medan digital yang hanya memuat elevasi fitur-fitur alami permukaan tanah tanpa objek penutup di atasnya. DEM dapat diperoleh dengan beberapa metode, antara lain dengan pengukuran ketinggian secara langsung di lapangan, dimana pengukuran ketinggian ini dilakukan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). Citra RADAR juga mampu menghasilkan DEM dengan metode interferometri. Pembuatan DEM juga dapat memanfaatkan foto udara. Dewasa ini perkembangan teknologi penginderaan jauh yang cukup pesat mampu menghasilkan stereo imagery (citra stereo), dimana citra stereo ini juga mampu menghasilkan DEM. Selama ini sumber data untuk pembaruan data spasial masih mengandalkan foto udara, terutama dalam pembuatan ortoimage/ ortophoto, akan tetapi ketersediaan datanya masih sangat terbatas, baik terbatas dalam hal cakupan wilayahnya mapupun terbatas dalam hal kekinian. Seringkali foto udara yang digunakan merupakan foto udara yang sudah cukup lama, sehingga informasi yang terkandung pada foto udara sudah tidak relevan dengan keadaan terkini karena sudah banyak terjadi perubahan. Hal tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya yang diperlukan untuk perolehan data tersebut. Citra penginderaan jauh yang bersifat stereo memiliki beberapa kelebihan daripada foto udara, antara lain daerah cakupannya lebih luas, akuisisi datanya lebih cepat, dan secara ekonomis lebih murah. Hal tersebut yang mendasari perlunya pembaruan (updating) data spasial menggunakan citra penginderaan jauh, termasuk dalam pembuatan DEM. Dengan menggunakan citra penginderaan jauh ini diharapkan perolehan data DEM akan lebih efektif dan efesien tanpa meninggalkan kualitas datanya. Beberapa citra penginderaan jauh yang bersifat stereo, serta memungkinkan untuk menghasilkan DEM antara lain ialah SPOT 1-5 (HRG dan HRS), MISR, ASTER-VNIR, MISR, QuickBird, IRS 1-C, IKONOS, dan ALOS-PRISM (Perizza, 2004 dan Polli, 2005, dalam Faisal, 2009). Dalam Rokhmana (2005) menjelaskan bahwa ALOS memasang sensor PRISM 2
Stereo pada satelitnya akan menghasilkan 3 scene (forward, nadir, dan backward) yang bertampalan pada suatu daerah yang pada akhirnya mampu menghasilkan DEM seperti halnya pada foto udara. India juga memiliki satelit yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan citra stereo, yaitu Cartosat-1. DEM yang dihasilkan dari citra stereo ini berupa DSM (Digital Surface Model) karena informasi ketinggiannya mencakup nilai ketinggian penutup lahan. Di lain sisi, terdapat teknologi yang dirancang secara khusus untuk mengetahui ketinggian permukaan bumi, sebagai contoh ialah Shuttle Radar Topography Mission (SRTM); meskipun masih memiliki resolusi rendah, yaitu sekitar 90 meter. Sebagai upaya memperkaya khasanah keilmuan, penelitian ini menggunakan citra stereo Cartosat-1 dan citra stereo ALOS PRISM guna memperoleh informasi ketinggian permukaan bumi, dengan harapan pada penelitian ini memperoleh ketelitian lebih tinggi daripada data SRTM, yang mana misi ini dipelopori oleh U.S. National Geospatial- Intelligence Agency (NGA) dan the U.S. National Aeronautics and Space Administration (NASA) Satelit Cartosat-1 yang diluncurkan pada tangal 5 Mei 2005 dari Srihakota, India, ini memiliki misi utama untuk bidang kartografi dan pemetaan di India. Satelit yang menggunakan 2 buah kamera ini, yaitu Fore dan Aft, memiliki resolusi spasial 2,5 meter. Data citra Cartosat, yang diluncurkan dengan pesawat Polar Satellite Launch Vehicle (PSLV), banyak digunakan untuk pembentukan atau pembuatan Digital Elevation Model (DEM) serta orthoimage. Satelit Cartosat-1 ini memiliki waktu pengulangan setiap 126 hari dengan suatu pemisahan setiap 11 hari untuk daerah liputan yang berdekatan. Satelit ini terbasuk polar sun-synchronous dan mengorbit pada ketinggian 618 km. Satelit ALOS merupakan satelit milik Jepang yang memiliki misi hampir sama dengan JERS-1 dan ADEOS karena ALOS merupakan generasi lanjutan dari kedua satelit tersebut. Satelit yang dikembangkan dan diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) ini diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006. Satelit ALOS memberikan 3
kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan secara lebih presisi dan akurat. dengan menggunakan roket H-IIA. Periode kunjungan ulang (re-visiting period) dari satelit ALOS adalah 46 hari, akan tetapi untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat, satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu 2 hari. Satelit yang didesain untuk dapat beroperasi selama 3 5 tahun ini membawa 3 sensor, yaitu PRISM dengan resolusi 2,5 meter, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dengan resolusi 10 meter dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) dengan resolusi 10 meter dan 100 meter. Kelebihan lain dari satelit ALOS ini ialah pada satelit dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi utnuk kepentingan pemetaan yang lebih presisi dan akurat. Sensor PRISM memiliki tiga sistem optis yang memungkinkan data dapat direkam pada saat yang hampir bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah nadir, depan (forward), dan belakang (backward). Tingkat ketelitian suatu informasi sangat dipengaruhi oleh sumber data yang digunakan. Untuk peta skala besar diperlukan data spasial dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2013 mengenai: Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Tingkat ketelitian peta untuk rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang termasuk rencana tata ruang kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan lainnya disusun dalam tingkat ketelitian tertentu, hal ini tertulis pada pasal 10, Bab III, PP No 8 Tahun 2013. Pada pasal 13 hingga pasal 17 disampaikan mengenai unsur-unsur ketelitian peta rencana umum tata ruang mencakup sisitem referensi geospasial, peta dasar skala minimal, ketelitian muatan ruang, dan unit pemetaan yang dapat digunakan. Peta rencana tata ruang wilayah nasional digambarkan dengan peta dasar skala minimal 1:1.000.000. Peta rencana tata ruang wilayah provinsi digambarkan dengan peta dasar skala minimal 1:250.000. Peta rencana tata ruang wilayah 4
kabupaten digambarkan dengan peta dasar skala minimal 1:50.000. Peta dasar skala minimal 1:25.000 menggambarkan peta rencana tata ruang wilayah kota. Kemampuan stereo dan resolusi spasial yang semakin tinggi, diharapkan dapat menghasilkan DEM dengan akurasi yang tinggi pula, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan peta rencana tata ruang wilayah kota dengan skala peta 1:25.000. Dengan resolusi spasial 2,5 meter, kedua citra stereo ini diharapkan dapat memenuhi syarat ketelitian untuk pemetaan skala 1:25.000. Kedua citra ini juga dilengkapi Rational Polynomial Coefficients (RPC) yaitu data yang menyatakan hubungan matematis antara sistem koordinat objek dengan sistem koordinat citra dalam bentuk baris dan kolom. Penggunaan RPC dalam pembuatan DEM juga banyak digunakan karena proses pengolahannya yang cepat (tidak memerlukan Ground Control Point) serta kemampuannya mempertahankan akurasi posisi sensor. DEM dengan menggunakan data citra stereo beresolusi spasial tinggi dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif. DEM yang dihasilkan dari citra stereo ini berupa DSM. 1.1 Rumusan Masalah Digital Elevation Model (DEM) sangat diperlukan dalam berbagai bidang karena kemampuannya menggambarkan permukaan bumi kedalam bentuk yang lebih nyata dengan kondisi di sebenarnya. DEM juga diperlukan dalam pembuatan ortoimage/ ortophoto, dimana ortoimage/ ortophoto digunakan dalam pembaruan (updating) peta. Selama ini sumber data untuk pembaruan data spasial masih mengandalkan foto udara, akan tetapi ketersediaan data foto udara ini masih sangat terbatas, baik dalam hal cakupan wilayahnya mapupun dalam hal kekinian. Seringkali foto udara yang digunakan merupakan foto udara yang sudah cukup lama, sehingga informasi yang terkandung pada foto udara sudah tidak relevan dengan kondisi eksisting. Hal tersebut disebabkan tingginya biaya yang diperlukan untuk pemotretan foto udara. Seiring dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, kini teknologi tersebut mampu menghasilkan stereo imagery (citra 5
stereo) yang mampu pula menghasilkan DEM. Dengan metode penginderaan jauh ini, diharapkan perolehan data DEM akan lebih efektif dan efesien, baik waktu maupun biaya, tanpa meninggalkan kualitas datanya. Kualitas data spasial memegang peranan yang penting dalam analisis dan dalam pengambilan keputusan. Beberapa hal yang menentukan kualitas data adalah skala, presisi atau resolusi, akurasi, kekinian, dokumentasi atau metadata, serta standar (Briggs, 2007). Kualitas DEM merupakan ukuran seberapa akurat nilai ketinggian pada setiap pikselnya (akurasi absolut) dan seberapa akurat morfologi yang direpresentasikannya (Burrough dan McDonell, 1998). Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 8 Tahun 2013 mengenai ketelitian peta rencana tata ruang, disebutkan mengenai peta dasar skala minimal yang boleh dipergunakan untuk cakupan rencana umum tata ruang. Satelit Cartosat-1 hanya memiliki 2 buah kamera, yaitu aft dan fore, sedangkan pada ALOS memiliki 3 buah kamrea, yaitu forward, backward, dan nadir. Kondisi tersebut menjadikan kedua citranya memiliki kemampuan stereo. Pada saat perekaman kedua citra ini juga menghasilkan data RPC yang dapat digunakan untuk mempercepat proses pembentukan DEM tanpa perlu menggunakan Ground Control Point (GCP). DEM yang dihasilkan dari citra stereo ini berupa DSM. Proses ekstraksi DSM ini dilakukan secara otomatis menggunakan teknik pencocokan citra stereo (stereo image matching) dengan memanfaatkan data RPC. Kemampuan stereo dan resolusi spasial yang semakin tinggi, diharapkan dapat menghasilkan DSM dengan akurasi yang tinggi pula, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan peta rencana tata ruang wilayah kota dengan skala peta 1:25.000. Oleh karena itu perlu dikaji tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi dari kedua citra stereo tersebut guna keperluan pembuatan peta skala 1:25.000. Berdasarkan beberapa uraian tersebut, muncul pertanyaan penelitian: 1) Berapa tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi citra stereo Cartosat-1? 2) Berapa tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi citra stereo ALOS PRISM? 6
3) Bagaimana kualitas DSM hasil ekstraksi masing-masing citra stereo berdasarkan syarat ketelitian terhadap peta Rupabumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal untuk skala 1:25.000? Berdasarkan uraian tersebut, maka disusunlah penelitian ini dengan judul Perbandingan Tingkat Akurasi Digital Surface Model (DSM) Hasil Ekstraksi Citra Stereo Cartosat-1 dengan Citra Stereo ALOS PRISM. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian: 1) Mengetahui tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi citra stereo Cartosat-1 2) Mengetahui tingkat akurasi DSM hasil ekstraksi citra stereo ALOS PRISM. 3) Mengetahui kualitas DSM hasil ekstraksi masing-masing citra stereo berdasarkan syarat ketelitian terhadap peta Rupabumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal untuk skala 1:25.000. 1.3 Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan dan menjadi bahan pertimbangan bagi praktisi maupun peneliti dalam memanfaatkan citra stereo untuk ekstraksi Digital Surface Model (DSM) serta dalam hal pemanfaatan DSM-nya. 7