I. PENDAHULUAN. Sejak pertengahan tahun 1997 kawasan ASEAN dilanda krisis moneter yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan yang sangat berarti. Melalui Undang-Undang No. 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang rendah dan cenderung mengalami tekanan fiskal yang lebih kuat,

BAB I PENDAHULUAN. Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Mahi (2001)

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. lama digemakan, sekaligus sebagai langkah strategis bangsa Indonesia untuk

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak Pemerintah menerapkan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. suatu bentuk apresiasi pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan. kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. kepedulian terhadap potensi dan keanekaragaman daerah. daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak pertengahan tahun 1997 kawasan ASEAN dilanda krisis moneter yang melemahkan hampir seluruh sektor perekonomian. Pengaruh krisis ini pertama kali melemahkan sektor keuangan, sektor jasa, dan akhirnya memepengaruhi secara signifikan seluruh sektor kehidupan. Bagi Indonesia khususnya, dampak krisis moneter ini menjadi besar mempengaruhi seluruh sektor kehidupan, dikarenakan pada waktu yang bersamaan terjadi gejolak politik yang berakhir dengan terjadinya perpindahan kekuasaan dari penguasa orde baru ke orde reformasi. Dampak krisis ekonomi ini ternyata tidak hanya terjadi pada sektor privat saja, pada sektor pemerintahan pun dampak itu juga melanda (Haryadi,2002:234). Pada sektor pemerintahan dampak negatif ekonomi terjadi pada sektor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena adanya krisis moneter ini, APBN Indonesia mengalami fiscal stress atau tekanan keuangan yang dapat dilihat pada APBN yang defisitnya membengkak karena besarnya pengeluaran yang harus ditanggung pemerintah tidak sesuai dengan penerimaannya.

2 Selama ini dominasi pusat terhadap daerah menimbulkan besarnya ketergantungan daerah terhadap pusat. Pemerintah daerah tidak mempunyai keluasaan dalam menetapkan program-program pembangunan daerahnya. Demikian juga dengan sumber keuangan penyelengaraan pemerintah yang diatur oleh pusat. Beranjak dari kondisi tersebut mendorong timbulnya tuntunan agar kewenangan pemerintahan dapat didesentralisasikan dari pusat ke daerah. Untuk mengatasi hal ini maka ditetapkanlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yang menegaskan kembali pelaksanaan Otonomi Daerah (Adi,2007:1). Undang-undang No 32 Tahun 2004 ini menitikberatkan otonomi pada daerah kabupaten dan kota, dengan tujuan untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Selain UU No.32 Tahun 2004 ditetapkan juga UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang menyebabkan perubahan mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dikenal sebagai era otonomi. Sumber-sumber penerimaan suatu negara yang merupakan dana publik yang harus dikelola dengan baik dan bertanggung jawab. Dengan adanyan otonomi daerah, pengelolaan keuangan publik pemerintah pusat harus dengan melimpahkan kewenangan pengelolaan kepada daerah. Oleh karena itu, diterbitkanlah Undangundang No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pedoman pelaksanaannya. Dalam pelaksanaannya

3 UU No 25 tahun 1999 tersebut kemudian mengalami pembaharuan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 33 tahun 2004 (Abdul Halim dan Theresia Damayanti,2007:17). Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan sesuai dengan semangat Undang- Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.33 tahun 2004 tersebut maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah dan penerimaan berupa dana transfer pemerintah pusat yang merupakan dana perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memberikan manfaat positif bagi pengembangan daerah. Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan peluang sekaligus tantangan bagi daerah. Kebijakan ini menjadi peluang daerah guna memaksimalkan sumber daya mereka miliki guna meningkatkan pendapatan daerahnya. Namun sisi lain, Abdul halim dan Theresia Damayanti berpendapat bahwa : Kebijakan ini memberikan tantangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efesien sesuai dengan kapasitas kemampuan daerah masing-masing. Akibatnya, kebijakan ini memunculkan kesiapan (fiskal) yang berbeda satu dengan yang lain mengingat sistem pengelolaan pemerintah daerah sebelumnya tersentralisasi (Abdul Halim dan Theresia Damayanti,2007:17). Kebijakan otonomi daerah pun dinilai beberapa pihak terlalu cepat digulirkan dikarenakan krisis ekonomi yang melanda negara kita tahun 1997 menjadi alasan mengapa kebijakan ini terlalu cepat digulirkan. Disaat pemerintah pusat termasuk pemerintah daerah sedang berusaha keluar dari krisis ekonomi yang melilit bangsa

4 ini, pemerintah daerah diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengelola daerah dan keuangannya yang juga dalam krisis. Daerah yang mengalami tekanan keuangan (fiscal stress) yang lebih tinggi daerah dituntut untuk mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskal yang mereka miliki dalam rangka mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Menurut Hana Prastiwi (2008:17) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa rendahnya kapasitas fiskal suatu daerah menunjukkan tingkat kemandirian daerah yang rendah dan cenderung mengalami tekanan fiskal yang lebih kuat. Namun bukan berarti pemerintah daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi tidak mengalami tekanan fiskal. Semenjak otonomi daerah pendapatan asli daerah pemerintah daerah Provinsi Lampung mengalami peningkatan yang cukup drastis. Hal tersebut dapat dilihat dari grafik berikut : 1,2E+09 1E+09 80000000 60000000 40000000 20000000 0 PAD (dalam juta rupiah) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 PAD Sumber : lampung.bps.go.id Gambar 1. Pendapatan Asli Daerah se-provinsi Lampung (data diolah, BPS) Dapat dilihat dari gambar 1 pendapatan asli daerah Pemda Provinsi Lampung mengalami peningkatan semenjak dibentuknya otonomi daerah. Peningkatan

5 pendapatan asli daerah yang cukup drastis terjadi pada tahun 2006 dan terus mengalami peningkatan sampai tahun 2010. Hal ini dikarenakan daerah memiliki kapasitas fiskal yang tinggi dengan sumber-sumber penerimaan yang potensial. Sedangkan, untuk pertumbuhan PADnya dapat dilihat dalam grafik dibawah ini: Pertumbuhan PAD (%) 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0-0,2-0,4-0,6 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pertumbuhan PAD (%) Sumber : lampung.bps.go.id Gambar 2. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah se-provinsi Lampung (data diolah, BPS) Pada awal otonomi daerah pertumbuhan PAD Pemda Provinsi lampung setiap tahunnya rata-rata mencapai 0,53%. PAD tertinggi pada tahun 2001 sebesar 1,20% dan PAD yang terendah terjadi tahun 2006 dengan pertumbuhan sebesar 0,15%. Hal ini merupakan kemajuan bagi pemerintah daerah. Karena Peningkatan pertumbuhan PAD pada Pemda Provinsi Lampung merupakan salah satu indikasi adanya tekanan fiskal yang tinggi. Selain peningkatan pertumbuhan PAD, terjadi pula pergeseran komposisi belanja pada pemerintah daerah. Kebijakan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah meningkatkan pelayanan publiknya. Upaya ini akan terus mengalami perbaikan jika didukung oleh pembiayaan daerah yang memadai. Alokasi

6 belanja yang memadai untuk pelayanan publik diharapkan memberikan timbal balik bagi peningkatan pendapatan asli daerah. Pergeseran komposisi belanja ini juga ditujukan untuk pembangunan berbagai fasilitas modal. Pemerintah perlu memberikan fasilitas untuk berbagai kegiatan peningkatan perekonomian, hal itu dapat dilakukan dengan cara membuka kesempatan investasi. Pembangunan infrastruktur dan pemberian berbagai fasilitas kemudahan dilaksanakan demi mengoptimalkan daya tarik investasi. Pembangunan infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pajak daerah. Pergeseran komposisi belanja terjadi juga pada Pemda Provinsi Lampung. Peningkatan belanja modal pada Pemda Provinsi Lampung dapat dilihat pada grafik berikut : 2E+09 Belanja Modal (dalam juta rupiah) 1,5E+09 1E+09 50000000 Belanja Modal 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : lampung.bps.go.id Gambar 3. Belanja Modal se-provinsi Lampung (data diolah, BPS) Dilihat dari gambar 3 diatas menunjukan peningkatan belanja modal di provinsi lampung. Dari tahun ke tahun belanja modal mengalami peningkatan yang signifikan, pada tahun 2003 dan 2005 mengalami penurunan dalam belanja modal

7 untuk pembangunan. Pada tahun 2006-2007 mengalami peningkatan yang dratis, pemerintah harus mengeluarkan untuk belanja modal yang signifikan. Sedangkan, untuk pertumbuhan belanja modalnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini: 14 12 10 8 6 4 2 0-2 Sumber : lampung.bps.go.id Pertumbuhan Belanja Modal (%) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 pertumbuhan belanja modal Gambar 4. PertumbuhanBelanja Modal se-provinsi Lampung (data diolah, BPS) Berbeda dengan belanja modal setelah otonomi yang naik dan turun secara drastis, pertumbuhan belanja modal selama sepuluh tahun yang rata-rata nya sebesar 2,97 %, ini dilihat yang tertinggi pada tahun 2003 sebesar 12,85 % namun pada tahun 2002 sebesar - 0,18 %, tahun 2004-2005 sebesar 0,38% dan 0,78% dan pada tahun 2008-2009 pertumbuhan belanja modal sebesar -,017% dan 0,11% karena mengalami penurunan. Pada tahun 2010 ini pertumbuhan belanja modal yang terendah sebesar 0,18%. Beberapa daerah tergolong sebagai daerah yang beruntung karena memiliki kapasitas fiskal yang tinggi dengan sumber-sumber penerimaan yang potensial, berasal dari pajak, retribusi dan sumber daya alam yang dapat dijadikan sumber

8 penerimaan daerah. Namun untuk daerah yang potensialnya rendah, memberikan persoalan tersendiri mengingat adanya tuntutan kemandirian daerah. Berikut ini gambaran kondisi keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung yang menampilkan profil kondisi keuangan yang menunjukkan adanya gejala fiscal stress terdapat pada tabel 2 berikut : Tabel 1. Kondisi Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2010 (dalam jutaan rupiah) No Kab./Kota DBH DAU DAK Total Trnsfr PAD BD % PAD/ Trnsfr % Trnsfr/ BD 1 Lambar 31,425 347,590 42,370 421,384 13,007 553,063 3.08% 76.19% 2 Lamsel 65,136 505,874 71,311 642,321 36,253 771,841 5.64% 83.21% 3 Lamteng 56,071 706,862 87,142 850,075 32,501 932,782 3.82% 91.13% 4 Lamut 53,062 470,730 76,825 600,617 14,747 688,937 2.45% 87.18% 5 Lamtim 116,418 543,771 76,244 736,432 20,000 962,566 2.71% 76.50% 6 Tanggamus 23,494 361,777 59,990 445,261 10,080 529,747 2.26% 84.05% 7 Tulang Bawang 41,057 254,713 37,934 333,705 6,306 461,155 1.88% 72.36% 8 Way Kanan 62,900 360,000 45,000 467,900 15,600 666,000 3.33% 70.25% 9 Bandar Lampung 76,540 539,268 34,104 649,912 75,032 864,080 11.54% 75.21% 10 Metro 26,348 232,383 19,130 277,861 25,179 372,771 9.06% 74.53% 11 Pesawaran 26,051 337,193 48,177 411,421 5,039 470,475 1.22% 87.44% 12 Pringsewu 10,000 268,312 36,509 314,821 4,826 381,357 1.53% 82.55% 13 Mesuji 32,849 111,166 13,328 157,343 2,941 205,871 1.86% 76.42% 14 Tulang Bawang Barat 3,300 128,870 4,085 136,255 1,667 158,922 1.22% 85.73% Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat Dearah Jakarta 2011 Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa rata-rata persentase PAD di Provinsi Lampung sebesar 3,6%. Sedangkan kebutuhan untuk memenuhi belanja daerah masih bergantung dari pembagian dana perimbangan. Selain itu peningkatan persentase belanja daerah juga disebabkan oleh banyak faktor internal dan eksternal. Latar belakang dari adanya fenomena fiscal stress ini karena adanya fenomena yang terjadi dimana lahirnya Undang Undang No 28 tahun 2009

9 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Diundangkannya UU No 28 tahun 2009, suatu bentuk apresiasi pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam rangka penyelenggara Pemerintah Daerah yang berbasis pelayanan kepada masyarakat. Pada akhir tahun 2007, sekitar 38 persen dari total pengeluaran sektor publik hanya sekitar 8 persen dari total pendapatan masyarakat. Akibatnya, transfer dari pemerintah pusat diperlukan untuk sebagian besar pengeluaran desentralisasi ke tingkat daerah. Penurunan kegiatan ekonomi diberbagai daerah juga menyebabkan penurunan PAD daerah sehingga menghambat pelaksanaan kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat oleh pemerintah daerah secara otonom. Sebaliknya, peningkatan kegiatan ekonomi diberbagai daerah akan meningkatkan PAD daerah sehingga pelaksanaan kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat oleh pemerintah daerah tidak terhambat. Kondisi tersebut merupakan suatu pemicu dan fenomena fiscal stress yang menunjukan sejauh mana upaya daerah menggali penerimaan baru untuk meningkatkan PAD melalui peningkatkan kegiatan ekonomi yang digunakan untuk menutupi pengeluaran daerah yang setiap tahunnya meningkat. Penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan PAD dan belanja modal terhadap fiscal stress. Adanya kewenangan yang lebih luas yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak hanya diindikasikan mempengaruhi pendapatan daerah, tetapi mempengaruhi pola/struktur belanja daerah.

10 Perubahan pola belanja, terutama dengan peningkatan belanja modal menjadi hal yang logis dilakukan dalam rangka menigkatkan pendapatan asli daerah. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap Fiscal Stress Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung tahun 2012. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang telah diutarakan sebelumnya maka masalah yang muncul adalah : 1. Bagaimanakah pengaruh secara parsial pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah terhadap fiscal stress Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung? 2. Bagaimanakah pengaruh secara parsial Belanja Modal terhadap fiscal stress Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung? 3. Bagaimanakah pengaruh secara simultan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap fiscal stress Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh secara parsial Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah terhadap fiscal stress Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung?

11 2. Untuk mengetahui pengaruh secara parsial Belanja Modal terhadap fiscal stress Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung? 3. Untuk mengetshui pengaruh secara simultan Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap fiscal stress Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung? 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai bahan informasi maupun bahan pertimbangan berbagai pihak antara lain : 1. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Sebagaimana bahan masukan bagi pemerintah kabupaten/kota Provinsi Lampung dalam menyikapi fenomena yang berkembang sehubung dengan pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuha belanja modal dan fiscal stress 2. Bagi Peneliti Sebagai bahan refernsi bagi peneliti selanjutnya dalam mengembangkan dan memperluas penelitian. 3. Bagi Pembaca Sebagai bahan masukan dalam menambah dan mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan, khususnya tentang hubungan pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuha belanja dan fiscal stress.

12 5. Kerangka Penelitian Otonomi daerah memberikan perubahan yang yang sangat berarti pada pemerintahan Negara Republik Indonesia khususnya bagi pemerintah daerah. Otonomi daerah yang diatur oleh UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 12 tahun 2008 memberikan harapan baru bagi kemajuan daerah. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah mendapatkan kewenangan untuk mengurus daerahnya sendiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangannya. Selanjutnya, untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan maka dikeluarkan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharui dengan UU No. 33 tahun 2004. Dikeluarkan UU No.25 tahun 1999 dan UU No 33 tahun 2004 merupakan bukti bahwa Negara kita menjalankan kebijakan desentralisasi fiskal. Dengan itu, pengelolaan keuangan publik pemerintah pusat harus dilakukan dengan melimpahkan kewenangan pengelolaan keuangan kepada daerah. Pemerintah Daerah dapat menyusun anggarannya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerahnya tanpa ada campur tangan dari pemerintah pusat. Kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi ini memberikan peluang yang lebih besar untuk kemajuan daerah. Pemerintah daerah dapat mengoptimalkan sumbersumber pendapatannya guna meningkatkan penerimaan daerah. Dengan meningkatkan pendapatan, daerah dapat membelanjakan anggaran belanjanya sesuai kebutuhan daerah.

13 Kebijakan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk lebih mandiri, dengan mengandalkan sumber daya yang ada. Beruntung bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal cukup tinggi, tetapi bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah ini merupakan tantangan sekaligus tekanan. Tekanan kepada daerah semakin besar karena daerah baru saja bangkit dari keterpurukan krisis ekonomi dan politik pada saat itu. Hal tersebut yang mengakibatkan terjadinya fiscal stress yang cukup tinggi di berbagai daerah. Diberlakukannya UU No. 28 tahun 2009 perihal mengenai pengalihan pungutan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah akan mampu meningkatkan PAD Daerah atau malah sebaliknya. Jika hal tersebut tidak mungkin menjadi potensi bagi daerah khususnya bagi daerah-daerah kecil dan daerah yang baru melaksanakan pemekaran, dapat melaksanakan hak uji materi UU tersebut. Karena filosofi diberlakukannya UU tersebut, tidak lain harus tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat dan kondisi daerah yang bersangkutan. Kondisi tersebut merupakan suatu pemicu dan fenomena fiscal stress yang menunjukan sejauh mana upaya daerah menggali penerimaan baru untuk meningkatkan PAD melalui peningkatkan kegiatan ekonomi yang digunakan untuk menutupi pengeluaran daerah yang setiap tahunnya meningkat.

14 Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dapat ditarik sebuah model penelitian adalah sebagai berikut : Pertumbuhan PAD (Variabel X 1 ) Fiscal Stress (Variabel Y) Pertumbuhan Belanja Modal (Variabel X 2 ) Gambar 5. Pengaruh Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal Terhadap Fiscal Stress Keterangan : Pertumbuhan Pendapatan Asli (Variabel X 1 ) dan Pertumbuhan Belanja Modal (Variabel X 2 ) sebagai variable independen berpengaruh terhadap Fiscal Stress sebagai variabel dependen (Variabel Y). Fiscal Stress (tax effort) diukur berdasarkan realisasi penerimaan dibandingkan dengan nilai potensi pendapatan. Sedangkan Pertumbuhan PAD diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah periode APBD tahun tertentu dibagi dengan pendapatan asli daerah periode APBD sebelumnya. Untuk Pertumbuhan Belanja Modal maka diukur berdasarkan belanja modal periode APBD tahun tertentu dibagi dengan Belanja Modal Periode APBD sebelumnya.

15 6. Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat ditarik dua hipotesis sebagai berikut: 1. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah secara parsial berpengaruh terhadap Fiscal stress Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung. 2. Pertumbuhan belanja modal secara parsial berpengaruh terhadap Fiscal stress Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung. 3. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan belanja modal secara simultan berpengaruh terhadap Fiscal stress Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung.