BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara yang sedang berkembang, Indonesia sangat bergantung pada kegiatan perekonomiannya. Pertumbuhan ekonomi yang baik akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, dan sebaliknya apabila terjadi penurunan pertumbuhan perekonomian maka juga akan berdampak turunnya kesejahteraan rakyat. Bahkan tidak hanya akan berdampak pada kehidupan perekonomian, tapi juga berdampak pada kehidupan politik, sosial, dan budaya. Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perkembangan bangsa Indonesia. Pertumbuhan perekonomian di Indonesia berkembang seiring dengan bertambahnya kebutuhan akan kredit. Dalam kehidupan sehari-hari keperluan akan dana guna menggerakkan roda perkonomian dirasakan semakin meningkat. Maka dari itu diperlukan kredit-kredit lancar dari lembaga-lembaga kredit yang ada agar dana yang dibutuhkan masyarakat dalam menjalankan usahanya dapat berjalan dengan lancar. Pembangunan ekonomi termasuk di dalamnya politik ekonomi dari suatu Negara, memegang peranan penting dalam penentuan dan cara-cara pemberian kesempatan pemberian kredit oleh lembaga-lembaga kredit. Dalam pemberian kredit diperlukan jaminan atas kredit yang diberikan. Di Indonesia adanya lembaga jaminan yang sederhana, sebagai jaminan kredit kecil yang diberikan kepada pengusaha kecil, petani kecil, telah diusahakan. Semuanya itu
dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana, prosedur yang gampang, syarat yang tidak memberatkan dan dengan jaminan yang ringan saja, yang memungkinkan mereka memperoleh kredit dengan gampang dan cepat untuk mengembangkan usahanya. Masyarakat sering menjumpai kesulitan dalam memperoleh kredit dari bank, hal ini disebabkan karena banyaknya syarat-syarat yang harus di penuhi, prosedur yang berbelit-belit serta waktu yang panjang untuk menunggu cairnya kredit tersebut. Maka untuk memastikan masyarakat memperoleh kredit dengan mudah, pemerintah menetapkan Lembaga Pegadaian menjadi Perusahaan Umum Pegadaian melalui Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1990 dengan tujuan yang tercantum dalam pasal 5 ayat (2) PP No. 10 tahun 1990: (2) Perusahaan bertujuan : a. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program Pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai; b. pencegahan praktek ijon, pegadaian gelap, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. 1 Untuk lebih mengenal Lembaga Pegadaian ini, kita harus mengetahui sejarah awal berdirinya Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian terlebih dahulu. Pegadaian pada awalnya adalah lembaga keuangan yang didirikan oleh Belanda, kemudian Pemerintah dengan adanya Stb. No 131 tahun 1901 pada tanggal 12 Maret tahun 1901 mengambil alih Lembaga Pegadaian yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda dengan pendirian pertama di Sukabumi Jawa Barat pada tanggal 1 April 1901. Tanggal 1 April kini dianggap sebagai hari lahir Pegadaian. 1 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian
Berdasarkan kenyataan di atas, maka peran Pegadaian sebagai lembaga pembiayaan dalam era sekarang dan masa akan datang tetap penting untuk mewujudkan pemberdayaan ekonomi rakyat baik di kota maupun di pedesaan. Pengalamannya bergelut dengan masyarakat kecil sejak 100 tahun yang lalu menjadikan sangat akrab dalam menggalang ekonomi kerakyatan. Masyarakat kecil umumnya masih terbelakang dan dalam kondisi seperti ini peranan pegadaian sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat kecil semakin penting untuk menyediakan kredit berskala kecil, cepat, bunga ringan dan tidak berbelit. Sejak dilakukannnya pembenahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada awal pemerintahan Orde Baru maka Perusahaan Negara Pegadaian tanggal 1 Agustus 1969 berubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian. Selanjutnya melalui PP no. 10 tahun 1990 yang berlaku sejak tanggal 10 april 1990 status Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian sehingga tanggung jawab menjadi lebih besar karena orientasi dari perusahaan ini disamping memberikan pelayanan kepada masyarakat juga sudah bersifat profit motif yaitu mencari keuntungan. Dalam pemberian kredit di Pegadaian, Pegadaian sebagai pemegang gadai dan nasabah sebagai pemberi gadai mengadakan perjanjian kredit yang dituangkan dalam Surat Bukti Kredit (SBK). Perjanjian gadai adalah perjanjian riil, oleh karena sebagaimana ditentukan dalam pengertian gadai itu sendiri, gadai hanya ada, manakala benda yang akan digadaikan secara fisik telah dikeluarkan
dari kekuasaan pemberi gadai. 2 Oleh karena itu dalam setiap perjanjian gadai diikuti oleh penyerahan benda (dalam hal ini benda bergerak) sebagai jaminan atas peminjaman uang yang diberikan oleh penerima gadai kepada pemberi gadai. Didalam SBK tercantum perjanjian yang harus disepakati oleh kedua belah pihak mengenai nilai taksir atas benda yang digadaikan, bunga pinjaman, tanggal jatuh tempo serta tanggal pelelangan benda yang digadaikan tersebut apabila barang tersebut tidak di tebus dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Prosedur dalam peminjaman dan pelunasan kredit gadai di Pegadaian sangat mudah dan tidak berbelit-belit, karena tidak memerlukan proses yang panjang dan juga tidak melibatkan banyak pihak, cukup dilakukan oleh kreditur dan debitur di kantor Pegadaian. Berbeda dengan peminjaman kredit dengan jaminan fiducia ataupun hak tanggungan yang melibatkan notaris, PPAT, ataupun Badan Pertanahan Nasional. Setiap pemberian kredit harus diikuti dengan suatu penjaminan guna pengamanan kredit yang telah diberikan. Dalam hal terjadi perjanjian kredit, debitur menyerahkan benda gadai sebagai jaminan atas pelunasan hutanghutangnya terhadap kreditur. Jaminan adalah penting demi menjaga keamanan dan memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk mendapatkan kembali atau mendapatkan kepastian mengenai pengembalian uang pinjaman yang telah diberikan oleh kreditur kepada debitur sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. 2 Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja, Hak Istimewa, Gadai dan Hipotek, Kencana, Jakarta, 2007. Hlm 77
Barang yang menjadi obyek gadai tersebut harus diserahkan oleh debitur (masyarakat) kepada kreditur (perum pegadaian). Jadi barang-barang yang digadaikan berada di bawah kekuasaan pemegang gadai. Hal ini untuk memberi kepastian bahwa debitur akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian kredit yang telah dibuat. Sedangkan barang-barang yang menjadi jaminan harus berada di perum pegadaian sebagai barang jaminan sampai debitur melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur atau pemegang gadai. Namun, tetap saja tidak semua kredit yang telah dicairkan pasti akan di lunasi, selalu saja ada kredit macet karena tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Di dalam perjanjian gadai, apabila debitur wanprestasi atau tidak dapat melunasi hutang-hutangnya atau tidak mampu menebus barangnya sampai habis jangka waktu yang telah ditentukan, maka pihak pemegang gadai berhak untuk melelang barang gadai tersebut dan hasil dari penjualan lelang tersebut sebagian untuk melunasi hutang kreditnya, sebagian lagi untuk biaya yang dikeluarkan untuk melelang barang tersebut dan sisanya diberikan kepada si pemberi gadai. Untuk memastikan Perum Pegadaian tidak mengalami kerugian akibat adanya kredit macet tersebut, maka Perum Pegadaian telah menentukan tanggal pelelangan atas benda jaminan tersebut. Di dalam pasal 3.9.2.9 NBW Belanda juga disebutkan : Apabila yang berutang lalai melunasi hutangnya, maka pemegang berhak untuk menjual bendanya dan mengambil pelunasannya
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menelaah mengenai pelaksanaan parate eksekusi atas jaminan benda bergerak tersebut, apakah dengan pelaksanaan parate eksekusi piutang Perum Pegadaian dapat terpenuhi semuanya, dan bagaimana jika barang yang di lelang tidak laku di pasaran sehingga mengakibatkan kerugian bagi Perum Pegadaian. B. Perumusan Masalah Untuk lebih memfokuskan pembahasan masalah di dalam skripsi ini, maka penulis memberikan batasan-batasan masalah yang akan dibahas lebih lanjut berkenaan dengan Tinjauan Hukum Terhadap Parate Eksekusi atas Benda Bergerak dalam Perjanjian Gadai, yaitu : 1. Bagaimanakah timbulnya hak pemegang gadai dalam melaksanakan parate eksekusi? 2. Bagaimanakah efektivitas parate eksekusi terhadap jaminan gadai dalam hal terjadinya wanprestasi? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, tujuan yang ingin di capai melalui penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimanakah timbulnya hak pemegang gadai dalam melaksanakan parate eksekusi. 2. Untuk mengetahui bagaimana efektivitas parate eksekusi terhadap jaminan gadai dalam hal terjadinya wanprestasi.
Pada umumnya suatu penulisan yang di buat diharapkan dapat memberikan manfaat, begitu juga yang diharapkan dari penulisan ini agar dapat memberikan manfaat diantaranya: 1. Secara akademik penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu, khususnya mengenai parate eksekusi di dalam perjajian gadai 2. Secara praktis penulisan ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan landasan bagi penelitian selanjutnya. 3. Menambah wawasan ilmiah baik secara khusus berkenaan dengan penulisan maupun hal umum lainnya. 4. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam hal ini sarjana hukum. D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penyelesaiannya. Dimana tulisan ini pada awalnya adalah berdasarkan pemikiran dari penulis ketika melihat perkembangan lembaga jaminan di Indonesia dewasa ini. Sehingga tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain. Karena itu keaslian tulisan ini terjamin adanya. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Gadai pada Umumnya Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdapat beberapa jenis penjaminan, diantaranya hipotek, gadai, perjanjian penanggungan (borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung menanggung (tanggung renteng) dan lain-lain. Selain itu di luar KUH Perdata juga terdapat jenis penjaminan lainnya diantaranya jaminan dalam bentuk Hak Tanggungan dan Fiducia. Mengenai jaminan gadai sendiri di atur dalam buku II bab XX pasal 1150 s/d pasal 1161. Istilah gadai sendiri berasal dari terjemahan kata pand (bahasa Belanda) atau pledge atau pawn (bahasa Inggris). Menurut pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah: Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. 3 Pengertian gadai yang tercantum dalam pasal 1150 KUH Perdata ini sangat luas, tidak hanya mengatur pembebanan jaminan atas benda bergerak, tetapi juga mengatur kewenangan kreditur untuk mengambil pelunasannya dan mengatur eksekusi barang gadai, apabila debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya 4. Secara umum pengertian gadai dapat didefinisikan sebagai berikut: 3 R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm 297 4 H. Salim HS, perkembangan hukum jaminan di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 34
Kredit yang diperoleh dengan memakai jaminan barang-barang berharga seperti: emas permata, berlian, dan lain sebagainya. 5 Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan umum Pegadaian. Dasar berdirinya Perum Pegadaian adalah: 1. Peraturan pemerintah no 7 tahun 1969 tentang perusahaan jawatan pegadaian 2. Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1970 tentang perubahan peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1969 tentang perusahaan jawatan pegadaian 3. Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian 2. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai dan Pemberi Gadai Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan pemegang gadai (pandnemer). Pandgever yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada pemegang gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Pandnemer adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). Kewajiban dan tanggung jawab dari pemegang gadai dan pemberi gadai adalah 6 : a) Kewajiban pemegang gadai/kreditur, yaitu: 5 M. Manullang, pengantar ekonomi perusahaan, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm 213 6 http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/perbedaanfidusia_gadai.pdf
1) bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya; 2) harus memberitahukan Pemberi Gadai, jika benda gadai dijual; 3) bertanggungjawab terhadap penjualan benda gadai b) Kewajiban pemberi gadai/debitur, yaitu: 1) Pemberi Gadai diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan guna keselamatan barang gadainya Di samping itu hak yang dimiliki oleh pemegang gadai dan pemberi gadai adalah: a) Pemegang Gadai mempunyai hak: 1) penguasaan benda gadai, namun tidak mempunyai hak untuk memiliki benda gadai; 2) dalam hal debitur wanprestasi, untuk menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi), sehingga hak untuk penjualan benda gadai tidak diperlukan adanya titel eksekutorial. Penerima Gadai/ Pemegang Gadai dapat melaksanakan penjualan tanpa adanya penetapan Pengadilan, tanpa perlu adanya juru sita ataupun mendahului dengan penyitaan; 3) menjual benda gadai dengan perantaraan hakim, dimana kreditur dapat memohon pada hakim untuk menentukan cara penjualan benda gadai;
4) mendapat ganti rugi berupa biaya yang perlu dan berguna yang telah dikeluarkan guna keselamatan barang gadai; 5) retensi (menahan) benda gadai, bilamana selama hutang pokok, bunga, dan ongkos-ongkos yang menjadi tanggungan belum dilunasi maka si berhutang/debitur maka debitur tidak berkuasa menuntut pengembalian benda gadai; 6) untuk didahulukan (kreditur preferen) pelunasan piutangnya terhadap kreditur lainnya, hal tersebut diwujudkan melalui parate eksekusi ataupun dengan permohonan kepada Hakim dalam cara bentuk penjualan barang gadai. b) Pemberi Gadai tetap mempunyai hak milik atas Benda Gadai. 3. Benda Jaminan dalam Gadai Menurut pasal 1130 KUH Perdata, seluruh kekayaan debitur baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, telah menjadi jaminan atas segala utang-utang debitur. 7 Jaminan dapat dibedakan dalam jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. 8 Jaminan perorangan adalah selalu suatu perjanjian antara seorang kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Ia bahkan dapat diadakan diluar (tanpa) pengetahuan debitur tersebut. Sedangkan jaminan kebendaan dapat dilakukan antara kreditur dan debitur, juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin utang-utang debitur 7 R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, op.cit, hlm 291 8 Subekti, jaminan-jaminan untuk pemberian kredit menurut hukum Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, 1982, hlm 25
dengan cara menyendirikan bagian dari kekayaan debitur sebagai jaminan untuk pembayaran utang debitur. Dalam jaminan kebendaan terdapat jenis jaminan gadai. Dalam pasal 1152 KUH Perdata ditentukan bahwa yang menjadi benda jaminan gadai adalah bendabenda bergerak. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang dapat digadaikan adalah benda bergerak yang berupa: a) Benda bergerak yang berwujud b) Benda bergerak yang tidak berwujud, yaitu yang berupa pelbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutang aan toonder (kepada si pembawa), aan order (atas tunjuk), op naam (atas nama). 9 Di dalam praktek Perum Pegadaian biasanya menerima barang-barang seperti emas, permata, barang elektronik, dan kendaraan bermotor. Barang yang menjadi obyek gadai tersebut harus diserahkan oleh debitur (masyarakat) kepada kreditur (perum pegadaian). Jadi barang-barang yang digadaikan berada di bawah kekuasaan pemegang gadai. Hal ini untuk memberi kepastian bahwa debitur akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian kredit yang telah dibuat. Sedangkan barang-barang yang menjadi jaminan harus berada di perum pegadaian sebagai barang jaminan sampai debitur melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur atau pemegang gadai. 9 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Jogjakarta, 1981, hlm 98
4. Parate Eksekusi Parate eksekusi adalah suatu bentuk eksekusi yang di kenal dalam jaminan kebendaan. Hak pemegang gadai untuk menjual barang gadai tanpa titel eksekutorial (tanpa perlu perantaraan) disebut parate eksekusi. Parate eksekusi terdapat di dalam pasal 1155 KUH Perdata: Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercidera janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya pendapatan penjualan tersebut. 10 Tetapi pasal 1155 ini merupakan ketentuan yang bersifat mengatur (aanvullend). Para pihak di beri kebebasan untuk memperjanjikan lain, misalnya melalui penjualan di muka umum atau di bawah tangan. 11 Menurut M. Yahya Harahap, S.H. pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata mengatur prinsip-prinsip pokok mengenai parate eksekusi: a. Penjualan barang gadai harus atau mesti dilakukan di muka umum melalui penjualan lelang (executoriale verkoop) atau the right to sale under execution. b. Ketentuan pokok penjualan barang gadai di muka umum bersifat mandat memaksa (imperatief mandaat) atau mandatory instruction yang diberikan undang-undang kepada pemegang gadai/kreditur dalam 10 R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op.Cit, hlm 298 11 Djaja S. Meliala, perkembangan hukum perdata tentang benda dan hukum perikatan, Bandung, Nuansa Aulia hlm 47
kedudukan eigenmachtige verkoop berdasarkan pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata. 12 F. Metode Penulisan 1. Sifat / Bentuk Penulisan Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturanperaturan yang berkaitan dengan parate eksekusi atas benda bergerak dalam perjanjian gadai. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang terkait dengan penulisan skripsi ini. Penulisan bertujuan meletakkan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum perdata. Kemudian dikaitkan dengan penelitian hukum empiris yaitu penelitian ini berupaya untuk melihat bagaimana pihak-pihak yang terkait rensponsif dan konsisten dalam menggunakan aturan-aturan yang terkait dengan itu. 2. Data a) Data Primer Data ini diperoleh dengan cara mengumpulkan sejumlah keterangan atau fakta melalui wawancara secara terarah dan sistematis dengan pihak yang dipandang mengetahui serta memahami tentang obyek yang diteliti yaitu yang diperoleh dari lokasi penelitian di Kantor Perum Pegadaian Medan. 12 M. Yahya Harahap, ruang lingkup permasalahan eksekusi bidang perdata, sinar grafika, Jakarta, 2006, hlm 218
b) Data Sekunder Merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh tidak secara langsung, tapi diperoleh melalui studi pustaka, literatur, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis. c) Data tersier Yaitu berupa kamus, bahan dari internet dan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 3. Metode Penelitian Dalam memperoleh data dalam penguraian dan penulisan skripsi ini, dilakukan penelitian dengan metode-metode sebagai berikut: a) Penelitian kepustakaan (Library Research) Dalam penelitian ini penulis mencari dan mengumpulkan bahan-bahan teori dari kepustakaan yang berhubungan dengan topik yang di bahas dari berbagai buku dan literatur. b) Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui riset yang dilakukan di Perum Pegadaian Cabang Medan melalui wawancara langsung dan pengambilan data langsung dari Perum Pegadaian Cabang Medan.
G. Sistematika Penulisan Secara sistematika dalam penyusunan skripsi ini penulis membaginya dalam 4 (empat) bab, yaitu: Bab I : Pada bab ini penulis mencoba untuk memberikan gambaran awal sebagai pengantar untuk lebih memahami pembahasan skripsi ini selanjutnya. Dalam bab I ini dibagi lagi ke dalam beberapa sub bab yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II : Dalam bab ini penulis membahas mengenai Tinjauan Perjanjian Gadai yang di bagi dalam empat sub bab, yaitu: dasar hukum dan pengertian gadai, objek jaminan gadai menurut KUH Perdata dan Perum Pegadaian, perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir dari perjanjian utang piutang. Bab III : Dalam bab ini penulis mencoba memaparkan mengenai Tinjauan Hukum Terhadap Parate Eksekusi atas Benda Bergerak yang di bagi dalam enam sub bab, yaitu: terjadinya perjanjian gadai, hak dan kewajiban kreditur dan debitur, pelunasan pinjaman kredit, timbulnya hak pemegang gadai untuk melakukan eksekusi, peraturan perum pegadaian mengenai pelaksanaan parate eksekusi, dan pelaksanaan parate eksekusi. Bab IV : Bab ini merupakan bab terakhir yang menutup seluruh pembahasan penulis dalam skripsi ini. Dalam bab ini penulis menarik
kesimpulan yang menjawab permasalahan yang di maksud dan beberapa saran sebagai kontribusi pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum khusunya Hukum Perdata.