BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. untuk memandang remaja itu sebagai kanak - kanak, tapi tidak juga sebagai orang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang ada disekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal

BAB II LANDASAN TEORI

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB II KAJIAN TEORI. lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani phatos yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan anak untuk optimalisasi bagi perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

BAB I PENDAHULUAN. membentuk perilaku sosial anak menjadi lebih baik dan berakhlak.

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah sekelompok individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB II LANDASAN TEORI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masa adolesen (masa remaja) dapat dipandang sebagai suatu masa dimana inividu dalam proses pertumbuhannya (terutama fisik) telah mencapai kematangan. Periode ini menunjukan suatu masa kehidupan dimana kita sulit untuk memandang remaja itu sebagai kanak - kanak, tapi tidak juga sebagai orang dewasa. Pada periode ini para remaja mulai mengadakan penyesuaian sosial. Dalam perkembangan sosial, kontak dengan orang lain adalah sangat penting (Sulaeman, 1995). Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial (Hurlock, 1980). Dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak : satu yaitu memisahakan diri dari orang tua dan yang lain menuju kearah teman - teman sebaya. Dua macam arah gerak ini tidak merupakan dua hal yang berurutan meskipun yang satu dapat terkait pada yang lain (Monks, 2006). Menurut Horrocks dan Benimoof, 1976 (dalam Hurlock, 1980) menjelaskan kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai - nilai yang berlaku bukanlah nilai - nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman - teman seusianya. 1

Sebagai mahluk sosial, remaja dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku (Fatimah, 2008). Masalah - masalah sosial sering dialami oleh anak wanita daripada anak laki - laki. Lingkungan sosial yang sempit, kekurangan teman, keinginan akan pakaian baru, merupakan masalah - masalah yang sering dialami oleh remaja. Disamping itu penghargaan dari masyarakat, ingin mencari teman, ingin untuk diterima dalam kelompok dan sebagainya merupakan kebutuhan - kebutuhan nyata pada mereka (dalam Sulaeman, 1995). Menurut Ruchayati, 2012 Sosialisasi merupakan proses belajar yang dialami individu untuk mengenal dan menghayati norma dan nilai - nilai sosial sehingga terjadi pembentukan perilaku yang sesuai dengan masyarakatnya. Terdapat juga ciri - ciri kemampuan bersosialisasi, antara lain : Pelakunya lebih dari 2 orang atau lebih, terjadinya komunikasi antara pelaku melalui kontak sosial, memiliki tujuan yang jelas, dan juga dilaksanakan melalui pola sistem sosial tertentu (dalam Nurmandia, dkk, 2013). Wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan, subjek yang berinisial S berusia 13 tahun dan masih duduk dikelas 1 SMP, remaja ini mempunyai banyak teman dan terkadang S dengan teman - temannya pergi keluar jalan - jalan. Tetapi dilingkungan sekitar rumah S tersebut tidak mempunyai teman sebaya karena disekitar rumah S tidak ada teman sebaya. Jadi S banyak menghabiskan waktu dengan tidur dan menonton TV, saat berada dirumah. Lanjutan wawancara yang dilakukan penulis juga mengetahui bahwa S suka membantu teman seperti piket, 2

kerja kelompok dan lain lain ini merupakan aspek empati yang disebut dengan Fantacy (F). Dan S juga membantu teman dengan mendengarkan masalah yang dihadapi oleh teman tersebut, S juga merasa sedih disaat temannya sedih, juga memberikan nasehat kepada temannya tersebut ini juga termasuk dalam aspek empati yang disebut Empathic Concern (EC). S ini memang senang membantu temannya lagi kesusahan. Selain itu S juga suka menolong orang yang lebih tua dari subjek seperti nenek atau kakek ini merupakan salah satu aspek empati yang disebut dengan Perspective Taking (PT). Menurut wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa remaja tersebut memilki empati yang tinggi terhadap teman - teman sebayanya. Karena dilihat dari aspek empati yang muncul pada S. Penulis juga melakukan wawancara dengan subjek yang berbeda dengan inisial X. Remaja X ini duduk dikelas 1 SMP, remaja ini terhadap temannya X terkadang peduli tetapi juga terkadang tidak. Disaat teman X menceritakan masalah yang dihadapi, terkadang X merasakan apa yang dirasakan oleh temannya ini adalah salah satu aspek empati yang disebut Empathic Concern (EC). Selain itu X juga dikenal sombong disekitar teman sebayanya. X juga terkadang tidak menolong orang yang lebih tua ini juga merupakan salah satu aspek empati yaitu Perspective Taking (PT). Didalam kelas X ini biasanya diam saja dan terkadang melanjutkan tugasnya, dan X juga berbicara dengan teman sebangkunya tetapi itu hanya seperlunya juga merupakan salah satu aspek empati yaitu Personal Distress (PD). Maka dapat disimpulkan dari wawancara diatas bahwa X memilik empati yang rendah pada teman teman sebayanya, dilihat dari aspek empati yang dimunculkan oleh X. 3

Hurlock, 1980 mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang - orang serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri ditempat orang lain. Menurut Leiden, dkk, 1997 menjelaskan bahwa, empati sebagai kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan - akan menjadi bagian dalam diri (dalam Asih dan Pratiwi, 2010). Empati adalah kemampuan untuk menyelami perasaan orang lain. Untuk dapat melakukan hal ini, seseorang harus menyadari baik perasaan dirinya maupun perasaan orang lain. Memahami perasaan orang lain adalah bagian penting pengembangan kepekaan terhadap sesama. Inilah yang dimaksud dengan tenggang rasa terhadap sesama, sebuah istilah yang tidak baru lagi (dalam Maurice J, dkk, 1999). Empati berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengekspresikan emosinya oleh karena itu empati seseorang dapat diukur melalui wawasan emosionalnya, ekspresi emosional, dan kemampuan seseorang dalam mengambil peran dari individu lainnya (dalam Asih dan Pratiwi, 2010). Moreno (Republika, 19 Januari 2004) menemukan bahwa empati membantu individu mengetahui dan memahami emosi orang lain serta berbagi perasaan dengan mereka. Selain itu menurut Valiente dan Eisenberg dalam Lopez dan Snyder, 2003 kompetensi sosial individu dalam berinteraksi dan keterhubungannya dengan individu lain memerlukan empati sebagai dasarnya (dalam Setiawan, 2011). Sehubungan dengan yang diatas berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa remaja itu kurang memiliki kemampuan empati, dapat dilihat dari perilakunya yang tidak mau mendengarkan orang lain 4

atau orang tuanya, sibuk dengan permainannya sendiri, kurang bersosialisasi dengan teman sekitar dirumahnya, selalu fokus dengan diri sendiri. Memang dalam hal ini orang tua remaja tersebut menfasilitasi semua kebutuhan anaknya tetapi anaknya tidak diperbolehkan keluar rumah. Jika teman sebayanya bermain itu diharuskan kerumah mereka. Davis, 1983 secara global ada dua kompenen dalam empati, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif yang masing masing mempunyai dua aspek yaitu : Komponen kognitif terdiri dari Perseptive Taking (PT) yaitu, kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang psikologis orang lain secara spontan. Perseptive Taking berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Dan Fantacy (FS) yaitu, kemampuan seseorang mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film, atau cerita yang dibaca dan ditonton. Fantacy berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Sedangkan komponen afektif meliputi Empathic Concern (EC) yaitu, perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Aspek ini berkaitana dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain. Personal Distress (PD) yaitu, menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan, seperti ketidaknyamanan atau kecemasan (dalam Ginting, 2009). Menurut Hojat, dkk, 2005 (dalam Umniyah dan Afiatin, 2009), empati memiliki beberapa fungsi yang dapat membantu seseorang dalam bersosialisasi, 5

berinteraksi, berkomunikasi, dan bersikap dilingkungan masyarakat. Adapun juga faktor - faktor yang mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang, yaitu pola asuh, kepribadian, jenis kelamin, variasi situasi, pengalaman, dan objek respon, usia, derajat kematangan, dan sosialisasi ( dalam Ginting, 2009). Berhubungan dengan faktor diatas pola asuh merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi empati. Terdapat 4 macam pola asuh menurut Diana Baumirnd, 1917 yaitu pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permissive indifferent dan pola asuh permissive indulgent (dalam Santrock, 2002). Menurut Baumrind, 1991 menyatakan bahwa, pola asuh otoriter adalah gaya pola asuh yang bersifat menghukum dan membatasi, dimana orangtua berusaha agar remaja mengikuti pengarahan yang diberikan oleh orang tua serta menghormati pekerjaan dan usaha - usaha yang telah dilakukan oleh orangtuanya (dalam Santrock, 2007). Sehubungan dengan pengertian diatas terdapat juga pengertian dari Papalia, 2008 mengemukakan bahwa pola asuh otoriter adalah gaya asuh yang menuntut anak mengikuti perintah orang tua, tegas, dan tidak memberi peluang anak untuk mengemukakan pendapat (dalam Teviana dkk, 2012). Orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan seperti ini akan cenderung membatasi ruang gerak remaja serta memberikan batasan - batasan yang tegas kepada remaja sehingga mereka kurang memiliki kesempatan untuk berdialog secara verbal kepada orangtua mereka dan juga kurang memiliki peluang untuk mengemukakan pendapat (Mantiri, dkk, 2012). 6

Disamping itu terdapat juga ciri - ciri pola asuh otoriter, seperti yang diungkapkan oleh Hurlock, 1993 yaitu anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua, pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak pernah memberi pujian, sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua dan pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal. Pola asuh otoriter mempunyai karakteristik anak penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas, dan menarik diri (dalam Taganing dan Fortuna, 2008). Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang amat besar dalam membentuk kepribadian anak yang tangguh sehingga anak berkembang menjadi pribadi yang percaya diri, berinisiatif, berambisi, beremosi stabil, bertanggung jawab, mampu menjalin hubungan interpersonal yang positif dan lain lain (dalam Taganing dan Fortuna, 2008). Seharusnya remaja itu dapat berempati dengan orang lain apalagi dalam usia sekolah dan pola asuh orang tua itu harusnya lebih tepat walaupun hanya dengan satu orang tua tidak dapat mengahalangi pola asuh yang terbaik diberikan kepada anak anaknya. Terdapat penelitian mengukur tentang perilaku agresif dan pola asuh otoriter pada remaja. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, maka pola asuh otoriter orangtua diidentifikasikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku agresif pada remaja. Hal tersebut menyatakan bahwa pola asuh otoiter dengan perilaku agresif memiliki pengaruh sebesar 9,2%, selebihnya disebabkan oleh faktor - faktor lain diluar pembahasan ini. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan ada hubungan pola asuh otoriter 7

dan perilaku agresif pada remaja adalah diterima (dalam Taganing dan Fortuna, 2008). Orang tua disini suka mengendalikan tingkah laku melalui control eksternal, seperti remaja tidak diperbolehkan bermain keluar bersama teman teman sebayanya ini membuat rendahnya kemapuan berempati pada remaja tersebut. Penjelasan diatas ini dapat dihubungkan dengan dampak yang terjadi pada remaja seperti terhambatnya perkembangan sosial remaja. Kurangnya remaja berinterkasi kepada teman sebaya, remaja menjadi pribadi yang cuek atau tidak peduli dengan keadaan orang tua, teman sebaya, dan lingkungan sekitarnya. Hal ini sangat merugikan remaja dan orang tua. Empati bukan hanya sekedar ikut merasakan, tetapi juga berbuat dengan tindakan nyata (dalam Ginting, 2009). Empati ini berperan penting dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi individu dan dalam membentuk sikap dan perilaku terhadap orang lain (dalam Ginting, 2009). Remaja yang mendapatkan pola asuh otoriter dari orang tuanya cenderung menjadi pribadi yang pendiam, tertutup dan penakut, sehingga memiliki empati yang rendah karena remaja tersebut lebih berfokus pada diri sendiri dari sisi yang tidak menyenangkan. Selain itu remaja yang memilki orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter juga memiliki kepribadian yang gemar menentang dan suka melanggar norma, hal ini menjadikan remaja tersebut hanya mengambil sudut pandang pribadi dari dirinya bukan dari sisi masyarakat sehingga remaja tersebut memiliki empati. Remaja yang mempunyai orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter menjadikan remaja cemas dan menarik diri, kepribadian tersebut menjadikan remaja mempunyai empati yang rendah karena 8

remaja tersebut mengalami kecemasan yang berorientasi pada diri sendiri. Pola asuh otoriter juga menjadikan remaja tersebut tidak berinisiatif, jadi remaja ini memiliki empati yang rendah dikarenakan remaja hanya hanyut dalam pikiran mereka sendiri tanpa memperdulikan lingkungan sekitar. Berdasarkan uaraian diatas, peneliti mengajukan rumusan permasalahan : apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan empati pada remaja awal? B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan empati pada remaja awal. 2. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memberikan masukan atau sumbangan untuk psikologi perkembangan. 3. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat memberikan masukan untuk orang tua dalam memberikan pola asuh yang sesuai dengan tahap perkembangan remaja supaya dapat mengembangkan kemampuan empati 9