BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, Kejaksaan sudah seharusnya mampu melaksanakan pembaruan dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam bidang penegakan hukum untuk mewujudkan jati diri Kejaksaan Republik Indonesia yang lebih profesional dan lebih dinamis guna menghadapi perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman ini. Kejaksaan juga dituntut untuk tidak hanya melaksanakan fungsinya dengan baik, tetapi juga harus mampu membentuk jati dirinya sebagai salah satu institusi pelaksana kekuasaan negara, bukan alat kekuasaan negara. 1 Mengingat perkembangan masyarakat dan kebutuhan yang ada, kedudukan Kejaksaan dalam era reformasi sangat penting untuk dimandirikan dan dibebaskan dari campur tangan pemerintah yang terlalu besar, agar Kejaksaan dapat mewujudkan aparatur yang profesional. Sambil mengingat bahwa posisi Kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan bukanlah tujuan karena yang penting adalah semangat dalam melakukan reformasi hukum demi tegaknya kebenaran, keadilan dan supremasi hukum yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. 2 1 Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.3. 2 Nandan Iskandar, 2011, Kejaksaan di Mata Masyarakat, Jurnal Bina Adhyaksa, Vol.III, No.1, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Juli, hlm.36-37.
2 Dalam pelaksanaan tugasnya, tidak jarang Jaksa Agung ataupun institusi Kejaksaan mendapat kritikan dari berbagai pihak baik dari kalangan akademisi, para praktisi hukum, anggota DPR, LSM atau bahkan Mahasiswa. Salah satu pelaksanaan wewenang Jaksa Agung yang hampir selalu menjadi kontroversi adalah pengesampingan perkara demi kepentingan umum sebagai penerapan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Secara normatif, asas oportunitas diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 35 huruf c dinyatakan yang dimaksud kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Asas oportunitas Jaksa Agung menutup peluang adanya praperadilan dan pemeriksaan berikutnya kendati dengan alasan hukum seperti adanya bukti yang baru dan sebagainya. 3 Asas tersebut memberikan wewenang kepada Penuntut Umum 4 untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan pidana berdasarkan pertimbangan, bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan. Benarlah yang dikemukakan Apeldoorn, bahwa tidak 3 Mia Amiati, 2014, Memaknai Kepentingan Umum Dalam Oportunitas Jaksa Agung (Tinjauan Perspektif Teoretis), Miswar, Jakarta, hlm. 5. 4 Jaksa Agung adalah sebagai Penuntut Umum Tertinggi vide Pasal 2 jo. Pasal 18 ayat (1) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
3 semua delik perlu dituntut pembuatnya, terutama bilamana akibatnya sangat kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum. Bukankah pidana itu telah diakui hanya sebagai ultimum remedium 5 artinya sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Pada tataran praktiknya wewenang Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut jarang sekali diterapkan. 6 Pada era berlakunya Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, perkara yang dikesampingkan demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung diantaranya adalah perkara atas nama tersangka Chandra M. Hamzah dengan Surat Ketetapan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum Nomor: TAP-001/A/JA/01/2011 tertanggal 24 Januari 2011, dan perkara atas nama tersangka Dr. Bibit Samad Rianto dengan Surat Ketetapan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum Nomor: TAP-002/A/JA/01/2011 pada tanggal 24 Januari 2011, yang mana keduanya disangka telah melakukan tindak pidana korupsi. 7 Penyampingan perkara demi kepentingan umum tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa apabila perkara atas nama tersangka Chandra M. Hamzah dan tersangka Dr. Bibit Samad Rianto dilimpahkan ke pengadilan akan dapat berakibat terganggunya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi 5 Mia Amiati, Op.Cit., hlm.12 6 Arin Karniasari, 2012, Tinjauan Teoritis, Historis, Yuridis dan Praktis Terhadap Wewenang Jaksa Agung Dalam Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.3 7 Ibid., hlm.4
4 (KPK) dalam melakukan tugas dan kewenangannya sehingga merugikan kepentingan umum yaitu kepentingan bangsa, Negara dan atau masyarakat. 8 Sebelumnya, pada akhir tahun 2010, Plt. Jaksa Agung Darmono mengumumkan bahwa Kejaksaan memilih opsi mengesampingkan perkara demi kepentingan umum untuk perkara Bibit-Chandra, pilihan tersebut diambil karena jika perkara Bibit-Chandra dilimpahkan ke Pengadilan maka kinerja KPK akan terganggu. Keputusan ini untuk kepentingan yang lebih luas, menyelamatkan pemberantasan korupsi. 9 Keputusan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, hingga kemudian muncul permasalahan terkait kriteria kepentingan umum yang digunakan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara atas nama tersangka Chandra M. Hamzah dan Dr. Bibit Samad Rianto tersebut. Sehubungan dengan masalah kepentingan umum tersebut, ada kalangan yang mempertanyakan wewenang Jaksa Agung tersebut yakni apakah benar penyampingan perkara terhadap Chandra M. Hamzah dan DR. Bibit Samad Rianto tersebut adalah demi kepentingan umum sesuai dengan penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Ditambah lagi dengan tindakan sebagian besar anggota komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang pada rapat kerja DPR KPK menolak kehadiran Chandra M. Hamzah dan DR. Bibit Samad Rianto dalam rapat tersebut karena 8 Novi Christiastuti Adiputri, Deponering Bibit-Chandra Resmi Ditandatangani, http://www.detiksport.comread/2011/01/24/202147/1553619/10/deponering-bibit-chandra-resmiditandatangani, diakses 23 Agustus 2015 9 Artikel Majalah Tempo, Senin 01 November 2010, Deponering Kasus Bibit-Chandra: Jalan Akhir ala Kejaksaan, http://www.infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=7717&l=deponering-kasus-bibit- Chandra-Jalan-Akhir-ala-Kejaksaan, diakses 23 Agustus 2015
5 statusnya dinilai masih tersangka, meskipun telah dijelaskan oleh Jaksa Agung bahwa dengan penyampingan perkara demi kepentingan umum yang dilakukannya pada tanggal 24 Januari 2011, maka keduanya tidak lagi berstatus sebagai tersangka. 10 Perihal kepentingan umum sebagaimana tersebut diatas, sebenarnya bukanlah perdebatan baru, oleh karena Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri sejak lama sudah mempertanyakan tentang kriteria kepentingan umum tersebut, yang secara eksplisit tercantum dalam hubungan perwujudan asas oportunitas ini mungkin yang akan menjadi permasalahannya ialah sejauh mana kriteria kepentingan umum itu akan digunakan, dalam hubungan ini pertama-tama kita perhatikan baik KUHAP maupun Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004 tidak memuat kejelasan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum itu, maka sehubungan dengan itu kita harus perhatikan dalam praktek selama ini yaitu bahwa dalam menyampingkan perkara yang menyangkut kepentingan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tertinggi negara yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang bersangkutan, antara lain dengan Menhankam, Kapolri bahkan seringkali dengan Presiden. Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di negara Indonesia sebagaimana dikutip dari Pedoman Pelaksanaan KUHAP Departemen Kehakiman Republik Indonesia adalah didasarkan kepada kepentingan negara dan bukan untuk kepentingan pribadi. 11 10 Arin Karniasari, Op.Cit., hlm.5 11 Ibid., hlm.6-7.
6 Yang paling penting adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena DPR merupakan lembaga representasi seluruh rakyat yang mewakili kepentingan umum, bangsa dan Negara dan/atau masyarakat luas, jadi dapat diartikan kepentingan umum adalah dengan mendahulukan kepentingan bangsa dan Negara dengan cara aspiratif, akomodatif dan selektif. 12 Dengan berpegang pada prinsip bahwa Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Maka setiap tindakan aparatur Negara, dalam hal ini adalah Jaksa Agung, haruslah jelas landasan yuridis konstitusionalnya, dengan memperhatikan keserasian dan keseimbangan antara kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat. 13 S. Rahardjo mengemukakan bahwa polemik perkara Bibit-Chandra berawal sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan istilah out of court settlement (penyelesaian di luar pengadilan), istilah itu pun menjadi populer. Rakyat juga mendapat pelajaran baru, yaitu penyelesaian perkara dapat juga di luar persidangan. Ini sebuah konsep baru, selama ini publik pada umumnya berpendapat bahwa perkara hanya dapat dan boleh diselesaikan melalui Pengadilan, notabene Pengadilan Negeri. Bagi mereka yang menggunakan optik sosiologi hukum dalam memandang hukum, penyelesaian di luar pengadilan adalah hal yang biasa, namun tidak demikian halnya dengan mereka yang berpikir formal-legalistik. Para legalis ini mengutamakan bentuk, sedangkan sosiologi hukum melihat pada fungsi. 14 Penyelesaian perkara Bibit- 12 Mia Amiati, Op.Cit. hlm.10 13 Djoko Prakoso, 1985, Eksistensi Jaksa Di Tengah-Tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.87 14 Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Ed. Pertama, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 3
7 Chandra melalui jalur inilah yang mungkin merupakan hal yang dianggap baru bagi publik atau masyarakat umum, karena tidak semua masyarakat dapat memahami hukum secara komprehensif. Hal yang demikian ini dapat berpotensi memberikan citra buruk terhadap institusi Kejaksaan karena dikhawatirkan telah melahirkan ketidak percayaan masyarakat terhadap proses penanganan perkara pidana, disebabkan ketidaktahuan masyarakat atas aturan yang demikian meskipun perbuatan yang dilakukan oleh Kejaksaan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan menurut pendapat Antonius Sujata, 15 kalau ada lembaga penegak hukum yang dibuat semakin lama semakin impoten, lembaga tersebut tidak lain adalah Kejaksaan, termasuk pembatasan asas oportunitas. Pengertian dan batasan kepentingan umum belum dapat diketahui pasti. Menurut Yusril Ihza Mahendra, dalam bukunya O.C. Kaligis, deponering merupakan wewenang, bukan mustahil keputusan deponering dapat digugat ke Pengadilan, untuk mempertanyakan apakah dalam menjalankan tugas dan wewenang men-deponeer (mengesampingkan perkara demi kepentingan umum) itu, Jaksa Agung memiliki alasan yang cukup? Yakni sejauh mana deponering (mengesampingkan perkara demi kepentingan umum) itu memenuhi syarat demi kepentingan umum, yakni kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. 16 Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam tentang wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ini, 15 Antonius Sujata, 2000, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, hlm.136. 16 O.C. Kaligis (A), 2011, Deponering, Teori dan Praktik, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, hlm.5.
8 terutama dalam Perkara Bibit-Chandra, meskipun salah satu tujuan hukum adalah untuk keadilan tetapi kepastian hukum dan asas kemanfaatan juga harus kita tegakkan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, 17 bahwa nilai keadilan adalah materi yang harus menjadi isi aturan hukum sedangkan aturan hukum adalah bentuk yang harus melindungi nilai keadilan. Sementara pada awal tahun 2016 banyak diberitakan bahwa ada wacana perkara mantan Ketua KPK Abraham Samad (AS) dan mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) juga akan dikesampingkan demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung HM Prasetyo, meskipun tetap saja ada penolakan dari berbagai pihak dan ada pula yang mendukung wacana tersebut. 18 Namun, pada akhirnya pada tanggal 03 Maret 2016, Jaksa Agung HM. Prasetyo resmi mengumumkan pengesampingan perkara demi kepentingan umum atas perkara AS dan BW dengan pertimbangan setelah menganalisa baik dan buruk perkara yang membelit AS dan BW dimana AS dan BW adalah pegiat anti korupsi yang berjuang untuk kepentingan publik selama menjabat maupun setelah tidak berada di KPK. 19 Perkara AS dan BW dikhawatirkan akan memperlemah kegiatan pemberantasan korupsi. Selain perkara Bibit-Chandra dan AS-BW, Jaksa Agung pada masa Ismael Saleh juga pernah menerbitkan Surat Ketetapan Mengesampingkan 17 Bernard L. Tanya, et.al., 2013, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Ed.Rev., Cet.IV, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm.117. 18 Desi Angriani, Deponering Kasus AS-BW Tinggal Diumumkan, http://www.m.metrotvnews.com/read/2016/02/25/490168/deponering-kasus-as-bw-tinggaldiumumkan, diakses 29 Februari 2016 19 Yohanes Paskalis, Jaksa Agung Resmi Deponering Kasus Samad dan BW, http://www.m.tempo.co/read/news/2016/03/03/063750398/jaksa-agung-resmi-deponering-kasussamad-dan-bw, diakses 10 Mei 2016
9 Perkara Demi Kepentingan Umum kepada Letjen (Purn.) Mochamad Jasin, yang dituduh menghina Kepala Negara dengan menandatangani Petisi 50 di era kepemimpinan presiden Soeharto. Sedangkan pada tanggal 15 Agustus 1953, Jaksa Agung R.Soeprapto mengesampingkan perkara wartawan Pemandangan Asa Bafagih, demi kepentingan umum, karena Afa dituduh membocorkan rahasia negara dengan menulis rencana pemerintah Indonesia membuka keran investasi asing dan menaikkan gaji pegawai. Dalam pemeriksaan Asa menolak menyebut sumber beritanya namun tekanan publik kepada pemerintah datang bertubi-tubi sehingga atas kepentingan umum kasus ini dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum. 20 Surat Ketetapan Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum haruslah dianggap bersifat final dan mengikat. 21 Berdasarkan alasan bahwa tidak ada ketentuan di dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya yang memberi hak kepada siapapun untuk menyatakan keberatan, dan untuk membatalkan atau melakukan gugatan atas kebijakan atau keputusan/ketetapan Jaksa Agung berupa pengesampingan perkara demi kepentingan umum, maka dengan sendirinya status sebagai Tersangka yang perkaranya telah dikesampingkan 20 Artikel Majalah Tempo, Senin 01 November 2010, Loc.Cit. 21 Secara harfiah, frase final dan mengikat memiliki keterkaitan satu sama lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, frase final berarti tahapan terakhir dari rangkaian pemeriksaan, sedangkan mengikat berarti menguatkan. Bertolak dari arti harfiah ini, final dan mengikat memiliki arti saling terkait yang berarti akhir dari suatu pemeriksaan, telah menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Lihat - Ahsan Yunus, Analisis Yuridis Sifat Final dan Mengikat (Binding) Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume III, No.2, November, 2011. Jika menggunakan intepretasi sistematis, pengertian final dan mengikat dapat ditemui dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No.8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No.23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada pokoknya menyebutkan bahwa putusan MK bersifat final, yakni langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK dalam UU ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
10 demi kepentingan umum menjadi berakhir dan hilang dengan sendirinya, 22 karena pada hakekatnya menurut A.Z. Abidin Farid dalam bukunya Mia Amiati, perkara yang ditutup definitif demi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagipula perkara demikian cukup buktinya, 23 bukan perkara yang dihentikan demi hukum karena tidak cukup bukti. Terkait penerapan wewenang ini, tetap akan menjadi pertanyaan terutama bagi orang atau masyarakat yang awam hukum, pasti berkaitan dengan apakah benar dengan mengesampingkan perkara Bibit-Chandra dan AS-BW demi kepentingan umum ini telah memenuhi kepastian hukum yang berkeadilan dan apakah benar memang terdapat suatu keadaan kepentingan umum yang harus didahulukan serta apa akibat hukumnya bagi para Tersangka yang perkaranya telah dikesampingkan demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas, akan disampaikan beberapa rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimanakah Penerapan Wewenang Jaksa Agung Mengesampingan Perkara Dapat Memenuhi Unsur Demi Kepentingan Umum? 2. Apakah Akibat Hukumnya Terhadap Tersangka Setelah Perkaranya Dikesampingkan Oleh Jaksa Agung Demi Kepentingan Umum? 22 Darmono, 2013, Penyampingan Perkara Pidana Seponering Dalam Penegakan Hukum, Studi Kasus Ketetapan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum Atas Nama Dr. Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, Solusi Publishing, Jakarta, hlm.168. 23 Mia Amiati, Op.Cit., hlm.14.
11 C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti melalui penelitian ini ada dua hal, yaitu : 1. Untuk menjelaskan tentang terpenuhinya kriteria unsur Demi Kepentingan Umum dalam proses penerapan pengesampingan perkara pidana demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung; dan 2. Untuk mengkaji perihal akibat hukum dari pengesampingan perkara demi kepentingan umum bagi Tersangka terhadap sifat final dan mengikatnya Surat Ketetapan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum dan status hukum sebagai Tersangka yang melekat, D. Manfaat Penelitian Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan ada beberapa manfaat yang dapat dihasilkan, baik bagi ilmu pengetahuan maupun bagi pihak yang terkait, dalam hal ini Kejaksaan terhadap penerapan wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Adapun penjelasan lebih lanjutnya sebagai berikut : 1. Kegunaan Akademis. Dari hasil penelitian guna penyusunan tesis ini peneliti berharap dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum acara pidana pada umumnya, khususnya pengetahuan tentang wewenang Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang merupakan penerapan dari asas oportunitas
12 dengan jelas dan menyeluruh serta mengenai akibat hukum dan status hukum yang melekat pada Tersangka. 2. Kegunaan Praktis. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pihak yang berkepentingan pada penerapan wewenang Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Diharapkan juga dapat bermanfaat untuk memberikan saran perbaikan pada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai kriteriakriteria kepentingan umum, saran dan pertimbangan dari badan-badan kekuasaan Negara yang terkait dengan penerapan wewenang oleh Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ini. E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis berdasarkan hasil penelusuran Perpustakaan Universitas Gadjah Mada dan pada lingkup Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak terdapat penulisan hukum atau tesis dengan judul: Penerapan Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum Sebagai Pelaksanaan Asas Oportunitas Jaksa Agung dan Akibat Hukumnya Terhadap Tersangka. Namun ada penulisan hukum atau tesis yang memiliki kemiripan dalam menganalisis mengenai wewenang Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang ditulis oleh Arin
13 Karniasari 24 dari Universitas Indonesia dengan judul: Tinjauan Teoritis, Historis, Yuridis Dan Praktis Terhadap Wewenang Jaksa Agung Dalam Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum. Rumusan masalah: 1. Adakah kriteria dari Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau Kepentingan Masyarakat Luas yang merupakan penjelasan dari istilah Kepentingan Umum pada wewenang Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum? 2. Siapakah yang dimaksud dengan Badan-badan Kekuasaan Negara dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dapat diperhatikan saran dan pendapatnya oleh Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum? Kemudian apakah saran dan pendapat Badan-badan Kekuasaan Negara tersebut bersifat mengikat Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum? 3. Apakah wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut bersifat final dan mengikat? Kesimpulannya adalah: 1. Tidak ada kriteria dari Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau Kepentingan Masyarakat Luas yang merupakan penjelasan dari istilah Kepentingan Umum pada wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, baik dalam 24 Arin Karniasari, 2012, Tinjauan Teoritis, Historis, Yuridis dan Praktis Terhadap Wewenang Jaksa Agung Dalam Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
14 Undang-undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai ketentuan pertama yang pada penjelasan Pasal 32 huruf c memuat istilah Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau Kepentingan Masyarakat Luas, maupun dalam Undang-undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang melanjutkan penyebutan istilah tersebut, begitu pula dengan risalah sidang pembahasan kedua undang-undang tersebut, serta peraturan internal Kejaksaan Republik Indonesia. Akan tetapi jika dilihat dari sejarah wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dalam undang-undang, maka hanya pada risalah sidang pembahasan Undang-undang No. 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuanketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, terdapat kriteria atas kepentingan umum yang oleh Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia diartikan sebagai Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau Kepentingan Masyarakat Luas tersebut, yakni penyampingan perkara demi kepentingan umum tidak dilakukan terhadap perkara kecil seperti pencurian ubi. 2. Merujuk pada teori kekuasaan negara yang memisahkan kekuasaankekuasaan negara menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kemudian dikaitkan dengan perubahan susunan ketatanegaraan Republik Indonesia, yang berimplikasi pada kekuasaan negara yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pasca perubahan keempat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2002, maka badan-badan kekuasaan negara yang dimaksud dalam
15 penjelasan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berdasarkan penelitian penulis adalah lembaga Negara yang wewenangnya meliputi kekuasaan-kekuasaan negara (primary constitutional organs) yakni: Lembaga negara yang memegang kekuasaan Legislatif (MPR, DPR, DPD), Lembaga Negara yang memegang kekuasaan Eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), Lembaga negara yang memegang kekuasaan Yudikatif (Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Kekuasaan Eksaminatif (BPK). Akan tetapi tidak berarti terhadap semua lembaga negara tersebut dimintakan saran dan pendapatnya oleh Jaksa Agung, melainkan hanya lembaga Negara yang menurut pertimbangan Jaksa Agung mempunyai hubungan dengan masalah penyampingan perkara demi kepentingan umum saja. Kemudian mengenai pemilihan lembaga negara mana yang mempunyai hubungan dengan masalah penyampingan perkara demi kepentingan umum tersebut, hal ini merupakan kebebasan Jaksa Agung untuk menentukannya, sepanjang lembaga negara yang dipilihnya tersebut memang mempunyai hubungan dengan masalah penyampingan perkara demi kepentingan umum tersebut. Lebih lanjut saran dan pendapat dari masing-masing lembaga Negara tersebut tidak mengikat Jaksa Agung dalam menerapkan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, karena berdasarkan penafsiran gramatikal kalimat memperhatikan saran dan pendapat tersebut, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sama artinya dengan meneliti, mengamati pendapat
16 yang disampaikan untuk dipertimbangkan, hal ini sejalan dengan wewenang bebas yang diberikan undang-undang kepada Jaksa Agung, keputusan akhir atas permasalahan yang dipertimbangkan tetap merupakan kebebasan kebijaksanaan Jaksa Agung dalam menilai penyampingan perkara demi kepentingan umum tersebut, tidak terikat pada saran dan pendapat lembaga-lembaga negara tersebut. 3. Wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum bersifat final dan mengikat, karena wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ini berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, termasuk kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dalam menghadapi situasi dan kondisi pada suatu waktu tertentu, yang tidak dapat diuji di persidangan, karena yang diutamakan adalah kepastian hukum dari keputusan pemerintah yang berisi kebijaksanaan tersebut. Selain itu berdasarkan penelitian penulis, tidak terdapat pengaturan tentang mekanisme upaya hukum atau perlawanan terhadap keputusan penyampingan perkara demi kepentingan umum, baik dasar hukum ataupun formulasi peradilannya di Indonesia, sehingga keputusan Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut bersifat final dan mengikat. Bahwa rumusan masalah penelitian sebelumnya berbeda dengan penelitian ini, yang secara langsung diarahkan ke studi kasus Bibit-Chandra, Abraham Samad dan Bambang Wodjojanto sebagai contoh kasus dengan mengkaji penerapan terpenuhinya unsur kepentingan umum dalam pengesampingan perkara demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung dan apa
17 akibat hukumnya bagi Tersangka terkait dengan status hukum yang melekat dan tidak adanya upaya pengajuan ganti rugi dan rehabilitasi nama baik. Selain penulisan hukum atau tesis dari Arin Karniasari, ada penulisan hukum atau skripsi yang memiliki juga kemiripan dalam menganalisis mengenai wewenang Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang ditulis oleh Panji Wijanarko 25 dari Universitas Indonesia dengan judul: Kepentingan Umum sebagai Dasar Pertimbangan Penerapan Asas Oportunitas Jaksa Agung Dalam Proses Peradilan Pidana (Studi Kasus: Penyampingan Perkara Bibit-Chandra Oleh Jaksa Agung). Rumusan masalah: 1. Bagaimanakah penyampingan perkara oleh Penuntut Umum menurut teori-teori dan doktrin dalam Hukum Acara Pidana? 2. Bagaimanakah penerapan penyampingan perkara oleh Penuntut Umum dalam peraturan perundang-undangan Indonesia? 3. Bagaimana praktek kasus Bibit-Chandra dapat dikualifikasir mewakili klausula demi kepentingan umum dalam rangka pelaksanaan asas oportunitas? Kesimpulannya adalah: 1. Asas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki instusi Kejaksaan Agung dalam hal ini pelaksanaannya hanya ada pada Jaksa Agung. Asas oportunitas ini melandaskan penuntut umum mempunyai 25 Panji Wijanarko, 2012, Kepentingan Umum Sebagai Dasar Pertimbangan Penerapan Asas Oportunitas Jaksa Agung Dalam Proses Peradilan Acara Pidana (Studi Kasus Penyampingan Perkara Bibit-Chandra Oleh Jaksa Agung), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
18 kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum atau hak Jaksa Agung karena jabatannya (ambtshalve) untuk mendeponir perkaraperkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar Terdakwa diputus bersalah. 2. Asas oportunitas yang dilaksanakan melalui perundang-undangan, yakni UU No.15 Tahun 1961, UU No.5 Tahun 1991, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Asas oportunitas sampai sekarang tetap ada keberadaannya di Indonesia. Penggunaan asas ini harus memberikan manfaat pada kepentingan umum sebagai dasar pertimbangan Jaksa Agung dalam menggunakannya. Berdasarkan penjelasan Pasal 77 KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas, namun KUHAP tidak mengatur secara rinci masalah penyampingan perkara. Klausula yang menjadi kewenangan Jaksa Agung ini hanya merujuk pada penjelasan Pasal 77 KUHAP. Penjelasan pasal ini merumuskan: yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Pengaturan deponering ditemukan pada
19 Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyebutkan bahwa Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Penjelasan Pasal tersebut mendefinisikan pengertian kepentingan umum sebagai kepentingan. Meskipun tidak ditegaskan dalam pasal ini namun dapat dimengerti bahwa dalam mengesampingkan perkara yang menyangkut kepentingan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dalam perkara tersebut, antara lain: Menteri/Kepala Kepolisian Negara, Menteri Keamanan Nasional bahkan juga seringkali langsung kepada Presiden dan juga Kepala Lembaga Negara lain seperti MA, MK dan juga DPR. Maksud dan tujuan Undang-Undang memberikan kewenangan hanya pada Jaksa Agung dan tidak kepada setiap Jaksa adalah untuk menghindari timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal ini pelaksanaan asas oportunitas. Untuk terjaminnya kepastian hukum pelaksanaan asas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, hal mana dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi yang bersangkutan. 3. Atas dasar kepentingan pemberantasan korupsi di negeri ini, setelah melalui proses-proses hukum yang panjang, akhirnya Plt. Jaksa Agung Darmono, yang mana akhirnya ditandatangani oleh Jaksa Agung Basrief Arief, mengambil keputusan mengeluarkan deponering atas kasus Bibit-Chandra. Alasannya adalah demi kepentingan yang lebih
20 luas, yaitu menyelamatkan pemberantasan korupsi. Surat itu menyatakan meski perkara Bibit-Chandra tetap dianggap ada, namun dikesampingkan demi kepentingan umum. Langkah yang telah Jaksa Agung ambil telah dikualifisir memenuhi persyaratan UU. Kepentingan umum oleh Jaksa Agung dijelaskan bahwa masyarakat yang sedang bergiat untuk pemberantasan korupsi akan dirugikan jika kasus Bibit-Chandra terus berlarut-larut, sebab Bibit-Chandra adalah pimpinan KPK yang dinilai banyak pihak dibutuhkan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bersama institusi penegak hukum lain. Hal ini yang ditafsirkan dimana masyarakat menilai bahwa banyak kerugian yang akan didapat jika kasus Bibit-Chandra diteruskan ke Pengadilan, jangan sampai kinerja dari KPK menjadi terhambat dan terganggu dalam rangka memberantas korupsi yang betul-betul diharapkan oleh masyarakat dan warga seluruhnya. Bahwa rumusan masalah pertama dan kedua dari penelitian Panji Wijanarko berbeda dengan penelitian ini, meskipun sama-sama menggunakan unsur demi kepentingan umum sebagai dasar untuk menganaliasa penerapan asas oportunitas dalam pengesampingan perkara Bibit-Chandra, namun penelitian terdahulu hanya mendasarkan pada keterangan dari Plt. Jaksa Agung dan Jaksa Agung, sedangkan penelitian ini selain mendasarkan pada alasan dan pertimbangan dalam Surat Ketetapan Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum, juga memperdalam pengertian unsur kepentingan umum dikaitkan dengan keseimbangan tujuan penegakan hukum untuk ketertiban bersama dan untuk kebaikan bersama, sebagai salah
21 satu latar belakang dikeluarkannya Surat Ketetapan Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum terhadap Tersangka Bibit-Chandra tersebut. Selain itu penelitian ini juga mengkaji penerapan pengesampingan perkara demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung atas nama Tersangka Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) sebagai perkara terbaru yang dikesampingkan oleh Jaksa Agung dan sebagai pembanding kriteria kepentingan umum yang digunakan dalam pengesampingan perkara antara Bibit-Chandra dan AS-BW serta akibat hukumnya bagi Tersangka Bibit-Chandra dan AS-BW terkait dengan status hukum sebagai Tersangka yang melekat dan tidak adanya upaya hukum untuk pengajuan ganti rugi dan rehabilitasi nama baiknya.