BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sindroma miofasial didefinisikan dengan terdapatnya trigger point yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Sindroma miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya manusia harus melakukan aktivitas untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sangat pesat, bisa kita lihat di dalam perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. yang statis dan overload dalam waktu yang lama dapat menyebabkan ketenganan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Blanko Kuisioner Neck Disability Index (NDI)

BAB I PENDAHULUAN. semakin banyaknya penggunaan komputer atau laptop di kalangan anak sekolah,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, sesama manusia maupun lingkungan, baik secara langsung

ABSTRAK KOMBINASI INTERVENSI INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITION TECHNIQUE

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan komputer. Kebanyakan pengguna komputer tidak. yang berlebih pada otot-otot leher, pundak dan punggung atas.

BAB VI PEMBAHASAN. memiliki rerata umur sebesar 36,65 ± 7,158 dan kelompok perlakuan

Sport and Fitness Journal ISSN: X Volume 5, No.3, September 2017:

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju, berbagai

BAB I PENDAHULUAN. berbagai penyakit, misalnya myalgia. menjadi kaku. Sama halnya yang terjadi pada saat bekerja perlu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melakukan pekerjaan, seseorang atau sekelompok pekerja

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang satu sama lainnya saling

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini bertujuan untuk melihat penambahan Myofascial Release

BAB I PENDAHULUAN. belikat. Keluhan yang sering ditimbulkan, antara lain: nyeri otot, pegal di

BAB I PENDAHULUAN. lingkup perkantoran biasanya sudah dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas serta

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di zaman globalisasi sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan

PERBANDINGAN MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE DENGAN CONTRACT RELAX STRETCHING TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA SINDROM MYOFASCIAL OTOT UPPER TRAPEZIUS

MANFAAT LATIHAN STATIC ACTIVE STRETCHING DAN MC KENZIE LEHER PADA SINDROMA MIOFASIAL LEHER PENJAHIT

BAB I PENDAHULUAN. itu gerak dan fungsi dari sendi bahu harus dijaga kesehatannya. tersebut, salah satu diantaranya adalah frozen shoulder.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Manusia pertama kali akan berusaha memenuhi kebutuhan (Hariandja,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tahun dengan diagnosa medis CTS dextra diperoleh permasalahan berupa

BAB I PENDAHULUAN. barang, mencuci, ataupun aktivitas pertukangan dapat mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang sangat banyak. cidera atau gangguan sendi yang cukup besar. (Kuntono 2003).

BAB 1 PENDAHULUAN. munculnya masalah tersebut, seseorang akan mengkompensasinya dengan

Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan unit. penyusun ( building blocks ) sistem otot dalam arti yang sama dengan

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. fisik dengan menggunakan anggota tubuhnya. Biasanya anggota yang. badan, pergerakan tersebut bisa terjadi pada saat beraktivitas.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu

BAB I PENDAHULUAN. dimana dijumpai beraneka ragam jenis keluhan antara lain gangguan neuromuskular,

BAB I PENDAHULUAN. nyeri tak tertahankan, mempengaruhi tangan, punggung, leher, lengan, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni salah

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dengan menggunakan bahan malam atau lilin melalui alat yang

Nanda Citra Anggraeni. Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pada kemampuan fungsi yang tiada batasnya. subjek dalam populasi umum. Insiden dan prevalensi dari negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laktat merupakan produk akhir dari metabolisme anaerobik, proses ini berlangsung tanpa adanya oksigen.

BAB I PENDAHULUAN. populasi pada usia>50 tahun dan sering terjadi pada usia didapatkan pada usia tahun. Di Amerika Serikat, kasusnyeri

tumpul, aching, dan menyebar, yang dapat berubah menjadi nyeri akut pada saat rahang berfungsi serta menyebabkan disfungsi mandibular berupa

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan dinamis dan dapat ditingkatkan sehingga manusia dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. serta bidang kesehatan. Setiap orang yang hidup baik usia produktif maupun

BAB I PENDAHULUAN. seperti HNP, spondyloarthrosis, disc migration maupun patologi fungsional

BAB 1 PENDAHULUAN. langsung dan tidak langsung, kesehatan masyarakat juga perlu. With Low Back Pain : A Randomized Controllled Trial Bukti juga

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan. melakukan atifitas atau pekerjaan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. dan anggota gerak bawah. Yang masing-masing anggota gerak terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aktifitas manusia dalam hidupnya dilakukan dengan bergerak.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, begitu juga dalam bidang kesehatan. Salah satu Negara kita, yaitu dari

ABSTRAK. Kata Kunci : Myofascial pain syndrome, integrated neuromuscular inhibitation technique, myofascial release technique, infrared.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan

BAB I PENDAHULUAN. mana jika kesehatan terganggu maka akan dapat mempengaruhi. kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena 65% penduduk Indonesia adalah usia kerja, 30% bekerja disektor

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas. Aktivitas-aktivitas tersebut berlangsung di tempat kerja, sekolah, kampus

BAB I PENDAHULUAN. Dari mulai alat komunikasi, alat perkantoran, alat transportasi sampai sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Prinsip Kerja Ultrasound Therapy

BAB I PENDAHULUAN. tersebut ringan atau berat sehingga dalam proses penyembuhan pasien. buruk dari rawat inap atau long bed rest.

BAB I PENDAHULUAN. sering di gunakan. Masalah pada pergelangan tangan sering dialami karena

BAB I PENDAHULUAN. yang sering digunakan untuk beraktivitas. Keluhan nyeri merupakan sensasi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial serta tidak hanya bebas dari

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menghambat aktivitas kegiatan sehari-hari, di Jerman persentase

BAB I PENDAHULUAN. pengguna jasa asuransi kesehatan. Pengertian sehat sendiri adalah suatu kondisi

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas fungsional sehari-hari. Dimana kesehatan merupakan suatu keadaan bebas

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh: AYUDIA SEKAR PUTRI J

BAB I PENDAHULUAN. baru. (Millson, 2008). Sedangkan menurut pendapat Departement of Trade and

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak selektif dalam menjalani kehidupan sehari-hari akan mudah. dalam beradaptasi terhadap lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang lebih modern masyarakat juga mengalami perubahan dan

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI LOW BACK PAIN ET CAUSA MYOGENIK DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Olahraga merupakan kebutuhan yang tidak asing lagi.

MEKANICAL CERVICAL & LUMBAR TRACTION. Oleh: Sugijanto

BAB I PENDAHULUAN. otot leher punggung dan pinggang akibat sindroma miofasial, osteoarthrosis,

BAB I PENDAHULUAN. maupun mental dan juga bebas dari kecacatan. Keadaan sehat bukanlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau

Skeletal: Otot: Sendi: Fasia Hubungan sistem muskuloskeletal dengan reproduksi wanita

BAB I PENDAHULUAN. robek pada ligamen,atau patah tulang karena terjatuh. Cedera tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sosial masyarakat dan bangsa bertujuan untuk. memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. NPB lebih kurang 15% - 20% dari populasi, yang sebagian besar merupakan NPB

BAB I PENDAHULUAN. dan mobilisasi yang baik, tidak ada keluhan dan keterbatasan gerak terutama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional yang kini digalakan salah satunya adalah di

BAB I PENDAHULUAN. ergonomi dan psikososial yang berdampak pada kesehatan pekerja.

BAB I PENDAHULUAN. bebas dari kecacatan sehingga untuk dapat melakukan aktivitas dalam

BAB I PENDAHULUAN. melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah

BAB I PENDAHULUAN. bagian yakni salah satunya bagian leher yang mempunyai peranan sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan peran serta masyarakat untuk lebih aktif. Aktivitas manusia sangat

BAB I PENDAHULUAN. penelitian telah banyak di kembangkan untuk mengatasi masalah-masalah penuaan.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab 40% kunjungan pasien berobat jalan terkait gejala. setiap tahunnya. Hasil survei Word Health Organization / WHO

Transkripsi:

7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma miofasial otot upper trapezius Sindroma miofasial didefinisikan dengan terdapatnya trigger point yang timbul dari taut band serabut otot yang membentuk seperti jalinan tali dan lunak ketika disentuh dan ketika dipalpasi, menimbulkan respon kejang lokal yang dikenal sebagai jump sign (Travel, et al., 1992). Sindroma miofasial merupakan kondisi nyeri otot akut/kronis yang dicirikan oleh keberadaan trigger point yang hipersensitif terhadap nyeri dan terlokalisir yang disebabkan penggunaan otot secara berlebihan sehingga menyebabkan disfungsi neuromuscular end plate (Han, et al., 1997). Myofascial trigger points didefinisikan berdasarkan karakteristik motorik dan sensoriknya (Gerwin, 1998). Hal penting yang paling minimal harus ada untuk membedakan antara trigger points dari nyeri otot tipe lain adalah adanya taut band dalam zona tenderness pada trigger points. Sindroma miofasial sering dihubungkan dengan fibromialgia. Melalui definisi yang telah disepakati, nyeri pada fibromialgia bersifat general, terjadi di atas dan di bawah pinggang dan pada kedua sisi tubuh. Sementara itu, sindroma miofasial lebih sering dideskripsikan sebagai nyeri yang terjadi di beberapa area 7

8 terbatas dari tubuh, misalnya, hanya di sekitar bahu dan leher, atau hanya di satu sisi tubuh (Starlanyl, 2001). Peneliti menyimpulkan definisi sindroma miofasial otot upper trapezius adalah patologi pada jaringan miofascia otot upper trapezius, baik kondisi akut maupun kronis, yang ditandai dengan adanya sekumpulan gejala-gajala seperti trigger point/tender point, taut band, muscle twisting serta muscle tightness pada otot upper trapezius. Gambar 2.1 Referred pain sindroma miofasial upper trapezius (Fernandez, 2005) 2.2 Anatomi Terapan 2.2.1 Otot Upper trapezius Otot trapezius adalah otot yang menyusun struktur punggung manusia. Dinamakan trapezius, sebab bentuknya mirip dengan bangun trapezium. Otot upper trapezius merupakan bagian dari otot trapezius yang terletak di bagian paling atas. Serabut otot upper trapezius memanjang ke bawah dari os. occipitalis hingga tulang leher ke tujuh dan melebar ke arah samping hingga acromion. Otot ini sering kali mengalami tightness dan stiffness karena fungsinya sebagai stabilisator.

9 2.2.1.1 Origo 2.2.1.2 Insertio Gambar 2.2 Otot upper trapezius (StudyDroid, 2010) Otot upper trapezius berorigo di protuberansia occipitalis externa, sepertiga medial linea nuchal os. occipital, ligamentum nuchae, dan processus spinosus cervical tujuh. Insersio otot upper trapezius melekat pada sepertiga lateral clavicula dan processus acromion. 2.2.1.3 Saraf dan Vaskularisasi pada m. upper trapezius Otot upper trapezius diinervasi oleh n. spinal aksesoris (CN IX) dan n. spina cervicalis (C3-C4). Oleh karena itu, area dermatomnya sesuai area dermatom C3-C4, dimana area dermatom pada C3 adalah fossa supraclavicular dan linea midclacular. Sedangkan area dermatom C4 pada sendi acromioclavicula dan area nervinanya sesuai dengan area

10 nervina n. supraclavicular, yakni pada otot upper trapezius. Otot upper trapezius mendapat sirkulasi dari arteri subclavian dan arteri suprascapular. 2.2.1.4 Fungsi Gambar 2.3 Area dermatom dan nervina (Brown, 2010) Fungsi dari otot upper trapezius adalah untuk gerak elevasi dan retraksi scapula. Selain itu, otot ini juga berperan dalam stabilasi cervical dan juga bekerja pada gerak ekstensi dan lateral fleksi ipsilateral cervical. Otot upper trapezius bekerja sinergis dengan m. serratus anterior dan m. deltoideus.

11 Sedangkan antagonis dari otot ini adalah m. levator scapula dan m. rhomboideus 2.2.2 Histologi Otot Secara umum otot dibagi menjadi 3 jenis yaitu otot skeletal, otot jantung dan otot polos. Yang akan dibahas oleh peneliti dalam penelitian ini ialah mengenai otot skeletal beserta fascia. 2.2.2.1 Struktur otot skeletal Otot skeletal terdiri dari serabut otot (muscle fiber) yang merupakan sebuah sel yang panjang dan mengandung banyak inti. Panjangnya dapat melebihi 30 cm dan diameternya sekitar 0,01 sampai 0,1 mm. Otot skeletal mendapat persarafan dari saraf-saraf kranial atau spinal, dan dikontrol secara sadar. Fungsi utamanya ialah untuk gerakan-gerakan tubuh dan untuk mempertahankan sikap atau posisi tubuh. Gambar 2.4 Bagian-bagian otot (Biotech, 2012)

12 2.2.2.2 Tipe-tipe serabut otot skeletal Menurut Jack H Wilmore, ada 2 tipe serabut otot yang utama, yaitu serabut slow twitch dan serabut fast twitch. Tabel 2.1 Perbedaan karakteristik tipe serabut otot (Jack H Wilmore, 1999) Karakteristik Tipe serabut ST FT IIA FT IIB Serabut otot per motor neuron 10-180 300-800 300-800 Ukuran motor neuron Kecil Besar Besar Kecepatan konduksi saraf Lambat Cepat Cepat Kecepatan kontraksi (ms) 110 50 50 Tipe myosin ATPase Lambat Cepat Cepat Perkembangan reticulum sarkoplasma Rendah Tinggi Tinggi Gaya motor unit Rendah Tinggi Tinggi Kapasitas aerobic (oksidatif) Tinggi Sedang Rendah Kapasitas an aerobic (glikolitik) Rendah Tinggi Tinggi Keterangan : ST serabut slow twitch FT IIA serabut fast twitch tipe IIA FT IIB serabut fast twitch tipe IIB Tabel 2.2 Klasifikasi Tipe Serabut Otot (Jack H Wilmore, 1999) Karakteristik Slow twitch Fast twitch Fast twitch Tipe I (SO) Tipe IIa (FOG) Tipe IIb (FG) Kapasitas oksidatif Tinggi Cukup tinggi Rendah Kapasitas glikolitik Rendah Tinggi Paling tinggi Kecepatan kontraktil Lambat Cepat Cepat Tahan terhadap lelah Tinggi Sedang Rendah Kekuatan motor unit Rendah Tinggi Tinggi Warna Merah Pink Putih Keterangan: SO = Slow Oksidative (oksidatif lambat) FOG = Fast Oksidative Glycolytic (oksidatif glikolitik cepat) FG = Fast Glycolytic (oksidatif cepat)

13 2.2.2.3 Mekanisme kontraksi otot Mekanisme kontraksi otot dimulai dengan adanya beda potensial pada motor end plate akibat suatu stimulus sehingga memicu potensial aksi pada serat otot. Penyebaran depolarisasi terjadi ke dalam tubulus T dan mengakibatkan pelepasan Ca2 + dari sisterna terminal retikulum sarkoplasmik serta difusi Ca2 + ke filamen tebal dan filamen tipis. Selanjutnya terjadi suatu pengikatan Ca2+ oleh troponin C, yang membuka tempat pengikatan miosin dari aktin. Proses tadi menyebabkan tebentuknya ikatan silang (cross links) antara aktin dan miosin dan terjadi pergeseran filamen tipis pada filamen tebal (pemendekan atau kontraksi). Pada tahap relaksasi Ca2+ akan dipompakan kembali ke dalam retikulum sarkoplasmik dan terjadi pelepasan Ca2 + dari troponin sehingga interaksi antara aktin dan miosin berhenti. Gambar 2.5 Mekanisme kontraksi otot (Physioweb, 2012)

14 2.2.2.4 Jaringan Miofasial Fascia merupakan jaringan ikat longgar (connective tissue) yang berada di sekeliling otot, tulang, saraf, pembuluh darah, dan organ-organ tubuh. Fascia membungkus setiap otot, tulang, saraf, pembuluh darah, dan tubuh (Michael J, 2002). Fascia memiliki dua jenis serat yaitu serat kolagen yang sangat kuat dan sedikit elastis sehingga menghasilkan daya rentang (tensile strength); serta serat elastik yang fleksibel dan menyebabkan adanya elastisitas pada otot. Lapisan miofascia terdiri dari epymisium, (jaringan fascia terluar), perymisium, dan endomisium (jaringan fascia terdalam) 2.2.5.1 Fungsi fascia (Aras, 2005) a Mengikat dan membuat keseimbangan struktur tubuh. b Memperkuat matriks untuk meningkatkan kualitas organisasi struktur tubuh c Mengikat sendi dan otot Sehatnya jaringan miofasial memungkinkan adanya keseimbangan antara kompresi dan ketegangan dengan relaksasi sehingga apabila terjadi cidera baik biokimia maupun mekanis maka akan terjadi pengerasan dan kehilangan elastisitas sehingga pada akhirnya miofasial akan mengalami ketegangan.

15 Gambar 2.6 Bagian-bagian dari serabut fasia (Guimberteau, 2010) 2.3 Patologi sindroma miofasial otot upper trapezius 2.3.1 Etiologi a. Faktor kongenital, misalnya : tortikolis, tungkai panjang sebelah, serta tendensi untuk hipermobilitas. b. Faktor penggunaan yang berlebihan atau salah menggunakan jaringan/organ tubuh tertentu seperti dalam ADL, olahraga atau pekerjaan tertentu sehingga dapat menimbulkan trauma makro maupun trauma mikro pada struktur miofascia. c. Faktor pembebanan karena postur yang salah Postur yang salah dapat juga menyebabkan sindroma miofasial seperti misalnya skoliosis. Pada skoliosis dimana terjadi deviasi dari kurva thorakal ke lateral sehingga dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan muscle imbalance, dimana otot pada satu sisi mengalami pemendekan dan menyebabkan muscle tightness yang berpotensi menimbulkan sindroma miofasial pada otot upper trapezius.

16 d. Proses degenerasi otot Proses degenerasi pada otot menyebabkan penurunan jumlah serabut otot, atrofi beberapa serabut, myofibril menjadi tidak teratur, berkurangnya 30% massa otot terutama otot tipe II, dan degenerasi myofibril yang akan mempengaruhi penurunan kekuatan dan fleksibilitas dari otot. e. Ergonomi yang buruk Ergonomi kerja yang buruk yang berlangsung berulang-ulang dan dalam waktu yang lama akan menimbulkan stress mekanik yang berkepanjangan pada jaringan miofasial otot upper trapezius, misalnya seorang di depan komputer dengan layar yang terlalu tinggi atau agak jauh dari kursi duduk, posisi duduk yang tidak tegak atau terlalu miring ke satu sisi dapat menyebabkan pembebanan yang tidak seimbang pada otot upper trapezius. f. Hal yang lain, seperti kelelahan otot yang berat, kondisi-kondisi arthrosis, cidera saraf, dan masalah neuromuskuloskeletal lainnya. Kelelahan yang umum dan rendahnya metabolisme, infeksi kronis dan stress psikogenik dapat menjadi faktor pemicu timbulnya tender area/trigger area.

17 2.3.2 Epidemiologi Sindroma miofasial merupakan penyebab nyeri muskuloskeletal paling banyak. Penelitian yang dilakukan oleh J. Friction pada 164 pasien dengan nyeri kepala dan leher kronis (nyeri paling sedikit telah berlangsung selama 6 bulan), menunjukkan 55% disebabkan oleh sindroma miofasial (Friction JR, 1985). Sindroma miofasial kronik dan berulang-ulang terdapat pada 10% sampai 20% populasi manusia berumur 18 tahun ke atas di Amerika Serikat. Insiden Sindroma miofasial lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Insiden tersering pada seseorang berumur antara 31 sampai 50 tahun (Lofriman, 2008). Penelitian yang dilakukan di Belanda terhadap 1504 sampel yang dipilih secara random dengan usia 30-60 tahun, ditemukan 34% pria dan 65% wanita mengalami sindroma miofasial yang terlokalisir (Starlanyl, 2001). Sementara itu, pada penelitian Wolfe dan Yunus dengan 283 pasien ditemukan 85% pasien tersebut menderita sindroma miofasial (Wolfe F, 1990). Penelitian yang dilakukan oleh David G. Simons (2003) dan dipaparkan dalam makalahnya menunjukkan dari 13 orang dengan 8 lokasi otot yang diteliti, hanya satu orang yang tidak memiliki trigger point dan dua belas orang mempunyai trigger point di 8 ototnya dengan penyebaran yang berbeda-beda (Simons, 2003).

18 2.3.3 Tanda dan gejala sindroma miofasial otot upper trapezius 2.3.2.1 Nyeri yang terlokalisir pada otot upper trapezius atau nyeri yang menyebar sesuai area dermatome otot upper trapezius. 2.3.2.2 Saat di palpasi terdapat taut band pada fascia dan otot upper trapezius serta jaringan ikat longgar (connective tissue). 2.3.2.3 Apabila dilakukan penekanan pada otot upper trapezius, terdapat tenderness spot atau trigger point pada taut band yang menimbulkan twitch respon (respon kejang lokal) atau yang dikenal sebagai jump sign. 2.3.2.4 Apabila tender spot/ trigger point pada daerah otot upper trapezius tadi ditekan, akan menimbulkan nyeri baik lokal ataupun menjalar (referred pain), tenderness dan spasme otot pada area rujukan, dimana referred area ini dapat diprediksi dan sesuai dengan jalur anatomis otot upper trapezius namun tidak mengikuti pola dermatom ataupun akar saraf (nerve root). 2.3.2.5 Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendi 2.3.2.6 Spasme otot akibat adanya rasa nyeri yang timbul yang bersifat sekunder juga akibat penumpukan zat-zat iritan/ zat metabolik. 2.3.2.7 Dengan adanya rasa nyeri tersebut biasanya dapat menyebabkan panjang otot terhambat sehingga otot mengalami kelemahan

19 berupa pseudo weakness tapi tidak menimbulkan atrofi dan keterbatasan gerak sendi. 2.3.4 Patofisiologi sindroma miofasial otot upper trapezius Otot upper trapezius merupakan otot dengan tipe tonik sehingga apabila terdapat patologi pada otot ini maka akan terjadi gangguan berupa tightness dan kontraktur. Kerja otot upper trapezius yang buruk dapat menyebabkan trauma pada jaringan, baik akut maupun kronik yang akan menimbulkan stress secara mekanis pada jaringan miofasial serta terjadi peningkatan ketegangan otot dikarenakan adanya fase kontraksi secara terus-menerus dengan kontraksi submaksimal overloading pada sebagian motor unit. Ketika otot mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus-menerus, maka akan menimbulkan spasme lokal pada ekstrafusal otot dan menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penumpukkan zatzat sisa metabolisme, yang akan memicu terjadiya inflamasi neurogenik. Inflamasi neurogenik lokal akan menimbulkan kontraksi terusmenerus pada sebagian otot lokal sehingga akan memicu terjadinya iskemik. Kondisi ini akan menyebabkan iritasi pada saraf simpatis sehingga menyebabkan vasokonstriksi. Akibatnya, terjadi penumpukkan kolagen dan munculnya adhesi pada sebagian serabut otot, yang kemudian akan menjadi taut band. Apabila terjadi regangan, maka akan mengiritasi serabut saraf C sehingga

20 menimbulkan nyeri dan nyeri akan memicu terjadinya spasme. Spasme akan menyebabkan terjadinya iskemik dimana iskemik akan menyebabkan nyeri dan seterusnya, dimana kondisi ini berlangsung seperti lingkaran setan (viscous cycle). Apabila keadaan ini berlangsung terus-menerus (lebih dari 3 bulan), maka akan muncul hiperaktifitas simpatis yang akan menyebabkan mikrosirkulasi menurun sehingga terjadi penumpukkan sisa-sisa zat metabolisme di otot yang akan menyebabkan nyeri dan penurunan ambang rangsang/tresshold terhadap nyeri karena saraf polimodal tidak beradaptasi pada reaksi inflamasi sehingga terjadi hiperalgesia yang akan membentuk tender point atau bisa juga terjadi allodynia yang akan membentuk trigger point. Gambar 2.7 Trigger point sindroma miofasial otot trapezius (Turell, 2015)

21 2.4 Disabilitas Leher 2.4.1 Definisi disabilitas Disabilitas diartikan sebagai sebuah definisi payung dimana didalamnya terdapat impairment (body function dan body structure), activity limitation dan participation retrictions. Impairment adalah masalah yang terjadi pada tingkatan body function dan body structure dan aktivity limitation adalah suatu bentuk kesulitan individual dalam menyesuaikan gerakan atau aktivitas, sedangkan participation retriction adalah masalah yang terjadi pada individu dalam menghadapi kehidupannya (WHO, 2012) Neck Disability Index (NDI) adalah suatu kuesioner untuk mengukur disabilitas leher secara khusus dan memahami lebih baik bagaimana nyeri leher dapat mempengaruhi kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Kuesionernya memiliki 10 macam pertanyaan yang terfokus pada nyeri dan aktifitas hidup sehari-hari termasuk intensitas nyeri, perawatan diri sendiri, mengangkat, membaca, sakit kepala, konsentrasi, status bekerja, mengemudi, tidur dan rekreasi. (Vernon, 1991) Penilaian neck disability index dinilai dengan menggunakan separately test, dimana score separately memiliki 10 bagian dimana setiap bagian memiliki nilai masing-masing, yang kemudian dijumlahkan dan dapat dicocokan dengan table 2.4 (Fairbanks et al, 2008). Untuk

22 menghitung persentase disabilitas dapat menggunakan rumus di bawah ini. Rumus: Nilai Pasien Jumlah Kuisioner penilaian terisi X 5 X 100 = % DISABILITY Tabel 2.3 Hasil score NDI (Vernon, 1991) Score Disabilitas dalam % Level Disabilitas 0 4 0 10 % Bukan disabilitas 5 14 10 28 % Mild 15 24 30 48 % Moderat 25 34 56 68 % Severe Diatas 34 Diatas 60 % Komplit 2.4.2 Mekanisme timbulnya disabilitas leher pada sindroma miofasial otot upper trapezius Disabilitas umumnya disebabkan karena pasien enggan menggerakan bagian yang nyeri, sehingga berada pada posisi immobilisasi akibatnya otot akan menjadi kontraktur. Terbentuk taut band dan trigger point. Serabut saraf terjadi peningkatan mekanisme refleks segmental dan supra segmental seperti adanya spasme otot, hiperaktivitas vasomotor dan glandular, penurunan ambang rangsang nyeri dan peningkatan kecepatan konduksi saraf serta terjebaknya reseptor saraf tipe Aδ dan C akibat tekanan jaringan fibrous sehingga menimbulkan tenderness lokal dan nyeri rujukan.

23 Jaringan miofasial dalam keadaan immobilisasi, maka terjadi perubahan substansi dan serabut kolagen, protein dan karbohidrat kompleks dalam substansia dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel tak terbentuk yang dikenal sebagai glikoaminoglikan. Immobilisasi viskositas matrix akan berkurang dan bagian terbesar dari substansia dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen saling berdempetan, ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen lain menurun hingga pada ambang kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk ikatan menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena serabut kolagen dan lapisan fascia kehilangan pelumas, menyebabkan molekul dari lembaran fascia ternyata terikat bersama-sama. Keadaan immobilisasi dari jaringan miofasial ini banyak disebabkan oleh ergonomik kerja yang jelek, dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblast dan banyak kolagen membuat ikatan tali (cross link). Cross link kolagen secara fisiologis timbul perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan, akibatnya menurunkan jarak kritis pada area ini. Di samping itu aliran darah pada area akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia sehingga mencetuskan timbulnya disabilitas fungsi leher.

24 2.4.3 Patologi Fungsional Patologi fungsional sebagai akibat adanya patologi sindroma miofasial sehingga menimbulkan disabilitas leher, meliputi body fucntion/structure impairment, activity limitation dan participation retriction yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Impairment pada level anatomik berupa inflamasi dan adhesi pada miofasial, spasme serta taut band pada serabut otot. Impairment akan menimbulkan impairment secara fisiologis atau kinesiologis berupa nyeri, keterbatasan gerak leher dan pundak, posture kepala yang ke depan /Forward head posture. (WHO, 2012) 2.4.3.1 Body structures impairment Body structures impairment atau problematik anatomik pada penderita sindroma miofasial otot upper trapezius yaitu adhesi pada miofasial, spasme otot, taut band pada serabut otot, tendernes, trigger points/tender point. (Cantu, et al., 2001) 2.4.3.2 Body functions impairment Problematik fisiologis pada penderita miofasial otot upper trapezius antara lain: hipomobilitas sendi cervikal yaitu keterbatasan ROM lateral leher, ekstensi leher dan elevasi scapula, serta hipertonus jaringan kontraktil sendi leher. (Kisner, et al., 2012)

25 2.4.3.3 Activities limitation Activity limitation sebagai akibat dari functional impairment, antara lain tidak mampu duduk lama di depan komputer, tidak mampu menyetir mobil, tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, tidak mampu perawatan diri misal mandi dan berpakaian, tidak dapat mengangkat dan membawa beban berat, mengalami kesulitan melakukan pekerjaan dengan duduk lama. (Chabra, et al., 2008) 2.4.3.4 Participation restrictions Participation retriction sebagai akibat dari Activity limitation, antara lain berupa hambatan di dalam bekerja di kantor, terganggunya untuk berolah raga, hambatan melakukan aktivitas sosial di lingkungan sosialnya. (Chabra, et al., 2008) 2.5 Assessmen dan Diagnosa Fisioterapi pada kasus Sindroma Myofasial Istilah sindroma miofasial sering disamakan dengan patologi muskuloskeletal lainnya sepeti fibromyalgia ataupun myalgia. Hal ini dikarenakan adanya kondisi dan gejala yang hampir sama. Oleh karena itulah, fisioterapis perlu melakukan assesmen fisioterapi yang meliputi anammesa dan berbagai macam pemeriksaan (inspeksi, pemeriksaan fungsi gerak dasar, quick test, dan tes khusus) agar diagnosa dan pemberian intervensi dapat efektif dan efisien. Proses fisioterapi pada sindroma miofasial otot upper trapezius antara lain :

26 2.5.1 Assessmen 2.5.1.1 Anammesis : a) Perasaan tidak nyaman (discomfort): sindroma miofasial otot upper trapezius biasanya menyebabkan nyeri yang menjalar (referred pain) di bagian kepala, leher, mid back, scapula, serta pectoral girdle. b) Waktu, lokasi, dan penyebab c) Sifat keluhan: nyeri tajam, nyeri menjalar, nyeri gerak/diam, terasa lemah, bengkak, dan sebagainya d) Sudah pernah ke dokter dan bagaimana pendapat dokter? e) Hasil pemeriksaan : laboratorium dan radiologi 2.5.1.2 Pemeriksaan miofasial a) Palpasi tonus otot dan kelenturan otot b) Tenderness: dengan menekan dengan ujung jari pada area tertentu berdasarkan keluhan penderita. c) Kontraktur lokal dapat dipalpasi sambil menggerakkan jaringan sendi tersebut (temuan teraba taut band tanpa nyeri atau sedikit nyeri) 2.5.2 Diagnosa Gangguan mobilitas sendi, motor function, dan kinerja otot upper trapezius akibat sindroma miofasial.

27 2.5.3 Rencana fisioterapi 2.5.1.1 Jangka pendek : a) Menghilangkan nyeri dan spasme/ tightness. b) Menurunkan tingkat disabilitas leher. 2.5.1.2 Jangka panjang: mengembalikan aktivitas fungsional pasien seperti sedia kala. 2.5.4 Intervensi fisioterapi: terapi ultrasonik, INIT dan MRT. 2.5.5 Evaluasi: pengukuran disabilitas leher dengan menggunakan 2.6 Terapi ultrasonik 2.6.1 Pengertian terapi ultrasonik Terapi ultrasonik adalah modalitas fisioterapi dengan menggunakan mekanisme getraran dari gelombang suara ultrasonik yang menghasilkan energi mekanik dengan frekuensi 1 MHz dan 3 MHz (Prentice, 2002). Intensitas terapi ultrasonik merupakan rata-rata energi yang dipancarkan tiap unit area, dan dinyatakan dalam watt per sentimeter persegi (W/cm²). Sedangkan power output ialah total output dari tranducer yang dinyatakan dalam watt (W). Umumnya intensitas untuk terapi ultrasonik ini berkisar antara 0 s.d 5 W/cm². Pemberian terapi ultrasonik dengan intensitas tinggi dapat mengakibatkan terjadinya unstable cavitation ataupun mikrotrauma jaringan (Watson, 2015)

28 Gambar 2.8 Diagram Kalkulasi Dosis Terapi Ultrasonik (Watson, 2015) 2.6.2 Fisika dasar pada terapi ultrasonik 2.6.2.1 Effective Radiating Area (ERA) merupakan permukaan transducer yang memancarkan gelombang ultrasonik. Besarnya ERA mempengaruhi dosis pemberian ultrasonik. 2.6.2.2 Beams Non Uniformity Ratio (BNR) adalah gejala interferensi yang tidak homogen. BNR tidak bisa dihilangkan sama sekali. Nilai yang dibenarkan adalah 4 sampai 6 kali intensitas output.

29 2.6.3 Efek terapi ultrasonik 2.6.3.1 Efek Mekanik Gelombang ultrasonik pada saat diserap oleh jaringan tubuh akan menyebabkan kompresi dan regangan dengan gaya maksimal 4 Bar dalam jaringan tubuh dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi dari gelombang ultrasonik yang masuk tadi. Oleh karena itu terjadi variasi tekanan dalam jaringan sehingga menghasilkan efek mekanis yang besar sekali di dalam jaringan tubuh, yang dikenal dengan istilah micromassage. (Prentice, 2002) Secara khusus efek micromassage yang ada menyebabkan pelepasan struktur sel mikroskopis, friksi pada jaringan yang menyebabkan efek panas, osilasi partikel pada medium air, dan massage intraseluler. 2.6.3.2 Cavitasi Cavitasi adalah pembentukan gelembung gas yang mengembang dan mengerut akibat dari perubahan tekanan yang distimulasi secara ultrasonik dalam cairan jaringan. Efek terapeutik ultrasonik hanya didapatkan dari efek cavitasi yang stabil dimana meletusnya gelembung dianggap dapat meningkatkan tekanan jaringan dan meningkatkan suhu

30 jaringan yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan lokal. (Prentice, 2004) 2.6.3.3 Acoustic Microstreaming Acoustic microstreaming adalah gerakan searah dari cairan sepanjang batas membran sel yang dihasilkan dari tekanan mekanik gelombang pada medan ultrasonik. Microstreaming menghasilkan tekanan kekentalan yang tinggi yang dapat mengubah struktur dan fungsi membran sel sehingga terjadi perubahan permeabilitas membran sel terhadap ion calcium dan ion sodium yang penting dalam proses penyembuhan sehingga akan mempercepat proses penyembuhan jaringan. 2.6.3.4 Efek Termal (Panas) Beberapa medium yang terpapar gelombang ultrasonik akan mengalami peningkatan suhu. Tingkat panas yang dihasilkan di dalam jaringan tergantung kepada frekuensi generator mesin ultrasonik, lamanya terpapar, kemampuan penyerapan dari jaringan tersebut dan refleksi yang terjadi di permukaan jaringan dan juga penyebaran dari gelombang suara tersebut. Namun demikian efek termal pada terapi ultrasonik

31 pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang diperoleh hanya 1 (satu) menit pada tiap-tiap jaringan. 2.6.3.5 Efek Piezoelectric Efek piezoelectric adalah suatu efek yang dihasilkan apabila bahan-bahan piezoelectric seperti kristal kwarts mendapat pukulan atau tekanan sehingga menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik pada sisi luar bahan piezoelectric tadi. Gambar 2.9 Efek piezoelectric pada ultrasonik (Watson, 2015) 2.6.4 Mekanisme penurunan disabilitas leher pada sindroma miofasial upper trapezius melalui terapi ultrasonik Pada prinsipnya penggunaan terapi ultrasonik yaitu bertujuan membuat proses radang melalui stimulus nociceptor Aδ dan C oleh adanya pengrusakan struktur jaringan akibat pengaruh mekanik dan heating yang dihasilkan oleh gelombang ultrasonik. Dari reaksi radang yang terjadi diharapkan reaksi radang yang fisiologis sehingga setelah itu diikuti dengan proses reparasi.

32 Efek mekanik pada terapi ultrasonik akan menimbulkan micromassage sehingga dapat mengenai taut band dan melepaskan abnormal cross link yang ada pada fascia dan serabut otot yang kemudian akan mengurangi iritasi serabut saraf Aδ dan C, sehingga nyeri regang akan berkurang. Efek heating akan memberikan efek sedative sehingga memberikan perasaan nyaman dan mengurangi nyeri 2.6.5 Prosedur penerapan terapi ultrasonik a. Persiapan alat Siapkan mesin ultrasonik dan jelly sebagai media penghantar, pastikan tidak ada kerusakan pada kabel-kabel yang terpasang. Atur jarak alat dengan tempat terapi pasien, usahakan agar alat tidak terjangkau oleh pasien. b. Persiapan pasien Jelaskan pada pasien mengenai prosedur dan tujuan dari pemberian terapi ultrasonik. Area pada otot upper trapezius yang akan diterapi harus bebas dari pakaian dan bahan metal. Perhatikan sensasi dan temperatur kulit. Atur posisi pasien sesuai dengan daerah tubuh yang akan diterapi, yaitu dengan posisi duduk di kursi. Pastikan pasien merasa nyaman dengan posisi tersebut.

33 c. Teknik Aplikasi Nyalakan alat, siapkan transduser ultrasonik yang besar (5cm), beri jelly sesuai area yang akan diterapi. Atur waktu terapi sesuai dengan luas permukaan. Gerakan dengan arah longitudinal pada area yang diterapi. d. Penentuan Dosis Frekuensi : 3mHz Intensitas : 2 watt/cm 2 Time : 1 menit/cm 2 Type : continues Repetisi : 6 kali terapi dengan 3x/minggu 2.7 Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) 2.7.1 Definisi Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) merupakan teknik yang menggabungkan kombinasi ischemic compression, strain counter strain dan muscle energy technique yang efektif untuk melepas nyeri pada sindroma miofasial. INIT dapat digunakan untuk memanjangkan atau mengulur struktur jaringan lunak seperti otot, fascia, tendon, dan ligamen yang mengalami pemendekan secara patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi, pemendekan otot dan mengurangi nyeri akibat spasme. (Chaitow, 2006)

34 Ketika INIT diberikan pada otot maka komponen actin dan myosin dan tegangan otot akan mengalami peningkatan ketegangan, sarkomer memanjang. Sarkomer berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi otot. Ketika otot mengalami suatu kontraksi, maka filamen actin dan myosin akan berhimpit dan otot akan memendek. Sedangkan ketika otot mengalami fase relaksasi maka otot akan mengalami pemanjangan. Ketika terjadi penguluran, maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu dalam posisi normal yang dihasilkan oleh sarkomer. Ketika penguluran terjadi, serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur akan diubah posisinya sehingga posisinya akan menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Adanya penguluran pada serabut otot dapat memulihkan jaringan parut untuk dapat kembali normal (Nagrale, et al., 2000) 2.7.2 Aplikasi INIT Teknik pertama yang diterapkan yaitu ischemic compression, pasien diposisikan dalam posisi duduk, pemeriksa berdiri di belakang pasien, setelah pemeriksa menemukan trigger points pada otot upper trapezius, kemudian pemeriksa memberikan penekanan kepada daerah ditemukannya trigger points tersebut. Tekanan yang diberikan awalnya ringan hingga meningkat.tekanan dipertahankan hingga jaringan penghalang terlepas. Kemudian tekanan kembali diterapkan, proses ini

35 diulang hingga ketegangan/nyeri tidak lagi dirasakan pasien. Ischemic compression dilakukan selama 90 detik dan diikuti oleh penerapan Strain counter strain. Strain counter strain dimulai dari mengidentifikasi trigger point yang ada di otot. Setelah trigger point didapatkan kemudian dilakukan penekanan pada area tersebut dan posisikan pasien kedalam posisi yang nyaman setidaknya akan terjadi penurunan nyeri sekitar 70% dalam posisi tersebut. Terapis berdiri di belakang pasien dengan satu tungkai fleksi lutut 90 o untuk menyanggah lengan pasien yang diabduksikan secara pasif sekitar 90 o, dan gerakkan cervical secara pasif kearah sedikit lateral fleksi kearah titik nyeri. Pada saat memposisikan pasien ke dalam posisi yang paling nyaman, tekanan pada tender point harus tetap dilakukan. Pertahankan posisi nyaman yang maksimal dari pasien selama 90 detik. Waktu 90 detik adalah nilai ambang minimal untuk koreksi optimal dari suatu lesi/gangguan. Selama waktu tersebut pasien harus merasa relaks. Seringkali pasien harus diingatkan untuk mempertahankan posisi relaks tersebut untuk melepaskan ketegangan yang terjadi pada otot. Setelah 90 detik, secara perlahan kembalikan posisi pasien kedalam posisi netral Setelah diaplikasikan strain counter strain, maka pasien akan diaplikasikan metode muscle energy technique. Pasien dalam posisi duduk, tangan pemeriksa memfiksasi bagian bahu yang terkena dan

36 tangan satunya pada daerah telinga/ mastoid. Kemudian kepala dan leher diposisikan ke arah kontralateral, fleksi dan rotasi, pasien diinstruksikan untuk mengangkat bahu pada area yang teridentifikasi, pasien melakukannya tanpa disertai rasa sakit, usaha yang dilakukan pasien 20% dari kekuatan yang ada dan upaya isometrik ini dilakukan selama 8 detik. Selanjutnya dilanjutkan dengan stretch dengan arah kontralateral, fleksi, rotasi masing-masing dipertahankan selama 30 detik. (Nayak, 2013) 2.7.3 Mekanisme Penurunan disabilitas leher akibat sindroma miofasial dengan intervensi INIT Pada sindroma miofasial terdapat adanya taut band dalam serabut otot. Adanya taut band dapat terjadi penurunan kemampuan ekstensibilitas dan fleksibilitas yang dapat membuat otot tidak bisa berkontraksi dan relaksasi secara efisien yang dapat membuat penurunan kekuatan dan daya tahan tubuh. Di antara berbagai otot-otot daerah leher, upper trapezius adalah lebih rentan untuk mengembangkan titik pemicu karena overload terus menerus dan mikro-trauma sebagai memiliki fungsi anti-gravitasi minimal, yang menyebabkan sindroma miofasial. Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique merupakan kombinasi antara ischemic compression, strain counter strain, dan muscle energy technique (MET).

37 Ischemic compression merupakan teknik terapi manual yang sering digunakan untuk menonaktifkan trigger points. Teknik ini menerapkan tekanan langsung yang berkelanjutan dengan kekuatan cukup selama durasi waktu 90 detik. Ischemic compression berfungsi untuk memperlambat pasokan darah dan meredakan ketegangan otot. Pengurangan nyeri selama pemberian ischemic compression dapat disebabkan oleh adanya stimulasi dari mechanoreceptors yang mempengaruhi rasa sakit. Setelah dilakukan penekanan maka akan terjadi peningkatan sirkulasi darah dan nyeri akan berkurang. Strain counter strain akan mencapai manfaatnya melalui spindle otot yang mampu memanjangkan jaringan. Pada saat posisi tubuh dalam posisi nyaman, maka jaringan akan mencapai posisi dimana rasa sakit akan menghilang dari titik yang teraba. (Nayak, 2013) MET adalah metode yang umum digunakan untuk menginhibisi otot sebelum dilakukan peregangan. Pendekatan ini menggunakan kontraksi isometrik pada otot yang terkena dengan memproduksi relaksasi pascaisometrik melalui pengaruh badan golgi tendon (penghambatan autogenik). Hal ini juga dapat diterapkan untuk kelompok otot antagonis yang memproduksi inhibisi timbal balik dalam otot agonis. Dengan kombinasi antara ischemic compression, strain counter strain dan muscle energy technique yang disebut dengan INIT secara

38 efektif mampu mengobati sindroma miofasial dan masing-masing komponennya telah terbukti efektif untuk mengurangi rasa sakit dan kekakuan pada sindroma miofasial. INIT merupakan salah satu usaha untuk mengembalikan panjang dan fleksibilitas otot. Otot yang mengalami pemanjangan akan mempengaruhi sarcomer dan fascia dalam myofibril otot untuk memanjang. Pemanjangan sarcomer dan fascia akan mengurangi derajat overlapping antara thick and thin myofilamen dalam sarcomer sebuah taut band otot yang mengandung trigger point. (Chaitow, 2006) Pengurangan overlapping antara dua myofilamen akan mempengaruhi pelebaran pembuluh kapiler otot sehingga sirkulasi darah akan lancar, mengurangi penumpukan sampah metabolisme, meningkatkan nutrisi dan oksigen pada sel otot dan mencegah adanya muscle fatique. INIT akan mengurangi nyeri dan mempengaruhi golgi tendon organ otot yang terletak di tendon berdekatan dengan serabut saraf. (Chaitow, 2006) 2.8 Myofascial Release Technique 2.8.1 Definisi Myofascial Release Technique merupakan salah satu metode soft tissue mobilization yang efektif untuk treatment pada struktur myofascial (otot, tendon, ligament dan jaringan ikat). MRT difokuskan pada jaringan

39 lunak yaitu fascia dan otot, berperan untuk memberikan regangan atau elongasi pada struktur otot dan fascia dengan tujuan yaitu untuk mengembalikan kualitas cairan atau lubrikasi pada jaringan fascia, mobilitas jaringan fascia dan otot, dan fungsi sendi normal (Riggs and Grant, 2009). Myofascial release technique dapat digunakan untuk mengurangi nyeri muskulosceletal karena adanya teori yang dapat menjelaskan hal tersebut. Teori yang dimaksud yaitu gate control theory, interpersonal attention, parasympathetic respon pada saraf otonom, dan pelepasan serotonin (Werenski, 2011). Gate Control Theory menyatakan bahwa adanya rangsangan sensorik, seperti tekanan, perjalanan jalur sistem saraf akan bergerak bebih cepat pada sistem saraf daripada stimulasi nyeri. Stimulasi tekanan akan berpengaruh pada transmisi rasa nyeri yang menuju otak, sehingga terjadi penutupan pintu gerbang yang menuju pada reseptor rasa nyeri di otak (Werenski, 2011). Ketika pasien menerima suatu sentuhan atau pijatan seringkali mendapatkan efek yang menyenangkan sekaligus mampu untuk menurunkan persepsi nyeri. Hal ini berkaitan dengan adanya respon parasimpatis yang dapat menurunkan pelepasan hormon stress, kecemasan, depresi dan rasa sakit (Paloni, 2009). Myofascial release technique memfokuskan pada kondisi-kondisi yang berkaitan dengan kebiasaan postural yang jelek, aktivitas spesifik

40 atau kurangnya aktivitas, injury yang sebelumnya akibat dari mekanikal stress kronik. Kondisi tersebut dapat menghasilkan kontraktur otot dan adhesion diantara lapisan-lapisan fascia. Fascia membentuk struktur pasif pada jaringan tubuh, adanya adhesion menyebabkan serabut fascia saling terikat satu sama lain secara disfungsional (Riggs, et al., 2009). 2.8.2 Manfaat Myofascial Release Technique Manfaat utama yang dapat diperoleh dari myofascial release yaitu untuk meningkatkan kebebasan gerak dan mengurangi rasa sakit akibat adanya pembatasan dari suatu jaringan, menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan, meningkatkan proprioception dan interoception, meningkatkan fungsi jangkauan gerak sendi dan otot, memulihkan keseimbangan dan postur tubuh yang benar (Duncan, 2014) 2.8.3 Efek Myofascial Release Technique Menurut Cantu and Grodin (Cantu, et al., 2001) efek-efek yang dapat ditimbulkan dari pemberian myofascial release technique yaitu: a. Efek terhadap aliran darah dan temperatur Ketika otot diberikan myofascial release, maka akan terjadi peningkatan aliran darah secara signifikan dan bertahan selama 30 menit. Kemudian setelah 30 menit akan terjadi penurunan aliran darah. Tekanan yang dihasilkan oleh myofascial release technique dapat membuka kapiler-kapiler darah sehingga terjadi proses vasodilatasi

41 pembuluh darah sehingga aliran darah meningkat. Reaksi kapiler berdilatasi oleh stimulus tersebut (myofascial release technique) akan diikuti oleh peningkatan temperatur cutaneous. b. Efek terhadap Metabolisme Pemberian myofascial release technique dapat meningkatkan volume dan aliran darah pada area tersebut dan membuang sisa-sisa metabolisme yang berlebihan selama pemberian myofascial release technique sehingga terjadi penurunan nyeri c. Efek terhadap aktivitas fibroblastik atau sinthesis collagen Myofascial release technique dapat menghasilkan mobilisasi pada jaringan lunak dimana gerakan yang terkontrol dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Jaringan lunak tubuh dapat dibangkitkan melalui gaya internal dan gaya eksternal. Tanpa adanya stress pada jaringan tersebut maka kekuatan regangan akan menurun. Beberapa ahli telah mengobservasi efek gerakan terhadap aktivitas fibroblastic dalam proses penyembuhan jaringan konektif, dimana jaringan fibril membentuk hampir seluruh jaringan yang regenerasi. Adanya gaya eksternal dapat menyusun jaringan fibril yang terbentuk. 2.8.4 Aplikasi Myofascial Release Technique Dalam myofascial release technique terdapat beberapa teknik yaitu teknik general, skin rolling, direct technique, dan lifting atau rolling.

42 Dalam penelitian ini hanya dijelaskan direct technique. Pada direct technique terapis menggunakan lengan bawah, kedua palmar tangan, atau suatu permukaan yang kasar. Perlu diingat bahwa penting melakukan stretch yang cepat pada fascia baik dengan menggunakan posisi tubuh untuk memanjangkan komponen fascia (meletakkan jaringan dalam posisi cukup stretch untuk memanjangkan otot tanpa adanya ketegangan yang dapat menyebabkan kesulitan penetrasi) atau dengan menggunakan anchor pada satu tangan dan tangan lain melakukan stretch secara terlokalisir (Riggs, et al., 2009). Kemudian otot diposisikan sepanjang mungkin sehingga receptor stretch akan terstimulasi dan menyebabkan otot berkontraksi. Hal ini menguntungkan bagi terapis didalam memulai teknik pada akhir lingkup gerak dimana jaringan fascial ter-stretch. Ditambah lagi dengan adanya pembebasan hambatan yang terjadi pada akhir gerak stretch yang relaks dapat memberikan input neurologik yang bermakna terhadap receptor stretch sehingga membantu reprogram learning terhadap disfungsi pemendekan (Riggs, et al., 2009). 2.8.5 Mekanisme Penurunan Disabilitas Leher Akibat Sindroma Miofasial Melalui Myofascial Release Technique MRT dapat mempengaruhi proses metabolik, termasuk tandatanda vital dan hasil sisa-sisa metabolisme tubuh. MRT tidak

43 mempengaruhi basal, tetapi peningkatan volume darah dan aliran darah pada area tersebut dapat menyebabkan area tersebut membuang sisa-sisa metabolisme yang berlebihan selama pemberian MRT sehingga terjadi penurunan nyeri yang berakibat menurunnya disabilitas leher sehingga aktivitas kehidupan sehari-hari seperti nyeri kepala, membaca, bekerja, rekreasi, konsentrasi tidak terganggu. MRT dapat merangsang sirkulasi pada area tubuh yang dimassage, kemudian secara refleks membuka jalur sirkulasi ke regio tubuh lainnya. Peningkatan sirkulasi tersebut bersifat sekunder dari ketegangan mekanikal yang diciptakan oleh MRT dimana langsung merangsang jaringan tersebut. Mekanikal friction yang dihasilkan oleh MRT dapat merangsang struktur-struktur didalam jaringan konektif khususnya sel mast. Apabila sel mast dirangsang maka akan menghasilkan histamin, dimana histamin sebagai vasodilator akan meningkatkan aliran darah ke area yang diobati dan ke area lain yang menerima histamin melalui aliran darah. Peningkatan permeabilitas kapiler dan venule dapat menghasilkan diffusi yang lebih cepat dan lebih komplit untuk membuang produk sisa-sisa metabolisme dari jaringan ke darah.