1 Fenomena prokrastinasi sudah ada sejak lama dan terus berlanjut di era modern saat ini. Di Perguruan Tinggi, 80-95% dari mahasiswa melakukan prokrastinasi dan 50 % mahasiswa melakukan prokrastinasi kronis (Day, Mensink & O Sullivan 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Klassen, Krawchuk dan Ranjani (2007) menunjukkan bahwa 57 % mahasiswa melakukan prokrastinasi selama 3 jam atau lebih setiap harinya. Penelitian Negara (2013) juga menunjukkan bahwa prokrastinasi mahasiswa tergolong tinggi, yaitu sebesar 33,3% pada mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir. Hal ini menunjukkan bahwa prokrastinasi yang dilakukan mahasiswa tergolong tinggi. Prokrastinasi merupakan permasalahan yang dihadapi mahasiswa dan memiliki prediksi yang tinggi terhadap prestasi akademik (Klassen, dkk, 2007). Prokrastinasi merupakan penundaan tugas yang dilakukan melebihi batas waktu yang telah ditentukan dan memiliki pengaruh yang buruk akibat penundaan tersebut. Prokrastinasi di lingkungan akademik memiliki konsekuensi negatif yaitu; hilangnya waktu, stres yang semakin tinggi, nilai rendah, kesehatan semakin menurun dan menurunkan harga diri (Hoover, 2005). Solomon dan Rothblum (1984) mendefinisikan prokrastinasi akademik sebagai penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan dengan bidang akademik misalnya tugas kuliah atau kursus. Prokrastinasi merupakan kecendrungan untuk menangguhkan atau menunda mengerjakan tugas yang berhubungan dengan studi seseorang sehingga tidak bisa menyelesaikan tugas pada waktunya. Seseorang yang menunda-nunda akan selalu atau hampir selalu mengalami kecemasan yang mengganggu pengerjaan tugasnya.
2 Orang yang melakukan prokrastinasi disebut dengan prokrastinator. Dalam ranah akademik, prokrastinator melakukan penundaan tugas-tugas akademik seperti mempersiapkan ujian, mengerjakan pekerjaan rumah dan menulis laporan tugas akhir (Solomon & Rothblum, 1984). Ferrari, Jhonson, & Mc. Cown (1995) membagi prokrastinasi ke dalam 4 aspek, antara lain; (1) penundaan tugas untuk memulai maupun menyelesaikan tugas yang dihadapi, (2) keterlambatan dalam menyelesaikan tugas, (3) kesenjangan antara rencana dan kinerja aktual (4) melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan. Solomon dan Rothblum (1984) mengemukakan area-area akademik yang prokrastinasi. Mahasiswa sering melakukan penundaan di enam area akademik, yaitu; (1) menulis; meliputi penundaan pelaksanaan kewajiban pada area menulis seperti membuat makalah, tugas akhir atau tugas mengarang lainnya, (2) belajar; meliputi belajar menghadapi ujian yang meliputi penundaan belajar ketika menghadapi ujian tengah semester dan ujian akhir semester, (3) tugas membaca; menunda membaca buku, jurnal atau refrensi yang berkaitan dengan tugas akademik, (4) tugas administratif; meliputi mendaftarkan diri dalam presensi, daftar praktikum dan mengembalikan buku ke perpustakaan, (5) menghadiri pertemuan akademik; penundaan atau keterlambatan menghadiri kuliah, praktikum, dsb, (6) kinerja akademik keseluruhan; meliputi menunda mengerjakan tugas-tugas akademik secara keseluruhan. Area akademik di atas nantinya paling banyak berpengaruh pada penyelesaian tugas akhir mahasiswa. Solomon dan Rothblum (1984) bahkan membuat alat ukur yang bernama
3 Procrastinaton Assessment Scale for Students yang mengukur frekuensi dari prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Penelitian yang dilakukan oleh Onwuegbuzie (2004) menunjukkan bahwa 40-60 % mahasiswa mengalami prokrastinasi dalam hal menulis laporan, 41,5 % menunjukkan prokrastinasi untuk membaca literatur dan 18,8 % dalam penyelesaian tugas-tugas yang lain. Tingginya prokrastinasi mahasiswa dalam menulis tersebut membuat pengerjaan tugas akhir membutuhkan waktu yang lama dalam penyelesaiannya. Mahasiswa juga menjadi terlambat untuk lulus bahkan terancam drop out. Dalam hal ini, Solomon dan Rothblum (1984) menyebutkan beberapa ciri-ciri prokrastinator, yaitu; menunda sampai menit terakhir untuk melakukan aktivitas pengerjaan ataupun penyelesaian tugas serta memunculkan masalah bagi dirinya seperti munculnya perasaan tidak nyaman secara emosional, cemas dan merasa bersalah. Perasaan tersebut dirasakan secara subyektif oleh prokrastinator. Ferrari, dkk (1995) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan prokrastinasi akademik. Faktor faktor tersebut adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kondisi fisik dan psikologis individu. Kondisi fisik yang sering lelah cenderung menjadi faktor bagi individu untuk melakukan prokrastinasi. Adapun faktor psikologis yang dapat menyebabkan prokrastinasi antara lain; rendahnya motivasi, perfeksionisme, efikasi diri serta kecemasan. Disisi lain, faktor eksternal yang mempengaruhi prokrastinasi adalah tugas yang terlalu banyak dan menuntut
4 penyelesaian dalam waktu yang hampir bersamaan, pola asuh orang tua dan kurangnya dukungan dari significant others Ritongan (2012) juga melakukan penelitian secara kualitatif terkait faktorfaktor yang menyebabkan prokrastinasi. Ia membagi penyebab prokrastinasi kedalam dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain; mahasiswa merasa kurang yakin akan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi tantangan dalam pengerjaan skripsi, merasa takut untuk gagal serta merasa kurang mendapat dukungan sosial baik dari dosen maupun teman seangkatannya. Dalam hal ini, mahasiswa mengharapkan dukungan untuk mendapatkan jadwal bimbingan dan arahan dalam membantu meningkatkan pemahaman serta mendapat kesempatan ujian proposal sampai skripsi. Disisi lain, faktor eksternal yang mendaji penyebab prokrastinasi adalah rendahnya dukungan lingkungan sosial terhadap mahasiswa. Schraw, Wadkins dan Olafson (2007) juga menggolongkan prokrastinasi menjadi tiga bagian berdasar faktor penyebabnya, yaitu; (1) faktor tugas yang meliputi rendahnya latar belakang pengetahuan mahasiswa dan tingkat kesulitan tugasnya, (2) faktor dari dalam diri yaitu minat dan kemampuan mengatur diri serta (3) faktor pengajar yaitu kejelasan harapan terhadap materi dan penilaian tugasya. Tugas akhir di perguruan tinggi disebut dengan skripsi. Proses pengerjan skripsi biasanya dikerjakan selama dua semester dan diambil saat duduk di semester 7 atau 8. Akan tetapi, tidak semua mahasiswa mampu menyelesaikan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Ritongan (2012) menuliskan hambatan-hambatan yang dirasakan mahasiswa dalam pengerjaan skripsi.
5 Hambatan - hambatan tersebut menyebabkan mahasiswa membutuhkan waktu yang lama dalam pengerjaan skripsinya. Ia menyebutkan jenis hambatan tersebut antara lain; kesulitan mencari topik penelitian, kesulitan menulis secara ilmiah, kesulitan mendapatkan buku refrensi yang dirujuk, sulit melakukan analisis terhadap data penelitian, sulit mendapatkan dukungan dosen pembimbing dan teman serta sulit menyesuaikan diri terkait proses penulisan skripsi yang berlaku di institusi. Pada kasus-kasus yang diperoleh saat PKPP menunjukkan beberapa mahasiswa masih belum menyelesaikan skripsinya dalam dua semester. Hal ini memperpanjang masa studi mereka. Penundaan pengerjaan skripsi yang mereka lakukan juga menunda kelulusan yang mana saat dilakukan pemeriksaan psikologis berada pada semester 10-14 (Afiati, 2016; Anindita, 2015; Ariani, 2015; Khoirot, 2015; Utami, 2014; Sari, 2015; Sukvadewi, 2015). Dari data diperoleh bahwa penundaan pengerjaan skripsi disebabkan adanya ketidakyakinan akan kemampuan yang dimiliki, tidak yakin akan hasil atas usaha yang dilakukan, kurangnya pemahaman atas sistematika penulisan skripsi, kurang mamp mengatur diri dalam pengerjaan tugasnya serta melakukan aktivitas lain yang dirasa lebih menyenangkan daripada skripsi. Untuk bisa berhasil di perguruan tinggi dengan mencapai prestasi akademik yang tinggi, mahasiswa perlu mengembangkan cara belajar yang efektif. Saat belajar di perguruan tinggi, mahasiswa memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai gaya hidup dan nilai yang berbeda, dan menikmati lebih banyak kebebasan dari pengawasan orangtua (Santrock, 2003). Kebebasan dan
6 waktu yang lebih banyak dengan teman sebaya mempengaruhi keterlibatan mereka dalam kegiatan akademiknya (Closson & Bautiler, 2017). Oleh karena itu, mahasiswa perlu mengatur dirinya sendiri agar mampu mencapai tujuan yang ingin dicapai di Perguruan Tinggi (Pintrich, 2004). Akan tetapi, tidak semua mahasiswa mampu melakukan regulasi diri yang berakibat pada penundaan pengerjaan tugasnya. Efek dari penundaan tersebut berdampak pada penyelesaian tugas yang tidak tepat waktu, pemahaman materi yang kurang mendalam serta prestasi belajar yang kurang optimal (Corkin, 2011). Hal inilah yang terjadi pada mahasiswa yang menyelesaikan skripsinya melebihi dua semester. Berdasarkan Praktik Kerja Profesi Psikologi (PKPP) yang dilakukan oleh Afiati (2016) dan Sukvadewi (2015) didapatkan hasil bahwa mahasiswa melakukan penundaan pengerjaan skripsi mengalami kecemasan akibat penundaan tugasnya tersebut. Untuk mengurangi kecemasan tersebut, mahasiswa melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan dengan bekerja, aktif di media sosial serta komunitas hobinya. Penundaan pengerjaan skripsinya tersebut berdampak pada lamanya waktu pengerjaan serta mengalami kesulitan untuk memulai kembali pengerjaan skripsinya karena muncul kecemasan. Untuk mengurangi kecemasan tersebut, mahasiswa melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan yaitu; aktif di media sosial dengan menggunakan facebook (Przepiorka, 2016; Meier, 2016) dan menggunakan internet seperti online game (Yeh, dkk, 2017) padahal disaat yang sama mereka harus segera menyelesaikan tugasnya (Lavoe & Pychil, 2001).
7 Prokrastinasi menjadi penting untuk diperhatikan oleh dunia pendidikan karena perilaku menunda-nunda cenderung memiliki dampak yang negatif bagi pelakunya baik mempengaruhi psikologis maupun pencapaian akademisnya. Dampak negatifnya yaitu, waktu yang terbuang, kesempatan yang hilang dan prestasi akademik yang rendah. Selain itu, prokrastinasi dapat mengakibatkan rasa bersalah, marah dan mendatangkan stress (Ferrari, dkk, 1995). Penelitian lain juga menunjukkan konsekuensi dari prokrastinasi akademik yaitu rendahnya prestasi, tingginya ketidakhadiran kuliah dan putus sekolah (Knaus, 2000). Wilson (2012) juga menyatakan bahwa prokrastinasi akademik membawa konsekuensi konkrit dan konsekuensi emosional. Konsekuensi konkrit meliputi tenggat waktu yang tidak terkejar, hilangnya kesempatan, mengurangi pendapatan, rendahnya produktivitas dan waktu yang menjadi sia-sia serta kehilangan kerjasama dengan orang lain. Kosekuensi moral, stres yang meningkat, rasa frustasi dan motivasi yang rendah. Prokrastinasi merupakan perilaku yang tidak logis serta tidak berorientasi pada tujuan serta merupakan akibat dari ketidakmampuan individu dalam meregulasi dirinya untuk belajar (Fernie, Bharucha, Nikcevic, Marino, & Spada, 2016). Hal ini sejalan dengan hasil laporan PKPP oleh Utami (2014) yang menyebutkan bahwa keterlambatan mahasiswa dalam menyelesaikan skirpsi dikarenakan tidak memiliki tujuan dalam studi akademisnya. Oleh karena itu, ia kurang antusias, malas dan tidak memiliki strategi dalam penyelesaian tugastugasnya. Mahasiswa pun tidak memiliki target yang ingin dicapainya sehingga penundaan tugas terus dilakukan. Dalam hal ini, mahasiswa tidak memiliki tujuan
8 yang konkrit dan abstrak, menentukan tujuan yang spesifik serta usaha-usaha yang perlu dikembangkan untuk mencapai tujuan tersebut. Kemampuan regulasi dalam belajar memberi pengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dan berpotensi menurunkan prokrastinasi akademiknya (Grunschel, Schwinger, Steinmayr, & Fries 2016). Regulasi diri dalam belajar merupakan kemampuan untuk mengontrol perilaku dengan melakukan obeservasi, membuat keputusan berdasarkan standar serta memberikan respon. Zimmerman mendefinisikan regulasi diri dalam belajar sebagai proses konstruksi aktif yang mana pembelajar mengatur tujuan, memantau pembelajaran, mengendalikan pengetahuan, motivasi dan perilaku untuk mencapai tujuan belajar (Cetin, 2015). Individu yang memiliki regulasi diri dalam belajar memiliki strategi untuk mengetahui apa yang perlu dipelajari dan kapan harus menyelesaikan tugastugasnya. Individu tersebut mampu mengkombinasikan kemampuan belajar akademik dengan kontrol diri yang membuat proses belajar menjadi lebih mudah (Cetin, 2015). Tidak hanya itu, individu yang mampu meregulasi diri untuk belajar akan mempengaruhi kepribadian, emosi (Eckert, Ebert, Lehr, Sieland, & Berking, 2016) dan efektivitasnya untuk mencapai tujuan. Mahasiswa yang mampu meregulasi dirinya akan memiliki kecemasan yang rendah, kesadaran yang tinggi untuk berupaya mencapai tujuan serta lebih terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru (Dorenbacher & Parels, 2016). Menurut Zimmerman (dalam Cetin, 2015) menyebutkan bahwa regulasi diri dalam belajar memiliki 3 aspek besar yaitu metakognitif, motivasi dan perilaku. Penjabaran aspek-aspek tersebut antara lain: strategi meta kognitif yang meliputi
9 perencanaan, monitoring, evaluasi, mengulang, elaborasi dan organisasi, motivasi yang meliputi efikasi diri, nilai/minat instrinsik terhadap tugas, harapan terhadap hasil atau konsekuensi dan orientasi tujuan serta perilaku yang meliputi pengelolaan waktu dan lingkungan, pengelolaan usaha dan perilaku mencari bantuan. Oleh karena itu, individu yang memiliki regulasi diri dalam belajar akan memiliki kemampuan dalam merencanakan tugasnya, memotivasi dirinya yang berorientasi terhadap tujuan serta mampu melakukan pengelolaan waktu, usaha serta mencari bantuan untuk mencapai tujuannya. Menurut Cetin (2015), Fernie, dkk (2016) mahasiswa yang melakukan prokrastinasi disebabkan karena rendahnya kemampuan untuk melakukan regulasi diri dalam belajar. Akan tetapi, prokrastinasi tidak hanya disebabkan oleh regulasi belajar. Prokrastinasi juga disebabkan karena kognitif individu yang merasa kurang yakin akan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan (Corkin, 2011; Jakesova Jitka, 2014). Berdasarkan data PKPP Anindita (2015), Sari (2015) menyebutkan bahwa mahasiswa yang melakukan prokrastinasi karena adanya ketidakyakinan akan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan perkuliahannya. Mahasiswa merasa gagal dan tidak yakin akan kemampuannya untuk mencapai target yang dibuat. Konsekuensi dari pemikiran tidak mampu tersebut mengakibatkan emosi kesal, marah dan tertekan dan berakibat pada perilaku prokrastinasi dalam mengerjakan skripsi. Pada kasus diatas, mahasiswa menunjukkan efikasi diri akademis yang rendah. Efikasi diri yang rendah dapat meningkatkan kecemasan mahasiswa dan membuat prestasi akademik semakin menurun (Roick & Ringeisen, 2017). Efikasi
10 diri akademik menurut Bandura (dalam Medrano, Kanter, Moretti, & Pereno 2016) merupakan keyakinan siswa untuk bisa meraih kualifkasi tugas yang tinggi, keyakinan siswa untuk menganalisa aksi dan pemikirannya untuk belajar serta kepercayaan diri dalam membawa kompetensi sosial dalam konteks akademik. Dalam hal ini, individu yang memiliki efikasi akademik yang tinggi akan menunjukkan keyakinan dan perilaku yang positif yaitu berhasil menyelesaikan tugas-tugas yang didapatkannya. Individu pun akan memiliki kontrol pada dirinya untuk bisa berhasil pada setiap tugas yang diberikan. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan berusaha lebih dan bertahan terhadap tugas yang sulit daripada orang-orang yang memiliki efikasi diri yang rendah. Mereka lebih memiliki kontrol terhadap lingkungan dan lebih berani untuk mendapatkan pengalaman bahkan pengalaman yang membuatnya gagal. Efikasi diri akademik merupakan keyakinan yang ada dalam diri seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk mencapai tujuan tertentu dengan berhasil melakukan kendali atas keadaan-keaadaan sekitarnya demi mencapai hasil tersebut. Pajers dan Schunk (Schunk, 2012) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan penilaian individu tentang kemampuan untuk mengorganisir dan melakanakan tugas-tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil yang ditentukan. Aspek-aspek efikasi diri akademik menurut Bandura (1997) antara lain, level (tingkat kesulitan), generality (luas bidang perilaku) dan strenght (tingkat keyakinan). Level merupakan keyakinan yang dimiliki individu untuk menyelesaikan setiap permasalahan ataupun tugas yang memiliki derajat yang berbeda-beda diukur dari kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Genality
11 merupakan evaluasi dari diri sendiri terkait keyakinan individu tentang satu atau lebih tugas yang mampu dikerjakannya. Strenght meruapakan tingkat keyakinan atau kemantapan dan kesungguhan untuk mencapai tujuan yang telah dibuat. Oleh karena itu, individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan mampu membuat penilaian kemampuan yang dimiliki, menilai aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan serta kepercayaan yang kuat atas kemampuannya. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan yang dimiliki menunjukkan perilaku yang lebih tekun dan tidak mudah putus asa atas tugas-tugas yang diberikan bahkan tugas yang sulit. Individu tersebut akan lebih tertantang dan memegang kendali penuh atas perilakunya dalam menghadapi tugas-tugas yang ada (Bandura, 1997). Pada penelitian yang dilakukan oleh Klassen, dkk (2007) menemukan bahwa ada korelasi antara efikasi diri akademik dengan prokrastinasi pada Mahasiswa. Jadi, semakin tinggi efikasi diri akademik yang dimiliki oleh individu, maka perilaku penundaan yang dilakukan semakin berkurang. Seo (2008) juga menemukan bahwa efikasi diri akademik yang rendah memiliki pengaruh negatif terhadap prokrastinasi mahasiswa. Disamping itu, penelitian yang dilakukan oleh Lowinger, dkk (2016) juga menunjukkan bahwa efikasi diri akademik memiliki pengaruh sebesar 27% terhadap prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Regulasi diri dalam belajar dan efikasi diri akademik memiliki pengaruh yang kuat dan mempredikasi perilaku prokrastinasi pada mahasiswa (Klassen, dkk, 2007). Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Kandhemir
12 (2014) yang menyatakan bahwa prokrastinasi dapat dipredikasi dengan efikasi diri akademik dan regulasi diri pada mahasiswa. Hal ini dikarenakan siswa yang memiliki regulasi belajar yang rendah tidak memiliki tujuan akademis yang jelas dan kurang yakin akan kemampuan yang dimiliki sehingga mempengaruhi performasi akademisnya dengan melakukan prokrastinasi. Oleh karena itu, individu yang memiliki efikasi diri akademik dan regulasi diri dalam belajar yang rendah memiliki tingkat prokrastinasi yang tinggi (Waschle, Lachner, Fink, & Nuckles, 2014). Dengan demikian, secara teoritis dapat disimpulkan bahwa regulasi diri dalam belajar memiliki hubungan dan dapat memprediksi prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Pada penelitian Negara (2013), peneliti melihat perilaku prokrastinasi didasarkan pada jenis kelamin dan usia yang mana hasilnya tidak signifikan sehingga tidak terdapat pengaruh. Peneliti juga melihat bagaimana pengaruh internal seperti mood, persepsi terhadap tugas yang diberikan serta reward dan punishment yang mempengaruhi secara signifikan terhadap prokrastinasi akademik yang dilakukan oleh mahasiswa yang sedang menulis tugas akhir dan telah melewati batas waktu yang telah ditentukan oleh Perguruan Tinggi. Pada penelitian tersebut, partisipan cakupanya pun masih terbatas pada satu fakultas saja dan akan dikembangkan pada penelitian ini dengan cakupan subjek yang lebih luas dengan pengukuran variabel bebas yang berbeda. Peneliti lain juga melihat peran konsep diri akademik dan dukungan sosial teman sebaya yang secara signifikan bisa memprediksi prokrastinasi (Rahmawati, 2011). Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa konsep diri yang tinggi serta
13 dukungan sosial teman sebaya yang juga tinggi berpengaruh pada rendahnya prokrastinasi mahasiswa. Sebaliknya, prokrastinasi mahasiswa yang tinggi disebabkan karena konsep diri yang rendah serta kurangnya dukungan sosial teman sebaya. Ritongan (2012) bahkan melakukan penelitian kualtitatif untuk mengetahui penyebab dari prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa akhir. Disamping itu, Maulia (2011) melakukan intervensi terhadap prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa di Universitas Keguruan. Peneliti melakuan intervensi berupa pelatihan belajar berdasarkan regulasi diri untuk menurunkan prokrastinasi akademik. Kedua peneliti tersebut melakukan penelitian dengan partisipan mahasiswa akhir yang berada pada semester sembilan dan lebih. Berdasarkan latar belakang dan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan efikasi diri akademik dengan prokrastinasi mahasiswa akhir. Tujuan penelitian ini untuk menguji secara empirik hubungan regulasi diri dalam belajar dan efikasi diri akademik dengan prokrastinasi. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan ilmiah terhadap ilmu pengetahuan bidang psikologi pendidikan, khususnya mengembangkan teori regulasi diri dan efikasi diri akademik terhadap prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam membantu mengatasi permasalahan-permasalahan terkait prokrastinasi mahasiswa yang dilihat dari regulasi diri dalam belajar serta efikasi diri akademiknya.