BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penyakit menular seksual (PMS) merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi permasalahan kesehatan secara global, karena pola penyakitnya hampir terjadi di semua negara. Pada dekade terakhir ini, insidens PMS diberbagai negara di seluruh dunia mengalami peningkatan yang cukup cepat. Peningkatan insidens PMS dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan demografik, fasilitas kesehatan yang tersedia kurang memadai, pendidikan kesehatan dan pendidikan seksual kurang tersebar luas, kontrol PMS belum dapat berjalan baik serta adanya perubahan sikap dan perilaku (Daili, 2003). Salah satu tujuan dari Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka prevalensi penyakit menular seksual khususnya penyakit HIV/AIDS. Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Indonesia pada 1987, yang menimpa seorang warga negara asing di Bali. Tahun berikutnya mulai dilaporkan adanya kasus di beberapa provinsi. Pada periode ini peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS masih rendah namun sejak akhir 2002 terlihat kenaikkan yang sangat tajam dari jumlah AIDS dan di beberapa daerah pada sub-populasi beresiko tinggi prevalensi sudah mencapai 5%, sehingga sejak saaat itu Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok Negara dengan epidemik terkonsentrasi. Peningkatan kasus AIDS terus
terjadi di mana akhir Desember tahun 2004 terdapat 2.682 dan pada akhir Desember 2005 naik hampir 2 kali lipat menjadi 5.321 dan pada akhir September 2006 jumlah kasus sudah menjadi 6.871. Estimasi tahun 2006 jumlah orang yang mengidap HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan sebanyak 196.000-231.000 orang. Sampai 31 Maret 2007 pengidap infeksi HIV/AIDS ini terus bertambah mencapai angka 14.628 orang dengan jumlah kematian 1.994 orang (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2007). Jumlah ini bukan menunjukkan keadaan yang sebenarnya karena pada kasus HIV/AIDS merupakan sebuah fenomena gunung es, di mana jumlah kasus yang tampak lebih sedikit dari pada kasus yang tidak tampak. Cara penularan penyakit Sifilis dan HIV/AIDS yang paling menonjol adalah melalui hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Negara berkembang merupakan tempat yang paling banyak terjadi masalah HIV/AIDS ini terlihat dari seluruh infeksi HIV, 90% terjadi pada negara berkembang seperti Thailand, India, Myanmar, dan China bagian Selatan (Koentjoro, 1995). Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengemukakan bahwa pengidap HIV/AIDS di Indonesia sebagian besar diketemukan diantara Pekerja Seks Komersial (PSK) yang jumlahnya diperkirakan berkisar 190.000-270.000 orang. Jumlah orang yang diperkirakan rawan tertular HIV sebanyak 13-20 juta orang, kelompok masyarakat yang paling tinggi tingkat penularannya adalah penjaja seks (homo/hetero), dan pengguna Napza suntik. Penderita HIV pada wanita berisiko tinggi ini cukup tinggi (Baharuddin, 2008; http://baharuddin70.blogspot.com/).
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. K. Tuti Parwati Merati menyatakan faktor resiko utama penularan HIV/AIDS terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Papua dan Propinsi Riau misalnya hampir seluruh penularan melalui hubungan seksual heteroseks (http://www.antara.co.id/arc/2008/3/29/berbeda-cara-penularan-hiv-aids-diindonesia). Di Indonesia kasus sifilis pada kelompok resiko tinggi cenderung mengalami peningkatan 10% sedangkan kelompok resiko rendah meningkat 2% sifilis juga merupakan faktor terjadinya infeksi HIV, sehingga peningkatan kasus sifilis dapat memungkinkan terjadinya peningkatan kasus infeksi HIV/AIDS (Farida, 2002). Sifilis dan HIV/AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi organisme. Namun ternyata dalam penyebarannya sangat dipengaruhi oleh pola perilaku. Jadi bisa dikatakan bahwa sifilis dan HIV/AIDS juga merupakan penyakit perilaku (Komisi Penanggulangan AIDS, 2002). Menurut Soekidjo (2003) model Perilaku Kesehatan berdasarkan Lawrence Green (1980), menyatakan bahwa kesehatan itu dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor yaitu faktor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: 1) faktor presdisposisi (predisposing factors), 2) faktor pendukung (enabling factors), 3) faktor pendorong (reinforcing factors). Seluruh propinsi di Indonesia tersentuh oleh infeksi HIV/AIDS. Saat ini, sebanyak enam propinsi mendapat prioritas penanggulangan HIV/AIDS seperti
Papua, DKI Jakarta, Riau, Jawa Barat, Bali dan Jawa Timur (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2005). Jumlah penderita HIV/AIDS yakni Kota Pekanbaru 112 orang, menyusul Kabupaten Rokan Hilir (9), Indragiri Hilir (4), Kota Dumai, (2) Kampar (1), Indragiri Hulu (1), Bengkalis (1) dan Siak (1). Kabupaten Rokan Hilir tercatat sebagai Kabupaten nomor dua se-propinsi Riau yang memiliki kasus HIV/AIDS terbanyak setelah Kota Pekanbaru. Dari jumlah kasus yang tercatat sebanyak 9 orang (88,88%) ditemukan pada PSK (Dinkes Kabupaten Rokan Hilir, 2007). Lokalisasi Perbatasan di Kecamatan Bagan Sinembah merupakan salah satu lokalisasi yang terbesar di Kabupaten Rokan Hilir di mana banyak mempekerjakan PSK yang jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Tahun 2006 terdapat 85 orang PSK dan pada akhir Desember 2007 jumlah tersebut meningkat menjadi +104 PSK. Tapi angka ini bukanlah suatu angka yang pasti, dikarenakan adanya kesulitan yang relatif tinggi untuk dapat mengumpulkan data yang tepat dan akurat serta tingginya turn over PSK dari satu kota ke kota lain. Pada tahun 2006 telah dilakukan pemeriksaan serosurve pada 44 PSK di lokalisasi tersebut, dari hasil pemeriksaan ditemukan 2 sampel menderita HIV/AIDS dan 4 sampel menderita sifilis (SubDin P2PL Dinkes Rokan Hilir, 2006). Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti, PSK yang bekerja di Lokalisasi Perbatasan tersebut berpotensi terkena penyakit sifilis dan HIV. Di samping tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah, pengetahuan mereka tentang penyakit sifilis dan HIV juga masih rendah. Hal ini terbukti dengan adanya anggapan
bahwa penyakit sifilis dan HIV hanya menular pada kaum homoseksual saja. Di samping itu PSK juga beranggapan bahwa penyakit sifilis dan HIV timbul setelah adanya gejala-gejala seperti rasa sakit sewaktu buang air kecil, dan gatal-gatal pada kemaluan. Salah satu PSK juga mengakui bahwa pada saat melakukan aktivitas seksualnya tidak menggunakan kondom alat pengaman seperti kondom. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian hubungan perilaku PSK terhadap kejadian penyakit sifilis dan HIV di Lokalisasi Perbatasan Kecamatan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir menjadi penting dilakukan, mengingat PSK sangat berisiko terhadap penularan penyakit sifilis dan HIV. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, PSK merupakan kelompok masyarakat berisiko tinggi terhadap penularan penyakit sifilis dan HIV dan penyakit ini sangat berhubungan dengan perilaku PSK. Maka peneliti dengan ini mengangkat permasalahan dalam penelitian ini dalah bagaimana hubungan perilaku PSK terhadap kejadian penyakit sifilis dan HIV di Lokalisasi Perbatasan Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hubungan antara faktor predisposing, enabling dan reinforsing terhadap ranah perilaku PKS dan hubungan
perilaku PSK tersebut terhadap kejadian penyakit sifilis dan HIV di Lokalisasi Perbatasan Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008. 1.4. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara faktor predisposing (umur, pendidikan, masa kerja dan penghasilan) terhadap perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) PSK Tahun 2008. 2. Ada hubungan antara faktor enabling (ketersediaan pelayanan kesehatan) terhadap perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) PSK di lokalisasi Perbatasan Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008. 3. Ada hubungan antara faktor reinforsing (sumber informasi) terhadap perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) PSK di lokalisasi Perbatasan Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008. 4. Ada hubungan pengetahuan PSK dengan kejadian penyakit sifilis dan HIV Tahun 2008. 5. Ada hubungan sikap PSK dengan kejadian penyakit sifilis dan HIV tahun 2008.
6. Ada hubungan tindakan PSK dengan kejadian penyakit sifilis dan HIV Tahun 2008. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir khususnya Dinas Kesehatan dan KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) dalam mengambil kebijakan dalam upaya pencegahan dan pemutusan mata rantai penularan penyakit menular seksual khususnya penyakit sifilis dan HIV. 2. Sebagai tambahan referensi penelitian di bidang kesehatan.