BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tersedianya sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat termasuk penduduk miskin dan tidak mampu untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi tingginya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam rangka menjamin terpenuhinya hak hidup sehat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya pada pasal 34 ayat (3), ditegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Di dalam pencapaian derajat kesehatan, masyarakat juga memiliki hak hak yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, yaitu pada pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan. ayat (2) menegaskan setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Ayat (3) menegaskan setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. 1
2 Pengetahuan masyarakat sangat diperlukan didalam memilih dan menentukan sendiri fasilitas pelayanan kesehatan yang baik bagi dirinya terutama yang berhubungan dengan keselamatan dua jiwa yaitu keselamatan Ibu dan Bayi baru lahir seperti memilih fasilitas pelayanan kesehatan di dalam persalinan. Menurut data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, AKI (Angka Kematian Ibu) 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB (Angka Kematian Bayi ) 34 per 1000 kelahiran hidup, diharapkan angka kematian ibu menurun dari 228 pada tahun 2007 menjadi 102 pada tahun 2015 dan angka kematian bayi menurun dari 34 pada tahun 2007 menjadi 23 pada tahun 2015 dalam rangka upaya percepatan pencapaian target MDG s (Millenium Development Goal s) point 4 dan 5. Menurut data yang dikutip dari profil Dinas Kesehatan Deli Serdang (2011), terdapat angka kematian bayi 2,57 per 1000 kelahiran hidup, angka kematian ibu 20 dari 37.770 kelahiran hidup. Menurut WHO (2007), di Indonesia penyebab umum kematian ibu adalah perdarahan 28%, preeklampsia/eklampsia 24%, infeksi 11%, trauma obstetri 5%, dan lain-lain 11%. Berdasarkan data yang dikutip dari profil Puskesmas Kota Datar (2011), terdapat laporan kematian bayi sebanyak 5 (lima) orang. Penyebab kematian bayi tersebut adalah kejang demam dan Bayi Biru. Bayi yang meninggal berumur 0-3 hari dan bayi tersebut adalah bayi dari ibu yang bersalin di rumah. kematiannya diperburuk oleh beberapa faktor terutama faktor sosial budaya masyarakat dan faktor biaya.
3 Faktor budaya yang berkaitan dengan kematian bayi di wilayah kerja Puskesmas Kota Datar adalah kecenderungan masyarakat yang masih memilih rumah sebagai tempat yang nyaman menurut mereka dan beberapa yang masih percaya dukun beranak untuk membantu merawat kehamilan sampai melahirkan. Sarwono (1993) mengatakan, Tenaga yang dari dahulu sampai sekarang memegang peranan penting dalam pelayanan kebidanan adalah dukun bayi (nama lain: dukun beranak, dukun bersalin, dukun peraji). Dalam lingkungannya dukun bayi merupakan tenaga terpercaya dalam segala soal yang bersangkutan dengan reproduksi. Dia diminta pertimbangannya pada masa kehamilan, mendampingi wanita yang bersalin sampai persalinan selesai, dan mengurus ibu serta bayinya dalam masa nifas. Dukun bayi adalah seorang wanita atau pria yang menolong persalinan, yang umumnya adalah seorang wanita berumur 40 tahun ke atas ; dia menjadi dukun karena pekerjaan ini turun temurun dalam keluarganya atau oleh karena dia mendapat panggilan untuk menjalankan pekerjaan itu. Dia mendapat latihan untuk pekerjaan dukun dengan membantu dukun yang lebih tua dan selanjutnya menambah pengetahuannya dengan apa yang dialami dalam praktek (Adimiharja dalam Sarwono P, 2005). Pengetahuan dukun tentang fisiologis dan patologis dalam kehamilan, persalinan, serta nifas sangat terbatas sehingga dia tidak mampu menangani apabila terjadi komplikasi dalam proses kehamilan, persalinan, dan nifas. Namun di tengah masyarakat dukun mempunyai pengaruh yang sangat besar karena dukun menghadiri persalinan tidak hanya menolong secara tehnis, melainkan memberikan emotional
4 security kepada wanita yang sedang bersalin serta keluarganya karena selalu disertai doa doa yang dianggap mampu melancarkan proses bersalin dan biasanya apabila terjadi hal hal yang tidak diinginkan terhadap persalinan seperti Ibu atau bayi yang meninggal, keluarga akan pasrah dan menganggap peristiwa tersebut adalah Kehendak Tuhan Yang Kuasa (Sarwono Prawiraharjo, Ilmu kebidanan,1992). Dukun mempunyai ciri ciri, yaitu: pada umumnya adalah orang biasa, umumnya buta huruf, pekerjaan dukun bukan tujuan mencari uang tetapi karena panggilan atau melalui mimpi mimpi dengan tujuan untuk menolong sesama, ongkos yang harus dibayar tidak ditentukan tetapi menurut kemampuan dari masing masing orang yang ditolong, umumnya dihormati dalam masyarakat (Suparlan,1999). Menurut beberapa peneliti bidang kesehatan, kematian ibu juga disebabkan oleh faktor resiko keterlambatan yang dikenal dengan tiga T yaitu terlambat dalam pemeriksaan kehamilan karena terlambat dalam mengambil keputusan, terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan emergensi. Berdasarkan survey pendahuluan yang telah dilakukan faktor keterlambatan di dalam mengambil keputusan untuk memeriksa kehamilan disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang pentingnya pemeriksaan sebelum persalinan yang dikenal dengan Ante Natal Care (ANC) sehingga tidak termotivasi untuk melakukannya. Upaya dalam hal ini petugas kesehatan sebaiknya memberikan edukasi kepada seluruh wanita usia subur yang sudah menikah baik yang sudah memiliki
5 anak ataupun yang sedang merencanakan kehamilan agar memeriksakan kehamilan mulai dari hari pertama diketahui positif hamil, persalinan sampai habis masa nifas. Keterlambatan yang kedua disebabkan karena terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, hal ini disebabkan karena Ibu dan keluarga kurang paham dengan tanda tanda persalinan dan kurang mempersiapkan diri secara finansial di dalam menyambut kedatangan sang bayi dan masih adanya budaya yang kuat yang mengharuskan ibu untuk bersalin di rumah. Keterlambatan yang ketiga disebabkan karena terlambat sampai di fasilitas kesehatan dalam keadaan emergensi, dalam hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu hamil tentang bahaya melahirkan di rumah dan ditolong oleh dukun bayi yang tidak dilatih sehingga tanda tanda bahaya dalam proses kehamilan, persalinan dan nifas tidak diketahui secara dini sehingga apabila terjadi hal hal yang membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang kompeten. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Kota Datar (2011), dimana jumlah sasaran Ibu hamil dalam satu tahun 1284 jiwa sangat jauh jumlah yang diharapkan dengan jumlah ibu yang bersalin yang di tolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan yaitu sebanyak 109 jiwa. Fenomena ini sangat menarik perhatian penulis untuk meneliti dan memahami sosial budaya masyarakat dalam pemanfaatan Jampersal di wilayah Puskesmas Kota Datar. Seperti yang kita ketahui pada awal tahun 2011 pemerintah telah meluncurkan fasilitas pelayanan kesehatan dalam bentuk jaminan persalinan yang merupakan
6 wujud kepedulian terhadap kaum Ibu dan bayi. Jaminan Persalinan yang dikenal dengan nama Jampersal adalah merupakan jaminan kepada seluruh ibu hamil yang akan melahirkan yang tidak mempunyai jaminan kesehatan dengan syarat harus melahirkan di fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga kesehatan, hal ini dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak ibu didalam memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan terjangkau. Berdasarkan survey awal yang diperoleh di wilayah kerja Puskesmas Kota Datar, sebagian besar Ibu hamil yang tergolong miskin dan tidak memiliki jaminan kesehatan melahirkan di rumah dan ditolong oleh bidan dan masih ada yang di tolong oleh dukun. Artinya masih banyak ibu yang tidak memanfaatkan jampersal yang telah disediakan oleh pemerintah. Beberapa penyebab ibu hamil tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dalam persalinan adalah : berdasarkan keterangan yang diperoleh dari ibu hamil dan bidan desa bahwa ibu tidak mau melahirkan di fasilitas kesehatan disebabkan karena malu dilihat orang banyak pada saat melahirkan. Namun ibu tetap bersedia melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan akan tetapi harus di rumah sendiri dan ada keterangan yang mengatakan kalau ibu tidak boleh keluar rumah sebelum 40 hari setelah melahirkan, apabila dilanggar akan menyebabkan ibu dan bayi diganggu makhluk halus dan akan celaka. Hal ini yang menurut kepercayaan masyarakat pantang atau pamali. Maka dari itu ibu lebih baik melahirkan di rumah agar tidak perlu keluar rumah sebelum 40 hari. Faktor malas untuk repot menyiapkan perlengkapan persalinan seperti pakaian bayi, popok bayi,
7 tas untuk menyimpan perlengkapan bayi, dan lain-lain dimana hal tersebut juga memengaruhi keputusan ibu untuk melahirkan di rumah. Faktor kepercayaan terhadap sang penolong persalinan juga memegang peranan penting karena menganggap bidan kurang berpengalaman karena usia yang masih muda. Bahkan ada keterangan yang mengatakan melahirkan di fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga kesehatan harganya mahal. Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh seseorang dipengaruhi oleh banyak hal. Keputusan untuk memanfaatkan pelayanan merupakan proses yang sangat kompleks yang melibatkan keputusan individual, sosial dan dipengaruhi oleh profesional kesehatan (Miller, et. al, 1997). Pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan proses pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan, dan kemampuan untuk membayar sehingga pengambilan keputusan untuk mencari pelayanan kesehatan merupakan hasil jaringan interaksi yang kompleks (Timyan, et. al, 1993), keputusan tersebut dapat dibuat oleh wanita itu sendiri, atau oleh suaminya, anggota keluarga, masyarakat, tokoh masyarakat dan lainnya. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Anwar Musadad,dkk (1996) tentang persentase pengambilan keputusan tempat bersalin di daerah pedesaan dilakukan oleh istri (43,4%) lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan (29,7%). Di dalam mengambil keputusan penting untuk memilih penolong persalinan, masyarakat seharusnya dibekali dengan pengetahuan seputar kehamilan dan cara merawatnya. Menurut studi yang dilakukan Meiwita, dkk di Jawa Barat (dalam Anwar, dkk. 1996)
8 bahwa orang tua dan suami memegang peranan yang cukup aktif dalam mencari pertolongan ketika anak dan istrinya dalam keadaan gawat darurat dalam bersalin, akan tetapi mereka sering sekali mendapat informasi yang salah tentang tindakan yang selanjutnya harus mereka lakukan. Mereka tampak khawatir akan tetapi tidak berbuat apapun dan mengharapkan apa yang telah terjadi dapat berlalu begitu saja. Jaminan Persalinan merupakan sesuatu yang baru di tengah masyarakat, di mana fasilitas pelayanan kesehatan ini akan mengajarkan kepada masyarakat tentang pentingnya memeriksakan kehamilan dan melakukan persalinan oleh tenaga kesehatan yang telah terlatih agar ibu dan bayi sehat dan selamat dan memberikan rasa nyaman oleh ibu yang akan melahirkan dan keluarga dari tekanan finansial. Sebagian masyarakat wilayah kerja puskesmas Kota Datar yang turun temurun telah melakukan hal yang sama yaitu melahirkan di rumah, ditolong oleh dukun dengan harga yang tidak ditentukan atau seikhlas hati, ditolong oleh bidan yang mau dipanggil kerumah, akan sangat sulit merubah perilaku agar mau dan mampu memeriksakan kehamilan dan melahirkan di fasilitas kesehatan. Sosialisasi mengenai Jampersal harus lebih intensif dan terus menerus dari petugas kesehatan di tempat tempat perkumpulan masyarakat seperti perwiridan, pengajian, warung, agar lebih mengena di hati masyarakat. Dugaan masih kurangnya sosialisasi Jampersal ke masyarakat oleh petugas kesehatan juga ikut berkontribusi belum di manfaatkannya jampersal secara luas oleh masyarakat. Masyarakat juga masih banyak yang tidak memiliki KTP sebagai syarat ikut serta dalam jampersal dan tidak mau bersusah diri untuk mengurus resi ke kantor desa sehingga memutuskan untuk tidak ikut serta
9 menggunakan jampersal dan lebih memilih bersalin oleh dukun atau bersalin dengan bidan langganan berbayar meskipun berhutang karena tidak punya cukup uang, dalam hal ini tergambar kurangnya pengetahuan ibu tentang jampersal sehingga tidak termotivasi untuk memanfaatkannya. Menurut Rogers (1961), terdapat salah satu kategori kelompok manusia yang disebut laggard dimana kelompok ini adalah kelompok yang sulit menerima ide ide baru dan bersifat lebih tradisional, kelompok ini lebih suka bergaul dengan orang orang dengan pemikiran yang sama dengan mereka, dan sering ketinggalan zaman. Kelompok laggard tergambar pada masyarakat Wilayah kerja Puksesmas Kota Datar, dimana letak demografi yang jauh dari perkotaan dan selalu bergaul dengan orang orang yang sama setiap harinya menyebabkan mereka tidak mudah menerima hal baru walaupun hal tersebut diperuntukkan untuk kebaikan dan kebutuhan mereka. Melihat kenyataan dan fenomena yang terjadi ini, diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam sosial budaya dalam pemanfaatan Jampersal di wilayah kerja Puskesmas Kota Datar Kecamatan Hamparan Perak. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah Bagaimana Faktor Sosial Budaya dalam Pemanfaatan Jampersal di Masyarakat Wilayah Kerja Puskesmas Kota Datar Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang.
10 1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui dan memahami secara mendalam Sosial Budaya dalam Pemanfaatan Jampersal di wilayah kerja Puskesmas Kota Datar Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan informasi kepada Dinas Kesehatan, Seluruh Puskesmas dan Instansi terkait tentang sosial budaya masyarakat dalam pemanfaatan Jampersal 2. Sebagai strategi agar pelaksanaan Jampersal dapat mencakup masyarakat desa Kota Datar lebih luas. 3. Untuk melatih peneliti dalam mengaplikasikan Ilmu Kesehatan Masyarakat di lapangan, serta diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam pengembangan penelitian selanjutnya.